"Uk...! Uukh!" Riana menutup mulutnya. Mulai berakting mual. Segera dia berdiri dan berlari kecil menuju kamar mandi Sena.Beberapa kali Riana pura-pura mengeluarkan suara muntahan dan menekan tombol flush. Berharap David akan mempercayainya."Duh! Kok bisa sih ada David?! Perasaan nggak ada tanda-tandanya?" gumam Riana sambil mengeluarkan suara hoek-hoek-nya. Di saat seperti ini, Riana sangat berterima kasih pada jabang bayinya yang bisa jadi alasan agar suaminya berhenti marah padanya.Tok! Tok! Tok!"Riana?! Masih sakit???" dari luar terdengar suara David mengetuk-ngetuk pintu."Umm, ya. Bentar," Riana menyalakan kran wastafel lalu mencuci seluruh mukanya. Setelah itu, dia keluar mandi. Tampak David sudah membawa minyak angin untuknya."Gimana? Masih mual?" wajah David tampak resah. Membuat Riana ingin tertawa. Tapi jika ketahuan sedang berbohong, kemarahan David bakal berlipat ganda."Mendingan," Riana mengambil botol minyak angin dan mengeluarkan isinya. David ikut membantu mengo
Riana tertegun mendapati reaksi David yang seperti itu. Dia kira David bakal bereaksi santai dan mengajaknya bicara kapan ingin mengunjungi orang tuanya. Namun, David malah seperti orang yang habis melihat hantu mengerikan. Apa orang tua David bakal nolak aku? batin Riana jadi resah sambil memperhatikan David yang salah tingkah. Sangat tidak seperti David yang dia kenal selama ini.David menunduk. Mengambil potongan buah yang jatuh ke lantai. Masih diam. Belum menjawab pertanyaan Riana. Tepatnya, David masih memikirkan alasan rasional agar Riana mau percaya."Hm, aku pengen ketemu orang tuamu, David," lanjut Riana. Kali ini dengan nada lembut tapi agak takut-takut. Iya, Riana takut kalau David marah karena dirinya terus membahas soal orang tua David. Namun, ini adalah yang wajar bagi pasangan normal untuk tahu tentang keluarga masing-masing. Apalagi mereka sudah menikah. Ya, meski masih menikah siri. Tapi, tetap saja kan Riana ingin tahu soal keluarga David. Apalagi saat ini Riana jug
"AWWW!!!" David bangun seketika saat gigi rapi istrinya menggigit lengannya."Kamu kenapa?!" David langsung bangun. Nyawanya sudah berkumpul seketika itu juga."Kamu yang kenapa?" Riana melepaskan dirinya dari pelukan David."Maksudnya?" David mengucek-ucek matanya sambil bangun."Kamu nggak sadar barusan kamu ngomong apa?" Riana memicingkan matanya ke arah David."Ngomong apa emangnya?" David menggaruk-garuk rambutnya sambil menguap."Kamu bilang ibumu udah meninggal," ujar Riana membuat mulut David langsung mengatup seketika. Akhirnya David tersadar bahwa dirinya tadi masih setengah sadar saat Riana membangunkannya."Beneran udah meninggal?" desak Riana menginginkan kebenaran jawaban dari David.Sebenarnya hari ini David hanya ingin mengajak Riana ke rumah lamanya saja di sekitaran Setiabudi. Habis itu langsung pulang. Pura-pura dapat pesan kalau ibunya sedang pergi keluar kota. Tapi sepertinya keadaan berkata lain. Memaksanya untuk tetap berkata jujur pada Riana."Hmm, ya. Ibuku su
Dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying yang diterbitkan tahun 1969, Dr. Elisabeth Kubler Ross menjelaskan tentang lima tahapan emosional yang dialami oleh manusia saat mengalami keterpurukan. Lima tahapan itu adalah penyangkalan (denial), marah (anger), menawar (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance). Kelima tahapan ini merupakan hal alamiah yang pasti dialami oleh orang-orang yang mengalami kedukaan mendalam. Entah karena putus cinta, divonis penyakit mematikan, perceraian, gagal mendapatkan jabatan atau prestasi, atau divonis mandul.Hal yang sama pun tengah dialami oleh Jo saat ini. Memandang betapa lekat dan mesranya Riana bergandengan tangan setiap saat dengan David. Saling melempar dan bertukar senyum di hadapannya yang saat ini masih menyimpan berjuta rindu dan cinta untuk Riana.Jo masih tak bisa menerimanya sepenuh hati. Saat ini dirinya masih berputar-putar pada tahap penyangkalan, marah, dan mencoba untuk mengajukan penawaran. Mencari alterna
