Hari-hari setelah kepergian Zhao, Mey Yan mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenang di desa. Setiap pagi, ia bangun lebih awal, menyiapkan peralatan berkebun, dan pergi membantu ibunya di ladang, persis seperti saat ia pertama kali menunggu Zhao kembali. Bunga-bunga yang ia tanam mulai mekar, seakan menjadi tanda kehadiran Zhao di hatinya—harapan yang tak pernah padam.Namun, seiring berjalannya waktu, rasa rindu semakin dalam. Mey Yan sering kali menatap ke arah jalan desa, berharap Zhao akan muncul di kejauhan, membawa senyum dan harapan baru seperti yang ia janjikan. Namun, setiap malam, ketika hanya ada kesunyian yang menemani, ia harus berjuang untuk tetap tegar, mengingat kata-kata dan janji Zhao sebelum pergi.Suatu hari, ketika ia sedang beristirahat di tepi ladang bersama ibunya, seorang kurir dari istana tiba. Pria itu membawa pesan dari kamp militer. Mey Yan menahan napas, tangan gemetar saat menerima gulungan pesan. Pesan itu mengabarkan bahwa Zhao sedang bera
Seiring waktu, desas-desus mengenai Duke Zhao dan seorang wanita bangsawan lain dari keluarga tetangga menyebar di kalangan desa. Orang-orang mulai membicarakan bagaimana wanita itu tampak sering datang ke kamp militer, membawa hadiah dan makanan bagi para prajurit, terutama untuk Duke Zhao.Mey Yan mendengar kabar ini pertama kali dari seorang pelayan yang tidak sengaja menyebutkan nama wanita itu, Lady Lin, saat membantu Mey Yan di taman. Meski ragu untuk mempercayainya, Mey Yan merasakan gejolak dalam hatinya. Bayangan Duke Zhao bersama wanita lain menimbulkan rasa gelisah yang sulit ia kendalikan.Di malam hari, Mey Yan menulis surat untuk Duke Zhao. Namun, alih-alih menanyakan kebenaran rumor, ia menumpahkan kerinduan dan kecemasannya tanpa menyinggung hal tersebut, berharap Zhao akan menjelaskan jika ada sesuatu yang perlu ia ketahui.Beberapa minggu kemudian, surat balasan datang dari Zhao. Namun, surat itu singkat dan datar, hanya membahas kondisi di kamp tanpa sedikit pun men
Duke Zhao berdiri diam di hadapan Mey Yan, masih mencoba meresapi kata-kata istrinya. Keheningan yang menyelimuti mereka kini terasa berbeda, dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara.Mey Yan mengusap wajahnya, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ia menatap ke arah Zhao, tatapannya menunjukkan kejujuran dan keberanian yang selama ini mungkin tak pernah diperlihatkannya di hadapan suaminya. "Aku tidak tahu seberapa berat beban yang kau tanggung, Zhao," suaranya terdengar lembut namun tegas. "Tapi aku ingin menjadi seseorang yang bisa kau percaya, seseorang yang bisa kau ajak berbagi."Zhao memejamkan mata sejenak, seolah berjuang dengan dirinya sendiri. "Ini bukan hanya tentang kepercayaan, Mey Yan. Aku telah terbiasa memikul tanggung jawab ini sendirian, menjaga martabat dan posisiku sebagai pemimpin di depan para prajurit."Mey Yan menghela napas, mencoba memahami. "Aku mengerti, tetapi sebagai istrimu, aku juga memiliki peran dalam hidupmu. Aku tidak ingin menja
