Kata-kata itu membuat hati Mey Yan bergetar. Ia tidak pernah membayangkan Zhao XiJin akan berbicara seperti itu tentang dirinya. Ia selalu merasa bahwa kehadirannya tidak begitu berarti bagi suaminya, namun kini ia menyadari bahwa mungkin ia telah meremehkan betapa pentingnya dirinya dalam hidup Zhao XiJin.Minggu-minggu berlalu, dan akhirnya, setelah hampir setahun menunggu, kabar datang bahwa pasukan Zhao XiJin akan segera kembali. Mereka telah memenangkan pertempuran terakhir dan sekarang dalam perjalanan pulang. Mey Yan merasa hatinya berdegup kencang ketika mendengar kabar itu. Ia bergegas mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut suaminya.Hari itu tiba dengan penuh harapan. Di bawah langit cerah, barisan prajurit yang lelah namun penuh kemenangan berjalan memasuki gerbang kamp. Mey Yan berdiri di tepi kerumunan, matanya terus mencari sosok yang ia rindukan. Detik-detik terasa begitu lambat saat ia memindai wajah-wajah yang berlalu.Dan akhirnya, ia melihatnya—Zhao XiJin,
Surat itu berasal dari kamp militer tempat Zhao berada. Isinya singkat, namun penuh arti. Mereka memberitahu bahwa Zhao telah berhasil menyelesaikan tugasnya, tetapi ia mengalami cedera dan masih berada di bawah perawatan. Meskipun luka-lukanya tidak mengancam nyawa, pihak militer menyarankan agar ia tetap berada di kamp untuk pemulihan hingga beberapa bulan ke depan.Mey Yan merasa lega, namun juga sedih. Ada harapan baru dalam dirinya, namun ia juga tahu bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Zhao mungkin tidak dalam bahaya lagi, tapi jalan untuk kembali bersama masih panjang. Dan di saat seperti ini, hanya kesabaran yang bisa menjadi teman sejatinya.Ia menulis balasan untuk Zhao, berusaha menyampaikan semua perasaan yang tertahan selama ini. Ia ingin Zhao tahu bahwa meski jarak memisahkan mereka, hatinya akan selalu menunggu."Aku akan tetap menunggumu, sampai kapan pun," tulisnya di akhir surat.Malam itu, untuk pertama kalinya sejak Zhao pergi, Mey Yan bisa tidur dengan sedikit
Di siang hari, Mey Yan membantu ibunya di kebun. Mereka menanam sayuran dan merawat bunga, sambil sesekali bercanda untuk menghilangkan rasa sepi. Namun, di dalam hati, Mey Yan selalu menunggu dengan harapan bahwa suatu saat, Zhao akan kembali ke pelukannya.Suatu hari, saat sedang memetik sayuran, Mey Yan mendengar suara gaduh di luar desa. Ia menghentikan aktivitasnya dan melangkah ke arah suara tersebut. Ketika tiba di tepi desa, ia melihat sekelompok prajurit memasuki desa dengan wajah tegang. Di antara mereka, Mey Yan mengenali salah satu wajah yang tampak familiar—itu Rina, teman Zhao dari kamp."Mey Yan!" seru Rina ketika melihatnya. "Kami mencari tahu tentang Zhao."Perasaan cemas menghimpit dada Mey Yan. "Ada apa? Apa yang terjadi padanya?" tanyanya dengan suara bergetar."Zhao mengalami insiden di kamp. Dia terluka parah dan harus dibawa kembali ke sini untuk dirawat," Rina menjelaskan, napasnya terengah-engah. "Kami butuh bantuanmu. Dia sangat ingin melihatmu."Dunia Mey Ya
Hari-hari setelah kepergian Zhao, Mey Yan mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenang di desa. Setiap pagi, ia bangun lebih awal, menyiapkan peralatan berkebun, dan pergi membantu ibunya di ladang, persis seperti saat ia pertama kali menunggu Zhao kembali. Bunga-bunga yang ia tanam mulai mekar, seakan menjadi tanda kehadiran Zhao di hatinya—harapan yang tak pernah padam.Namun, seiring berjalannya waktu, rasa rindu semakin dalam. Mey Yan sering kali menatap ke arah jalan desa, berharap Zhao akan muncul di kejauhan, membawa senyum dan harapan baru seperti yang ia janjikan. Namun, setiap malam, ketika hanya ada kesunyian yang menemani, ia harus berjuang untuk tetap tegar, mengingat kata-kata dan janji Zhao sebelum pergi.Suatu hari, ketika ia sedang beristirahat di tepi ladang bersama ibunya, seorang kurir dari istana tiba. Pria itu membawa pesan dari kamp militer. Mey Yan menahan napas, tangan gemetar saat menerima gulungan pesan. Pesan itu mengabarkan bahwa Zhao sedang bera
Seiring waktu, desas-desus mengenai Duke Zhao dan seorang wanita bangsawan lain dari keluarga tetangga menyebar di kalangan desa. Orang-orang mulai membicarakan bagaimana wanita itu tampak sering datang ke kamp militer, membawa hadiah dan makanan bagi para prajurit, terutama untuk Duke Zhao.Mey Yan mendengar kabar ini pertama kali dari seorang pelayan yang tidak sengaja menyebutkan nama wanita itu, Lady Lin, saat membantu Mey Yan di taman. Meski ragu untuk mempercayainya, Mey Yan merasakan gejolak dalam hatinya. Bayangan Duke Zhao bersama wanita lain menimbulkan rasa gelisah yang sulit ia kendalikan.Di malam hari, Mey Yan menulis surat untuk Duke Zhao. Namun, alih-alih menanyakan kebenaran rumor, ia menumpahkan kerinduan dan kecemasannya tanpa menyinggung hal tersebut, berharap Zhao akan menjelaskan jika ada sesuatu yang perlu ia ketahui.Beberapa minggu kemudian, surat balasan datang dari Zhao. Namun, surat itu singkat dan datar, hanya membahas kondisi di kamp tanpa sedikit pun men
Duke Zhao berdiri diam di hadapan Mey Yan, masih mencoba meresapi kata-kata istrinya. Keheningan yang menyelimuti mereka kini terasa berbeda, dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara.Mey Yan mengusap wajahnya, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ia menatap ke arah Zhao, tatapannya menunjukkan kejujuran dan keberanian yang selama ini mungkin tak pernah diperlihatkannya di hadapan suaminya. "Aku tidak tahu seberapa berat beban yang kau tanggung, Zhao," suaranya terdengar lembut namun tegas. "Tapi aku ingin menjadi seseorang yang bisa kau percaya, seseorang yang bisa kau ajak berbagi."Zhao memejamkan mata sejenak, seolah berjuang dengan dirinya sendiri. "Ini bukan hanya tentang kepercayaan, Mey Yan. Aku telah terbiasa memikul tanggung jawab ini sendirian, menjaga martabat dan posisiku sebagai pemimpin di depan para prajurit."Mey Yan menghela napas, mencoba memahami. "Aku mengerti, tetapi sebagai istrimu, aku juga memiliki peran dalam hidupmu. Aku tidak ingin menja
Malam itu, setelah Zhao kembali ke barak bersama para prajuritnya, Mey Yan melangkah pulang dengan hati yang masih bergemuruh. Rasa cemas dan harapannya bertarung di dalam dadanya, namun ia berusaha menenangkan diri dengan keyakinan bahwa Zhao akan menepati janjinya untuk kembali dengan selamat.Setibanya di rumah, ia menyibukkan diri di taman yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu saat merindukan Zhao. Tangan-tangannya sibuk merawat bunga-bunga, namun pikirannya jauh melayang, memikirkan bayangan suaminya yang berjuang di medan pertempuran.Beberapa hari berlalu dengan lambat dan sunyi, dan kabar dari kamp militer masih belum datang. Setiap kali pelayan datang membawa surat atau pesan, harapan Mey Yan terbang tinggi hanya untuk jatuh kembali ketika tidak ada berita tentang Zhao. Namun, ia tetap menahan diri, berusaha kuat di depan semua orang yang ada di rumah, meski di dalam dirinya mulai muncul kekhawatiran yang semakin besar.Di tengah kegelisahannya, tiba-tiba datang sebuah su
"HUKUM SAJA!""BAKAR PUTRI PENGHIANAT!""HABISI PUTRI PENGHIANAT!"Suara kejam itu saling bersahutan menghakimi sosok gadis yang telah siap untuk menerima hukuman nya di atas altar, mata nya menyorot sang ayah dan juga kakak nya yang hanya menatap datar dirinya. Matanya beralih menatap sosok gagah di sebelah sang ayah, sosok itu menatap datar dirinya, bahkan tak ada raut kesedihan ataupun rasa ingin melindungi dirinya yang sebentar lagi akan kehilangan nyawa."Huhuhu tuan putri! Jangan penggal tuan putri!" Mata indah gadis itu beralih pada sosok gadis mungil dan juga wanita tua yang tengah menangis dan berusaha meminta belas kasih semua orang agar melepaskan nya dari hukuman mati ini.Matanya menatap sayu pada kedua pelayan setia nya, ia hanya bisa menitikkan air mata di saat semua orang mengharapkan kematiannya tapi kedua pelayan itu rela mendapat tendangan dan juga pukulan hanya demi dirinya tak di hukum mati."Maaf," lirih nya kemudian kedua mata indah itu tertutup disertai goresan
Malam itu, setelah Zhao kembali ke barak bersama para prajuritnya, Mey Yan melangkah pulang dengan hati yang masih bergemuruh. Rasa cemas dan harapannya bertarung di dalam dadanya, namun ia berusaha menenangkan diri dengan keyakinan bahwa Zhao akan menepati janjinya untuk kembali dengan selamat.Setibanya di rumah, ia menyibukkan diri di taman yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu saat merindukan Zhao. Tangan-tangannya sibuk merawat bunga-bunga, namun pikirannya jauh melayang, memikirkan bayangan suaminya yang berjuang di medan pertempuran.Beberapa hari berlalu dengan lambat dan sunyi, dan kabar dari kamp militer masih belum datang. Setiap kali pelayan datang membawa surat atau pesan, harapan Mey Yan terbang tinggi hanya untuk jatuh kembali ketika tidak ada berita tentang Zhao. Namun, ia tetap menahan diri, berusaha kuat di depan semua orang yang ada di rumah, meski di dalam dirinya mulai muncul kekhawatiran yang semakin besar.Di tengah kegelisahannya, tiba-tiba datang sebuah su
Duke Zhao berdiri diam di hadapan Mey Yan, masih mencoba meresapi kata-kata istrinya. Keheningan yang menyelimuti mereka kini terasa berbeda, dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara.Mey Yan mengusap wajahnya, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ia menatap ke arah Zhao, tatapannya menunjukkan kejujuran dan keberanian yang selama ini mungkin tak pernah diperlihatkannya di hadapan suaminya. "Aku tidak tahu seberapa berat beban yang kau tanggung, Zhao," suaranya terdengar lembut namun tegas. "Tapi aku ingin menjadi seseorang yang bisa kau percaya, seseorang yang bisa kau ajak berbagi."Zhao memejamkan mata sejenak, seolah berjuang dengan dirinya sendiri. "Ini bukan hanya tentang kepercayaan, Mey Yan. Aku telah terbiasa memikul tanggung jawab ini sendirian, menjaga martabat dan posisiku sebagai pemimpin di depan para prajurit."Mey Yan menghela napas, mencoba memahami. "Aku mengerti, tetapi sebagai istrimu, aku juga memiliki peran dalam hidupmu. Aku tidak ingin menja
Seiring waktu, desas-desus mengenai Duke Zhao dan seorang wanita bangsawan lain dari keluarga tetangga menyebar di kalangan desa. Orang-orang mulai membicarakan bagaimana wanita itu tampak sering datang ke kamp militer, membawa hadiah dan makanan bagi para prajurit, terutama untuk Duke Zhao.Mey Yan mendengar kabar ini pertama kali dari seorang pelayan yang tidak sengaja menyebutkan nama wanita itu, Lady Lin, saat membantu Mey Yan di taman. Meski ragu untuk mempercayainya, Mey Yan merasakan gejolak dalam hatinya. Bayangan Duke Zhao bersama wanita lain menimbulkan rasa gelisah yang sulit ia kendalikan.Di malam hari, Mey Yan menulis surat untuk Duke Zhao. Namun, alih-alih menanyakan kebenaran rumor, ia menumpahkan kerinduan dan kecemasannya tanpa menyinggung hal tersebut, berharap Zhao akan menjelaskan jika ada sesuatu yang perlu ia ketahui.Beberapa minggu kemudian, surat balasan datang dari Zhao. Namun, surat itu singkat dan datar, hanya membahas kondisi di kamp tanpa sedikit pun men
Hari-hari setelah kepergian Zhao, Mey Yan mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenang di desa. Setiap pagi, ia bangun lebih awal, menyiapkan peralatan berkebun, dan pergi membantu ibunya di ladang, persis seperti saat ia pertama kali menunggu Zhao kembali. Bunga-bunga yang ia tanam mulai mekar, seakan menjadi tanda kehadiran Zhao di hatinya—harapan yang tak pernah padam.Namun, seiring berjalannya waktu, rasa rindu semakin dalam. Mey Yan sering kali menatap ke arah jalan desa, berharap Zhao akan muncul di kejauhan, membawa senyum dan harapan baru seperti yang ia janjikan. Namun, setiap malam, ketika hanya ada kesunyian yang menemani, ia harus berjuang untuk tetap tegar, mengingat kata-kata dan janji Zhao sebelum pergi.Suatu hari, ketika ia sedang beristirahat di tepi ladang bersama ibunya, seorang kurir dari istana tiba. Pria itu membawa pesan dari kamp militer. Mey Yan menahan napas, tangan gemetar saat menerima gulungan pesan. Pesan itu mengabarkan bahwa Zhao sedang bera
Di siang hari, Mey Yan membantu ibunya di kebun. Mereka menanam sayuran dan merawat bunga, sambil sesekali bercanda untuk menghilangkan rasa sepi. Namun, di dalam hati, Mey Yan selalu menunggu dengan harapan bahwa suatu saat, Zhao akan kembali ke pelukannya.Suatu hari, saat sedang memetik sayuran, Mey Yan mendengar suara gaduh di luar desa. Ia menghentikan aktivitasnya dan melangkah ke arah suara tersebut. Ketika tiba di tepi desa, ia melihat sekelompok prajurit memasuki desa dengan wajah tegang. Di antara mereka, Mey Yan mengenali salah satu wajah yang tampak familiar—itu Rina, teman Zhao dari kamp."Mey Yan!" seru Rina ketika melihatnya. "Kami mencari tahu tentang Zhao."Perasaan cemas menghimpit dada Mey Yan. "Ada apa? Apa yang terjadi padanya?" tanyanya dengan suara bergetar."Zhao mengalami insiden di kamp. Dia terluka parah dan harus dibawa kembali ke sini untuk dirawat," Rina menjelaskan, napasnya terengah-engah. "Kami butuh bantuanmu. Dia sangat ingin melihatmu."Dunia Mey Ya
Surat itu berasal dari kamp militer tempat Zhao berada. Isinya singkat, namun penuh arti. Mereka memberitahu bahwa Zhao telah berhasil menyelesaikan tugasnya, tetapi ia mengalami cedera dan masih berada di bawah perawatan. Meskipun luka-lukanya tidak mengancam nyawa, pihak militer menyarankan agar ia tetap berada di kamp untuk pemulihan hingga beberapa bulan ke depan.Mey Yan merasa lega, namun juga sedih. Ada harapan baru dalam dirinya, namun ia juga tahu bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Zhao mungkin tidak dalam bahaya lagi, tapi jalan untuk kembali bersama masih panjang. Dan di saat seperti ini, hanya kesabaran yang bisa menjadi teman sejatinya.Ia menulis balasan untuk Zhao, berusaha menyampaikan semua perasaan yang tertahan selama ini. Ia ingin Zhao tahu bahwa meski jarak memisahkan mereka, hatinya akan selalu menunggu."Aku akan tetap menunggumu, sampai kapan pun," tulisnya di akhir surat.Malam itu, untuk pertama kalinya sejak Zhao pergi, Mey Yan bisa tidur dengan sedikit
Kata-kata itu membuat hati Mey Yan bergetar. Ia tidak pernah membayangkan Zhao XiJin akan berbicara seperti itu tentang dirinya. Ia selalu merasa bahwa kehadirannya tidak begitu berarti bagi suaminya, namun kini ia menyadari bahwa mungkin ia telah meremehkan betapa pentingnya dirinya dalam hidup Zhao XiJin.Minggu-minggu berlalu, dan akhirnya, setelah hampir setahun menunggu, kabar datang bahwa pasukan Zhao XiJin akan segera kembali. Mereka telah memenangkan pertempuran terakhir dan sekarang dalam perjalanan pulang. Mey Yan merasa hatinya berdegup kencang ketika mendengar kabar itu. Ia bergegas mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut suaminya.Hari itu tiba dengan penuh harapan. Di bawah langit cerah, barisan prajurit yang lelah namun penuh kemenangan berjalan memasuki gerbang kamp. Mey Yan berdiri di tepi kerumunan, matanya terus mencari sosok yang ia rindukan. Detik-detik terasa begitu lambat saat ia memindai wajah-wajah yang berlalu.Dan akhirnya, ia melihatnya—Zhao XiJin,
Suatu sore, saat Zhao XiJin merasa cukup kuat untuk duduk di kursi di luar tenda, ia meminta Mey Yan menemaninya. Angin sejuk berhembus, membawa aroma khas hutan dan tanah. Mereka duduk berdua dalam diam, menikmati ketenangan yang jarang mereka rasakan di tengah kekacauan.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Mey Yan sambil menatap ke arah pepohonan yang bergerak lembut tertiup angin.“Lebih baik,” jawab Zhao XiJin singkat. “Tapi, aku belum bisa kembali bertugas sepenuhnya.”Mey Yan menoleh padanya, matanya lembut namun tegas. “Tidak apa-apa. Yang terpenting, kau pulih dengan baik.”Zhao XiJin mengangguk. "Kau tahu, aku belum pernah melihatmu seperti ini sebelumnya," ujarnya tiba-tiba. "Aku kira kau tidak akan bisa menahan diri dalam situasi seperti ini."Mey Yan tersenyum tipis. “Mungkin karena kau tidak pernah benar-benar melihatku, XiJin.” Ia mengucapkan kata-kata itu dengan nada ringan, tetapi dalam hatinya ada rasa perih yang terselip. Selama ini, ia tahu dirinya seperti bayangan dalam
Dengan restu dari keluarga Zhao, Mey Yan segera mempersiapkan perjalanannya. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di kamp militer, atau bagaimana Zhao XiJin akan menyambutnya. Tapi satu hal yang ia tahu, ia akan berada di sisinya. Meskipun Zhao XiJin mungkin tidak mengharapkan kehadirannya, Mey Yan telah memutuskan bahwa inilah saatnya ia berjuang untuk suaminya, sebagaimana suaminya berjuang di medan perang.Perjalanan ke kamp militer bukanlah perjalanan yang mudah. Mey Yan harus melewati jalan-jalan berbatu dan medan yang sulit. Namun, di sepanjang perjalanan, ia merasa hatinya semakin kuat. Ia tidak lagi hanya istri yang diam di rumah, melainkan seorang wanita yang siap menghadapi segala kemungkinan demi orang yang ia sayangi.Ketika ia tiba di kamp, suasana yang muram menyambutnya. Pasukan yang lelah dan luka-luka terlihat di mana-mana. Mey Yan segera menuju tenda perawatan di mana Zhao XiJin dirawat. Saat ia memasuki tenda, ia melihat Zhao XiJin sedang berbaring dengan mata ter