Setelah permintaan Alexander terlontar, suasana di meja makan menjadi senyap, dan membuat Felly mengambil alih situasi. Wanita paruh baya itu mencolek lengan sang suami agar tidak melanjutkan pembicaraan tersebut, mengingat kondisi dan keadaan Chelsea serta Darren yang masih berada dalam ruangan itu."Sebaiknya kita bahas nanti saja Pi, kita selesaikan makan malam dulu," pinta Felly.Mendengar hal itu membuat hati Chelsea terasa pilu. Wanita itu lantas tertunduk dalam, sambil mengaduk-aduk makanannya yang tidak ia habiskan."Chelsea mau tambah daging, mami ambilkan ya?" Felly berusaha mengalihkan perhatian Chelsea."Tidak usah Mi, ini saja sudah cukup. Chelsea sudah kenyang."Darren yang mengerti keadaan sang istri lantas membuka suara. "Mau kuantar ke kamar, Chel?"Tawaran Darren sangat bermanfaat saat ini. Rasanya Chelsea ingin segera mengakhiri makan malam itu, menghindari semua orang yang ada di ruangan tersebut. Rasa tidak percaya diri dan penyesalan masih menggelayuti dalam diri
Max langsung tersentak saat Grace mendorong dadanya kuat. Pria itu seketika menatap tajam dengan rahang mengeras. Tidak terpikirkan oleh Max jika Grace sangat berani menolaknya."Grace?! Kenapa kau mendorongku?!"Tetapi berbeda dengan Grace, wanita itu justru menyunggingkan senyuman, kemudian berjalan mengitari pria itu. Dengan jemari telunjuknya, ia menggerayangi tubuh sang pria dengan suara mendesah, "Kau ingin permainan ini dimulai, kan?"Max terus mengikuti gerakan Grace yang mengelilingi dirinya. Ia bahkan tidak tau apa yang akan dilakukan sang wanita padanya. "Cepat, apa yang akan kau lakukan, Grace! Tidak usah membuatku menunggu!"Cup! Grace mengecup bibir Max sekilas kemudian mutar tubuhnya seolah sedang menari, memamerkan kemolekan tubuhnya. "Tunggu, Max ... Kau harus lebih bersabar mengikuti permainanku ini," ucap Grace dengan suara mendayu. "Kau pasti akan menyukainya nanti ..."Max semakin mengepalkan tangan, menahan rasa geram. Sementara Grace terus menari di depan pria
Berulang kali Grace menegaskan dirinya sendiri, ia harus bisa bersatu dengan Max sebanyak lima kali. Terlebih, ia sudah menghitung dimana tepat masa suburnya saat ini. Peluang inilah yang digunakan Grace agar Max bisa cepat membuahinya. Mengingat pesan dokter, Max dikatakan tidak sehat jika dalam 12 kali mereka berhubungan, Grace tidak juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. "Sekarang waktu yang tepat!" batin Grace menyeringai, melangkah membawa anggur dalam gelas. Sedangkan satu tangan lain memegang cemeti. "Kau harus menikmati malam ini, Max ... Rileks-kan dirimu." Kebinalan Grace ternyata membuat Max sangat ingin menarik tangan. Sorot matanya penuh dengan gairah. "Ayo kita main sebentar ..." Grace mencipratkan anggur ke tubuh Max bagian atas. "Kamu tidak akan menyesali permainan malam ini ...." Grace menaruh gelas itu di atas meja nakas, lalu merangkak seperti bayi ke atas pangkuan Max. Ia melonggarkan ikatan tangan, agar pria itu bisa terlentang. "Sekarang, aku bena
Setelah dari rumah sang ayah, Chelsea dan Darren kini sudah berada di rumahnya. Mobil pun berhenti tepat di halaman depan rumah tersebut. Dengan sigap Darren langsung membantu menurunkan kursi roda dan membantu sang istri pindah ke kursi roda itu. Sejak sang wanita mengalami kecelakaan, suasana di dalam rumah tersebut terasa dingin, membuat Darren menghentikan pergerakan kursi roda sang istri. "Chelsea ..." panggil Darren Chelsea yang hendak masuk ke kamar lebih dulu mendengar namanya disebut pun berhenti. Ia merasa ada sesuatu yang akan dikatakan suaminya. Seakan batinnya sudah bisa membaca apa yang akan diucapkan sang suami. Wanita itu bergeming sejenak, lalu menoleh, "Ada apa?" Darren menarik napas dalam, membuangnya panjang. Kemudian melangkah mendekati sang wanita. "Tidak ada. Aku hanya ingin mendorongmu." Pria itu sangat sedih dengan apa yang menimpa istrinya. Ia ingin menjadi pria yang berguna di saat Chelsea membutuhkannya. Namun, berbeda dengan Chelsea. Wanita itu just
Tidak ada yang berani mendekat ke kamar Chelsea meski pelayan sekalipun. Wanita itu terisak meratapi pilu yang menyesakkan dadanya. Terbesit rasanya ingin mengakhiri semua ini. Namun, nada dering dari gawainya berbunyi. Terlihat nama sang sekretaris di layar itu.Chelsea berusaha menghentikan isakannya, menarik nafas dalam. Ia tidak ingin semua tahu tentang kegelisahannya, terlebih orang orang yang berada di perusahaan. "Ada apa?" tanya Chelsea mengendalikan tekanan suara agar terlihat normal."Begini Nyonya, ada tamu dari Mexico mencari Anda di kantor," jawab sang sekretaris."Mexico?" Chelsea mengerutkan dahi. "Apa kita bekerja sama dengannya? Kurasa aku tidak memiliki janji dengannya, Nora.""Ehm, benar. Kita tidak ada hubungan bisnis dengannya, tapi beliau mengatakan sahabat Anda.""Haaa ..., sahabatku? Siapa?""Daniel.""Apa? Daniel?" Chelsea terkesiap. "Tidak, Nora. Katakan saja aku sedang di luar negeri! Pokoknya jangan katakan apapun tentang keadaanku," sambung Chelsea tegas.
Setelah terdiam beberapa saat di lorong rumah sakit, Chelsea mengusap kasar air matanya, membersihkan sisa-sisa buliran bening yang membasahi pipi. Ia menarik napas dalam, membuangnya panjang sebelum kembali mendatangi Kenan. Chelsea bisa melihat Kenan masih setia menunggunya di dekat mobil miliknya. Kenan juga tampaknya sangat pekerja keras dalam melayani dirinya. "Aku sudah selesai, Ken!" Chelsea kini berada di belakang pria itu. Kenan sontak berbalik badan, mengangguk, "Baik, Nyonya. Kita pulang sekarang?" Chelsea menggeleng. "Apa ada tujuan lagi setelah ini?" "Kita mampir ke apotik sebentar," balas Chelsea. Setelah mendapat jawaban dari sang CEO. Kenan selalu sigap memegangi kursi roda Chelsea, saat wanita itu harus berpindah dari kursi rodanya ke dalam mobil. "Cari apotek sepanjang jalan saja, Ken," titah Chelsea yang diangguki Kenan. Pria itu langsung menginjak pedal gas dan mengemudi dengan kecepatan rata-rata. Sebab, ia juga harus mencari apotik di sepanjang
Setelah mengadakan rapat pagi di kantornya, Darren putuskan untuk pulang, sekaligus ingin melihat keadaan sang istri. Kejadian yang baru saja terjadi pada Chelsea, terlihat oleh Darren. Pria itu kembali lagi ke rumah karena ia tidak bisa fokus di ruang kerja kantornya.Namun, pemandangan tidak mengenakkan baru saja terjadi di depan matanya. Matanya sedikit memanas kala melihat Chelsea berada di tangan seorang pria. Entah, Darren bisa menduga jika itu supir baru istrinya. Tetapi, yang membuat hati ya bergemuruh hebat adalah posisi Chelsea yang membuat pria itu terbakar api cemburu."Apa itu tadi?" sergah Darren langsung mengambil alih tubuh Chelsea kemudian menggendongnya. Kenan seketika tertunduk, mundur beberapa langkah. "Apa yang sedang kamu lakukan, hah?!" bentak Darren menatap tidak suka.Kenan semakin serba salah apabila tidak menjawab pertanyaan Darren. Ia patut menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Maaf, Tu—"Akan tetapi, ucapan Kenan terpotong oleh Chelsea yang menyelany
Grace sangat terkejut saat Max menolak ajakannya ke rumah Victor, tetapi malah mengajaknya hendak pergi ke dokter SpOG. Wanita itu seketika langsung merubah ekspresi keterkejutannya, dan langsung mencari jawaban atas rasa ingin tahunya. "Kenapa kita mau ke dokter SpOG, Max? Siapa yang hamil?" tanya Grace menggigit bibir bawahnya, berhati-hati memilah kata-kata. Max menghela napas berat. "Sebenarnya waktu kita makan malam di rumah Papi, ada hal yang kami bicarakan berdua." Grace terdiam. Namun, dengan seksama mendengarkan dan mencerna setiap makna ucapan sang pria. "Papi tetap memaksaku memberi keturunan keluarga Dicaprio," ucap Max lagi sembari membuang napas panjang. "Aku sendiri tidak yakin apa aku bisa mengabulkan permintaannya. Tetapi, bila kemarin aku tidak mengiyakan pun bagaimana dengan Chelsea. Papi tidak mungkin memaksa Chelsea yang justru akan menyakitinya." "Lalu sekarang mau apa kita mau ke sana?" "Aku akan minta pendapatnya lebih dulu. Kita ikuti apa yang ia
Mendengar permintaan Freya di seberang panggilan, membuat Daren berdecak kesal. Pasalnya, belum saja keduanya bekerja sama, Freya sudah meminta pinjaman dana untuk perusahaan wanita itu. "Enak saja kamu belum apa-apa sudah pinjam dana!" geram Darren. "Buat aku bertemu Chelsea dulu, baru aku berikan suntikan dana!""Aku janji, Darren. Setelah ini aku pastikan kamu bertemu dengan istrimu lagi ...."Bujuk rayuan Freya kerahkan untuk menyelamatkan perusahaannya. Hanya Darren penolongnya saat ini."Kapan aku bisa bertemu dengannya?" tanya Darren memastikan. "Kalau kamu saja tidak yakin, bagiamana denganku? Sorry, aku tidak bisa memberimu pinjaman!"Merasakan gelagat Darren akan menutup telepon, Freya cepat memberi tanggapan atas pertanyaan pria itu. Wanita itu sontak berseru."Lusa, Darren! Aku pastikan lusa kamu bisa bertemu dengan Chelsea!" ucap Freya sangat percaya diri. Meski ia sendiri juga tidak yakin, yang terpenting adalah Vi
Di negara Turki, Steve dan Agatha sedang berada di Cappadocia. Salah satu tempat yang menawarkan pemandangan menakjubkan berupa lanskap berbatu dengan balon udara yang menghiasi langit, menciptakan pemandangan yang spektakuler.Pasangan yang berbulan madu di sini bisa menikmati sensasi terbang dengan balon udara sambil melihat keindahan alam Cappadocia dari ketinggian. "Apa kamu menyukainya?" tanya Steve.Wanita yang kini menjadi istrinya itu, bersandar pada dada bidang Steve, lalu mendongak, "Hm, aku sangat menyukainya. Tempat ini sangat menakjubkan!""Aku pun juga begitu. Meskipun aku sudah mengunjungi banyak negara, tapi ini lebih berbeda .... Beda karena ada kamu di sisiku," balasnya kemudian mengecup bibir sang wanita. "Kamu percaya aku begitu mencintaimu?"Dengan cepat Agatha mengangguk, "Aku sangat percaya padamu. Untuk apa aku menerima lamaranmu kalau aku tidak yakin dengan suamiku?"Pria itu tersenyum lembut dan se
Mendengar ucapan Freya, Darren berdecih. Bagaimana ia harus mempercayai wanita itu? Sementara sebelumnya, dirinya dan Freya sedang membuat janji bertemu di resto itu."Apa kamu tidak terlalu licik, Miss Freya? Kamu pikir bisa membohongiku lagi?" sarkas Darren. "Kenapa kamu tadi tidak datang? Huh, dasar wanita penipu!"Keduanya memang hendak bertemu di resto itu. Namun, saat Freya hampir menginjakkan kaki ke dalam, ia melihat kekacauan akibat Darren yang membuat onar. "Apa kamu gila Tuan Darren?! Kamu mau menunjukkan pada Grace jika kita menjalin kerja sama?" Nada suara Freya meninggi satu oktaf.Darren terbeliak, "Jadi kamu melihatnya?"Terdengar gelak tawa membahana dari Freya, "Apa yang tidak kuketahui, Tuan Darren?" sindirnya.Sejenak Darren memupuk dirinya untuk mempercayai ucapan wanita itu lagi. Sulit baginya untuk percaya wanita seperti Freya. Darren pun juga banyak mengetahui tentang sepak terjang Freya di dunia bisnis.
Semua mata tertuju pada sosok pria yang berjalan cepat dengan membawa pecahan botol di tangannya. Kedua mata dengan api dendam, membutakan Darren membunuh wanita yang menjadi target utama, adalah mantan kakak ipar. Namun, sepertinya Darren sudah melupakan itu. Grace melihat semua itu serasa detak jantungnya berhenti sepersekian detik, ketika melihat Darren hendak membunuhnya. "AAAA ...!!" Namun, tiba-tiba saja sebuah tendangan tepat sasaran mengenai tangan Darren sebelum aksi pria itu berjalan lancar, hingga pecahan botol dalam genggamannya terlempar jauh. TRANK! PYAR! "ARGH!! SIALAN!!" umpat Darren membungkuk, memegang pergelangan tangan, "Brengsek! Siapa berani menghalangiku!" Grace langsung berdiri dan menjauhi Darren. Ia melihat sosok pria yang samar-samar ia kenal mendekatinya. "Apa Nyonya terluka?" tanya Kenan. "Ak-aku tidak apa-apa." Grace masih
Setelah menghabiskan malam bergairah, dan obrolan sesaat sebelum keduanya terlelap. Max mengatakan jika saat Grace pergi, Chelsea berada di rumahnya. Pria itu juga mengatakan bila Darren bukan lagi suami sang adik. Sesaat Grace terkejut mendengarnya, tapi apa boleh buat. Semua keputusan ada di tangan Chelsea dan Max. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala entah karena apa ia sendiri juga tidak tahu. "Ada apa dengan kepalamu, Baby?" tanya Max menghentikan pergerakan tangan. Max yang sudah bersiap dengan setelan jas dan kemeja berdiri merapikan dasi, tatapannya sontak terarah pada sang wanita dari pantulan cermin yang duduk di atas ranjang dengan memegang kepala. "Uhm, tidak tau, Max. Kepalaku berdenyut sekali." "Apa tidurmu tidak nyenyak? Atau ... ada yang menganggu pikiranmu?" "Tidak ada, aku tidak pikirkan apapun. Tapi ... tidak apa, nanti aku minum obat saja," ujar Grace segera mengalihkan perhatian sang suami. "Ya sudah, kalau begitu tidak perlu ke kantor." "Hm,
Grace kini sedang bermanja-manja, menghabiskan waktu dengan sang suami. Pasalnya sejak kepulangannya dari Jerman, pria itu tidak sedetik pun melepaskan pelukannya.Keduanya kini sedang berada di atas ranjang dalam kamar luas dengan interior mewah. Grace berusaha melonggarkan kedua tangan sang pria yang berada di tubuhnya."Max, lepas! Sudah berapa lama kamu seperti ini, hm?" geram Grace tidak bisa berkutik."Sebentar lagi, aku masih rindu dengan aroma tubuh ini ..." Max tak hentinya menciumi ceruk leher sang istri dan mengendus aroma shampo pada rambut kepala Grace."Ya ... tapi ini sudah sangat lama, Max. Aku tidak bisa bergerak. Ayolah geser sedikit ..." Sang wanita berusaha mendorong dada bidang suaminya. Namun apa daya, tenaganya jelas kalah dari pria itu."Hanya sebentar, Sayang. Sebentar saja ..." Lagi-lagi Grace tidak bisa menolak permintaan sang pria. "Ya sudah, waktumu hanya sepuluh menit saja, Max! Ingat! Sepuluh menit!"Max terkekeh mendengar celotehan sang istri yang sema
Freya segera menatap ke arah Darren, kemudian tersenyum tipis. "Sepertinya saya harus menerima panggilan telepon terlebih dahulu. Baru kita sambung pembicaraan ini." "Terserah. Karena sepertinya saya juga harus pergi dari sini!" sahut Darren dingin, "jadi saya tidak akan tertarik. Jika Anda berpikir saya akan menunggu Anda kembali." Ia bangkit berdiri, sambil merapikan kedua sisi jasnya dengan raut angkuh. Freya memandang pria yang kini berdiri di hadapannya. "Oleh karena itu, simpan saja pembicaraan omong kosong Anda atau pertanyaan konyol selanjutnya!" Darren berbalik. Lalu, pria itu melangkah tegap meninggalkan Freya yang ternganga lebar, tidak percaya dirinya ditinggalkan seperti sebuah benda tidak berharga. "What the—" Freya menggeram. Ia bahkan terlupa dengan ponselnya yang sedari tadi bergetar, hingga akhirnya berhenti dengan sendirinya. Saat baru tersadar, dirinya dengan cepat menoleh ke bawah, hanya untuk melihat layarnya berubah menjadi hitam. Freya berdeci
Keduanya sama-sama tersentak kaget. Namun, segera mengubah ekspresi wajah masing-masing dengan kikuk menjadi datar dan angkuh, membuat kedua petugas itu curiga, jika mereka saling mengenal. Di tengah kecanggungan, salah seorang petugas justru bersiap membuat kejadian buruk di masa depan, bakal terjadi. "Hey, kalian tidak bisa mendorongku seenaknya seperti ini?!" maki pria itu sambil memutar tubuhnya dan menodongkan jari telunjuk sedikit kasar pada wajah salah seorang petugas, yang berusaha ditepis oleh petugas yang lain. "Jaga sikap Anda, Tuan!""Kalian yang seharusnya jaga sikap!" Darren balas berteriak. Napasnya sedikit tersengal. Ia pun mengatur napas terlebih dulu agar tenang,sebelum meneruskan ucapan, "Aku tidak mengundang kalian untuk datang. Tapi, karena kalian telah lebih dulu datang dan justru mencegat diriku masuk. Maka—""Jangan banyak bicara, Tuan! Lebih baik, Anda segera pergi. Karena kehadiran Anda, tidak diterima di sini!" sahut salah seorang petugas keamanan denga
Grace tiba-tiba menghentikan langkah. Ia juga mengusap tengkuknya yang seketika meremang. Lalu, menoleh cepat ke belakang. Namun, tidak ada aktivitas mencurigakan di sana, membuatnya mengernyitkan dahi. "Sepertinya Aku terlalu berhalusinasi!" Kedua bahunya menggendik. Lalu, kembali berbalik dan meneruskan langkah.Grace mengangguk kecil pada Edward yang berdiri di depan pintu, saat lelaki itu mengangguk hormat padanya dan menyilakan masuk. "Di mana Stella?" "Ada di ruangannya, Nyonya. Mungkin sedang beristirahat. Apa perlu Saya panggilkan?""Tentu. Panggil dia, karena ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan, sebelum kepulangan nanti.""Baik, Nyonya!"Grace terus melangkah menuju sang putra, yang ternyata telah terlelap dalam buaian mimpi. Tuan Fufu bahkan tidak lepas dari pelukan, membuatnya sedikit tersenyum simpul, terlebih kala teringat pertanyaan anaknya itu beberapa waktu sebelumnya. Tentang alasan kenapa ia membelikan boneka, alih-alih robot ataupun mainan khas anak laki-lak