Setelah bersepakat mengadakan bulan madu bersama Max, Grace kini berpangku tangan di dalam ruang kerjanya. Pasalnya, perjalanan yang akan ia lalui bersama Max, memungkinkan membutuhkan waktu selama 2 minggu ke depan. Sehingga, Grace khawatir jika ia mendapat telepon yang mendesak dari Brian tentang keadaan Leon.Sekian lama ia berpikir, wanita itu tidak juga menemukan jalan keluar. Embusan napas berat terdengar dari mulutnya, "Siapa ya, yang bisa aku percaya menjadi kontak darurat? Tidak mungkin aku menerima telepon Brian bila ada Max selalu di sampingku ..." keluhnya.Wanita itu termenung, tapi kepalanya berdenyut hingga ia terpaksa mengurut pelipisnya, mengurangi rasa nyeri. "Hhh ... Kenapa aku merasa hampir gila hanya mencari orang kepercayaan! Apa aku minta tolong mama saja ...? Ah, tidak, tidak! Mereka pasti akan tau kalau begitu!" Wanita itu terus saja mengomel sendiri hingga membuat Arthur yang berdiri depannya terkekeh. Tanpa Grace sadari, Arthur sudah mengetuk pintu saat wan
Sebelum ia berdiri di sana, di depan pintu ruang kantor Grace yang hanya berbatas kaca. Siapa saja yang berada di luar bisa melihat bagian dalam ruangan tersebut. Pria berbadan tegap melihat semua aktivitas Arthur dan Grace dari luar, saat dirinya hendak menuju ke dalam. Grace seketika terlonjak kaget begitu melihat pria yang sangat ia kenali, "Steve ...?" Wanita itu terkesiap melihat pria itu. "Wah, wah ... sepertinya aku mengganggu kalian," kekeh Steve tersenyum lebar.Grace tersenyum canggung, demi menutupi keterkejutannya. "Ada apa kamu datang ke sini, Steve? Apa ada hal penting?""Apa kamu tidak membiarkanku masuk?" tawanya masih di ambang pintu. "Aku tadinya ingin mengetuk, tapi kupikir aku akan memberimu kejutan saja ...."Grace menghela napas. "Kukira ada hal yang mendesak, sampai-sampai kamu datang sendiri ke kantorku."Pemilik Golden Brilliance melangkah masuk semakin dalam. "Sebenarnya ada yang ingin aku katakan. Entah, ini akan penting bagimu atau tidak, tapi menyangku
Max dan Grace memutuskan negara tujuan honeymoon adalah Maldives. Setelah turun dari pesawat pribadi, pasangan suami istri itu langsung menuju hotel yang sudah Christ pesan sebelumnya. Max sengaja membawa mobil itu sendiri, karena tidak ingin ada orang ketiga di dalam hari-harinya saat berada di negara tersebut.Wanita dengan balutan dress simple warna biru laut, dengan rambut terurai yang dihiasi topi dan kacamata menjadi aksesoris menonjol, membuat kecantikannya semakin mempesona."Apa kamu lelah, Sayang?" tanya Max menoleh sekilas."Uhm, tidak Max." Grace tersenyum lembut."Tidurlah, nanti aku bangunkan." Sesekali pria itu meraih tangan sang wanita menciumnya."Tidak Max, ini waktunya kita berdua, kenapa aku harus tidur ..." balasnya bergelayut di lengan sang suami.Meskipun Grace bermanja-manja di lengannya, namun ia tetap fokus dalam mengemudi. Mobil Rolls Royce yang dikemudikan Max, melaju dengan kecepatan rata-rata. Sengaja keduanya tidak memakai penutup agar bisa merasakan ud
Keduanya lebih terkejut ketika melihat pemandangan yang ada di dalam kamar. Sepanjang langkah menuju ke ranjang yang di hiasi oleh lilin, dan hamparan bunga di atas tempat tidur, Grace menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan."Wah, ini cantik sekali!" seru Grace dengan mata binar. "Kamu sangat romantis, Max!"Max hanya mengangguk lirih. Pasalnya yang menyiapkan semua adalah Christ, tetapi Max jugalah yang berperan penting dalam ide. Pria itu berpesan agar Christ mengatur acara honeymoon-nya menjadi sangat romantis.Berbeda dengan Grace, beda pula dengan asisten Max, yang benar-benar menyiapkan acara itu secara maximal. Grace bahkan tidak sampai berpikiran ada hal seperti ini. Tampilan kamarnya benar-benar sangat indah."Max, kamu yakin Christ bisa sedemikian menyiapkan ini semua?" ragu Grace melirik sekilas. Meski di penuhi rasa bahagia melihat kejutan itu semua, keduanya masih tidak mengira sang asisten bertindak lebih."Entahlah ... Tapi ini lebih baik, kan?""Ehm, ini sangat
Setelah menerima telepon dari seorang wanita, tampaknya Christ tidak terkejut dengan pertanyaan Freya. Pasalnya, ia sudah mengantisipasinya, bahkan menyiapkan jawaban yang akan ia berikan pada wanita itu. Lagi pula apa untung baginya berbohong mengenai keberadaan sang CEO."Benar, Miss. Tuan Max ada di luar negeri," jawab Christ dengan lugas hingga membuat manik mata Freya melebar."Apa?! Kenapa dia ke luar negeri?""Maaf, kalau itu saya tidak bisa memberitahu," terang Christ. "Karena itu privasi Tuan Max dan Nyonya Grace."Pernyataan Christ semakin membuat Freya marah. Kemarahannya akibat ulah Siska belum juga padam, kini ditambah dengan kabar tersebut. Reaksi yang diberikan Freya sangatlah berlebihan. Christ bisa mendengar umpatan kasar dari seberang sana. "Jika tidak ada pertanyaan lagi, saya akhiri panggilan ini," ucap Christ menutup telepon. Setelahnya, memasukkan ponsel dalam saku, lalu menggeleng lirih. Ia sudah mengira Freya pasti semakin kesal.*Di negara lain, kelopak ma
Max tak bisa menahan tawa saat melihat raut wajah terkejut istrinya. Pria itu lantas berguling dan duduk di tepi ranjang, mengulurkan tangan kanannya.Grace memandang Max dengan kikuk, berusaha menenangkan debaran jantungnya. "Max, apa yang kamu lakukan?" tanyanya dalam hati, ragu-ragu.Max mengejek dengan senyuman nakal, lalu mencubit pelan ujung hidung Grace. "Sebenarnya,aku ingin sekali memakanmu. Tapi, melihat raut kikuk yang kamu perlihatkan, justru membuatku—" godanya."Max!" pekik Grace, menegur, "sudahlah! Aku tidak ingin berdebat denganmu. Jadi, bisa kamu minggir, Sayang!""Okay!" sahut Max, mengangguk dan kembali mengulurkan tangannya, "silakan, My Queen!"Grace menatap tangan itu dengan raut antusias, lalu meraihnya erat. Max pun membantu Grace bangkit berdiri, dan keduanya berjalan bergandengan tangan menuju pintu keluar balkon. "Kamu mau bawa aku ke mana?""Hmmm, mungkin sedikit Champagne bisa membuat malam kita semakin hangat," usul Max yang segera diangguki oleh Grace.
Di negara bagian lain, seorang anak baru saja membanting ponselnya, membentur kasur hingga terlempar ke lantai. Berulang kali ia berusaha menghubungi sang mommy, yang nyatanya tidak tersambung juga.Anak itu merasa kesal hingga akhirnya menggerakkan kursi rodanya keluar dari kamar. Leon mengepal tangan, "Mommy kenapa sih, nomor teleponku dialihkan!"Kursi roda otomatis itu lantas bergerak keluar menuju arah sesuai pergerakan tangan Leon. Ternyata, Leon keluar dari kamar tanpa sepengetahuan sang perawat."Biar saja aku keluar sendiri. Aku kesal sama Mommy!" omel Leon sepanjang langkah. Kursi roda Leon terus bergerak jauh dari area rumah sakit. "Lebih baik aku ke taman bermain saja. Letaknya ada di rumah sakit ini, kan?"Leon masih bermonolog, seraya menuju area taman bermain yang ada di belakang gedung Rumah Sakit Chartie. Ia tahu semua, karena kamar yang ia tempati bersebelahan dengan lapangan bermain, persis di bawah jendelanya. Maka ta
Mendengar Leon tidak ada di kamarnya, Stella langsung berusaha menghubungi ponsel anak itu. Namun, beberapa panggilan terlewat begitu saja. Sang perawat mengeram, "Ke mana kamu Leon!" Dia memasukkan ponselnya dalam saku, langsung berlari keluar kafetaria.Stella berlari, sembari matanya menatap nyalang, kepada setiap orang yang berada di sekelilingnya. "Ya Tuhan lindungilah anak itu ...!"Saat ini, hanya pengharapan doa yang bisa dia panjatkan, Stella terus mengikuti langkah dan instingnya.Di lapangan belakang rumah sakit, Leon dan anak laki-laki lain saling beradu berebut bola, membuat point terbanyak. Leon dengan lincah bergerak men-dribble dan menembak bola pada ring.Shut! Bola masuk ke dalam ring dengan tepat, kemudian memantul setelah membentur arena lapangan."Yeayy!" Sorak jingkrak para anak perempuan yang turut menyaksikan adu tersebut.Terlihat jelas wajah kesal Lucas, memukul angin. "Bulshitt!"Leon tersenyum sinis, "Pembalasan yang sempurna!""Sial, kalau begini dia bisa
Bab250#Setibanya di basecamp yang tersembunyi, Chelsea merasa ada sesuatu yang sangat salah. Tempat itu sangat kacau dan suasana mencekam memenuhi udara. "Apa ini tempatnya, Arthur?" tanya Chelsea penuh keraguan."Hm, benar ini tempatnya."Belum juga kedua mata Chelsea memindai tempat itu, tiba-tiba ...Brak!Freya dan Kenan keluar dari bangunan sepi dengan pencahayaan minim. Meski demikian, sorot mata Chelsea mampu menangkap siluet bayangan sang suami."Kenan ...?!" Chelsea hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seruan Chelsea ternyata mampu mengalihkan perhatian kedua orang itu, terutama Kenan. Ia lebih terkejut saat melihat Chelsea juga berada di sekitar tempat itu. Area yang tidak sebaiknya dituju.Namun, di balik semua rasa takut dan kecemasan Chelsea, hatinya semakin teriris saat kenyataan yang lebih pahit terbuka di hadapannya. Di sana, di tengah kekacauan, dia melihat Kenan—dengan jel
Grace dengan suara penuh amarah, "Kenan! Kau datang kemari hanya untuk jadi pengkhianat! Tidak tahu malu!" Berdiri tegak, Kenan menatap Grace dengan dingin, "Aku memilih sisi yang benar, Grace. Ini bukan tentang kamu atau aku lagi, ini tentang apa yang seharusnya terjadi." Grace tertawa sinis, "Cih! Sisi yang benar? Kau menjual dirimu kepada Freya, itu yang kamu sebut benar? Jangan lebih rendah dari itu, Ken!" "Aku tidak membutuhkan pembenaran darimu, Grace. Semua ini sudah berjalan terlalu jauh. Tidak ada yang bisa menghentikanku sekarang." Freya, yang sejak tadi diam dan menyaksikan percakapan itu, akhirnya berbicara dengan suara penuh kebencian. Grace tertawa remeh pada Freya, seolah mengejek wanita ular itu. "Apapun yang kau lakukan, kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Karena kau tidak pernah dicintai sampai mati! Kau tak akan pernah tau apa itu cinta!" ucapnya penuh penekanan, "kasihan sekali!" Suasana di antara kedua wanita itu semakin mencekam. Freya ingin seka
