Mungkin hanya akan ada kekecewaan, dan penyesalan yang mendalam pada Grace, seandainya Leon tidak dapat tertolong.Wanita itu bahkan tidak tahu, kabar apapun yang terjadi pada Leon sekarang. Grace membatasi aktivitasnya pada dunia luar, dengan mengalihkan panggilan telepon pada mesin penjawab operator. Sementara untuk panggilan Brian, ia alihkan pada nomor milik Arthur."Apa kamu tidak ingin berenang, Sayang?" tanya Max saat keduanya berada di atas ayunan. Tentu saja Max tidak keberatan saat wanita itu menimpa tubuhnya setengah badan. "Apa kamu mau?" "Tentu, aku sudah menantikan ini? Bagaimana denganmu, kau mau?""Tidak Max, kamu saja," balas Grace menggeleng, membiarkan Max berenang sendiri. "Kalau kamu mau, berenanglah. Aku ingin di sini.""Baiklah kalau begitu. Tunggu aku di sini, hm?" Max menyandarkan kepala Grace pelan, mengecup kening, kemudian bangkit menuju kolam renang.Kolam yang di desain bernuansa alam itu menyatu dengan laut yang terbentang luas. Terlihat jelas air beni
Mengulang dan mengulang lagi, entah berapa kali Max menyatukan diri pada istrinya. Dan ... kali ini hal itu terjadi lagi!Max menggendong Grace masuk ke dalam. Di dalam ruang yang sangat luas itu, dirinya menurunkan sang wanita di depan wastafel. Sebenarnya sejak tadi Max ingin melucuti pakaian Grace di dalam kolam, tapi Grace menahannya."Hmptt ..." Kini, ciuman keduanya sangat bernafsu, terlebih Max. Sesuatu dalam dirinya yang sejak tadi menegak, harus bertahan hingga acara berenang itu berakhir.Grace memalingkan wajah, agar ciuman Max terlepas dan ia bisa menghirup oksigen untuk paru-parunya. Namun, bibir maskulin itu tidak berhenti begitu saja. Bibir itu justru berpindah pada leher mulus nan putih milik sang istri.Sambil terus memberi kecupan, Max menggerayangi tubuh Grace yang ternyata juga sudah berhasrat. Terlihat dari pucuk buah dadanya yang sudah mengeras, Max memiringkan Grace agar kepalanya bisa menelungsup ke bagian itu."Ah ... Max!'Pria itu terlihat seperti seperti b
Di negara yang terkenal dengan menara Eiffel, Freya baru saja mengobrak-abrik semua se-isi kamar. Vas bunga dan hiasan keramik pecah, dan serpihan kaca berhamburan di mana-mana. Wanita itu hampir mengalami gila karena beberapa hari tidak bisa bertemu, ataupun menghubungi Max."SIAL! SIAL! GRACE, SIALLAAANN ...!" Deru napas Freya memburu, mengepalkan tangan, "AKU BERJANJI, SETELAH INI AKU AKAN MELENYAPKANMU! AKU AKAN MENYINGKIRKANMU DARI MAX! ASAL KAU TAHU, AKU BAHKAN TEGA MENGHABISIMU, GRACEEE ...!!"Makian atau umpatan menggema ke seluruh ruangan, tidak ada yang berani mendekatinya. Amarah yang meluap-luap membuat Freya murka, meremas rambutnya kasar. Entah, merasa kesal karena Grace yang bisa merebut hati Max, atau Max yang sudah lama tidak meliriknya sedikitpun."Apa cantiknya wanita itu?! Dibandingkan dia, aku lebih cantik, Max! Aku lebih dari segalanya! Tapi kamu ... tidak sedikitpun melihatku ...!!" Dengan sendirinya suara Freya bergetar menahan isak. Tubuhnya luruh, terduduk d
Tanpa Grace sadari, sosok laki-laki berdiri di sisi dekat pintu balkon. Max di luar teras balkon mendengar suara Grace, sehingga ia mengira sang istri sedang mengigau.Siapa sangka jika kehadiran Max justru mengejutkan Grace tiba-tiba? Sebab, pria itu menanyakan siapa Leon. Grace sendiri tidak tahu, apakah Max mendengarkan seluruh percakapannya atau hanya sekilas, hingga ia bingung menjawab pertanyaan pria itu."Ehm, a-a ... maksud kamu, Leon yang baru saja kuucapkan, Max?" tanya Grace setelah menutup sambungan telepon cepat. Ia segera mengendalikan reaksi wajahnya agar tidak terlihat gugup.Max menatap tajam dengan wajar datar, Grace bisa menerka jika dengan wajah seperti itu ada yang sedang menganggu pikiran Max. Tentunya pasti sang suami ingin mendengar jawaban itu segera."Oh, itu ..." Grace bangkit dari kasur lalu menghampirinya. "Leon nama investor Arthur, Max. Dia tinggal di Rusia. Arthur baru saja menelponku, dia mengajakku tanam saham di bisnis yang baru saja dikerjakannya,"
Setiba di Phoenix Enterprises, Grace langsung masuk duduk di balik meja kerjanya dan memanggil Vio agar segera ke ruangannya. Beberapa jam yang lalu, sebelum pesawat Grace lepas landas, ia mengirim pesan pada Vio agar Arthur segera ke kantornya.Bertepatan dengan itu, Arthur juga sudah tiba di depan lobi. Pria muda itu langsung masuk ke dalam lift, menuju ruang sang CEO. Suara ketukan pintu membuat Grace dan Vio menoleh."Masuk!" balas Grace sudah tahu sosok yang berada di balik pintu.Arthur tersenyum sumringah setelah pintu itu terbuka lebar. "Hai, sepupu! Bagaimana honeymoon-mu?" godanya mendapat pelototan Grace.Pria itu terkekeh sembari melangkah masuk, sementara Vio bersiap undur diri setelah mengangguk lirih pada sang atasan."Pergilah, Vio," ucap Grace. Melihat Arthur mendekatinya, bayangan Leon sekelebat melintas di pikiran Grace. "Apa yang di katakan Brian padamu, Arthur?" tanyanya langsung pada inti.Arthur menarik bangku di depannya, kemudian mendudukinya "Dia mengatakan
"Gimana, apa kamu setuju?" Arthur bertanya di antara kebimbangan Grace."Idemu tidak masuk akal, Arthur! Aku menolaknya!""Hei, kenapa? Bukannya kamu juga sudah mengatakan pada Max jika kau ingin menanam saham di bisnisku ..." tawa Arthur "Meski aku juga tidak tahu bisnis yang mana yang kamu maksud ..." tawanya tergelak."Tetap saja ini akan beresiko bila Max sampai tau yang sebenarnya!" Grace mendengus kasar."Ya terserah kamu saja ..." balas Arthur seraya menggendikkan bahunya. "Aku tidak ada ide lain."Grace menggigit bibir bawahnya, kemudian bangkit dari duduk, berjalan menuju kaca jendela ruang kerjanya. Sejenak ia memandang lurus pada gedung-gedung bertingkat pencakar langit sembari berpikir."Tapi ... tidak ada salahnya aku coba lebih dulu, Arthur." Grace mengangguk, kemudian berbalik menatap sepupunya. "Aku akan mencoba katakan pada Max."Arthur tersenyum bahagia. "Nah, gitu dong! Aku tunggu kabar darimu!"Setelah mendapat ide dari saran Arthur, Grace sedang merancang rencana
Brak!Sorot mata tajam menatap nyalang, menusuk hingga kulit-kulit keduanya. Namun, Freya tidak gentar dengan tatapan tajam itu, ia justru tersenyum licik padanya."Max ...!" bentak Grace murka. Kedua kalinya Max sangat dekat dengan Freya, sebelum pria itu bisa menghindari jebakan wanita ular. "Apa-apaan kau ini?!"Wanita cantik itu benar-benar marah dengan aksi Freya, terlebih melihat suaminya juga tidak melakukan penolakan.Max seketika berdiri menyambut Grace. Bukannya takut, tapi aksi Max sungguh di luar dugaan kedua wanita itu. Max langsung merengkuh pinggang sang istri dan menciumnya. Ya, mencium di hadapan Freya!Grace sontak tertegun, mengerjap dengan tindakan liar Max. Setelah selesai mencium, dan sang wanita tak lagi marah, Max melepaskan tautan bibirnya. "Kenapa, ada apa kau kemari, hm?" tanya Max dengan tatapan penuh hangat. Bahkan, seolah tak ada siapapun di ruangan itu selain mereka berdua."A-aku ..." Grace menjeda ucapannya, kemudian melihat ke arah Freya.Max mengert
Kecemasan Grace kembali muncul saat ia menerima email dua tiket boarding pesawat untuk tujuan Italia—Rusia.Pasalnya, jika ia benar-benar pergi ke Rusia, tentu sudah sangat senang dengan kemudahan itu, namun bukan Rusia yang menjadi negara tujuan. Wanita itu sekarang mondar-mandir di ruang tengah dalam rumahnya."Duh, bagaimana ini! Kenapa sih Christ pakai pesan tiket segala?" decak kesal Grace mengomel sendiri.Sebab, ia benar-benar harus merancang perjalanan ini sangat rahasia. Semua apapun tentang mengenai Jerman, tidak boleh tercantum dalam misi kali ini.Sama seperti saat pelariannya 8 tahun silam. Ia sangat menyusunnya dengan sangat rapi, sehingga tidak ada orang yang bisa menemukan dirinya bersembunyi selama itu.Grace mengambil telepon dan menghubungi Arthur. Telepon itu langsung tersambung dengan sosok pria di sana."Hallo, Grace. Ada apa?""Arthur, ada yang harus kamu soal perjalanan kita nanti," ungkap Grace."Hm, kenapa memangnya?""Kau tahu, Max sudah memberikan ijin itu
Sudah hampir satu bulan sejak Chelsea mulai melakukan pencarian terhadap suaminya secara mandiri. Meskipun pihak kepolisian Jerman sudah menutup kasus kecelakaan ini. Pencarian polisi berakhir, bersamaan dengan ditutupnya kasus itu dan menyatakan dua orang sebagai korban. "Kenapa harus berakhir dengan begini, Ken ..." Chelsea meratapi di tempat kejadian sebelum mobil Kenan masuk ke jurang. "Kembalikan suamiku wahai alam. Kembalikan dia meskipun itu hanya abu atau tulang belulangnya ... Ijinkan aku memeluknya sekali lagi. Aku tidak akan marah padamu. Bagaimana aku bisa marah, kalau kau adalah rumah suamiku sekarang, selamanya ...." Wanita itu bahkan tidak kuasa menahan isak tangis. Setiap hari, ia tak kenal lelah, menyerahkan segalanya untuk mencari keberadaan Kenan. "Maaf, Nyonya." Suara Christ yang tiba-tiba pun tidak menghentikan isakan Chelsea. Sang asisten yang telah setia membantu, bersama dengan beberapa orang yang dikerahkan untuk mencari, sudah melakukan segala cara
Kelopak bulu mata lentik membuka matanya perlahan, samar-samar cahaya matahari menembus tirai jendela.Pusingnya pun masih terasa, dan tubuhnya juga masih lemah, namun Grace mencoba mengingat apa yang terjadi. Semua kenangan tentang operasi dan masa koma itu kabur, tapi ada satu hal yang sangat jelas di pikirannya. Anak laki-lakinya, Leon."Ergghhh ..." Grace memegangi kepalanya yang masih berdenyut.Dengan susah payah, ia mengangkat tubuhnya dan menoleh ke sekeliling ruangan. Namun, tak ada siapapun di sana. Kosong!"Apa aku masih hidup?" Grace sendiri hampir tidak percaya dirinya masih bernyawa. Kemudian mengusap perutnya yang seakan tidak ada apa-apa. "Ke mana bayiku?" tanyanya kebingungan, entah pada siapa.Wanita itu lantas menoleh. Di sana, di ranjang yang terpisah, Leon sedang tertidur pulas. Wajah kecilnya tampak damai, meskipun di hati Grace, ada kekhawatiran yang menggantung."Leon, Mommy b
Reaksi Brian membuat Max menarik paksa hasil tes kesehatannya. Pria itu dinyatakan cocok menjadi pendonor tulang sumsum untuk Leon.Dengan wajah binar, Max langsung bangkit dari duduknya. "Ayo cepat, ke mana aku harus pergi, Brian!" "Ayo! Aku juga sudah tidak sabar menunggu waktu ini!" Brian langsung bangkit dari duduknya, kemudian melangkah keluar yang diikuti Max.Setelah kurang lebih satu jam proses pengambilan sel tulang sumsum Max, petugas Laboratorium mulai memprosesnya.Max keluar dari ruang periksa dengan langkah yang sedikit terhuyung. Udara dingin di ruang rumah sakit tak bisa mengurangi rasa lega yang perlahan merayap dalam dirinya. "Apapun yang terjadi, Daddy akan berusaha segala cara Leon," tekad Max lirih.Meski perasaan berat masih menggantung, setidaknya ia tahu bahwa tulang sumsum yang baru saja didonorkan untuk Leon, memiliki peluang besar untuk menyelamatkan hidupnya. Hasil tes genetik men
Kelopak mata dengan bulu mata lentik itu bergerak pelan. Aroma desinfektan membuat Chelsea sadar seketika. Kepala terasa berat, tubuhnya lelah, dan rasa sakit mulai merayapi seluruh tubuhnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi. "Kenaann ..." Ia berharap semua yang baru saja ia lihat adalah sebuah mimpi. Namun, sayangnya itu adalah hal nyata yang baru saja dialaminya. Chelsea melihat bekas tanah yang terdapat di sela-sela pada kuku-kuku. "Ini bukan mimpi ..." ratapnya menahan isak. Melihat sang Nyonya sudah sadar, Christ mendekati Chelsea yang terbaring di atas brankar rumah sakit. "Apa yang Anda rasakan, Nyonya?" tanyanya. Chelsea menatap asisten sang kakak, "Katakan kalau semua ini hanya mimpi kan, Christ?" Chelsea berharap asisten itu menggeleng, namun nyatanya Christ menggangguk, hatinya tahu bahwa ini semua kenyataan.
Kegelapan langit malam berubah merah menyala karena ledakan mobil Kenan yang masuk ke jurang. Serpihan body mobil pun berterbangan hingga menjadi bagian terkecil. Semua orang mengalihkan wajah, menutup mata dengan lengan masing-masing. "Tidak Keennn ..." Chelsea meratapi terduduk di atas tanah. Tatapannya kosong pada nyala api di angkasa. Arthur memegang pundak Chelsea, menguatkan wanita itu, "Semua akan baik-baik saja, Chel. Kenan pasti selamat ..." Meski sejujurnya Arthur juga ragu akan ucapannya. Jurang dan ledakan sebesar itu mana mungkin tidak menghancurkan tubuh seseorang. Christ berlari ke tepian jurang, lalu menatap ke bawah. Namun, tak ada siapapun di sana. Hanya ada pecahan puing yang berserakan dan masih menyisakan bara api yang berkobar. Kemudian ia berbalik badan lalu menggeleng lirih. Isyarat Christ semakin membuat Chelsea semakin histeris. "Tidak! Kembali padaku Kenaannn ...!" Tangisan Chelsea yang terdengar pilu makin tak terkendali, hingga tiba-tiba semu
Setibanya di basecamp yang tersembunyi, Chelsea merasa ada sesuatu yang sangat salah. Tempat itu sangat kacau dan suasana mencekam memenuhi udara. "Apa ini tempatnya, Arthur?" tanya Chelsea penuh keraguan. "Hm, benar ini tempatnya." Belum juga kedua mata Chelsea memindai tempat itu, tiba-tiba ... Brak! Freya dan Kenan keluar dari bangunan sepi dengan pencahayaan minim. Meski demikian, sorot mata Chelsea mampu menangkap siluet bayangan sang suami. "Kenan ...?!" Chelsea hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seruan Chelsea ternyata mampu mengalihkan perhatian kedua orang itu, terutama Kenan. Ia lebih terkejut saat melihat Chelsea juga berada di sekitar tempat itu. Area yang tidak sebaiknya dituju. Namun, di balik semua rasa takut dan kecemasan Chelsea, hatinya semakin teriris saat kenyataan yang lebih pahit terbuka di hadapannya. Di sana, di tengah kekacauan, dia melihat Kenan—dengan jelas berdiri di sisi Freya. Sekarang tampak seperti musuh yang berdiri di samp
Grace dengan suara penuh amarah, "Kenan! Kau datang kemari hanya untuk jadi pengkhianat! Tidak tahu malu!" Berdiri tegak, Kenan menatap Grace dengan dingin, "Aku memilih sisi yang benar, Grace. Ini bukan tentang kamu atau aku lagi, ini tentang apa yang seharusnya terjadi." Grace tertawa sinis, "Cih! Sisi yang benar? Kau menjual dirimu kepada Freya, itu yang kamu sebut benar? Jangan lebih rendah dari itu, Ken!" "Aku tidak membutuhkan pembenaran darimu, Grace. Semua ini sudah berjalan terlalu jauh. Tidak ada yang bisa menghentikanku sekarang." Freya, yang sejak tadi diam dan menyaksikan percakapan itu, akhirnya berbicara dengan suara penuh kebencian. Grace tertawa remeh pada Freya, seolah mengejek wanita ular itu. "Apapun yang kau lakukan, kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Karena kau tidak pernah dicintai sampai mati! Kau tak akan pernah tau apa itu cinta!" ucapnya penuh penekanan, "kasihan sekali!" Suasana di antara kedua wanita itu semakin mencekam. Freya ingin seka
Max tampak berjalan mondar-mandir di ruang kantor yang gelap, ekspresinya tegang dan penuh amarah. Matanya yang tajam menatap beberapa anak buah Christ yang berdiri cemas di hadapannya."Bagaimana bisa kalian belum menemukan lokasi Freya?!" bentaknya, suaranya keras dan penuh amarah. "Kalian cuma membuang-buang waktu! Ini sudah terlalu lama, aku ingin jawaban sekarang!"Anak buah Christ, yang satu bernama Markus dan yang satunya lagi disebut Simon saling pandang, tampak bingung dan tertekan."Ma-Maaf, Tuan ... kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kami belum menemukan petunjuk pasti," jawab Markus, suaranya terbata-bata.Max menggeram, berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan mereka. "Berusaha? Itu bukan jawaban yang aku cari! Jika kalian tidak bisa melaksanakan perintah sederhana ini, lebih baik aku cari orang lain yang bisa!"Simon mencoba menenangkan situasi. "Kami benar-benar sudah berusaha, Tuan. Kami akan terus menca
Kenan terlihat tegang, tapi mencoba menurunkan egonya. "Freya, aku tahu aku salah. Aku tidak mencari pembenaran. Aku hanya ingin tahu di mana basecamp-mu. Aku punya rencana ... rencana untuk melancarkan keinginanmu." Namun, diam-diam, tanpa melibatkan siapa pun. Kenan akan pastikan akan membebaskan Grace. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menebus semua kesalahan." Mendengar ketulusan Kenan, dan betapa pria itu juga memenuhi keinginannya mendapatkan lokasi Grace, Freya terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-katanya. "Kau tidak akan menjadi pengkhianat di dalam basecamp-ku, kan?" "Kau bisa percaya padaku, Freya. Aku akan lakukan apa saja untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Kau akan dapatkan semua yang kau inginkan." Dalam hati Freya melewati banyak perdebatan. Kemudian suara Freya berubah, sedikit lebih lembut. "Baiklah, aku beri kau satu kesempatan lagi. Basecamp-ku ada di kawasan Charlottenburg, dekat Stasiun Zoologischer Garten. Tapi ingat, Kenan. Satu langkah s