Setelah mengadakan rapat pagi di kantornya, Darren putuskan untuk pulang, sekaligus ingin melihat keadaan sang istri. Kejadian yang baru saja terjadi pada Chelsea, terlihat oleh Darren. Pria itu kembali lagi ke rumah karena ia tidak bisa fokus di ruang kerja kantornya.Namun, pemandangan tidak mengenakkan baru saja terjadi di depan matanya. Matanya sedikit memanas kala melihat Chelsea berada di tangan seorang pria. Entah, Darren bisa menduga jika itu supir baru istrinya. Tetapi, yang membuat hati ya bergemuruh hebat adalah posisi Chelsea yang membuat pria itu terbakar api cemburu."Apa itu tadi?" sergah Darren langsung mengambil alih tubuh Chelsea kemudian menggendongnya. Kenan seketika tertunduk, mundur beberapa langkah. "Apa yang sedang kamu lakukan, hah?!" bentak Darren menatap tidak suka.Kenan semakin serba salah apabila tidak menjawab pertanyaan Darren. Ia patut menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Maaf, Tu—"Akan tetapi, ucapan Kenan terpotong oleh Chelsea yang menyelany
Grace sangat terkejut saat Max menolak ajakannya ke rumah Victor, tetapi malah mengajaknya hendak pergi ke dokter SpOG. Wanita itu seketika langsung merubah ekspresi keterkejutannya, dan langsung mencari jawaban atas rasa ingin tahunya. "Kenapa kita mau ke dokter SpOG, Max? Siapa yang hamil?" tanya Grace menggigit bibir bawahnya, berhati-hati memilah kata-kata. Max menghela napas berat. "Sebenarnya waktu kita makan malam di rumah Papi, ada hal yang kami bicarakan berdua." Grace terdiam. Namun, dengan seksama mendengarkan dan mencerna setiap makna ucapan sang pria. "Papi tetap memaksaku memberi keturunan keluarga Dicaprio," ucap Max lagi sembari membuang napas panjang. "Aku sendiri tidak yakin apa aku bisa mengabulkan permintaannya. Tetapi, bila kemarin aku tidak mengiyakan pun bagaimana dengan Chelsea. Papi tidak mungkin memaksa Chelsea yang justru akan menyakitinya." "Lalu sekarang mau apa kita mau ke sana?" "Aku akan minta pendapatnya lebih dulu. Kita ikuti apa yang ia
Mendengar pernyataan Dokter Anna, Max sejenak ragu mengenai dirinya. Ia tidak percaya diri, bisa melakukan apa yang disarankan oleh sang dokter. "Sejujurnya, saya sangat senang ketika Anda berdua mengkonsultasikan tentang hal ini lebih cepat," ungkap Dokter Anna. "Tapi lebih baik anda mencobanya lebih dulu, Tuan. Anda tidak akan pernah tahu jika Anda belum melakukan program ini."Max terdiam, tapi berpikir, menghela berat. "Baiklah, kami akan melakukannya.""Wah, saya senang mendengar ini!" Dokter Anna langsung tersenyum lebar, sorak girang dalam hati. "Baik kalau begitu saya akan jadwalkan program ini. Anda berdua bisa datang dan berkonsultasi setiap saat."Namun, tidak demikian untuk Grace. Wanita itu menatap tidak percaya sekaligus tertekan. "Bagaimana ini? Mengapa Max justru benar-benar ingin memiliki bayi sekarang?" batinnya."Lalu, apa yang harus kami lakukan lebih dulu?" tanya Max setelah ia menceritakan awal kejadian sebelumnya, serta ketakutan dan pemikirannya selama ini."A
Grace menatap nanar dengan manik mata berkaca-kaca. Ia benar-benar terkejut dengan reaksi yang diberikan Max atas ucapannya.Udara di sekeliling ruangan itu terasa panas seakan ada kobaran api yang menyulut, sangat melukai kulit lembut sang wanita."Max, aku tidak bermaksud demikian!" Jemarinya terulur memegang dua tangan Max. "Aku hanya ingin memastikan kamu siap mengalami kekurangannya. Aku tidak ingin kamu kecewa, bila nantinya program itu tidak berjalan dengan baik." Grace meyakinkan Max. Sungguh, ia benar-benar dilema saat ini. Di satu sisi ia ingin agar rencananya berjalan lancar. Namun, sisi lain Grace takut bila sampai Max terluka karena ia benar-benar mandul.Tatapan tajam Max masih menusuk wanita itu. Grace yang merasa kesal tiba-tiba langsung melakukan hal di luar dugaan. Wanita itu langsung mengalungkan tangannya di pundak Max, dengan kedua kakinya melingkar di pinggang pria itu. Seolah bayi Koala yang digendong sang induk."Jika aku tidak mendukungmu, untuk apa aku sela