Max tampak berjalan mondar-mandir di ruang kantor yang gelap, ekspresinya tegang dan penuh amarah. Matanya yang tajam menatap beberapa anak buah Christ yang berdiri cemas di hadapannya."Bagaimana bisa kalian belum menemukan lokasi Freya?!" bentaknya, suaranya keras dan penuh amarah. "Kalian cuma membuang-buang waktu! Ini sudah terlalu lama, aku ingin jawaban sekarang!"Anak buah Christ, yang satu bernama Markus dan yang satunya lagi disebut Simon saling pandang, tampak bingung dan tertekan."Ma-Maaf, Tuan ... kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kami belum menemukan petunjuk pasti," jawab Markus, suaranya terbata-bata.Max menggeram, berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan mereka. "Berusaha? Itu bukan jawaban yang aku cari! Jika kalian tidak bisa melaksanakan perintah sederhana ini, lebih baik aku cari orang lain yang bisa!"Simon mencoba menenangkan situasi. "Kami benar-benar sudah berusaha, Tuan. Kami akan terus menca
Kenan terlihat tegang, tapi mencoba menurunkan egonya. "Freya, aku tahu aku salah. Aku tidak mencari pembenaran. Aku hanya ingin tahu di mana basecamp-mu. Aku punya rencana ... rencana untuk melancarkan keinginanmu." Namun, diam-diam, tanpa melibatkan siapa pun. Kenan akan pastikan akan membebaskan Grace. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menebus semua kesalahan." Mendengar ketulusan Kenan, dan betapa pria itu juga memenuhi keinginannya mendapatkan lokasi Grace, Freya terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-katanya. "Kau tidak akan menjadi pengkhianat di dalam basecamp-ku, kan?" "Kau bisa percaya padaku, Freya. Aku akan lakukan apa saja untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Kau akan dapatkan semua yang kau inginkan." Dalam hati Freya melewati banyak perdebatan. Kemudian suara Freya berubah, sedikit lebih lembut. "Baiklah, aku beri kau satu kesempatan lagi. Basecamp-ku ada di kawasan Charlottenburg, dekat Stasiun Zoologischer Garten. Tapi ingat, Kenan. Satu langkah s
Kenan berdiri di tengah kota. Kebingungan jelas tergambar di wajahnya. Ia melirik kiri-kanan, mencari-cari tanda yang bisa mengarahkannya pada basecamp Freya.Gedung-gedung tinggi dan hiruk-pikuk suara kendaraan membuatnya merasa semakin terasing. Tidak ada petunjuk yang jelas, dan dia semakin merasa hilang."Bagaimana kalau aku meneleponnya?" ragu Kenan dalam kebimbangan.Setelah beberapa menit, Kenan mengeluarkan ponsel. Tatapannya tersentak saat melihat banyaknya panggilan tak terjawab dan deretan pesan dari sang istri."Maafkan, aku sayang ..." gumamannya terhenti dengan kedua bola mata berkaca-kaca, terharu, "Benarkah Chelsea hamil? Dia hamil ..."Rasanya Kenan benar-benar dilema. Di saat ia sudah menghancurkan semua, mahkluk kecil kini sedang bersemayam di rahim sang istri."Apa yang harus aku lakukan?" Kenan mengusap wajah kasar, "Argh!!"Namun, dengan cepat Kenan mengontrol emosinya. Ia harus secepatnya meny
Setelah berhasil membebaskan Anna, Kenan langsung menuju ke bandara dengan mengambil penerbangan tercepat. Semua benar-benar sudah ia persiapkan, pasport dan visa pun sudah dia kantongi di balik jaket."Maafkan aku, Chelsea," ucap Kenan lirih, "Tanpa pesan, tanpa panggilan, tanpa berkomunikasi. Lihatlah, sehening itu caraku mencintaimu sekarang ..."Dengan berat hati ia memandang sendu negara talia dengan lampu-lampu yang menghiasi setiap kota. Ada hati yang sudah ia lukai. Padahal, hati yang selalu membuat dunianya menjadi berisik.**Dengan gemetaran Grace berusaha memasukkan kunci yang justru membuat kunci itu terjatuh ke bawah kakinya."Ah, sial!"Wajah Leon pun tampak jelas ketakutan dan penuh ketegangan. "Ayo, Mom!"Grace mencoba meraih kunci dibawah kakinya, namun Jack terlebih dulu memecahkan kaca mobil dengan ujung senapan.PYAR!"Aaaww ...!" Grace menutup kedua telinga
Di negara Italia. Chelsea duduk termenung di sofa dalam kamarnya. Pagi ini, tubuhnya terasa lelah dan pusing, seolah-olah ada sesuatu yang salah. Rasanya seperti ada beban berat yang menekan dadanya. Namun jauh di dalam hati, ada kecemasan yang lebih besar lagi. Kenan, suaminya, tidak pulang sejak kemarin. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi, pesan-pesan yang dikirimkan tak kunjung dibalas. Sejak tadi malam, Chelsea sudah berusaha mencari tahu di mana Kenan berada, tapi tetap tak ada kabar. Rasa cemasnya menjadi semakin memuncak."Memangnya di mana sih dia sekarang," gerutu Chelsea memandang layar ponselnya yang perlahan berubah gelap.Ia bangkit dan berjalan pelan menuju meja, mengambil segelas air. Keringat dingin mengucur di dahinya. Rasanya seperti ada yang aneh dengan tubuhnya, dan perasaan cemas tentang Kenan hanya memperburuk keadaan.Tanpa berpikir panjang, Chelsea memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Ia ingin memastikan semuanya baik-ba
Melihat Stella datang dengan membawa kantong belanjaan, Grace keluar dari rumah, menghampiri sang perawat. "Apa semua sudah kamu beli, Stella?" tanya Grace. "Sudah semua, Nyonya. Perbekalan ini cukup untuk satu minggu ke depan." "Hm, baguslah." Ketiga pasang mata tiga pria dalam mobil seketika berbinar senang, saat melihat Grace dengan mata kepala sendiri. "Itu dia!" tunjuk Nick dengan yakin. "Benar, tepat sekali!" "Keberuntungan kita, dia keluar dengan sendirinya ...!" seru Jack sudah tidak sabar. "Selesaikan dengan cepat, dan jangan meninggalkan jejak!" "Siap, Bos!" Nick, Willy dan Jack langsung merapatkan langkah menuju rumah itu. Baru saja Stella dan Grace masuk ke dalam rumah, tak lama kemudian pintu rumah mereka terbuka dengan sangat keras. BRAK!! Suara dentuman pintu yang ditendang sangat keras membuat Grace dan Leon terkejut setengah mati. Jack, Nick, dan Willy sudah ada di depan pintu. "Hohoho ... Lihatlah siapa yang kita temui ...!" Jack menyeringai si
Di sana, ia menemukan Anna, terikat di kursi dengan air mata yang membasahi pipinya. Hati Kenan terasa sesak, melihat kondisi Anna yang tak berdaya.Kenan melangkah maju dengan cepat, suaranya bergetar meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. “Anna…,” katanya pelan, meraih bahunya dengan lembut. “Kamu baik-baik saja?”Anna menggeleng lemah.Pria itu berusaha membuka lakban dari bibir sang adik kemudian membuka ikatan tali pada tubuhnya. "Apa mereka menyakitimu?" Belum ada jawaban dari gadis yang masih terus terisak.Anna menatapnya dengan tatapan kosong, matanya merah dan bibirnya bergetar. “Kak …” bisiknya, terisak. “A-aku takut ...”"Tenanglah, semua baik-baik saja." Kenan memeluk Anna erat dan mengusap kepalanya.Menarik napas panjang, Kenan berusaha mengendalikan emosinya. "Anna, dengarkan aku!" Ia berusaha menyadarkan sang adik. "Aku akan membawamu keluar dari sini, tapi ada sesuatu yang lebih penting yang har