Setelah satu jam lebih menunggu, akhirnya pintu dibuka dari dalam, menampilkan seorang dokter berbaju biru, lengkap dengan kacamata bening dan masker medis.
Sang dokter segera melepaskan masker yang ia kenakan. Lalu, menatap lurus pada wajah tegang Max. "Nyonya Grace telah melewati masa kritis." Hela napas berat terdengar, "hanya saja—" Ia tercekat."Apa, Dokter Marthino?" desak Max tidak sabar. Kedua tangannya memegang pundak sang dokter dan sedikit menyentaknya."Tulang hidung dan rahang Istri Anda mengalami sedikit pergeseran juga penyempitan saluran yang ada di rongga mulut, sehingga kemungkinan besar Dia—" Dokter Marthino kembali menghela napas berat, merasa sangat sedih dan menyesalkan kejadian ini."Apa, Dokter?! Tolong jangan berbelit-belit!" desak Max, mengguncang lengan sang dokter dengan kuat. Ia benar-benar tidak sabar, sekaligus marah."Kemungkinan besar Nyonya Grace akan kesusahan berkomunikasi. Tapi, Kami akan berusaha"Berani sekali kau kembali ke sini! Dasar wanita murahan!” Grace yang semula sedang termenung di tepi ranjang, tersentak saat mendengar suara bariton nan dominan dari Maxime Rudolf Dicaprio. Kemarahan pria itu sudah menjadi hal yang Grace duga. Pria mana yang tidak akan marah ketika ditinggalkan oleh sang istri, persis setelah mereka mereguk panasnya malam pertama? Namun, Grace tidak mencoba menjelaskan ataupun membela diri pada Max. Dia lebih memilih fokus pada tujuannya kembali kali ini. Kalau bukan karena Leon, dia juga mungkin enggan untuk memijakkan kakinya lagi ke negara ini. Leon, anaknya dengan Max dulu, yang masih dia rahasiakan keberadaannya, tengah butuh bantuan. Dan hanya Max lah pria yang bisa mewujudkan bantuan itu. "Ayolah Sayang, lupakan masa lalu.” Alih-alih ciut karena aura kemarahan sang suami, Grace justru semakin berani. Dia melangkah mendekati Max dengan gaya yang begitu memesona. “Apa kau tidak ingin menyentuhku?” Pakaian minim nan menggoda yang d
“Itulah faktanya, Grace!” Memanfaatkan keterkejutan Grace, Max mendorong tubuh sang istri menjauh. “Cepat pergi dari sini!” tunjuknya pada pintu kamar. Beribu pertanyaan bersarang di dalam kepala Grace. Berbagai pertanyaan ingin dia ketahui jawabannya. Mengapa Max tiba-tiba mandul? Lalu, bagaimana nasib Leon, jika Max kini dinyatakan mandul? Namun, semua pertanyaan itu masih tertahan. Grace yang begitu shock memutuskan untuk mundur sejenak, dia tidak lagi memaksa Max untuk menyentuhnya. Wanita itu keluar tanpa kata dari kamar Max, menuju salah satu kamar tamu di rumah itu. Niat dia menenangkan pikiran pun berakhir gagal, sebab pikirannya yang buntu justru membuatnya sulit tidur. Hingga pagi ini, Grace dibuat sakit kepala karena terus memikirkan kenyataan ini. "Argh ...!" Grace menarik kuat rambutnya karena merasa kesal. Dia bahkan tidak bisa berpikir saat ini. "Aku harus lakukan apa? Bagaimana dengan Leon?" Di dalam kamar luas dengan interior mewah, wanita itu mondar mandir
Setelah adu mulut dengan wanita gila yang datang tiba-tiba, kini Grace tengah melaju menuju rumah keluarga Malay, keluarganya. Begitu sampai di sana, Grace melepas kacamata, menyapa kedua orang tuanya seraya mendudukkan dirinya pada sofa. “Hai, Ma! Hai, Pa!” Kedua orang tuanya, Victor Addison Malay dan Evelyn Malay terkejut luar biasa. "Grace?!" Keluarga Malay termasuk keluarga konglomerat yang sebanding dengan Dicaprio. Tidak heran, meski Grace mengasingkan diri di luar negeri, dia tetap bisa bertahan hidup, dan bahkan mendirikan bisnisnya sendiri. “Kenapa kau kembali?!” Evelyn berdecak kesal mengingat kaburnya Grace saat itu membuat hubungan antara keluarga Malay dan Dicaprio menjadi tidak akur. "Seharusnya kau tidak perlu kembali, bukan?" Sementara Evelyn melontarkan kata-kata sarkas, Victor hanya menoleh sekilas, kemudian melanjutkan membaca koran. Pria itu tidak lagi peduli dengan Grace. Grace tersenyum tipis menanggapinya. "Apa kalian tidak merindukanku? Sepertinya
"Bukan siapa-siapa, Ma." Grace menyembunyikan ponsel. "Ah, sudahlah, aku mau keluar dulu. Sepertinya sudah banyak perubahan dengan kota ini." Grace bangkit dari duduknya kemudian langsung membawa langkahnya keluar dari kamar, meninggalkan Evelyn dengan penuh rasa penasaran. "Hati-hati, Grace, hubungi mama jika kau perlu bantuan," seru Evelyn. Sementara Grace pergi dari kediaman Malay, di gedung bertingkat McKesson Group, Maxime baru saja tiba setelah dirinya dibuat pusing dengan dua wanita yang berdebat di rumahnya. Pria itu langsung duduk dibalik meja kerjanya dan mengurut pelipis. Ada yang tidak biasa pemandangan pagi ini, Christian, sang asisten pun bertanya. "Ada masalah, Tuan? Apa yang menyulitkan Anda?" "Tidak, Christ, bukan di sini," jawab Max dengan nada malas. "Lalu?" "Dua makhluk paling menyusahkan sedang cek-cok di rumah," ujar Max tampak lesu. Christ semakin tidak mengerti arah pembicaraan Max. Dia menduga ibu dan adik Max yang berkelahi. "Maksud Tuan ...
Mendengar namanya disebut, Grace seketika mendongak melihat siapa yang memanggilnya. Matanya terbelalak tidak percaya, jika dia akan secepat itu bertemu dengan sahabatnya. "Kau?" Grace melihat sekeliling Agatha, mencari orang lain. "Kau dengan siapa? Kenapa kau ada di sini?" Agatha justru terheran dengan pertanyaan Grace. "Nah, kau juga kenapa tiba-tiba muncul di sini? Bukannya kau menghilang selama ini? Aku saja bahkan tidak tau kau ada dimana? Aku jadi ragu dengan persahabatan kita?" cerocosnya. Grace berdecak, lalu terkekeh mendengar celotehan Agatha. "Jawaban macam apa ini? Pertanyaan dibalas pertanyaan?" Keduanya lantas terbahak bersama. "Kenapa kau ada di negara ini lagi? Aku kira kau sudah lupa ..." tawa Agatha. Grace masih terkikik hingga harus menutup mulutnya, berusaha menahan tawa. "Aku tentu saja tidak melupakanmu!" "Benarkah? Aku ingin tau apa yang membuatmu kembali, Grace? Jangan katakan kau ingin kembali pada Max!" Tepat! Dugaan Agatha sangat tepat yang dia
"Maaf, Nyonya, Tuan Alexander sudah menunggu Tuan Max," ucap Christian saat melihat keduanya bertikai. Grace terbeliak meski dua tangannya masih dicekal Max. "Papi ada di sini?" "Ya, Nyonya, Tuan—" Christ menghentikan ucapan karena Max menoleh tajam ke arahnya. "Pergilah!" usir Max melepas cengkraman wanita itu. Grace mengusap pergelangan tangannya yang terasa nyeri, kemudian berdiri tegap. "Tidak! Aku ikut bersama kalian! Ayo Christ, tunjukkan dimana kamar papi?" Wanita itu bukannya pergi, tapi justru bersikeras ingin melihat ayah mertuanya. Grace meyakini jika ayah mertuanya sedang dirawat di rumah sakit tersebut. Ia melangkah lebih dulu, sementara Christ bertatapan dengan Max meminta jawaban. Max menghela nafas sembari menggeleng lirih, "Apa boleh buat ..." Kedua pria itu mengikuti langkah Grace yang berada di depan. Sesekali Grace menoleh ke belakang memastikan keduanya tidak mengelabuinya. "Ayo, cepatlah!" Grace berseru. Max merasa gemas dengan tingkah Grace seol
Max tidak mengangguk atau pun menggeleng, pria itu justru menarik tangan Grace melangkah keluar ruangan. Namun, sebelum sampai di pintu keluar, Grace mengibaskan tangan Max hingga terhempas. "Akh! Kau menyakitiku, Max!" Max tersentak kemudian berbalik, keduanya saling berhadapan. "Kalau kau tidak mau aku lebih menyakitimu, lebih baik segera pergi dan jauhi kehidupanku! Lakukan seperti saat kau meninggalkanku!" Tatapan pria itu begitu menusuk. Max maju beberapa langkah mengikis jarak keduanya. "Jangan berharap aku tunduk padamu, Grace! Sekalipun itu di depan mami dan papi!" desisnya penuh penekanan. Grace membenahi tatanan rambutnya, berdiri angkuh, lalu mengangkat dagunya. "Tidak. Sudah kukatakan, aku tidak akan pergi. Akan kubuat kau tergila-gila padaku!" Max semakin menatap bengis. Pria itu tidak ingin jatuh lagi di lubang yang sama. Dia tidak ingin terluka lagi, sama seperti Grace saat meninggalkannya. M
Kebingungan melanda Grace menjawab pertanyaan Leon. Mengapa wajahnya mirip dengan foto yang ada di dinding saat video call dengan sang ibu?Kepalang tanggung!Di tengah kebingungan Grace menjawab, di tempat Leon, Brian mengetuk pintu kamar anak itu. Seketika Leon menoleh, siapa yang masuk ke dalam kamarnya."Hai, Leon! Sedang apa?" Brian tersenyum, mengangkat tangannya, menyapa.Leon membalas dengan senyum lembut. "Leon sedang telepon mommy, Om," jawabnya.Grace yang ada di ujung panggilan pun ikut mendengarkan obrolan antara Brian dan sang anak. Dewi Fortuna masih membersamainya, keberuntungan bersama Grace, Leon melupakan pertanyaannya. "Siapa yang datang, Leon? Itu suara Om Brian, kan?" terka Grace, meskipun sebenarnya ia sudah tau pasti pemilik suara itu. "Benar, Mom, ini Om Brian." Leon merubah kamera ponselnya menghadap Brian. "Hai, Nyonya Grace. Apakah semua lancar?" tanya Brian klise.
Setelah satu jam lebih menunggu, akhirnya pintu dibuka dari dalam, menampilkan seorang dokter berbaju biru, lengkap dengan kacamata bening dan masker medis. Sang dokter segera melepaskan masker yang ia kenakan. Lalu, menatap lurus pada wajah tegang Max. "Nyonya Grace telah melewati masa kritis." Hela napas berat terdengar, "hanya saja—" Ia tercekat. "Apa, Dokter Marthino?" desak Max tidak sabar. Kedua tangannya memegang pundak sang dokter dan sedikit menyentaknya. "Tulang hidung dan rahang Istri Anda mengalami sedikit pergeseran juga penyempitan saluran yang ada di rongga mulut, sehingga kemungkinan besar Dia—" Dokter Marthino kembali menghela napas berat, merasa sangat sedih dan menyesalkan kejadian ini. "Apa, Dokter?! Tolong jangan berbelit-belit!" desak Max, mengguncang lengan sang dokter dengan kuat. Ia benar-benar tidak sabar, sekaligus marah. "Kemungkinan besar Nyonya Grace akan kesusahan berkomunikasi. Tapi, Kami akan berusaha
Tak lama berselang, pintu kamar mandi di dorong dari luar. Samuel lantas memindai sekitar dan seketika terbelalak, kala menemukan sesosok wanita tengah berbaring di lantai. Bergegas dirinya mendekat. Lalu, membalikkan perlahan tubuh wanita itu. Alangkah terkejutnya dirinya, kala mengetahui siapa gerangan yang tengah berbaring dengan dahi yang memar dan mengucurkan cairan merah dari pelipisnya. Segera Samuel meraih Grace yang pingsan, meletakkan di atas paha. Tangannya merogoh cepat saku celana, mengambil ponsel miliknya dan melakukan panggilan telepon. "Halo, Christ!" Suaranya terdengar gugup dan sarat akan rasa khawatir. Christ yang sedang meminum segelas kopi panas di pantry setelah selesai meeting alot bersama Max beberapa saat yang lalu, segera meletakkan gelas kala mendengar ucapan Samuel dari balik sambungan telepon. "Apa?! Coba katakan sekali lagi?!" Meskipun gugup, Samuel berkata dengan tegas, "Ses
Chelsea terus memberontak, kedua kakinya berusaha menendang apapun yang bisa ia jangkau. Namun, pergerakannya seketika terhenti, saat mendengar suara yang teramat ia kenali, sekaligus membuat matanya terbelalak lebar. "Sstttt, jangan bergerak terus, Sayang. Nanti Dia marah dan ingin merobek-robek dirimu, di sini, di tempat ini." Napasnya bahkan terdengar berburu di telinga kanan Chelsea, disusul sesuatu yang basah mengenai bagian tersebut, membuat Chelsea merinding ketakutan. Air mata Chelsea bahkan tanpa sadar jatuh membasahi pipi, kala benda basah itu mulai terasa di leher. "Kamu berkeringat, Sayang?" kekeh lelaki itu, "takut?" Sebuah kecupan mendarat di belakang kepala Chelsea, membuatnya semakin gemetar ketakutan. "Hmph!" Chelsea berusaha berteriak dan kembali memberontak. "Sstttt, Sayang. Jangan berontak terus! Jika tidak, aku akan menidurimu di sini, sekarang juga!"Chelsea tentu saja
Samuel terus mengikuti mobil yang Grace kendarai dari jarak aman, sesekali dirinya harus bermanuver, kala harus melewati belokan tajam. Hingga akhirnya mobil yang dikendarai sang majikan berhenti di salah satu tempat yang ia kenali. "Nyonya ke Seventeen?" gumam Samuel dengan kening berkerut heran. Ia lantas memutar setir kemudi, ikut masuk ke parkiran basement. Mobil mereka berjarak 5 buah. Samuel bahkan bisa melihat Grace dan Chelsea keluar beriringan dari dalam mobil. Keduanya terlihat sesekali tertawa kecil, tampak bercanda satu sama lain, sembari berjalan menyusuri tempat parkir menuju salah satu lift yang ada di dekat mereka. Samuel hanya melihat dari balik kemudi. Kaca mobil yang gelap membantunya agar tak terlihat. "Ada apa, Grace?" tanya Chelsea sembari menekan angka 3 pada tombol lift dekat pintu. Lalu, mengalihkan perhatian pada sang kakak ipar yang justru mengernyitkan dahi dengan pandangan lurus ke area par
Chelsea mendapat kabar bila ibu Kenan meninggal dunia. Sehingga wanita itu memberi waktu Kenan untuk mengurus pemakaman orang tuanya hingga masa berkabung usai.Pagi ini, ia baru saja memastikan pada Grace untuk pergi dengannya malam nanti. Pasalnya, ia tidak akan pergi jika datang ke pesta itu sendiri."Kamu pasti menemaniku nanti malam kan, Grace?" tanya Chelsea melalui sambungan telepon."Tentu saja, Chelsea. Memangnya ada apa?""Uhm, bukan apa-apa sih. Hanya saja supirku sedang cuti, Mama-nya baru saja meninggal dunia.""Astaga?!" Grace terkejut. "Maksud kamu, Mamanya Kenan?""Yes.""Apa dia sakit? Kasihan sekali supirmu itu. Aku lihat dia sangat rajin," puji Grace tanpa sadar. "Dia juga tampak setia.""Tentu, aku bahkan berhutang nyawa padanya.""Hm, aku tau. Ya sudah, nanti aku jemput kamu," ucap Grace kemudian mengakhiri panggilan.Seusai menutup telepon, Grace langsung bersiap meng
Di pagi ini Kenan tampak fokus membawa mobil yang ditumpanginya bersama sang CEO. Siapa lagi kalau bukan Chelsea?Suasana di dalam mobil tampak tenang hingga nada dering ponsel Kenan berbunyi hingga memecah keheningan. Getaran dan irama itu terus mengeluarkan suara beberapa kali."Ken, sepertinya itu telepon penting. Kamu bisa terima dulu," kata Chelsea memberi kebebasan Kenan.Namun, pria itu justru menggeleng, "Tidak papa, Nyonya. Nanti pasti telepon lagi, biasanya dari asuransi."Kenan tetap menginjak pedal gas, mengacuhkan kesempatan yang diberikan Chelsea. Memang benar. Lama sekali nada dering itu terus berbunyi. Pasti ada sesuatu?!"Coba liat dulu, siapa tau penting."Mau tak mau pria itu menepikan mobil kemudian menatap nomor telepon yang tak asing. Kenan menghela berat, "Huh, siapa lagi ini?"Nomor telepon tidak diketahui itu membuat Kenan curiga. Siapa yang menghubunginya?"Hallo ... Apa benar ini
Bab111#"Oh ... My Prince," sapa Grace sangat lembut. "Apa kabar Sayang Mommy ...!""Mommy kenapa sulit sekali ditelepon!" kesal Leon di sebrang sana. Dengan wajah cemberut, anak laki-laki itu melayangkan protes."Hmmm, anak Mommy kenapa cemberut? Maafkan Mommy, Sayang, Mommy lupa kalau ponsel Mommy belum On," rayu Grace berusaha merubah reaksi Leon agar tersenyum. "Ah ya, bagaimana kabar Tuan Fufu? Apa dia nakal?"Mendengar nada suara sang ibu yang sangat lucu, membuat anak itu mengembangkan senyum. "Ya Mom, Tuan Fufu tidak nakal. Dia menurut sama Leon ...""Wah, bagus sekali kalau begitu ..."Sesaat terdengar ketukan pintu kamar Leon. Anak itu langsung mengalihkan ponsel hingga menarik perhatian Grace."Sebentar Mom, ada orang datang.""Siapa yang datang, Sayang? Di mana Aunty Stella?"Sejenak semua hening .... Grace tidak mendengar apapun di ujung panggilan, hingga ia harus menyebut nama sang an
Freya sangat senang melihat reaksi yang diberikan Max saat menelisik foto Grace bersama pria lain yang ia tunjukkan pada Max. Namun, wajah keterkejutan Max tidak memberikan respon apapun setelahnya.Hingga makan siang itu berakhir dan Max justru mengusirnya pergi. Pagi ini Freya semakin naik pitam karena ia belum juga bisa menaklukkan pria itu."Jika rencana kesatu gagal, aku harus pakai rencana kedua! Bisa-bisanya aku tidak melihat dia marah!" monolog Freya di dalam kamar, lalu menarik kuat rambut, "Argh ...! Max bodoh! Pria Stupid!"Freya mondar-mandir di dalam kamar, memikirkan rencana apalagi yang harus ia lakukan. Sejenak ia teringat dengan Darren yang harus mempertemukannya dengan Chelsea. "Hssshh, dia lagi! Kenapa pria-pria di sekitarku semuanya bodoh!" Ocehan Freya terdengar, "Dia kaya, tapi sangat bodoh! Menaklukkan istrinya saja tidak bisa! Huh, dasar pria psikopat!""Andai aku tidak butuh uangnya, aku tidak akan mau
Mendengar permintaan Freya di seberang panggilan, membuat Daren berdecak kesal. Pasalnya, belum saja keduanya bekerja sama, Freya sudah meminta pinjaman dana untuk perusahaan wanita itu. "Enak saja kamu belum apa-apa sudah pinjam dana!" geram Darren. "Buat aku bertemu Chelsea dulu, baru aku berikan suntikan dana!""Aku janji, Darren. Setelah ini aku pastikan kamu bertemu dengan istrimu lagi ...."Bujuk rayuan Freya kerahkan untuk menyelamatkan perusahaannya. Hanya Darren penolongnya saat ini."Kapan aku bisa bertemu dengannya?" tanya Darren memastikan. "Kalau kamu saja tidak yakin, bagiamana denganku? Sorry, aku tidak bisa memberimu pinjaman!"Merasakan gelagat Darren akan menutup telepon, Freya cepat memberi tanggapan atas pertanyaan pria itu. Wanita itu sontak berseru."Lusa, Darren! Aku pastikan lusa kamu bisa bertemu dengan Chelsea!" ucap Freya sangat percaya diri. Meski ia sendiri juga tidak yakin, yang terpenting adalah Vi