David menemani Riana cek kandungan. Sudah dua minggu mereka tidak melakukan cek semenjak liburan ke Bali. David ingin tahu bagaimana perkembangan wujud calon anaknya yang saat ini sedang tumbuh berkembang dalam rahim istrinya.Dokter memberikan penjelasan seputar kondisi kehamilan Riana. Tak lupa juga mengingatkan untuk melakukan aktivitas yang tak membahayakan kandungan. Setelah itu, si dokter memberikan resep obat yang harus ditebus oleh mereka di apotek rumah sakit."Aku nggak sabar nunggu anak kita lahir," David mengusap-usap perut Riana saat sudah keluar dari ruang pemeriksaan."Masih kecil, David. Belum ada dua bulan juga usianya," Riana tersenyum senang melihat suaminya sangat menanti kelahiran buah hati mereka. Hati Riana berdebar-debar juga. Membayangkan bagaimana buah hatinya akan sangat tenang dalam gendongannya saat sudah lahir."Kamu suka bayi laki-laki atau perempuan David?" tanya Riana ingin tahu."Terserah sih. Asal lahir normal dan sehat. Itu semua udah cukup.""Yakin
David masih memandangi Riana yang duduk termenung di kursi sebelum masuk menemui ibu Riana. Istri kecilnya itu tampak kuyu. Membuat amarahnya semakin berkembang.Tenang, Vid, David menggenggam erat tangannya sebelum menarik engsel pintu dan mendorongnya ke dalam.Dengan langkah tenang David mendekati ibu Riana. Tampak ibu Riana serius memandangi David yang melangkah duduk di hadapannya. Tak ada kata di antara mereka. Hanya pandangan tajam yang saling bertautan."David," panggil ibu Riana memulai pembicaraan," Harusnya kamu tahu, seserius apapun dirimu pada Riana, aku tak akan pernah menyetujuinya."David masih diam, mendengarkan. Memang hati David sudah sangat tak cocok dengan calon mertuanya ini. Namun, dia harus bisa menjaga sikap agar Riana bisa resmi menjadi miliknya."Harusnya kamu paham alasanku tidak menyukaimu. Selain kamu memanfaatkan kepolosan anakku. Kamu juga bisa menempatkan anakku dalam bahaya," lanjut ibu Riana," Tapi, anak itu sangat mencintaimu. Sampai mau mengandung
Riana masih melingkar dalam pelukan David. Seperti seekor ulat yang tak mau lepas dari kepompongnya."Mau mandi?" tanya David sambil mengusap-usap rambut Riana yang ikal di bagian bawahnya," Atau dimandiin?""David ih!" wajah Riana langsung merona merah. David tersenyum heran. Istrinya masih saja malu. Padahal mereka sudah melakukan banyak hal tanpa menggunakan busana setiap kali ada kesempatan."Malu? Kan kita udah lakuin semuanya?" tanya David menggoda."Tauk ah!" Riana membalikkan badannya sehingga David hanya bisa melihat punggungnya."Sini! Hadap aku lagi!" David langsung menarik Riana agar tak lagi memunggunginya. Tampak bibir Riana sudah manyun seperti bibir ikan koi. David jadi gemas sendiri. Dia pun memutuskan menyambar bibir itu dan melumatnya sedikit kasar karena gemas."Mmmph!" Riana memukul-mukul dada David. Tanpa agar David berhenti. Tapi, Riana tetap harus menunggu sampai kegemasan David reda."Enak?" David tersenyum nakal usai melepas bibir Riana," Kalau jawab nggak, a
Di kantor, David jadi uring-uringan sendiri. Sebagai hasilnya, para pegawai yang mendapat jatah latihan di dojo beladiri kantornya sudah pasti kena banting semua. Seperti biasanya."Haaah!" David termenung sendiri di dojo. Semua pegawai sudah dia usir keluar agar istirahat atau bekerja. Yang jelas harus pergi menghindarinya."Bos, permisi Bos," tutur Jono ragu-ragu dari jarak dua meter."Hmm," David berdeham menanggapinya."Dicari klien. Sudah pada ngantri Bos.""Suruh tunggu satu jam lagi. Bilang aku masih di luar.""Hmm, tadi kan udah bilang gitu Bos sejam lalu.""Macet, Jon! Bilang kalau kejebak macet!""Iya, Bos. Iya," sahut Jono cepat-cepat. Daripada kena banting tuannya. Seperti rekan-rekan sekantornya. Di saat seperti inilah, Jono selalu iri dengan adiknya, si Joni, dan ingin bertukar kerjaan."Keluar sana!" usir David. Jono langsung nyelonong keluar. Tak mau berurusan dengan bosnya lagi sedang tensi tinggi.Namun, sebelum benar-benar keluar, Jono teringat sesuatu. Dia pun berh