"Buka Om!" teriak Rafa sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil. David langsung membukakan kunci sehingga Rafa bisa masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang bagian belakang."Ma, duduk belakang, Ma," pinta Rafa sambil meletakkan tas ransel biru tuanya di kursi penumpang."Iya," Riana mencopot seatbelt-nya. David ikut membantu. Rafa menatap heran David. Tak seperti biasanya Om-nya membantu mamanya seperti itu.Riana mengambil duduk di sisi Rafa. Secara otomatis yang ada di depan hanyalah David. Jika orang tak tahu. Bisa jadi akan mengira bahwa David adalah sopir mereka.Rafa langsung menyandarkan kepala di paha Riana. Bergulung memeluk dan menduselkan kepalanya di perut Riana."Ma, tadi apanya yang sayang?" Rafa kembali menanyakan pertanyaannya yang belum dijawab tadi."Ah…. Itu soal…." Riana masih berusaha memikirkan alasan."Apa? Kok kayak Om David tadi bilangnya?""Hmm, Mama sayang sama Rafa. Sama kayak Om David," jelas Riana."Kan emang iya. Om David kok aneh sih ngajak ngobrol M
Malam harinya, Riana memilih tidur dengan Rafa. Tak sanggup bertemu dengan David. Tepatnya masih takut berdua dengan David karena insiden guyur air ke muka David sore tadi.Untungnya David belum keluar kamar sampai malam. Memudahkan Riana berjalan di sekitaran fumah. Melakukan aktivitas seperti biasanya."Ma, bobok bareng Rafa ya?" pinta Rafa."Boleh. Udah lama kan kita nggak bobok bareng," sahut Riana penuh semangat. Tentu Riana sangat bersemangat karena tak harus berdua dengan David malam ini. Alhasil, Riana langsung mengurung diri di kamar Rafa usai bermain layangan di halaman."Untung aku masih simpan bajuku di sini," Riana bergumam senang menemukan beberapa baju rumahannya masih ada di lemari baju Rafa. "Ma, aku udah selesai mandinya," lapor Rafa sambil keluar kamar mandi dengan menggunakan handuk saja."Iya. Ini Mama ambilin bajumu," Riana mengambilkan satu set baju tidur untuk Rafa. Hari ini Rafa libur les. Jadi, Riana langsung mengambilkan saja set baju tidur. Sekalian kalau
David menemani Riana cek kandungan. Sudah dua minggu mereka tidak melakukan cek semenjak liburan ke Bali. David ingin tahu bagaimana perkembangan wujud calon anaknya yang saat ini sedang tumbuh berkembang dalam rahim istrinya.Dokter memberikan penjelasan seputar kondisi kehamilan Riana. Tak lupa juga mengingatkan untuk melakukan aktivitas yang tak membahayakan kandungan. Setelah itu, si dokter memberikan resep obat yang harus ditebus oleh mereka di apotek rumah sakit."Aku nggak sabar nunggu anak kita lahir," David mengusap-usap perut Riana saat sudah keluar dari ruang pemeriksaan."Masih kecil, David. Belum ada dua bulan juga usianya," Riana tersenyum senang melihat suaminya sangat menanti kelahiran buah hati mereka. Hati Riana berdebar-debar juga. Membayangkan bagaimana buah hatinya akan sangat tenang dalam gendongannya saat sudah lahir."Kamu suka bayi laki-laki atau perempuan David?" tanya Riana ingin tahu."Terserah sih. Asal lahir normal dan sehat. Itu semua udah cukup.""Yakin
David masih memandangi Riana yang duduk termenung di kursi sebelum masuk menemui ibu Riana. Istri kecilnya itu tampak kuyu. Membuat amarahnya semakin berkembang.Tenang, Vid, David menggenggam erat tangannya sebelum menarik engsel pintu dan mendorongnya ke dalam.Dengan langkah tenang David mendekati ibu Riana. Tampak ibu Riana serius memandangi David yang melangkah duduk di hadapannya. Tak ada kata di antara mereka. Hanya pandangan tajam yang saling bertautan."David," panggil ibu Riana memulai pembicaraan," Harusnya kamu tahu, seserius apapun dirimu pada Riana, aku tak akan pernah menyetujuinya."David masih diam, mendengarkan. Memang hati David sudah sangat tak cocok dengan calon mertuanya ini. Namun, dia harus bisa menjaga sikap agar Riana bisa resmi menjadi miliknya."Harusnya kamu paham alasanku tidak menyukaimu. Selain kamu memanfaatkan kepolosan anakku. Kamu juga bisa menempatkan anakku dalam bahaya," lanjut ibu Riana," Tapi, anak itu sangat mencintaimu. Sampai mau mengandung
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula