Riana masih menatap bingung David yang menyetir begitu cepat. Wajah David tampak sangat serius. Mukanya fokus menyetir dengan kencang dan membawanya tiba di hotel tempat Gia sedang melakukan pemotretan."Gia!" panggil David sambil nyelonong masuk ke dalam bar yang jadi lokasi pemotretan Gia. Dia tak peduli saat ini Gia masih dalam sesi foto-foto. Yang dia pedulikan saat ini adalah Gia harus cepat menemuinya sekarang juga."David, Gia masih kerja," bisik Riana sambil menarik lengan David. Namun, hal itu tak membuat David berhenti."GIA!!!" teriak David semakin keras. Membahana memenuhi ruangan.Gia pun berhenti berpose. Dengan langkah melenggang indah bak supermodel, Gia mendekati David."Kak Gia, maafin David," pinta Riana cepat-cepat."No problemo, Manis," Gia tersenyum cantik pada Riana, sebelum akhirnya melemparkan pandangan pada David," Gimana Aa' David?""Kamar lu dimana?" tanya David. Gia paham maksud David."Come on," Gia pun menjetikkan jarinya lalu keluar bar. Langkah jenjang
Entah kenapa Riana sekarang menyesali pilihannya untuk ikut swimming pool party yang ditawarkan oleh Dave barusan. Pasalnya, acara pesta seperti ini ternyata harus memakai dress tertentu. Dan karena pesta ini bertajuk kolam renang, tentu para peserta acara harus menggunakan baju renang alias bikini."Hmm, kamu cocok pake yang ini. Ada mini skirt-nya di bawah. Nanti bagian atas tutup kardigan aja biar nggak masuk angin," tawa Gia terdengar khas," Udah, dipake dulu ya, Manis."Gia menyerahkan pakaian renang paling aman meski bergaya agak kuno pada Riana. Dengan langkah lunglai, Riana masuk kamar mandi dan memakainya. Termasuk memakai kardigan panjang agar lekuk tubuhnya tak terlalu tampak."David nggak bakal marah kan ya?" gumam Riana di depan cermin. Cukup takut suaminya bakal mengamuk kalau sampai tahu dirinya ikutan pesta seperti ini.Saat keluar kamar mandi, tampak Gia sudah siap berpesta. Dengan riasan super tebal dan kacamata berkilauan pink pelangi. Tak lupa topi pantai penuh gay
Dave membiarkan Riana berbaring dulu di kasur. Sementara dirinya sedang menikmati momen mandi sambil mendendangkan lagu di antara kucuran air shower.Sedari awal melihat Riana, dia sudah sangat tertarik untuk mendapatkannya. Wajah Riana yang polos dan penampilannya yang seadanya membuat hatinya jadi bergetar. Ditambahi sikap lucunya yang menggemaskan. Setidaknya, Dave ingin mencicipi Riana sekali seumur hidup.Sambil menyemprotkan minyak wangi ke dadanya, Dave terus memantau pemandangan dirinya dari pantulan cermin kamar mandi. "You're the luckiest man, dude," ujarnya bahagia. Dia langsung mengenakan bathrobe dan keluar kamar mandi. Menghampiri Riana yang masih tak sadarkan diri di kasur.Dibelai-belainya pipi Riana. Sangat lembut dan polos. Hanya ada sisa bedak dan blush on make up saat sesi pemotretan. Jemari Dave sudah mulai bergerak, mencari cara membuka baju renang Riana.BRAK!Gerakan tangan Dave terhenti. Jantung Dave terkesiap kaget mendengar suara sesuatu jatuh menimpa meja d
Bukan! Bukan! Aku nggak boleh mikirin ini dulu. Aku harus laporin kasus penusukan di dalam kamar tadi, batin Riana."Heh! Malah diem?!" tegur David tak sabar. Apalagi melihat istrinya berdandan aneh seperti ini."David! Aku perlu polisi! Sama ambulans juga!" ungkap Riana bingung. David langsung menatap kaget istrinya."Kamu lihat apa?!"Riana menarik David kembali ke dalam kamar tempat dirinya berada tadi. Sedari tadi saat melihat laki-laki bernama Sean tadi, dirinya merasa janggal. Dan kejanggalannya terbukti saat ujung matanya menangkap pemandangan kaki seseorang di pojokan balkon. Hanya saja, Riana takut. Kalau salah langkah, dirinya akan ditusuk oleh Sean. Akhirnya, dia pura-pura tak tahu. Pura-pura bodoh dan polos dengan lebih aktif mengajak mengobrol. Berakting agar Sean mau percaya pada dirinya."Itu…. David…" Riana terduduk lemas di pintu balkon kamar sambil menunjuk tubuh Dave yang berlumuran darah. Saat ini tubuh dan otak Riana sudah lemas. Tak bisa lagi diajak bekerja sama.
