Dave membiarkan Riana berbaring dulu di kasur. Sementara dirinya sedang menikmati momen mandi sambil mendendangkan lagu di antara kucuran air shower.Sedari awal melihat Riana, dia sudah sangat tertarik untuk mendapatkannya. Wajah Riana yang polos dan penampilannya yang seadanya membuat hatinya jadi bergetar. Ditambahi sikap lucunya yang menggemaskan. Setidaknya, Dave ingin mencicipi Riana sekali seumur hidup.Sambil menyemprotkan minyak wangi ke dadanya, Dave terus memantau pemandangan dirinya dari pantulan cermin kamar mandi. "You're the luckiest man, dude," ujarnya bahagia. Dia langsung mengenakan bathrobe dan keluar kamar mandi. Menghampiri Riana yang masih tak sadarkan diri di kasur.Dibelai-belainya pipi Riana. Sangat lembut dan polos. Hanya ada sisa bedak dan blush on make up saat sesi pemotretan. Jemari Dave sudah mulai bergerak, mencari cara membuka baju renang Riana.BRAK!Gerakan tangan Dave terhenti. Jantung Dave terkesiap kaget mendengar suara sesuatu jatuh menimpa meja d
Bukan! Bukan! Aku nggak boleh mikirin ini dulu. Aku harus laporin kasus penusukan di dalam kamar tadi, batin Riana."Heh! Malah diem?!" tegur David tak sabar. Apalagi melihat istrinya berdandan aneh seperti ini."David! Aku perlu polisi! Sama ambulans juga!" ungkap Riana bingung. David langsung menatap kaget istrinya."Kamu lihat apa?!"Riana menarik David kembali ke dalam kamar tempat dirinya berada tadi. Sedari tadi saat melihat laki-laki bernama Sean tadi, dirinya merasa janggal. Dan kejanggalannya terbukti saat ujung matanya menangkap pemandangan kaki seseorang di pojokan balkon. Hanya saja, Riana takut. Kalau salah langkah, dirinya akan ditusuk oleh Sean. Akhirnya, dia pura-pura tak tahu. Pura-pura bodoh dan polos dengan lebih aktif mengajak mengobrol. Berakting agar Sean mau percaya pada dirinya."Itu…. David…" Riana terduduk lemas di pintu balkon kamar sambil menunjuk tubuh Dave yang berlumuran darah. Saat ini tubuh dan otak Riana sudah lemas. Tak bisa lagi diajak bekerja sama.
"Nggak. Istirahat dulu aja," tolak David sambil membaringkan Riana lagi. Ditatanya bantal yang Riana gunakan agar nyaman. Setelahnya David ikutan berbaring di sisi Riana. Tidur. Karena sebentar lagi pagi akan tiba.Keesokan harinya David mengobrol di resto hotel tempatnya menginap bersama Gia. Hanya berdua saja. Riana masih berdiam diri di kasur. David memakluminya karena kemarin jadi hari yang berat bagi istrinya."Vid, sorry banget ya soal kemarin. Gue nggak tahu kalau Ivy juga komplotan ama si Dave," jelas Gia. Wajah Gia pucat saat ini. Cukup deg-degan juga jika harus bermasalah dengan David.Mata David hanya menatap dingin Gia. Masih tak mau merespon ucapan Gia. Membuat Gia semakin grogi."Gue udah urus mereka. Lo mau apa? Tangan atau kaki patah? Mereka jadi jobless? Gue bisa urus itu," lanjut Gia meyakinkan David agar amarah laki-laki itu tak mempengaruhi urusan bisnis di antara keluarga mereka. Ayah Gia selalu mewanti-wanti Gia untuk tidak bermasalah dengan salah satu kandidat p
Riana memeluk erat tubuh David. Langit sudah menggelap. Tapi dirinya tetap nyaman hanya tiduran dengan suaminya di kasur usai melakukan percumbuan mesra.Hatinya masih berdebar-debar bahagia dan senang jika membayangkan hal-hal bergairah yang mereka lakukan sedari siang tadi. Sangat panas dan memuaskan. Rasa panas kembali menjalari pipi Riana."Mukamu merah? Sakit?" David menempelkan punggung tangannya di dahi Riana. Suhu badan istrinya normal saja."Nggak. Aku sehat kok. Cuma capek aja," telunjuk Riana bergerak-gerak bermain di dada suaminya yang tak terlindungi kain."Kita liburannya cuma di kamar aja ya jadinya.""Iya. Tapi aku seneng kok. Mau bertahun-tahun seruangan sama kamu, aku nggak masalah," ungkap Riana malu-malu.David memeluk gemas Riana. Dihujaninya wajah ayu itu dengan kecupan. Rasanya tak akan pernah bosan melakukan hal itu pada istrinya. Riana terkikik geli menerima kecupan-kecupan penuh kasih sayang itu. Puas, dia masih bisa menikmati bulan madu menyenangkan setelah
"Gila ya kamu! Jadi beneran nikah dan hamil anak David?!" pekik Sena di kamar apartemennya.Riana terkikik geli. Untung sekarang mereka lagi di apartemen Sena. Kalau di tempat umum macam mall, pasti sudah banyak mata yang jelalatan melotot ke arah mereka.Sena memandangi sahabatnya itu dengan tatapan tak percaya sekaligus takjub. Sahabatnya yang tak pernah pacaran lagi sejak beberapa tahun lalu. Yang dia kira bakal hidup berselibat ala biksuni di Pegunungan Tibet. Ternyata malah langsung ngegas punya anak sekarang. Mendahului dirinya yang sudah lama merajut kasih bersama dengan pacarnya yang sekarang sedang kuliah di luar negeri. Damn! Hidup rasanya sangat tidak adil sekarang ini."Ini. Aku beliin oleh-oleh," Riana memberikan sebuah paper bag besar kepada Sena. Tentu Sena menerimanya dengan senang hati. Meski mulut dan hatinya masih misuh-misuh juga karena sudah dibalap oleh Riana. Well, pernikahan bukan ajang balapan tapi. Sena mencubit gemas kedua pipi sahabatnya itu."Kapan mau per
"Heh! Kamu kenapa?" kali ini Sena menyentak tubuh Riana lebih kencang. Membuatnya tersadar dari lamunannya."Hmm, aku mau pulang duluan deh, Sen," pamit Riana."Ih, jangan! Makan dulu. Kumasakin pasta sama salad sayur," cegah Sena cepat-cepat. Wajah Sena tampak tak rela melihat Riana langsung pergi saja dari rumahnya tanpa menikmati masakannya lebih dulu."Hmm, oke deh," Riana pun menunda keinginannya untuk pulang."Nah, gitu dong. Ibumu selalu baik sama aku. Kasih makan aku mulu waktu zaman kuliah. Sekarang aku juga mau balas budi. Kasih makan banyak buat anak sama calon cucunya," tekad Sena membara. Riana tertawa kecil melihat Sena yang penuh semangat."Kamu mau ikut aku ke dapur? Atau di kamar aja? Aku ada stok film banyak. Nyalain aja TV-ku. Udah bisa nyambung netflix juga lho," cerocos Sena penuh rasa bangga."Aku ikutan ke dapur deh. Sekalian bantu.""Nggak boleh. Bumil duduk tenang aja. Kalau di dapur, tugasmu nyemil aja.""Okey, okey. Udah yuk ke dapur sekarang," Riana menggan
"Uk...! Uukh!" Riana menutup mulutnya. Mulai berakting mual. Segera dia berdiri dan berlari kecil menuju kamar mandi Sena.Beberapa kali Riana pura-pura mengeluarkan suara muntahan dan menekan tombol flush. Berharap David akan mempercayainya."Duh! Kok bisa sih ada David?! Perasaan nggak ada tanda-tandanya?" gumam Riana sambil mengeluarkan suara hoek-hoek-nya. Di saat seperti ini, Riana sangat berterima kasih pada jabang bayinya yang bisa jadi alasan agar suaminya berhenti marah padanya.Tok! Tok! Tok!"Riana?! Masih sakit???" dari luar terdengar suara David mengetuk-ngetuk pintu."Umm, ya. Bentar," Riana menyalakan kran wastafel lalu mencuci seluruh mukanya. Setelah itu, dia keluar mandi. Tampak David sudah membawa minyak angin untuknya."Gimana? Masih mual?" wajah David tampak resah. Membuat Riana ingin tertawa. Tapi jika ketahuan sedang berbohong, kemarahan David bakal berlipat ganda."Mendingan," Riana mengambil botol minyak angin dan mengeluarkan isinya. David ikut membantu mengo
Riana tertegun mendapati reaksi David yang seperti itu. Dia kira David bakal bereaksi santai dan mengajaknya bicara kapan ingin mengunjungi orang tuanya. Namun, David malah seperti orang yang habis melihat hantu mengerikan. Apa orang tua David bakal nolak aku? batin Riana jadi resah sambil memperhatikan David yang salah tingkah. Sangat tidak seperti David yang dia kenal selama ini.David menunduk. Mengambil potongan buah yang jatuh ke lantai. Masih diam. Belum menjawab pertanyaan Riana. Tepatnya, David masih memikirkan alasan rasional agar Riana mau percaya."Hm, aku pengen ketemu orang tuamu, David," lanjut Riana. Kali ini dengan nada lembut tapi agak takut-takut. Iya, Riana takut kalau David marah karena dirinya terus membahas soal orang tua David. Namun, ini adalah yang wajar bagi pasangan normal untuk tahu tentang keluarga masing-masing. Apalagi mereka sudah menikah. Ya, meski masih menikah siri. Tapi, tetap saja kan Riana ingin tahu soal keluarga David. Apalagi saat ini Riana jug