David tersenyum saat mengecek kembali hadiah kalung berlian yang akan dia berikan sebagai permintaan maaf kepada Riana. Selain itu, dia juga sudah menyiapkan buket bunga mawar merah muda dan sekotak ukuran jumbo cokelat Ferrero Rocher sesuai nasihat Jono."Bos kan belum valentinan sama Nyonya kan? Emang udah lewat tanggalnya sih, tapi kasih aja hadiah. Cewek-cewek tuh biasanya suka dikasih kembang, cokelat, sama perhiasan," perkataan Jono terngiang-ngiang di kepala David. Usulan yang bagus, batin David sambil tersenyum.David mulai menyalakan mesin mobilnya dan melaju keluar area mall. Semua kebutuhannya untuk menyenangkan hati Riana sudah lengkap. Kini tinggal mencari cara untuk membuat Riana mau menuruti perintahnya. Tapi, David tetap santai. Mau sengambek apapun, Riana pasti akan keluar menemuinya.Sesampainya di rumah, David langsung menaruh semua hadiah yang dia persiapkan di kamar. Saat ini sudah sekitaran pukul 7 malam. David memutuskan mandi dulu sebelum mencari Riana ke kamar
Pupil mata Riana bergetar, perlahan bergerak menatap David. Dia memberi kode pada David agar ikut memberikan penjelasan."Gimana Ma caranya?" Rafa masih mengulangi pertanyaannya. Manik mata gelapnya berbinar cerah."Ta-tanya Om David coba," jawab Riana random. Tak mau terbebani sendirian lagi. Tiap kali Rafa bertanya hal aneh, dia terus yang kebagian sial harus jawab pertanyaan. Sekarang David harus ikutan tanggung jawab. Apalagi yang di perutnya juga hasil rekayasa benih David pada rahimnya."Kok tanya Om David? Emang Om David bisa bikin adik juga?" Rafa mengernyitkan dahi, bingung."Bisalah, Fa. Tanya aja sama Om David. Jago banget dia bikin adik," Riana mengambil kesempatan mengompori Rafa kali ini. Biarin David yang pusing, tawanya dalam hati."Gimana caranya, Om?" Rafa mengalihkan pandangan penuh rasa penasarannya pada David.David melirik Riana kesal. Sambil mendengus kesal, David berkata," Tadi kan udah tahu caranya.""Yang mana?" lanjut Rafa."Makan biji, Fa. Harus ada benih y
Siang hari, usai menemani Rafa makan dan tidur siang, Riana langsung berdandan rapi. Sore ini dia akan menjemput ibunya pulang bersama dengan David. Ya, walaupun nanti ibunya tetap akan mengatakan hal negatif soal hubungannya dengan David, Riana sudah bertekad tak akan terlalu mempedulikannya. Dia memilih lebih fokus membuktikan pada ibunya bahwa David adalah orang yang baik dan pantas menjadi suaminya.David yang baru saja masuk dalam kamar sepulang kerja, tersenyum melihat Riana sibuk berdandan di depan cermin. David pun mendekatinya lalu berkata," Jangan lupa pakai kalung dariku.""Iya. Ini selalu kupakai kok," Riana mengeluarkan kalung pemberian David yang masih tersimpan di dalam blouse turtle neck-nya yang berwarna merah muda itu."Pakai lipstik juga. Biar nggak pucat.""Kan cuma ke rumah sakit. Bibir asliku udah cukup terang kok warnanya," sahut Riana sambil membubuhkan pelembab bibir tanpa warna ke bibirnya. Dibanding lipstik, Riana memang lebih suka memakai pelembab bibir."
Selesai makan, David mencuci semua peralatan makan. Riana berdiri di sampingnya, ikut membantu membilas piring dan sendok yang sudah disabun."Mandi aja kamu.""Udah mandi. Tadi sebelum berangkat.""Gosok gigi sama cuci muka. Minum obat terus tidur," lanjut David masih berusaha menghentikan istrinya membantu dirinya mengurusi cucian piring."Nanti. Habis bantu kamu," Riana pun masih kukuh dengan keinginannya."Emang ya kepala batu.""Makanya butuh kamu, biar bisa luluh," balas Riana. Mereka pun tertawa bersama.Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk membereskan semuanya. Setelah bebersih diri dan mengunci pintu rumah, mereka masuk dalam kamar."Kamu mau kuambilin kasur lantai? Ranjangku sempit," Riana baru sadar setelah masuk ke dalam kamar."Nggak masalah. Sekalian nostalgia," David naik ke atas kasur," Sini."Tangan David melambai. Meminta Riana segera naik ke kasur. Riana pun mengikuti permintaan suaminya. Mereka berdua kini sudah berbaring sambil berpelukan di atas kasur."Dulu ki
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula