"Berita hari ini. Saham Mckesson grup perhari ini telah menurun hingga 50%. Ini terjadi semenjak meledaknya berita penyerangan brutal yang dilakukan oleh Putra tunggal keluarga Mckesson kepada mantan adik iparnya—keluarga Anderson. Kami juga melapo—" Alexander bergegas mematikan televisi yang menayangkan berita sembari menghela napas berat. Kesal karena berita tersebut telah membuat mereka rugi miliaran dolar. Kemudian, melempar asal remote ke atas meja. Tak lama berselang, pintu kamar dibuka seseorang dari luar, membuat Alexander mendongak. Pria itu melambaikan tangan, meminta sosok itu mendekat. "Hey, ada apa, Sayang? Kenapa wajahmu terlihat begitu kusut?" tanya Felly sembari menelusup dalam pelukan. Tak lupa membubuhkan kecupan manis di pipi. "Entahlah, Mi." Alexander menggendik dengan kening berkerut, tampak begitu banyak beban di pundaknya. "Ada apa, Pi?" Felly melepaskan pelukan. Ia menatap dalam wa
Brian, Stella, Edward berpencar mencari Leon dan Alika. Brian khawatir dengan kondisi Leon. Sementara Stella dan Edward justru lebih takut bila kedua anak itu bertemu dengan orang jahat.Ketiganya berpencar mencari sekeliling arena taman bermain. Brian mencari di sekitar permainan ayunan, dan bianglala. Edward dan Stella bersatu mencari di sekitaran taman bunga dan cafetaria."Bagaimana bila mereka diculik, Edward!" "Omong kosong! Jangan bicara sembarangan kamu, Stella! Terus cari sampai ketemu!" sergah Edward justru menggertak Stella yang berbicara asal. "Kamu yang menyebabkan semua ini!""Apa katamu? Kamu pikir aku tidak bisa menjaga Leon! Kalau perutku tidak sakit, aku juga tidak akan meninggalkan anak itu sendiri!"Perdebatan sengit terjadi di antara Edward dan sang perawat. Masing-masing membela diri sendiri."Berhentilah mengoceh, Stella! Atau Nyonya Grace akan marah!" bentak Edward kemudian memisahkan diri dari Stella.
Setelah beberapa waktu yang lalu saham McKesson Group mengalami penurunan yang sangat drastis. Christ dan bagian divisi lainnya berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat agar saham perusahaan kembali stabil. Helaan napas terdengar saat Christ melihat indeks pada layar monitor yang menampilkan catatan saham dari beberapa perusahaan terkenal di Italia. Nama McKesson Group kembali berada di puncak tertinggi."Hm, untung saja kita bergerak cepat, Sarah," ujar Christ membenahi kacamata.Asisten Max masih berdiri dengan memasukkan kedua tangan di saku celana, menatap layar monitor besar di ruang rapat."Benar kata anda, Tuan. Mungkin Tuan Alexander bisa tenang sekarang. Saya tau kecemasan Beliau saat menghubungi saya kemarin. Menanyakan apa perusahaan sudah bergerak mengatasi hal ini," ungkap Sarah—Sekretaris Christ."Ya, begitupula dengan Tuan Max. Karena hari ini Nyonya Grace akan menjalani operasi lagi," balas Christ lagi. "Ya
Chelsea tersentak kaget mendengar penuturan sang kakak. Ia menggelengkan kepala, "Tidak, Max! Aku tidak ingin membuat masalah lagi.""Apa menurutmu menikah suatu masalah?""Itu untuk wanita sempurna. Sedangkan aku ..." Chelsea tidak mampu meneruskan ucapannya."Bila kamu tidak keberatan, pakailah dia sebagai penjaga. Mungkin itu lebih aman untukmu," usul Max.Di antara percakapan adik dan kakak, sosok wanita yang baru saja setengah sadar, menggerakkan jari jemarinya. "M-Max ..." lirih terdengar nama sang pria disebutnya.Grace perlahan menggerakkan kepalanya ke samping setelah kelopak matanya terbuka bebas.Max dan Chelsea senangnya bukan kepalang, menoleh, lantas bergegas mendekat di samping brankar."Ada apa, Baby? Jangan bicara banyak dulu," pinta Max agar Grace tidak banyak bergerak, "Aku bersyukur suaramu sudah kembali."Pria itu menatap teduh, menciumi kening sang wanita. Chelsea p
Alika berbalik, bertepatan dengan salah satu dari kedua pria baru saja selesai menelpon. Sementara Leon menoleh."Siapa Kalian berdua, Paman?" tanya Alika polos. Namun, berani. "Hai, maaf jika Paman berdua mengejutkan Kalian, Anak-anak." Lelaki berkepala plontos itu mengangkat kedua tangan sebagai kode, jika mereka tidak berniat jahat."Tapi, kehadiran Kami berdua di sini adalah ingin bertanya pada Kalian. Apakah Kalian sedang tersesat?" Lelaki itu memindai wajah Alika dan Leon yang perlahan memutar kursi roda, hingga mereka berempat berdiri berhadapan. Alika merasa sedikit takut. Terlebih saat teringat banyaknya pemberitaan, perihal penculikan anak di televisi. Ia juga memegang erat pegangan kursi roda milik Leon, bersiap membawa anak itu pergi, jika kedua pria dewasa di hadapan mereka berniat jahat. Si lelaki berkepala plontos semakin mengangkat tinggi kedua tangannya, saat melihat ekspresi wajah Alika. "Hey! Hey!