Setelah bersepakat mengadakan bulan madu bersama Max, Grace kini berpangku tangan di dalam ruang kerjanya. Pasalnya, perjalanan yang akan ia lalui bersama Max, memungkinkan membutuhkan waktu selama 2 minggu ke depan. Sehingga, Grace khawatir jika ia mendapat telepon yang mendesak dari Brian tentang keadaan Leon.Sekian lama ia berpikir, wanita itu tidak juga menemukan jalan keluar. Embusan napas berat terdengar dari mulutnya, "Siapa ya, yang bisa aku percaya menjadi kontak darurat? Tidak mungkin aku menerima telepon Brian bila ada Max selalu di sampingku ..." keluhnya.Wanita itu termenung, tapi kepalanya berdenyut hingga ia terpaksa mengurut pelipisnya, mengurangi rasa nyeri. "Hhh ... Kenapa aku merasa hampir gila hanya mencari orang kepercayaan! Apa aku minta tolong mama saja ...? Ah, tidak, tidak! Mereka pasti akan tau kalau begitu!" Wanita itu terus saja mengomel sendiri hingga membuat Arthur yang berdiri depannya terkekeh. Tanpa Grace sadari, Arthur sudah mengetuk pintu saat wan
Sebelum ia berdiri di sana, di depan pintu ruang kantor Grace yang hanya berbatas kaca. Siapa saja yang berada di luar bisa melihat bagian dalam ruangan tersebut. Pria berbadan tegap melihat semua aktivitas Arthur dan Grace dari luar, saat dirinya hendak menuju ke dalam. Grace seketika terlonjak kaget begitu melihat pria yang sangat ia kenali, "Steve ...?" Wanita itu terkesiap melihat pria itu. "Wah, wah ... sepertinya aku mengganggu kalian," kekeh Steve tersenyum lebar.Grace tersenyum canggung, demi menutupi keterkejutannya. "Ada apa kamu datang ke sini, Steve? Apa ada hal penting?""Apa kamu tidak membiarkanku masuk?" tawanya masih di ambang pintu. "Aku tadinya ingin mengetuk, tapi kupikir aku akan memberimu kejutan saja ...."Grace menghela napas. "Kukira ada hal yang mendesak, sampai-sampai kamu datang sendiri ke kantorku."Pemilik Golden Brilliance melangkah masuk semakin dalam. "Sebenarnya ada yang ingin aku katakan. Entah, ini akan penting bagimu atau tidak, tapi menyangku
Max dan Grace memutuskan negara tujuan honeymoon adalah Maldives. Setelah turun dari pesawat pribadi, pasangan suami istri itu langsung menuju hotel yang sudah Christ pesan sebelumnya. Max sengaja membawa mobil itu sendiri, karena tidak ingin ada orang ketiga di dalam hari-harinya saat berada di negara tersebut.Wanita dengan balutan dress simple warna biru laut, dengan rambut terurai yang dihiasi topi dan kacamata menjadi aksesoris menonjol, membuat kecantikannya semakin mempesona."Apa kamu lelah, Sayang?" tanya Max menoleh sekilas."Uhm, tidak Max." Grace tersenyum lembut."Tidurlah, nanti aku bangunkan." Sesekali pria itu meraih tangan sang wanita menciumnya."Tidak Max, ini waktunya kita berdua, kenapa aku harus tidur ..." balasnya bergelayut di lengan sang suami.Meskipun Grace bermanja-manja di lengannya, namun ia tetap fokus dalam mengemudi. Mobil Rolls Royce yang dikemudikan Max, melaju dengan kecepatan rata-rata. Sengaja keduanya tidak memakai penutup agar bisa merasakan ud
Keduanya lebih terkejut ketika melihat pemandangan yang ada di dalam kamar. Sepanjang langkah menuju ke ranjang yang di hiasi oleh lilin, dan hamparan bunga di atas tempat tidur, Grace menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan."Wah, ini cantik sekali!" seru Grace dengan mata binar. "Kamu sangat romantis, Max!"Max hanya mengangguk lirih. Pasalnya yang menyiapkan semua adalah Christ, tetapi Max jugalah yang berperan penting dalam ide. Pria itu berpesan agar Christ mengatur acara honeymoon-nya menjadi sangat romantis.Berbeda dengan Grace, beda pula dengan asisten Max, yang benar-benar menyiapkan acara itu secara maximal. Grace bahkan tidak sampai berpikiran ada hal seperti ini. Tampilan kamarnya benar-benar sangat indah."Max, kamu yakin Christ bisa sedemikian menyiapkan ini semua?" ragu Grace melirik sekilas. Meski di penuhi rasa bahagia melihat kejutan itu semua, keduanya masih tidak mengira sang asisten bertindak lebih."Entahlah ... Tapi ini lebih baik, kan?""Ehm, ini sangat
Mendengar permintaan Freya di seberang panggilan, membuat Daren berdecak kesal. Pasalnya, belum saja keduanya bekerja sama, Freya sudah meminta pinjaman dana untuk perusahaan wanita itu. "Enak saja kamu belum apa-apa sudah pinjam dana!" geram Darren. "Buat aku bertemu Chelsea dulu, baru aku berikan suntikan dana!""Aku janji, Darren. Setelah ini aku pastikan kamu bertemu dengan istrimu lagi ...."Bujuk rayuan Freya kerahkan untuk menyelamatkan perusahaannya. Hanya Darren penolongnya saat ini."Kapan aku bisa bertemu dengannya?" tanya Darren memastikan. "Kalau kamu saja tidak yakin, bagiamana denganku? Sorry, aku tidak bisa memberimu pinjaman!"Merasakan gelagat Darren akan menutup telepon, Freya cepat memberi tanggapan atas pertanyaan pria itu. Wanita itu sontak berseru."Lusa, Darren! Aku pastikan lusa kamu bisa bertemu dengan Chelsea!" ucap Freya sangat percaya diri. Meski ia sendiri juga tidak yakin, yang terpenting adalah Vi
Di negara Turki, Steve dan Agatha sedang berada di Cappadocia. Salah satu tempat yang menawarkan pemandangan menakjubkan berupa lanskap berbatu dengan balon udara yang menghiasi langit, menciptakan pemandangan yang spektakuler.Pasangan yang berbulan madu di sini bisa menikmati sensasi terbang dengan balon udara sambil melihat keindahan alam Cappadocia dari ketinggian. "Apa kamu menyukainya?" tanya Steve.Wanita yang kini menjadi istrinya itu, bersandar pada dada bidang Steve, lalu mendongak, "Hm, aku sangat menyukainya. Tempat ini sangat menakjubkan!""Aku pun juga begitu. Meskipun aku sudah mengunjungi banyak negara, tapi ini lebih berbeda .... Beda karena ada kamu di sisiku," balasnya kemudian mengecup bibir sang wanita. "Kamu percaya aku begitu mencintaimu?"Dengan cepat Agatha mengangguk, "Aku sangat percaya padamu. Untuk apa aku menerima lamaranmu kalau aku tidak yakin dengan suamiku?"Pria itu tersenyum lembut dan se
Mendengar ucapan Freya, Darren berdecih. Bagaimana ia harus mempercayai wanita itu? Sementara sebelumnya, dirinya dan Freya sedang membuat janji bertemu di resto itu."Apa kamu tidak terlalu licik, Miss Freya? Kamu pikir bisa membohongiku lagi?" sarkas Darren. "Kenapa kamu tadi tidak datang? Huh, dasar wanita penipu!"Keduanya memang hendak bertemu di resto itu. Namun, saat Freya hampir menginjakkan kaki ke dalam, ia melihat kekacauan akibat Darren yang membuat onar. "Apa kamu gila Tuan Darren?! Kamu mau menunjukkan pada Grace jika kita menjalin kerja sama?" Nada suara Freya meninggi satu oktaf.Darren terbeliak, "Jadi kamu melihatnya?"Terdengar gelak tawa membahana dari Freya, "Apa yang tidak kuketahui, Tuan Darren?" sindirnya.Sejenak Darren memupuk dirinya untuk mempercayai ucapan wanita itu lagi. Sulit baginya untuk percaya wanita seperti Freya. Darren pun juga banyak mengetahui tentang sepak terjang Freya di dunia bisnis.
