Riana memeluk erat tubuh David. Langit sudah menggelap. Tapi dirinya tetap nyaman hanya tiduran dengan suaminya di kasur usai melakukan percumbuan mesra.Hatinya masih berdebar-debar bahagia dan senang jika membayangkan hal-hal bergairah yang mereka lakukan sedari siang tadi. Sangat panas dan memuaskan. Rasa panas kembali menjalari pipi Riana."Mukamu merah? Sakit?" David menempelkan punggung tangannya di dahi Riana. Suhu badan istrinya normal saja."Nggak. Aku sehat kok. Cuma capek aja," telunjuk Riana bergerak-gerak bermain di dada suaminya yang tak terlindungi kain."Kita liburannya cuma di kamar aja ya jadinya.""Iya. Tapi aku seneng kok. Mau bertahun-tahun seruangan sama kamu, aku nggak masalah," ungkap Riana malu-malu.David memeluk gemas Riana. Dihujaninya wajah ayu itu dengan kecupan. Rasanya tak akan pernah bosan melakukan hal itu pada istrinya. Riana terkikik geli menerima kecupan-kecupan penuh kasih sayang itu. Puas, dia masih bisa menikmati bulan madu menyenangkan setelah
"Gila ya kamu! Jadi beneran nikah dan hamil anak David?!" pekik Sena di kamar apartemennya.Riana terkikik geli. Untung sekarang mereka lagi di apartemen Sena. Kalau di tempat umum macam mall, pasti sudah banyak mata yang jelalatan melotot ke arah mereka.Sena memandangi sahabatnya itu dengan tatapan tak percaya sekaligus takjub. Sahabatnya yang tak pernah pacaran lagi sejak beberapa tahun lalu. Yang dia kira bakal hidup berselibat ala biksuni di Pegunungan Tibet. Ternyata malah langsung ngegas punya anak sekarang. Mendahului dirinya yang sudah lama merajut kasih bersama dengan pacarnya yang sekarang sedang kuliah di luar negeri. Damn! Hidup rasanya sangat tidak adil sekarang ini."Ini. Aku beliin oleh-oleh," Riana memberikan sebuah paper bag besar kepada Sena. Tentu Sena menerimanya dengan senang hati. Meski mulut dan hatinya masih misuh-misuh juga karena sudah dibalap oleh Riana. Well, pernikahan bukan ajang balapan tapi. Sena mencubit gemas kedua pipi sahabatnya itu."Kapan mau per
"Heh! Kamu kenapa?" kali ini Sena menyentak tubuh Riana lebih kencang. Membuatnya tersadar dari lamunannya."Hmm, aku mau pulang duluan deh, Sen," pamit Riana."Ih, jangan! Makan dulu. Kumasakin pasta sama salad sayur," cegah Sena cepat-cepat. Wajah Sena tampak tak rela melihat Riana langsung pergi saja dari rumahnya tanpa menikmati masakannya lebih dulu."Hmm, oke deh," Riana pun menunda keinginannya untuk pulang."Nah, gitu dong. Ibumu selalu baik sama aku. Kasih makan aku mulu waktu zaman kuliah. Sekarang aku juga mau balas budi. Kasih makan banyak buat anak sama calon cucunya," tekad Sena membara. Riana tertawa kecil melihat Sena yang penuh semangat."Kamu mau ikut aku ke dapur? Atau di kamar aja? Aku ada stok film banyak. Nyalain aja TV-ku. Udah bisa nyambung netflix juga lho," cerocos Sena penuh rasa bangga."Aku ikutan ke dapur deh. Sekalian bantu.""Nggak boleh. Bumil duduk tenang aja. Kalau di dapur, tugasmu nyemil aja.""Okey, okey. Udah yuk ke dapur sekarang," Riana menggan
"Uk...! Uukh!" Riana menutup mulutnya. Mulai berakting mual. Segera dia berdiri dan berlari kecil menuju kamar mandi Sena.Beberapa kali Riana pura-pura mengeluarkan suara muntahan dan menekan tombol flush. Berharap David akan mempercayainya."Duh! Kok bisa sih ada David?! Perasaan nggak ada tanda-tandanya?" gumam Riana sambil mengeluarkan suara hoek-hoek-nya. Di saat seperti ini, Riana sangat berterima kasih pada jabang bayinya yang bisa jadi alasan agar suaminya berhenti marah padanya.Tok! Tok! Tok!"Riana?! Masih sakit???" dari luar terdengar suara David mengetuk-ngetuk pintu."Umm, ya. Bentar," Riana menyalakan kran wastafel lalu mencuci seluruh mukanya. Setelah itu, dia keluar mandi. Tampak David sudah membawa minyak angin untuknya."Gimana? Masih mual?" wajah David tampak resah. Membuat Riana ingin tertawa. Tapi jika ketahuan sedang berbohong, kemarahan David bakal berlipat ganda."Mendingan," Riana mengambil botol minyak angin dan mengeluarkan isinya. David ikut membantu mengo
Riana tertegun mendapati reaksi David yang seperti itu. Dia kira David bakal bereaksi santai dan mengajaknya bicara kapan ingin mengunjungi orang tuanya. Namun, David malah seperti orang yang habis melihat hantu mengerikan. Apa orang tua David bakal nolak aku? batin Riana jadi resah sambil memperhatikan David yang salah tingkah. Sangat tidak seperti David yang dia kenal selama ini.David menunduk. Mengambil potongan buah yang jatuh ke lantai. Masih diam. Belum menjawab pertanyaan Riana. Tepatnya, David masih memikirkan alasan rasional agar Riana mau percaya."Hm, aku pengen ketemu orang tuamu, David," lanjut Riana. Kali ini dengan nada lembut tapi agak takut-takut. Iya, Riana takut kalau David marah karena dirinya terus membahas soal orang tua David. Namun, ini adalah yang wajar bagi pasangan normal untuk tahu tentang keluarga masing-masing. Apalagi mereka sudah menikah. Ya, meski masih menikah siri. Tapi, tetap saja kan Riana ingin tahu soal keluarga David. Apalagi saat ini Riana jug
"AWWW!!!" David bangun seketika saat gigi rapi istrinya menggigit lengannya."Kamu kenapa?!" David langsung bangun. Nyawanya sudah berkumpul seketika itu juga."Kamu yang kenapa?" Riana melepaskan dirinya dari pelukan David."Maksudnya?" David mengucek-ucek matanya sambil bangun."Kamu nggak sadar barusan kamu ngomong apa?" Riana memicingkan matanya ke arah David."Ngomong apa emangnya?" David menggaruk-garuk rambutnya sambil menguap."Kamu bilang ibumu udah meninggal," ujar Riana membuat mulut David langsung mengatup seketika. Akhirnya David tersadar bahwa dirinya tadi masih setengah sadar saat Riana membangunkannya."Beneran udah meninggal?" desak Riana menginginkan kebenaran jawaban dari David.Sebenarnya hari ini David hanya ingin mengajak Riana ke rumah lamanya saja di sekitaran Setiabudi. Habis itu langsung pulang. Pura-pura dapat pesan kalau ibunya sedang pergi keluar kota. Tapi sepertinya keadaan berkata lain. Memaksanya untuk tetap berkata jujur pada Riana."Hmm, ya. Ibuku su
Dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying yang diterbitkan tahun 1969, Dr. Elisabeth Kubler Ross menjelaskan tentang lima tahapan emosional yang dialami oleh manusia saat mengalami keterpurukan. Lima tahapan itu adalah penyangkalan (denial), marah (anger), menawar (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance). Kelima tahapan ini merupakan hal alamiah yang pasti dialami oleh orang-orang yang mengalami kedukaan mendalam. Entah karena putus cinta, divonis penyakit mematikan, perceraian, gagal mendapatkan jabatan atau prestasi, atau divonis mandul.Hal yang sama pun tengah dialami oleh Jo saat ini. Memandang betapa lekat dan mesranya Riana bergandengan tangan setiap saat dengan David. Saling melempar dan bertukar senyum di hadapannya yang saat ini masih menyimpan berjuta rindu dan cinta untuk Riana.Jo masih tak bisa menerimanya sepenuh hati. Saat ini dirinya masih berputar-putar pada tahap penyangkalan, marah, dan mencoba untuk mengajukan penawaran. Mencari alterna
"Buka Om!" teriak Rafa sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil. David langsung membukakan kunci sehingga Rafa bisa masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang bagian belakang."Ma, duduk belakang, Ma," pinta Rafa sambil meletakkan tas ransel biru tuanya di kursi penumpang."Iya," Riana mencopot seatbelt-nya. David ikut membantu. Rafa menatap heran David. Tak seperti biasanya Om-nya membantu mamanya seperti itu.Riana mengambil duduk di sisi Rafa. Secara otomatis yang ada di depan hanyalah David. Jika orang tak tahu. Bisa jadi akan mengira bahwa David adalah sopir mereka.Rafa langsung menyandarkan kepala di paha Riana. Bergulung memeluk dan menduselkan kepalanya di perut Riana."Ma, tadi apanya yang sayang?" Rafa kembali menanyakan pertanyaannya yang belum dijawab tadi."Ah…. Itu soal…." Riana masih berusaha memikirkan alasan."Apa? Kok kayak Om David tadi bilangnya?""Hmm, Mama sayang sama Rafa. Sama kayak Om David," jelas Riana."Kan emang iya. Om David kok aneh sih ngajak ngobrol M