Sepeninggal Carlos dan Alfonso, Leon seperti mengingat sesuatu. Anak laki-laki itu bergegas menarik tangan Alika yang hendak berbalik. "Tunggu Lika, sepertinya aku pernah bertemu salah satunya!" seru Leon tiba-tiba, "ya, aku pernah bertemu dengan Paman Carlos di rumah sakit!"Alika terbeliak, "Hah, benarkah?! Kenapa kamu baru ingat sekarang?""Maaf, karena saat itu pun cuma sebentar saja. Dia mengatakan salah masuk kamarku.""Ah, ya sudahlah, Dia juga sudah pergi. Ternyata Mereka baik ya, Leon," celetuk Alika, membuat Leon menoleh ke arahnya. "Hu'um," sahut Leon sembari mengangguk kuat. Keduanya lantas sama-sama melempar senyum manis. Bertepatan dengan itu, terdengar langkah kaki mendekat, disusul teriakan lantang memanggil nama keduanya, "Leon! Alika!"Edward, Brian, dan Stella berlari ke arah dua anak itu dengan tatapan haru sekaligus senang. Bahagia karena anak yang sedari tadi membuat jantung mereka
Setelah masa pemulihan berangsur membaik, Grace menatap terus layar ponselnya. Wanita itu sedikit kesal karena beberapa hari sejak dirinya berada di rumah sakit, Ia tidak bisa menghubungi sang anak. "Huh, ke mana lagi, Brian?" kesal Grace karena dokter sang anak justru menolak panggilannya. Tentunya Grace sudah sangat rindu pada anak laki-lakinya. Terakhir kali sebelum operasi, Grace mengabaikan telepon dari Leon. Terlebih Ia khawatir, Max bisa saja tau atau penasaran, kemudian membaca semua pesan singkatnya. "Sebaiknya aku minta pulang saja hari ini," batin Grace merasa dirinya cukup kuat. Dalam ruangan kamar VVIP, wanita itu turun dari ranjang, Grace mencari sang suami ke sana ke mari. Namun, Ia tidak menemukannya. "Ke mana dia? Kenapa Max tidak pamit padaku?" lirih Grace sendirian. Kemudian wanita cantik kembali ke atas ranjang. Hingga suara pintu terbuka mengejutkan Grace yang sontak men
Mendengar permintaan istri sang CEO yang baru saja keluar dari rumah sakit membuat Christ terkejut. Untungnya sang asisten tidak menginjak pedal rem tiba-tiba. Begitupun dengan Max. Ia melebarkan kedua mata seraya bersuara tegas, "Tidak Christ!" Suasana di dalam mobil seketika menjadi beku. Tidak ada yang berani bersuara bila Max sudah mengeram. Detik berikutnya Max menatap sang istri. "Baby, aku sudah bilang, kamu harus beristirahat. Jangan paksakan dirimu!" Kemudian ucapannya beralih pada sang asisten. "Tujuan tetap ke rumah, Christ. Aku tidak mengijinkannya!" Christ pun hanya mengangguk tanpa bersuara. Sementara Grace melihat Max dengan ekspresi tegas, wanita itu sedikit kecewa "Max, aku baik-baik saja. Pekerjaanku menumpuk, aku harus pergi. Aku tidak bisa membiarkan semuanya terbengkalai." Max menggeleng lirih dengan nada lebih lembut, tapi tetap serius, "Aku tahu kamu ingin bekerja, tapi k
Setelah membaca pesan misterius yang ia terima, Grace berusaha menghilangkan keresahan di hati.Ia langsung bangkit, melangkah keluar ruangan. Grace berencana langsung pulang ke rumah dan memberesi barang penting yang akan ia bawa, termasuk visa dan pasport.Setelah perjalanan beberapa menit, Grace sedikit terkejut saat melihat mobil Max ada di rumah, pasalnya saat dia ke kantor, Max memang belum berangkat. "Apa dia libur?" gumamnya mulai tak tenang.Langkah kakinya terhenti saat suara bariton yang ia kenali, menyapa, "Baby, kenapa kembali? Kamu tidak jadi ke kantor?"Grace melepas sepatu hak tingginya dan berjalan ke arah suara itu. Max sedang duduk di sofa, mengenakan kemeja santai dan celana panjang. Wajahnya tampak penasaran, tetapi ia tersenyum ketika melihat Grace. "Hei, sayang," sapanya lembut. Grace mendekat dan duduk di sampingnya. "Aku hanya mampir sebentar tadi. Rasanya aku ingin istirahat." Max menggeleng pelan.
Persiapan Grace benar-benar matang, mulai dari berpamitan kepada dua orang meskipun secara tidak langsung. Namun, setidaknya ia bisa meredakan rasa sesak dalam hatinya.Pagi ini, Grace melangkah masuk ke kantor, sepatu hak tingginya mengeluarkan bunyi ketukan teratur di lantai marmer. Wajahnya terlihat tegas, meskipun matanya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan. Di meja resepsionis, Vio—sekretaris pribadinya—sudah menunggu. Satu jam yang lalu, Grace sudah mengirim pesan padanya. Wanita itu selalu siap kapan pun Grace membutuhkan. "Vio, kamu sudah cek semua dokumen yang aku minta tadi?" tanya Grace langsung, tanpa basa-basi. Sang sekretaris berdiri dan mengangguk. "Sudah, Nyonya. Semuanya sudah siap di meja Anda. Apa ada tambahan yang perlu saya urus lagi?" Grace mengangguk kecil, lalu melangkah menuju ruang kerjanya. Vio mengikuti di belakangnya, membawa tablet dan sejumlah dokumen penting. Ketika mereka tiba di
Setelah beberapa saat pertemuannya dengan Arthur, mobilnya melaju perlahan di sepanjang jalan yang lengang. Grace menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu ke mana tujuannya malam ini—ke rumah orang tuanya, Victor dan Evelyn. Ketika mobilnya berhenti di depan pagar, Grace mematikan mesin dan duduk diam selama beberapa detik. Ia menatap rumah itu, mengingat momen-momen masa kecilnya. "Maaf, Ma... Pa..." bisiknya pelan. Air mata hampir saja mengalir, tapi ia buru-buru menghapusnya. "Aku tidak punya pilihan." Setelah menarik napas panjang, Grace keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu depan. Ia mengetuk pintu beberapa kali sebelum akhirnya Evelyn membukanya. “Grace?” Evelyn memandang putrinya dengan sedikit terkejut. “Kamu tidak bilang mau datang.” Grace tersenyum kecil. “Ma, aku cuma ingin mampir. Sudah lama kan, aku tidak ngobrol sama Mama sama Papa.”
Bab227#Setelah menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Keduanya kini mengakhiri masa libur mereka.Chelsea tersenyum kecil, memandangi wajah suaminya yang tetap fokus mengemudi. Meski ia tahu perjalanan mereka menuju rumah masih panjang, hatinya terasa ringan. Ada rasa nyaman yang tak terjelaskan, seolah semua percakapan mereka sepanjang perjalanan ini menjadi semacam pengikat. Mobil terus melaju melewati jalan-jalan yang mulai ramai. Chelsea bersandar di kursinya, menyandarkan kepala ke bahu Kenan. “Aku tidak sangka perjalanan ini cepat usai, Ken.” Kenan menoleh sedikit, menatapnya lembut. “Aku juga merasa begitu. Tapi kan, kita sudah sepakat. Ini bukan yang terakhir.” “Janji, ya?” Chelsea mendongak, menatap suaminya dengan mata berbinar. Kenan tersenyum kecil, lalu mengecup keningnya. “Janji. Nanti kita buat rencana lagi.” Chelsea tersenyum puas. Ia memejamkan mata, mencoba menikmati perjalanan pulang mereka
Chelsea menahan senyumnya, lalu melipat kedua kakinya di atas ranjang. “Tentang kamu. Masa lalumu. Kamu jarang bahkan tidak pernah cerita, Ken. Aku tahu kamu tidak suka bicara soal itu, tapi aku mau tau. Apa kamu pernah merasa ... ya, kesepian?” Kenan menghela napas perlahan, lalu menoleh ke arah jendela yang masih memperlihatkan sedikit kilauan bintang. Udara malam dari celah jendela terasa dingin, tapi juga menenangkan. Ia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, mencoba mengatur kata-kata dalam pikirannya. “Masa kecilku, ya?” Kenan akhirnya membuka suara. “Itu tidak pernah jadi sesuatu yang aku banggakan, Chelsea. Aku tidak pernah punya keluarga yang utuh. Mama meninggal beberapa waktu yang lalu. Beliau mungkin masih menyisakan luka yang dalam akibat papaku. Aku bahkan hampir tidak ingat wajahnya. Papa ..."Kenan berhenti sejenak, menelan ludah. “Papa pergi sejak Anna bayi. Ia lebih pilih hidup dengan wanita lain yang dianggapnya lebi
Mendengar ungkapan Kenan, tentu saja membuat Chelsea penasaran, siapa yang mengajari suaminya itu. Kenan pura-pura berpikir sebentar, lalu tersenyum jahil. “YouTube.” Chelsea langsung memukul punggung sang pria, seraya mendengus geli. "Oh, pantas saja. Kukira kamu serius belajar dari chef terkenal atau gimana. Ternyata hasil tutorial."“Tapi yang penting hasilnya enak, kan?” Kenan membalas sambil menatap Chelsea yang sedang sibuk menyantap spaghetti buatannya. Chelsea mengangguk kecil sambil menyuapkan lagi spaghetti ke mulutnya lagi. “Enak sekali, Ken. Kalau gini pun aku tidak bingung kalau pelayan pulang kampung, hehehe ...” tawanya.“Ya, aku kan suami yang serba bisa,” jawab Kenan santai, tapi senyumnya tetap lebar. Chelsea hanya menggeleng-geleng pelan, mencoba menahan tawa. “Iya, iya. Suami serba bisa. Tidak salah aku nikah sama kamu.” Kenan tertawa kecil, tapi kemudian menatap Chelsea dengan lembut. “Aku c
Angin dingin khas pegunungan perlahan menyelinap di sela-sela kulit. Chelsea menarik syal yang melingkar di lehernya, mencoba menghangatkan diri. Di hadapan mereka, villa yang mereka sewa untuk beberapa hari ke depan berdiri megah. Bangunannya bergaya rustic modern, dengan dominasi kayu cokelat tua yang berpadu dengan kaca besar yang memantulkan pemandangan hijau di sekitarnya. Di belakang villa, pegunungan menjulang tinggi, membingkai lanskap alami yang seperti lukisan. “Ken, aku tidak tau kalau tempat ini akan seindah ini …” Chelsea berujar, suaranya pelan namun penuh kekaguman. Kedua mata tak henti-henti memindai setiap detail villa. Balkon kayu yang menghadap langsung ke lembah, kolam renang kecil yang airnya jernih seperti kaca, hingga taman kecil di samping villa yang dihiasi dengan bunga-bunga musim semi yang sedang mekar. Kenan terkekeh kecil. “Aku tau. Makanya aku tidak kasih lihat detail fotonya ke kamu waktu pesan.” Che
Chelsea menatap Kenan, bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin bicara. Tapi, seperti ada sesuatu yang membekukan lidahnya. Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya seakan berlomba-lomba keluar, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil terucap. Mata Kenan yang tenang menatapnya dengan lembut. "Chelsea, ada sesuatu yang mau kamu ucapkan?" tanyanya lagi, suaranya rendah, penuh perhatian.Chelsea menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi akhirnya, hanya sebuah senyuman kecil yang berhasil keluar. "Tidak, aku cuma ... cuma kepikiran saja," katanya pelan.Mengangguk lirih, meskipun demikian, Kenan terlihat tidak sepenuhnya percaya. Tapi, seperti kebiasaannya, dia tidak memaksa. "Kalau begitu, jangan pikirkan terlalu berat, ya. Kita harus saling berbagi." Kenan menepuk punggung tangan Chelsea dengan lembut, lalu berdiri, "Tidur yang nyenyak. Besok kita jalan pagi-pagi."Chelsea hanya mengangguk, meski hatinya tidak bena
Suara Kenan membuyarkan lamunan Chelsea. Nada bicara lembut, seperti biasa, tetapi cukup untuk membuat Chelsea menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh tenggelam dalam pikiran.Chelsea mengerjap cepat, menoleh Kenan yang duduk di sampingnya dengan sorot mata penuh perhatian. "Aku tidak apa-apa," jawabnya cepat. Kenan menatapnya sejenak, jelas tahu ada sesuatu yang mengganjal. Tapi seperti biasa, dia tidak memaksa. "Kalau ada apa-apa, bilang saja. Aku di sini, oke?"Chelsea mengangguk pelan. Dia tahu Kenan tulus, namun ada sesuatu yang belum bisa dia ungkapkan. Belum sekarang, pikirnya.“Eh, ngomong-ngomong soal bulan madu, Kak Chelsea sudah ada ide mau ke mana?” Anna tiba-tiba menyela, memecahkan keheningan yang sempat tercipta. Gadis itu menatap mereka dengan mata berbinar, seperti anak kecil yang menunggu cerita dongeng. Chelsea menghela napas kecil. "Belum ada, Anna. Aku masih bingung."Anna langsung berseru, "Yah, ke