Mendengar Leon tidak ada di kamarnya, Stella langsung berusaha menghubungi ponsel anak itu. Namun, beberapa panggilan terlewat begitu saja. Sang perawat mengeram, "Ke mana kamu Leon!" Dia memasukkan ponselnya dalam saku, langsung berlari keluar kafetaria.Stella berlari, sembari matanya menatap nyalang, kepada setiap orang yang berada di sekelilingnya. "Ya Tuhan lindungilah anak itu ...!"Saat ini, hanya pengharapan doa yang bisa dia panjatkan, Stella terus mengikuti langkah dan instingnya.Di lapangan belakang rumah sakit, Leon dan anak laki-laki lain saling beradu berebut bola, membuat point terbanyak. Leon dengan lincah bergerak men-dribble dan menembak bola pada ring.Shut! Bola masuk ke dalam ring dengan tepat, kemudian memantul setelah membentur arena lapangan."Yeayy!" Sorak jingkrak para anak perempuan yang turut menyaksikan adu tersebut.Terlihat jelas wajah kesal Lucas, memukul angin. "Bulshitt!"Leon tersenyum sinis, "Pembalasan yang sempurna!""Sial, kalau begini dia bisa
Mungkin hanya akan ada kekecewaan, dan penyesalan yang mendalam pada Grace, seandainya Leon tidak dapat tertolong.Wanita itu bahkan tidak tahu, kabar apapun yang terjadi pada Leon sekarang. Grace membatasi aktivitasnya pada dunia luar, dengan mengalihkan panggilan telepon pada mesin penjawab operator. Sementara untuk panggilan Brian, ia alihkan pada nomor milik Arthur."Apa kamu tidak ingin berenang, Sayang?" tanya Max saat keduanya berada di atas ayunan. Tentu saja Max tidak keberatan saat wanita itu menimpa tubuhnya setengah badan. "Apa kamu mau?" "Tentu, aku sudah menantikan ini? Bagaimana denganmu, kau mau?""Tidak Max, kamu saja," balas Grace menggeleng, membiarkan Max berenang sendiri. "Kalau kamu mau, berenanglah. Aku ingin di sini.""Baiklah kalau begitu. Tunggu aku di sini, hm?" Max menyandarkan kepala Grace pelan, mengecup kening, kemudian bangkit menuju kolam renang.Kolam yang di desain bernuansa alam itu menyatu dengan laut yang terbentang luas. Terlihat jelas air beni
Mengulang dan mengulang lagi, entah berapa kali Max menyatukan diri pada istrinya. Dan ... kali ini hal itu terjadi lagi!Max menggendong Grace masuk ke dalam. Di dalam ruang yang sangat luas itu, dirinya menurunkan sang wanita di depan wastafel. Sebenarnya sejak tadi Max ingin melucuti pakaian Grace di dalam kolam, tapi Grace menahannya."Hmptt ..." Kini, ciuman keduanya sangat bernafsu, terlebih Max. Sesuatu dalam dirinya yang sejak tadi menegak, harus bertahan hingga acara berenang itu berakhir.Grace memalingkan wajah, agar ciuman Max terlepas dan ia bisa menghirup oksigen untuk paru-parunya. Namun, bibir maskulin itu tidak berhenti begitu saja. Bibir itu justru berpindah pada leher mulus nan putih milik sang istri.Sambil terus memberi kecupan, Max menggerayangi tubuh Grace yang ternyata juga sudah berhasrat. Terlihat dari pucuk buah dadanya yang sudah mengeras, Max memiringkan Grace agar kepalanya bisa menelungsup ke bagian itu."Ah ... Max!'Pria itu terlihat seperti seperti b
Di negara yang terkenal dengan menara Eiffel, Freya baru saja mengobrak-abrik semua se-isi kamar. Vas bunga dan hiasan keramik pecah, dan serpihan kaca berhamburan di mana-mana. Wanita itu hampir mengalami gila karena beberapa hari tidak bisa bertemu, ataupun menghubungi Max."SIAL! SIAL! GRACE, SIALLAAANN ...!" Deru napas Freya memburu, mengepalkan tangan, "AKU BERJANJI, SETELAH INI AKU AKAN MELENYAPKANMU! AKU AKAN MENYINGKIRKANMU DARI MAX! ASAL KAU TAHU, AKU BAHKAN TEGA MENGHABISIMU, GRACEEE ...!!"Makian atau umpatan menggema ke seluruh ruangan, tidak ada yang berani mendekatinya. Amarah yang meluap-luap membuat Freya murka, meremas rambutnya kasar. Entah, merasa kesal karena Grace yang bisa merebut hati Max, atau Max yang sudah lama tidak meliriknya sedikitpun."Apa cantiknya wanita itu?! Dibandingkan dia, aku lebih cantik, Max! Aku lebih dari segalanya! Tapi kamu ... tidak sedikitpun melihatku ...!!" Dengan sendirinya suara Freya bergetar menahan isak. Tubuhnya luruh, terduduk d
Tanpa Grace sadari, sosok laki-laki berdiri di sisi dekat pintu balkon. Max di luar teras balkon mendengar suara Grace, sehingga ia mengira sang istri sedang mengigau.Siapa sangka jika kehadiran Max justru mengejutkan Grace tiba-tiba? Sebab, pria itu menanyakan siapa Leon. Grace sendiri tidak tahu, apakah Max mendengarkan seluruh percakapannya atau hanya sekilas, hingga ia bingung menjawab pertanyaan pria itu."Ehm, a-a ... maksud kamu, Leon yang baru saja kuucapkan, Max?" tanya Grace setelah menutup sambungan telepon cepat. Ia segera mengendalikan reaksi wajahnya agar tidak terlihat gugup.Max menatap tajam dengan wajar datar, Grace bisa menerka jika dengan wajah seperti itu ada yang sedang menganggu pikiran Max. Tentunya pasti sang suami ingin mendengar jawaban itu segera."Oh, itu ..." Grace bangkit dari kasur lalu menghampirinya. "Leon nama investor Arthur, Max. Dia tinggal di Rusia. Arthur baru saja menelponku, dia mengajakku tanam saham di bisnis yang baru saja dikerjakannya,"
Setiba di Phoenix Enterprises, Grace langsung masuk duduk di balik meja kerjanya dan memanggil Vio agar segera ke ruangannya. Beberapa jam yang lalu, sebelum pesawat Grace lepas landas, ia mengirim pesan pada Vio agar Arthur segera ke kantornya.Bertepatan dengan itu, Arthur juga sudah tiba di depan lobi. Pria muda itu langsung masuk ke dalam lift, menuju ruang sang CEO. Suara ketukan pintu membuat Grace dan Vio menoleh."Masuk!" balas Grace sudah tahu sosok yang berada di balik pintu.Arthur tersenyum sumringah setelah pintu itu terbuka lebar. "Hai, sepupu! Bagaimana honeymoon-mu?" godanya mendapat pelototan Grace.Pria itu terkekeh sembari melangkah masuk, sementara Vio bersiap undur diri setelah mengangguk lirih pada sang atasan."Pergilah, Vio," ucap Grace. Melihat Arthur mendekatinya, bayangan Leon sekelebat melintas di pikiran Grace. "Apa yang di katakan Brian padamu, Arthur?" tanyanya langsung pada inti.Arthur menarik bangku di depannya, kemudian mendudukinya "Dia mengatakan
"Gimana, apa kamu setuju?" Arthur bertanya di antara kebimbangan Grace."Idemu tidak masuk akal, Arthur! Aku menolaknya!""Hei, kenapa? Bukannya kamu juga sudah mengatakan pada Max jika kau ingin menanam saham di bisnisku ..." tawa Arthur "Meski aku juga tidak tahu bisnis yang mana yang kamu maksud ..." tawanya tergelak."Tetap saja ini akan beresiko bila Max sampai tau yang sebenarnya!" Grace mendengus kasar."Ya terserah kamu saja ..." balas Arthur seraya menggendikkan bahunya. "Aku tidak ada ide lain."Grace menggigit bibir bawahnya, kemudian bangkit dari duduk, berjalan menuju kaca jendela ruang kerjanya. Sejenak ia memandang lurus pada gedung-gedung bertingkat pencakar langit sembari berpikir."Tapi ... tidak ada salahnya aku coba lebih dulu, Arthur." Grace mengangguk, kemudian berbalik menatap sepupunya. "Aku akan mencoba katakan pada Max."Arthur tersenyum bahagia. "Nah, gitu dong! Aku tunggu kabar darimu!"Setelah mendapat ide dari saran Arthur, Grace sedang merancang rencana
Brak!Sorot mata tajam menatap nyalang, menusuk hingga kulit-kulit keduanya. Namun, Freya tidak gentar dengan tatapan tajam itu, ia justru tersenyum licik padanya."Max ...!" bentak Grace murka. Kedua kalinya Max sangat dekat dengan Freya, sebelum pria itu bisa menghindari jebakan wanita ular. "Apa-apaan kau ini?!"Wanita cantik itu benar-benar marah dengan aksi Freya, terlebih melihat suaminya juga tidak melakukan penolakan.Max seketika berdiri menyambut Grace. Bukannya takut, tapi aksi Max sungguh di luar dugaan kedua wanita itu. Max langsung merengkuh pinggang sang istri dan menciumnya. Ya, mencium di hadapan Freya!Grace sontak tertegun, mengerjap dengan tindakan liar Max. Setelah selesai mencium, dan sang wanita tak lagi marah, Max melepaskan tautan bibirnya. "Kenapa, ada apa kau kemari, hm?" tanya Max dengan tatapan penuh hangat. Bahkan, seolah tak ada siapapun di ruangan itu selain mereka berdua."A-aku ..." Grace menjeda ucapannya, kemudian melihat ke arah Freya.Max mengert
Melihat reaksi Anna, Kenan melirik Chelsea sekilas lalu mengangguk lirih. Ia khawatir sang adik menolak keras hubungan keduanya. Kenan bahkan belum sempat mengatakan apapun pada gadis itu.Kedua mata Anna seketika mengembun, pelupuk matanya sudah basah. Anna sontak berlari ke arah Kenan, memeluknya. Anna menangis terisak."Hei, ada apa, Anna?" Kenan mengusap punggung sang adik.Pria itu justru kini tampak kebingungan. Ia menaikkan kedua alis, seraya melihat ke arah Chelsea, seolah bertanya.Sedangkan Chelsea pun justru menggendikkan bahu, menjawab isyarat, "Mana kutahu?" Anna yang tidak penjawab pertanyaan Kenan, pria itu kemudian bertanya lagi, "Kenapa kamu menangis? Kamu tidak suka tinggal di sini?" Kenan berpikir Anna tertekan karena menempati kamar mewah itu. Sebab, dari awal kedatangannya, kamar itulah yang menjadi pokok pembicaraan.Gadis itu menggeleng, namun masih dalam dekapan Kenan. Sang kakak semakin ti
Mobil yang dikemudikan Kenan baru saja berhenti tepat di garasi rumah mewah sang kekasih. Mereka baru saja tiba di rumah Chelsea. Anna dan Chelsea bergegas turun dari mobil, dan berjalan diikuti Kenan, menuju pintu utama rumah besar yang terlihat sangat megah."Wow, rumahnya besar sekali, Chelsea," decak kagum Anna sambil menatap takjub ke sekeliling. Matanya tampak berbinar.Chelsea tersenyum dengan bangga dengan menggandeng tangan adik Kenan, "Terima kasih, Anna. Ayo, aku tunjukkan kamar yang akan kamu pakai!"Mereka berjalan masuk ke dalam rumah, dan Anna semakin terkesima dengan kemewahan yang ada. Ruang tamu yang luas, lampu kristal yang menggantung indah di langit-langit, serta lantai marmer yang bersih dan berkilau membuat Anna semakin merasa seperti berada di dunia yang berbeda."Sungguh luar biasa, Chelsea. Aku makin penasaran dengan kamarku!" kata Anna, tak bisa menyembunyikan ketakjubannya.Chelsea tert
Akhirnya Anna memutuskan ikut bersama Chelsea ke kota. Meskipun terbesit keraguan sesaat Anna merepotkan, Chelsea adan Grace tidak henti merayu hingga gadis itu turut serta. Mereka pun bersiap kembali ke kota setelah memasukkan beberapa tas Anna ke bagasi belakang. Setelah Anna masuk ke dalam mobil, kini gantian Grace dan Chealsea yang masuk ke kursi tengah. "Hei, kenapa kamu duduk di situ?" tegur Max menaikkan dua alis, menatap bingung pada Chelsea. Chelsea justru hanya meringis tersenyum, mengabaikan larangan Max, "Hehehe ... Sementara, kamu duduk di depan bersama Kenan ya, Max ... Please ...!" pinta Chelsea mengatupkan kedua telapak tangan. Melihat wajah sang adik, Max hanya bisa menghela berat. Tidak merespon, namun wajahnya yang ditekuk terlihat sekali bila pria itu sedang kesal. Kenan melirik sekilas, dan memastikan ketiga wanita di kursi penumpang sudah aman. Perlahan roda ban mulai menggilas jalanan a
Setelah membuat minuman untuk para tamunya, Kenan dan Anna tidak mendapati mereka semua di ruang tamu. Kenan lalu pergi mencari keberadaan Chelsea. Pria itu samar-samar mendengar percakapan antara Chelsea dengan sang kakak. Hatinya terasa sakit, melihat keduanya terlibat percekcokan, dengan Chelsea yang terisak di sana. "Sampai kapanpun aku tidak akan merestui hubungan itu, Chelsea!" tegas Max menatap tajam.Sesaat Kenan menjauhi keduanya, tidak ingin terlihat menguping percakapan tersebut, lantas ia beralih mencari Anna yang justru sedang mengetuk pintu kamar mandi."Anda baik-baik saja, Nyonya?" Kenan justru lebih terkejut mendapati istri sang majikan sedang berada di dalam mandi dalam keadaan pucat.Padahal, beberapa jam yang lalu, Grace tampak ceria lebih dari siapapun di antaranya. Hal itu semakin membuat Kenan penasaran."Hm, aku baik-baik saja, Ken. Hanya ..." Grace tidak melanjutkan ucapannya, terdengar semakin lir
Mendengar celotehan Max yang tidak jelas, membuat Chelsea hampir meradang. Wanita itu ingin rasanya membunuh sang kakak dengan mencekik lehernya.Kenan langsung berusaha mencairkan suasana, mengalihkan perhatian sang kekasih. "Ayo, kita ke rumahku dulu. Pasti adikku senang kalau kalian datang. Di sana banyak hal yang bisa kalian lihat."Mereka pun mulai berjalan kembali ke mobil, dan melanjutkan perjalanan menuju rumah adik Kenan, berharap suasana akan semakin hangat dan ceria seiring berjalannya waktu.Setelah mobil berjalan beberapa saat, mereka sampai di sebuah rumah sederhana namun sangat nyaman, dikelilingi oleh taman yang hijau dan asri."Sudah sampai!" seru Kenan menghentikan mobilnya di halaman depan.Di depan pintu, seorang gadis muda dengan senyum lebar menyambut mereka. Anna, adik Kenan, berdiri di sana dengan wajah ceria, mengenakan gaun sederhana yang tampak pas dengan suasana desa. Begitu melihat Kenan turun dari m
Keesokan pagi, di langit cerah dan angin sepoi-sepoi berhembus, membuat suasana sangat nyaman. Chelsea, Kenan, Grace, dan Max sedang dalam perjalanan menuju kampung halaman Kenan. Mobil yang mereka tumpangi melaju di jalanan bebas hambatan, lalu menuju pedesaan yang tenang. Namun, meskipun perjalanan ini seharusnya menyenangkan, Max tampak tidak terpengaruh oleh suasana ceria di sekitarnya. "Wah, aku tidak sabar nih, tiba di sana. Kampung halaman Kenan pasti indah banget, kan?" seru Chelsea tersenyum lebar, menoleh ke belakang. Grace yang duduk di samping Max pun tak kalah melebarkan senyuman. Ia mengangguk dengan semangat, "Ya, pasti sangat seru! Kenan, kapan terakhir kali kamu ke sana?" Di samping Kenan, Chelsea berbicara riang, sementara Kenan tersenyum kecil menatap jalanan, sesekali mencuri pandang ke Max yang duduk di kursi penumpang dengan wajah datar dan terkesan acuh tak acuh. Kenan tersenyum hangat, "Sudah lama sekali, sih. Tapi saya yakin, Anda pasti suka, Nyonya
Permintaan Chelsea ingin berkenalan dengan adiknya pun langsung dikabulkan oleh Kenan. Sejak pagi, Chelsea sengaja menelpon Grace agar ikut ke kampung halaman Kenan.Awalnya Kenan menolak dengan berasalan canggung terhadap kakak iparnya, terlebih Max. Bukan ia marah karena perlakuan Max kemarin, namun Kenan masih belum terbiasa dengan pria dingin itu. Akan tetapi, Chelsea mengikis keraguan Kenan, jika sang kakak dan istrinya sangatlah baik. "Aku yakin nanti kamu akan terbiasa dengan kehadiran mereka, Ken. Bila kamu tidak mulai dari sekarang, aku rasa akan semakin sulit," bujuk Chelsea meyakinkan.Dengan sedikit keyakinan, Kenan mengangguk lalu tersenyum lirih, "Baiklah, bila itu maumu."Mendengar persetujuan Kenan, Chelsea duduk di sofa sambil memandangi ponselnya. Setelah beberapa saat, dia memutuskan untuk menghubungi Grace, langsung menggapai ponsel dan menelpon kakak iparnya. Dia tahu, mengajak Grace ke kampung halaman Kenan bi
Setelah beberapa hari lalu mendapat restu dari sang ayah dan ibu. Kini, Chelsea duduk di kursi dekat jendela, senyum manis terpancar dari wajahnya. Kenan, duduk di hadapan wanita itu, menatapnya penuh perhatian. Hari itu, Chelsea merasa bahagia sekali, karena ada sesuatu yang penting yang ingin ia sampaikan. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya wanita itu membuka mulut. Suara lembut, nan penuh dengan kebahagiaan pun mulai terdengar. "Ken ... ada hal yang aku ingin bilang. Papi dan mami, mereka merestui hubungan kita," ucap Chelsea dengan binar bahagia. Kenan menoleh terkejut, saat pria itu sedang mengaduk minumannya di dapur, "Benarkah? Wah ... semudah itu Tuan Alex dan Nyonya Felly merestui?" Mendengar ucapan Kenan, Chelsea seketika mencebik. Ia tidak suka mendengar penggilan untuk ayah dan ibunya, seolah ada jurang di antara Kenan dan orang tuanya. "Apa maksud sebutan Tuan dan Nyonya, Ken? Dia calon mertuamu, jadi ... Kamu juga harus mulai terbiasa menyebutnya sama d
Freya dan Jack berdiri di depan gerbang keberangkatan di bandara Internasional. Keduanya menunggu penerbangan mereka menuju Jerman. Wanita itu tampak tenang, meski suasana dalam hatinya penuh dengan tekad dan amarah. Jack, yang berdiri di sampingnya, lebih banyak diam, memahami bahwa situasi ini sangat serius. Ia tahu bahwa begitu sampai di Jerman, waktu akan sangat terbatas, dan misi mereka harus segera dimulai. Wanita itu melihat jam tangannya. Seolah menghitung detik-detik yang berlalu, lalu menatap Jack dengan tatapan tajam. "Alfonso dan Carlos akan menjemput kita di bandara, bukan? Setelah itu, kita langsung ke rumah sakit. Pokoknya aku tidak mau ada penundaan lagi," ucap Freya dengan tegas. Jack mengangguk memastikan, "Paham, Bos. Mereka pasti sudah siap. Tapi kau yakin untuk bertindak cepat seperti ini?" "Leon harus segera kita lenyapkan lebih dulu, Jack. Aku tidak bisa menunggu lagi, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi rencana ini! Anak buahmu sudah cu