"Nggak. Istirahat dulu aja," tolak David sambil membaringkan Riana lagi. Ditatanya bantal yang Riana gunakan agar nyaman. Setelahnya David ikutan berbaring di sisi Riana. Tidur. Karena sebentar lagi pagi akan tiba.Keesokan harinya David mengobrol di resto hotel tempatnya menginap bersama Gia. Hanya berdua saja. Riana masih berdiam diri di kasur. David memakluminya karena kemarin jadi hari yang berat bagi istrinya."Vid, sorry banget ya soal kemarin. Gue nggak tahu kalau Ivy juga komplotan ama si Dave," jelas Gia. Wajah Gia pucat saat ini. Cukup deg-degan juga jika harus bermasalah dengan David.Mata David hanya menatap dingin Gia. Masih tak mau merespon ucapan Gia. Membuat Gia semakin grogi."Gue udah urus mereka. Lo mau apa? Tangan atau kaki patah? Mereka jadi jobless? Gue bisa urus itu," lanjut Gia meyakinkan David agar amarah laki-laki itu tak mempengaruhi urusan bisnis di antara keluarga mereka. Ayah Gia selalu mewanti-wanti Gia untuk tidak bermasalah dengan salah satu kandidat p
Riana memeluk erat tubuh David. Langit sudah menggelap. Tapi dirinya tetap nyaman hanya tiduran dengan suaminya di kasur usai melakukan percumbuan mesra.Hatinya masih berdebar-debar bahagia dan senang jika membayangkan hal-hal bergairah yang mereka lakukan sedari siang tadi. Sangat panas dan memuaskan. Rasa panas kembali menjalari pipi Riana."Mukamu merah? Sakit?" David menempelkan punggung tangannya di dahi Riana. Suhu badan istrinya normal saja."Nggak. Aku sehat kok. Cuma capek aja," telunjuk Riana bergerak-gerak bermain di dada suaminya yang tak terlindungi kain."Kita liburannya cuma di kamar aja ya jadinya.""Iya. Tapi aku seneng kok. Mau bertahun-tahun seruangan sama kamu, aku nggak masalah," ungkap Riana malu-malu.David memeluk gemas Riana. Dihujaninya wajah ayu itu dengan kecupan. Rasanya tak akan pernah bosan melakukan hal itu pada istrinya. Riana terkikik geli menerima kecupan-kecupan penuh kasih sayang itu. Puas, dia masih bisa menikmati bulan madu menyenangkan setelah
"Gila ya kamu! Jadi beneran nikah dan hamil anak David?!" pekik Sena di kamar apartemennya.Riana terkikik geli. Untung sekarang mereka lagi di apartemen Sena. Kalau di tempat umum macam mall, pasti sudah banyak mata yang jelalatan melotot ke arah mereka.Sena memandangi sahabatnya itu dengan tatapan tak percaya sekaligus takjub. Sahabatnya yang tak pernah pacaran lagi sejak beberapa tahun lalu. Yang dia kira bakal hidup berselibat ala biksuni di Pegunungan Tibet. Ternyata malah langsung ngegas punya anak sekarang. Mendahului dirinya yang sudah lama merajut kasih bersama dengan pacarnya yang sekarang sedang kuliah di luar negeri. Damn! Hidup rasanya sangat tidak adil sekarang ini."Ini. Aku beliin oleh-oleh," Riana memberikan sebuah paper bag besar kepada Sena. Tentu Sena menerimanya dengan senang hati. Meski mulut dan hatinya masih misuh-misuh juga karena sudah dibalap oleh Riana. Well, pernikahan bukan ajang balapan tapi. Sena mencubit gemas kedua pipi sahabatnya itu."Kapan mau per
"Heh! Kamu kenapa?" kali ini Sena menyentak tubuh Riana lebih kencang. Membuatnya tersadar dari lamunannya."Hmm, aku mau pulang duluan deh, Sen," pamit Riana."Ih, jangan! Makan dulu. Kumasakin pasta sama salad sayur," cegah Sena cepat-cepat. Wajah Sena tampak tak rela melihat Riana langsung pergi saja dari rumahnya tanpa menikmati masakannya lebih dulu."Hmm, oke deh," Riana pun menunda keinginannya untuk pulang."Nah, gitu dong. Ibumu selalu baik sama aku. Kasih makan aku mulu waktu zaman kuliah. Sekarang aku juga mau balas budi. Kasih makan banyak buat anak sama calon cucunya," tekad Sena membara. Riana tertawa kecil melihat Sena yang penuh semangat."Kamu mau ikut aku ke dapur? Atau di kamar aja? Aku ada stok film banyak. Nyalain aja TV-ku. Udah bisa nyambung netflix juga lho," cerocos Sena penuh rasa bangga."Aku ikutan ke dapur deh. Sekalian bantu.""Nggak boleh. Bumil duduk tenang aja. Kalau di dapur, tugasmu nyemil aja.""Okey, okey. Udah yuk ke dapur sekarang," Riana menggan
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula