Suatu sore, saat Zhao XiJin merasa cukup kuat untuk duduk di kursi di luar tenda, ia meminta Mey Yan menemaninya. Angin sejuk berhembus, membawa aroma khas hutan dan tanah. Mereka duduk berdua dalam diam, menikmati ketenangan yang jarang mereka rasakan di tengah kekacauan.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Mey Yan sambil menatap ke arah pepohonan yang bergerak lembut tertiup angin.“Lebih baik,” jawab Zhao XiJin singkat. “Tapi, aku belum bisa kembali bertugas sepenuhnya.”Mey Yan menoleh padanya, matanya lembut namun tegas. “Tidak apa-apa. Yang terpenting, kau pulih dengan baik.”Zhao XiJin mengangguk. "Kau tahu, aku belum pernah melihatmu seperti ini sebelumnya," ujarnya tiba-tiba. "Aku kira kau tidak akan bisa menahan diri dalam situasi seperti ini."Mey Yan tersenyum tipis. “Mungkin karena kau tidak pernah benar-benar melihatku, XiJin.” Ia mengucapkan kata-kata itu dengan nada ringan, tetapi dalam hatinya ada rasa perih yang terselip. Selama ini, ia tahu dirinya seperti bayangan dalam
Kata-kata itu membuat hati Mey Yan bergetar. Ia tidak pernah membayangkan Zhao XiJin akan berbicara seperti itu tentang dirinya. Ia selalu merasa bahwa kehadirannya tidak begitu berarti bagi suaminya, namun kini ia menyadari bahwa mungkin ia telah meremehkan betapa pentingnya dirinya dalam hidup Zhao XiJin.Minggu-minggu berlalu, dan akhirnya, setelah hampir setahun menunggu, kabar datang bahwa pasukan Zhao XiJin akan segera kembali. Mereka telah memenangkan pertempuran terakhir dan sekarang dalam perjalanan pulang. Mey Yan merasa hatinya berdegup kencang ketika mendengar kabar itu. Ia bergegas mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut suaminya.Hari itu tiba dengan penuh harapan. Di bawah langit cerah, barisan prajurit yang lelah namun penuh kemenangan berjalan memasuki gerbang kamp. Mey Yan berdiri di tepi kerumunan, matanya terus mencari sosok yang ia rindukan. Detik-detik terasa begitu lambat saat ia memindai wajah-wajah yang berlalu.Dan akhirnya, ia melihatnya—Zhao XiJin,
Surat itu berasal dari kamp militer tempat Zhao berada. Isinya singkat, namun penuh arti. Mereka memberitahu bahwa Zhao telah berhasil menyelesaikan tugasnya, tetapi ia mengalami cedera dan masih berada di bawah perawatan. Meskipun luka-lukanya tidak mengancam nyawa, pihak militer menyarankan agar ia tetap berada di kamp untuk pemulihan hingga beberapa bulan ke depan.Mey Yan merasa lega, namun juga sedih. Ada harapan baru dalam dirinya, namun ia juga tahu bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Zhao mungkin tidak dalam bahaya lagi, tapi jalan untuk kembali bersama masih panjang. Dan di saat seperti ini, hanya kesabaran yang bisa menjadi teman sejatinya.Ia menulis balasan untuk Zhao, berusaha menyampaikan semua perasaan yang tertahan selama ini. Ia ingin Zhao tahu bahwa meski jarak memisahkan mereka, hatinya akan selalu menunggu."Aku akan tetap menunggumu, sampai kapan pun," tulisnya di akhir surat.Malam itu, untuk pertama kalinya sejak Zhao pergi, Mey Yan bisa tidur dengan sedikit
Di siang hari, Mey Yan membantu ibunya di kebun. Mereka menanam sayuran dan merawat bunga, sambil sesekali bercanda untuk menghilangkan rasa sepi. Namun, di dalam hati, Mey Yan selalu menunggu dengan harapan bahwa suatu saat, Zhao akan kembali ke pelukannya.Suatu hari, saat sedang memetik sayuran, Mey Yan mendengar suara gaduh di luar desa. Ia menghentikan aktivitasnya dan melangkah ke arah suara tersebut. Ketika tiba di tepi desa, ia melihat sekelompok prajurit memasuki desa dengan wajah tegang. Di antara mereka, Mey Yan mengenali salah satu wajah yang tampak familiar—itu Rina, teman Zhao dari kamp."Mey Yan!" seru Rina ketika melihatnya. "Kami mencari tahu tentang Zhao."Perasaan cemas menghimpit dada Mey Yan. "Ada apa? Apa yang terjadi padanya?" tanyanya dengan suara bergetar."Zhao mengalami insiden di kamp. Dia terluka parah dan harus dibawa kembali ke sini untuk dirawat," Rina menjelaskan, napasnya terengah-engah. "Kami butuh bantuanmu. Dia sangat ingin melihatmu."Dunia Mey Ya
Hari-hari setelah kepergian Zhao, Mey Yan mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenang di desa. Setiap pagi, ia bangun lebih awal, menyiapkan peralatan berkebun, dan pergi membantu ibunya di ladang, persis seperti saat ia pertama kali menunggu Zhao kembali. Bunga-bunga yang ia tanam mulai mekar, seakan menjadi tanda kehadiran Zhao di hatinya—harapan yang tak pernah padam.Namun, seiring berjalannya waktu, rasa rindu semakin dalam. Mey Yan sering kali menatap ke arah jalan desa, berharap Zhao akan muncul di kejauhan, membawa senyum dan harapan baru seperti yang ia janjikan. Namun, setiap malam, ketika hanya ada kesunyian yang menemani, ia harus berjuang untuk tetap tegar, mengingat kata-kata dan janji Zhao sebelum pergi.Suatu hari, ketika ia sedang beristirahat di tepi ladang bersama ibunya, seorang kurir dari istana tiba. Pria itu membawa pesan dari kamp militer. Mey Yan menahan napas, tangan gemetar saat menerima gulungan pesan. Pesan itu mengabarkan bahwa Zhao sedang bera
Seiring waktu, desas-desus mengenai Duke Zhao dan seorang wanita bangsawan lain dari keluarga tetangga menyebar di kalangan desa. Orang-orang mulai membicarakan bagaimana wanita itu tampak sering datang ke kamp militer, membawa hadiah dan makanan bagi para prajurit, terutama untuk Duke Zhao.Mey Yan mendengar kabar ini pertama kali dari seorang pelayan yang tidak sengaja menyebutkan nama wanita itu, Lady Lin, saat membantu Mey Yan di taman. Meski ragu untuk mempercayainya, Mey Yan merasakan gejolak dalam hatinya. Bayangan Duke Zhao bersama wanita lain menimbulkan rasa gelisah yang sulit ia kendalikan.Di malam hari, Mey Yan menulis surat untuk Duke Zhao. Namun, alih-alih menanyakan kebenaran rumor, ia menumpahkan kerinduan dan kecemasannya tanpa menyinggung hal tersebut, berharap Zhao akan menjelaskan jika ada sesuatu yang perlu ia ketahui.Beberapa minggu kemudian, surat balasan datang dari Zhao. Namun, surat itu singkat dan datar, hanya membahas kondisi di kamp tanpa sedikit pun men
Duke Zhao berdiri diam di hadapan Mey Yan, masih mencoba meresapi kata-kata istrinya. Keheningan yang menyelimuti mereka kini terasa berbeda, dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara.Mey Yan mengusap wajahnya, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ia menatap ke arah Zhao, tatapannya menunjukkan kejujuran dan keberanian yang selama ini mungkin tak pernah diperlihatkannya di hadapan suaminya. "Aku tidak tahu seberapa berat beban yang kau tanggung, Zhao," suaranya terdengar lembut namun tegas. "Tapi aku ingin menjadi seseorang yang bisa kau percaya, seseorang yang bisa kau ajak berbagi."Zhao memejamkan mata sejenak, seolah berjuang dengan dirinya sendiri. "Ini bukan hanya tentang kepercayaan, Mey Yan. Aku telah terbiasa memikul tanggung jawab ini sendirian, menjaga martabat dan posisiku sebagai pemimpin di depan para prajurit."Mey Yan menghela napas, mencoba memahami. "Aku mengerti, tetapi sebagai istrimu, aku juga memiliki peran dalam hidupmu. Aku tidak ingin menja
Malam itu, setelah Zhao kembali ke barak bersama para prajuritnya, Mey Yan melangkah pulang dengan hati yang masih bergemuruh. Rasa cemas dan harapannya bertarung di dalam dadanya, namun ia berusaha menenangkan diri dengan keyakinan bahwa Zhao akan menepati janjinya untuk kembali dengan selamat.Setibanya di rumah, ia menyibukkan diri di taman yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu saat merindukan Zhao. Tangan-tangannya sibuk merawat bunga-bunga, namun pikirannya jauh melayang, memikirkan bayangan suaminya yang berjuang di medan pertempuran.Beberapa hari berlalu dengan lambat dan sunyi, dan kabar dari kamp militer masih belum datang. Setiap kali pelayan datang membawa surat atau pesan, harapan Mey Yan terbang tinggi hanya untuk jatuh kembali ketika tidak ada berita tentang Zhao. Namun, ia tetap menahan diri, berusaha kuat di depan semua orang yang ada di rumah, meski di dalam dirinya mulai muncul kekhawatiran yang semakin besar.Di tengah kegelisahannya, tiba-tiba datang sebuah su
Zhao menarik napas dalam-dalam, menekan perasaan yang mulai memuncak di dadanya. Ia tahu bahwa keadaan di luar sana tidaklah mudah, dan meskipun ia terbiasa menghadapi pertempuran, tekanan yang datang dari dalam hati jauh lebih sulit untuk dihadapi. Tidak ada yang bisa menjelaskan kecemasannya saat memikirkan Mey Yan—istrinya yang kini berada di Istana, tempat yang penuh dengan intrik dan permainan kekuasaan yang tak terduga.Dalam hening malam itu, langkah-langkah lembut terdengar dari pintu belakang ruangannya. Zhao berbalik, dan dengan cepat, wajahnya yang penuh pemikiran berubah menjadi serius. Seorang pelayan masuk dengan membawa surat. “Tuan, surat dari Putri Mey Yan,” kata pelayan itu, membungkuk rendah.Zhao meraih surat itu dengan cepat, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka gulungan surat tersebut. Hatinya berdebar saat membaca tulisan tangan Mey Yan, yang meskipun sederhana, terasa penuh dengan ketulusan dan perasaan y
Senja di Kediaman JenderalLangit berubah warna menjadi jingga keemasan saat matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Angin musim semi berembus lembut, menggoyangkan kelopak bunga plum yang bermekaran di halaman kediaman Jenderal Zhao. Aroma tanah dan embun bercampur dengan wangi teh hangat yang baru saja dituangkan oleh Lian di meja batu.Mey Yan duduk di bawah paviliun kayu, menatap cangkir teh di tangannya dengan tatapan kosong. Ia masih memikirkan percakapannya dengan Zhao tadi sore."Aku ingin memperbaiki semuanya."Kata-kata itu terus terngiang di benaknya. Ia ingin mempercayai Zhao, tapi terlalu banyak ketidakpastian yang masih mengikat hatinya. Apalagi, bayangan Lady Lin terus menghantui pikirannya.Suara langkah kaki di jalan berbatu menarik perhatiannya. Ia mengangkat kepala dan melihat Zhao berjalan mendekat. Mantel militernya sedikit berkibar tertiup angin, menambah kesan gagah pada sosoknya."Sudah malam, kenapa kau belum masuk?" tanya Zhao dengan suara rendah, matanya
Mey Yan masih menatap Zhao dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia ingin mempercayai kata-katanya, ingin mempercayai bahwa tak ada yang terjadi antara Zhao dan Lady Lin. Namun, bayangan wanita itu yang berdiri di sisi Zhao di perkemahan masih membekas di benaknya."Aku ingin percaya padamu, Zhao," katanya pelan, suaranya hampir bergetar. "Tapi selama ini aku merasa seperti orang luar dalam hidupmu. Aku tidak pernah tahu apa yang kau pikirkan, bagaimana perasaanmu… dan sekarang, tiba-tiba kau mengatakan kau takut kehilangan aku. Bagaimana aku bisa memahami semua ini?"Zhao menatapnya dengan sorot mata yang jarang ia tunjukkan—sesuatu yang dalam, penuh perasaan. "Aku tahu aku telah banyak melakukan kesalahan, Mey Yan. Aku tahu aku telah membuatmu merasa sendirian. Tapi percayalah, bukan karena aku tidak peduli. Justru karena aku peduli, aku tidak tahu harus berbuat apa."Mey Yan tertawa kecil, tapi itu bukan tawa bahagia. "Kalau kau peduli, seharusnya kau tidak membuatku merasa sendiria
Malam semakin larut, tetapi Mey Yan masih belum beranjak dari tempatnya. Udara dingin menyelinap di antara helaian rambutnya, namun pikirannya tetap dipenuhi oleh bayangan Zhao. Kata-kata Nenek Ru masih terngiang di telinganya, membiarkan hatinya bergulat dengan perasaan yang sulit ia kendalikan.Zhao memang bukan pria yang mudah di mengerti. Ia dingin, keras, dan selalu menyimpan pikirannya sendiri. Tetapi, di balik sikapnya yang terlihat tak peduli, ada hal-hal kecil yang selama ini mungkin luput dari perhatiannya—tatapan yang lebih lama dari seharusnya, genggaman yang tidak segera dilepaskan, dan kata-kata yang meskipun sederhana, terasa jujur.Mey Yan menarik napas dalam-dalam, matanya menatap permukaan air di kolam yang bergoyang pelan. Apakah ia benar-benar ingin terus meragukan perasaan Zhao? Atau ini hanya bentuk ketakutannya sendiri?"Nyonya, lebih baik masuk sebelum udara semakin dingin." Suara lembut Nenek Ru membuyarkan lamunannya.Mey Yan menoleh, lalu tersenyum tipis. "A
Mey Yan menghela napas panjang. Malam yang seharusnya memberi ketenangan justru menjadi saksi atas perasaannya yang bergejolak. Kata-kata Zhao terdengar tulus, tapi bayangan Lady Lin masih terukir jelas dalam benaknya. Apakah benar tidak ada yang terjadi di antara mereka? Ataukah ia hanya terlalu takut menerima kenyataan?Zhao menggenggam tangannya lebih erat, seolah tak ingin kehilangan kesempatan untuk meyakinkannya. “Aku tahu sulit bagimu untuk mempercayaiku sekarang, tapi aku ingin kamu melihat hatiku, Nyonya. Aku tidak akan pernah melukai perasaanmu dengan sengaja.”Mey Yan menatapnya, mencari sesuatu dalam sorot mata Zhao—kejujuran, ketulusan, atau mungkin hanya jawaban yang bisa menenangkan pikirannya. Namun, pikirannya tetap dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung menemukan kepastian.“Aku ingin percaya, Tuan,” katanya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh hembusan angin malam. “Tapi hatiku masih takut.”Zhao terdiam, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak akan memaksamu untuk memperc
Setelah beberapa hari di ibu kota, Mey Yan mulai merasakan betapa beratnya beban yang harus ia pikul. Setiap langkah yang diambilnya terasa lebih berat dari sebelumnya, seperti ada banyak mata yang mengawasi, menilai, dan mungkin saja menunggunya untuk gagal. Istana yang dulu terasa begitu nyaman kini menjadi penjara bagi hatinya. Rasa cemas yang menggerogoti dirinya terus mengganggu, terutama setelah ia mendapatkan kabar bahwa ada kelompok yang berusaha menggulingkan kekuasaan kerajaan. Hal itu membuat situasi semakin tidak menentu, dan Mey Yan merasa seperti berada di tengah badai yang tak bisa ia hindari.Malam itu, setelah berhari-hari sibuk dengan berbagai urusan kerajaan, Mey Yan memutuskan untuk berjalan di sekitar taman istana. Angin malam yang sejuk berhembus, membawa aroma bunga-bunga yang masih mekar, namun tidak mampu mengusir kegelisahan yang menggelayuti pikirannya. Setiap bayangan di sekitar taman seolah menjadi sesuatu yang asing dan menakutkan. Tiba-tiba, langkahnya t
Zhao masih memeluk Mey Yan dengan erat, seolah ingin menyatukan dua jiwa yang terpisah oleh jarak dan waktu. Mey Yan bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, begitu jelas di telinganya. Ada sesuatu dalam pelukan itu yang membuat hatinya sedikit lebih tenang, namun keraguan yang masih mengendap tak bisa diabaikan begitu saja.“Mey Yan…” suara Zhao terdengar lagi, lebih lembut, namun ada penekanan dalam kata-katanya. “Aku tahu, ini tidak mudah. Aku tahu aku telah membuatmu merasa sepi dan terabaikan, dan itu adalah salahku. Tapi percayalah, tidak ada satu pun hal yang lebih penting bagiku selain dirimu.”Mey Yan menatap ke lantai, matanya mulai buram oleh air mata yang menunggu untuk jatuh. Ia ingin percaya, ia ingin sekali mempercayai kata-kata itu. Tapi hatinya terlalu rapuh untuk itu. Rasa takut yang tiba-tiba datang, keraguan yang begitu dalam, semua itu seakan-akan meruntuhkan segala usaha yang telah dilakukan Zhao untuk meyakinkannya.“Dan Lady Lin, Tuan?” Suaranya hamp
Zhao berdiri di depan Mey Yan, memandangnya dengan tatapan penuh makna. Meski ia mencoba mengendalikan diri, ada perasaan cemas yang terpendam dalam hatinya. Ia tahu betapa berat perasaan Mey Yan saat ini, betapa banyak yang harus ia hadapi dan jelaskan. Namun, kata-kata tak selalu cukup untuk menyembuhkan luka yang ada.Mey Yan menunduk, matanya menyentuh tanah seakan mencoba menghindari tatapan Zhao. Beberapa saat yang lalu, saat pertama kali datang ke kamp, semuanya terasa jauh lebih sederhana. Perasaan yang ia miliki untuk Zhao begitu kuat, bahkan sebelum mereka menikah, tapi kenyataan ini terasa berbeda. Begitu banyak yang mengganggu pikirannya, termasuk kehadiran Lady Lin yang sering datang membawa hadiah dan makanan untuk para prajurit. Hatinya terasa tercabik-cabik, tak tahu apa yang harus ia percayai lagi.Zhao menghela napas panjang, mendekat sedikit, dan meraih tangan Mey Yan yang terkulai di sampingnya. “Aku tahu kau terluka, Mey Yan. Aku juga merasakannya. Tapi kita harus
Mey Yan berdiri di balik pepohonan, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, tapi bukan karena perjalanan panjang yang baru saja ia tempuh. Apa yang dilihatnya kini—Zhao dan Lady Lin berdiri berdekatan, berbincang dalam suasana yang tampak akrab—membuat dadanya terasa sesak.Lady Lin tersenyum lembut, tatapannya tertuju pada Zhao dengan cara yang membuat hati Mey Yan bergejolak. Ia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi cukup melihat gerak-gerik keduanya untuk merasakan sesuatu yang asing di dalam hatinya.Ragu, Mey Yan menggigit bibir bawahnya. Apakah ia harus maju dan memanggil Zhao? Atau haruskah ia tetap di tempatnya dan menunggu hingga mereka berpisah?Liang Hui yang berdiri di sampingnya tampak gelisah. “Nyonya…” bisiknya pelan, seolah ikut merasakan kebimbangan yang sama.Mey Yan menghela napas panjang. Ia tidak ingin berpikiran buruk, tetapi bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan apa yang ada di depan matanya?Namun, sebelum ia semp