Semua mata tertuju pada sosok pria yang berjalan cepat dengan membawa pecahan botol di tangannya. Kedua mata dengan api dendam, membutakan Darren membunuh wanita yang menjadi target utama, adalah mantan kakak ipar. Namun, sepertinya Darren sudah melupakan itu. Grace melihat semua itu serasa detak jantungnya berhenti sepersekian detik, ketika melihat Darren hendak membunuhnya. "AAAA ...!!" Namun, tiba-tiba saja sebuah tendangan tepat sasaran mengenai tangan Darren sebelum aksi pria itu berjalan lancar, hingga pecahan botol dalam genggamannya terlempar jauh. TRANK! PYAR! "ARGH!! SIALAN!!" umpat Darren membungkuk, memegang pergelangan tangan, "Brengsek! Siapa berani menghalangiku!" Grace langsung berdiri dan menjauhi Darren. Ia melihat sosok pria yang samar-samar ia kenal mendekatinya. "Apa Nyonya terluka?" tanya Kenan. "Ak-aku tidak apa-apa." Grace masih
Setelah menghabiskan malam bergairah, dan obrolan sesaat sebelum keduanya terlelap. Max mengatakan jika saat Grace pergi, Chelsea berada di rumahnya. Pria itu juga mengatakan bila Darren bukan lagi suami sang adik. Sesaat Grace terkejut mendengarnya, tapi apa boleh buat. Semua keputusan ada di tangan Chelsea dan Max. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala entah karena apa ia sendiri juga tidak tahu. "Ada apa dengan kepalamu, Baby?" tanya Max menghentikan pergerakan tangan. Max yang sudah bersiap dengan setelan jas dan kemeja berdiri merapikan dasi, tatapannya sontak terarah pada sang wanita dari pantulan cermin yang duduk di atas ranjang dengan memegang kepala. "Uhm, tidak tau, Max. Kepalaku berdenyut sekali." "Apa tidurmu tidak nyenyak? Atau ... ada yang menganggu pikiranmu?" "Tidak ada, aku tidak pikirkan apapun. Tapi ... tidak apa, nanti aku minum obat saja," ujar Grace segera mengalihkan perhatian sang suami. "Ya sudah, kalau begitu tidak perlu ke kantor." "Hm,
Grace kini sedang bermanja-manja, menghabiskan waktu dengan sang suami. Pasalnya sejak kepulangannya dari Jerman, pria itu tidak sedetik pun melepaskan pelukannya.Keduanya kini sedang berada di atas ranjang dalam kamar luas dengan interior mewah. Grace berusaha melonggarkan kedua tangan sang pria yang berada di tubuhnya."Max, lepas! Sudah berapa lama kamu seperti ini, hm?" geram Grace tidak bisa berkutik."Sebentar lagi, aku masih rindu dengan aroma tubuh ini ..." Max tak hentinya menciumi ceruk leher sang istri dan mengendus aroma shampo pada rambut kepala Grace."Ya ... tapi ini sudah sangat lama, Max. Aku tidak bisa bergerak. Ayolah geser sedikit ..." Sang wanita berusaha mendorong dada bidang suaminya. Namun apa daya, tenaganya jelas kalah dari pria itu."Hanya sebentar, Sayang. Sebentar saja ..." Lagi-lagi Grace tidak bisa menolak permintaan sang pria. "Ya sudah, waktumu hanya sepuluh menit saja, Max! Ingat! Sepuluh menit!"Max terkekeh mendengar celotehan sang istri yang sema
Freya segera menatap ke arah Darren, kemudian tersenyum tipis. "Sepertinya saya harus menerima panggilan telepon terlebih dahulu. Baru kita sambung pembicaraan ini." "Terserah. Karena sepertinya saya juga harus pergi dari sini!" sahut Darren dingin, "jadi saya tidak akan tertarik. Jika Anda berpikir saya akan menunggu Anda kembali." Ia bangkit berdiri, sambil merapikan kedua sisi jasnya dengan raut angkuh. Freya memandang pria yang kini berdiri di hadapannya. "Oleh karena itu, simpan saja pembicaraan omong kosong Anda atau pertanyaan konyol selanjutnya!" Darren berbalik. Lalu, pria itu melangkah tegap meninggalkan Freya yang ternganga lebar, tidak percaya dirinya ditinggalkan seperti sebuah benda tidak berharga. "What the—" Freya menggeram. Ia bahkan terlupa dengan ponselnya yang sedari tadi bergetar, hingga akhirnya berhenti dengan sendirinya. Saat baru tersadar, dirinya dengan cepat menoleh ke bawah, hanya untuk melihat layarnya berubah menjadi hitam. Freya berdeci
Keduanya sama-sama tersentak kaget. Namun, segera mengubah ekspresi wajah masing-masing dengan kikuk menjadi datar dan angkuh, membuat kedua petugas itu curiga, jika mereka saling mengenal. Di tengah kecanggungan, salah seorang petugas justru bersiap membuat kejadian buruk di masa depan, bakal terjadi. "Hey, kalian tidak bisa mendorongku seenaknya seperti ini?!" maki pria itu sambil memutar tubuhnya dan menodongkan jari telunjuk sedikit kasar pada wajah salah seorang petugas, yang berusaha ditepis oleh petugas yang lain. "Jaga sikap Anda, Tuan!""Kalian yang seharusnya jaga sikap!" Darren balas berteriak. Napasnya sedikit tersengal. Ia pun mengatur napas terlebih dulu agar tenang,sebelum meneruskan ucapan, "Aku tidak mengundang kalian untuk datang. Tapi, karena kalian telah lebih dulu datang dan justru mencegat diriku masuk. Maka—""Jangan banyak bicara, Tuan! Lebih baik, Anda segera pergi. Karena kehadiran Anda, tidak diterima di sini!" sahut salah seorang petugas keamanan denga
Grace tiba-tiba menghentikan langkah. Ia juga mengusap tengkuknya yang seketika meremang. Lalu, menoleh cepat ke belakang. Namun, tidak ada aktivitas mencurigakan di sana, membuatnya mengernyitkan dahi. "Sepertinya Aku terlalu berhalusinasi!" Kedua bahunya menggendik. Lalu, kembali berbalik dan meneruskan langkah.Grace mengangguk kecil pada Edward yang berdiri di depan pintu, saat lelaki itu mengangguk hormat padanya dan menyilakan masuk. "Di mana Stella?" "Ada di ruangannya, Nyonya. Mungkin sedang beristirahat. Apa perlu Saya panggilkan?""Tentu. Panggil dia, karena ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan, sebelum kepulangan nanti.""Baik, Nyonya!"Grace terus melangkah menuju sang putra, yang ternyata telah terlelap dalam buaian mimpi. Tuan Fufu bahkan tidak lepas dari pelukan, membuatnya sedikit tersenyum simpul, terlebih kala teringat pertanyaan anaknya itu beberapa waktu sebelumnya. Tentang alasan kenapa ia membelikan boneka, alih-alih robot ataupun mainan khas anak laki-lak