Malam itu, setelah Zhao kembali ke barak bersama para prajuritnya, Mey Yan melangkah pulang dengan hati yang masih bergemuruh. Rasa cemas dan harapannya bertarung di dalam dadanya, namun ia berusaha menenangkan diri dengan keyakinan bahwa Zhao akan menepati janjinya untuk kembali dengan selamat.Setibanya di rumah, ia menyibukkan diri di taman yang menjadi tempatnya menghabiskan waktu saat merindukan Zhao. Tangan-tangannya sibuk merawat bunga-bunga, namun pikirannya jauh melayang, memikirkan bayangan suaminya yang berjuang di medan pertempuran.Beberapa hari berlalu dengan lambat dan sunyi, dan kabar dari kamp militer masih belum datang. Setiap kali pelayan datang membawa surat atau pesan, harapan Mey Yan terbang tinggi hanya untuk jatuh kembali ketika tidak ada berita tentang Zhao. Namun, ia tetap menahan diri, berusaha kuat di depan semua orang yang ada di rumah, meski di dalam dirinya mulai muncul kekhawatiran yang semakin besar.Di tengah kegelisahannya, tiba-tiba datang sebuah su
Mey Yan memperhatikan Lady Lin dengan saksama, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan dari raut wajahnya. Namun, tatapan Lady Lin tetap tenang, tanpa sedikit pun memperlihatkan rasa bersalah atau kesan mencoba menyembunyikan sesuatu."Jika hanya untuk membantu prajurit, kenapa harus melibatkan perhatian sedemikian rupa pada Duke Zhao?" tanya Mey Yan, suaranya lebih lembut, namun tetap menyiratkan rasa ingin tahu yang mendalam.Lady Lin menghela napas pelan sebelum menjawab. "Duchess, saya tidak bisa menyangkal bahwa saya sangat menghormati Duke Zhao, bukan hanya sebagai pemimpin militer yang bijak, tapi juga sebagai seseorang yang menginspirasi." Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Namun, hormat itu tidak pernah melewati batas. Saya tidak berniat merebut tempat Anda di hatinya, jika itu yang Anda takutkan."Mey Yan merasa hatinya sedikit lega, meskipun masih ada keraguan yang menggantung di dalam pikirannya. "Jika benar begitu, saya berharap Anda mengerti batas-batas yang pantas un
Zhao menggenggam tangan Mey Yan lebih erat, seolah memastikan bahwa kehadirannya bukan mimpi. Namun, sorot matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran."Mey Yan, aku mengerti perasaanmu, tapi tempat ini bukan untukmu," ucap Zhao dengan nada lembut namun tegas. "Jika sesuatu terjadi padamu di sini, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri."Mey Yan menatap suaminya dengan penuh keyakinan. "Zhao, aku mungkin tidak bisa mengangkat pedang atau bertarung seperti dirimu, tapi aku bisa menjadi pendukungmu. Aku tidak ingin hidup dalam penyesalan karena tidak melakukan apa pun untuk mendukungmu. Aku di sini untuk membantumu, bahkan jika itu hanya dengan kehadiranku."Kata-kata Mey Yan membuat Zhao terdiam sejenak. Ia menyadari betapa besar tekad istrinya, dan meskipun ia ingin memintanya untuk kembali ke tempat yang lebih aman, ia tahu itu hanya akan membuat Mey Yan semakin merasa tak berdaya.Akhirnya, Zhao mengangguk perlahan. "Baiklah. Tapi kau harus tetap berada di area logistik ber
Mey Yan menatap Zhao dengan tatapan penuh dilema. "Tapi bagaimana denganku meninggalkanmu di sini, Zhao? Aku tidak ingin pergi sementara kau masih di medan perang."Zhao mendekati istrinya, meletakkan tangannya di bahu Mey Yan. "Aku akan baik-baik saja. Tugas di sini adalah tugasku, dan permintaan dari istana adalah tugasmu sebagai putri kerajaan. Kita tidak bisa mengabaikan tanggung jawab masing-masing."Mey Yan menghela napas, hatinya terasa berat. Namun ia tahu bahwa Zhao benar. Bagaimanapun, ia tidak bisa menolak panggilan dari keluarganya, terutama ketika ini menyangkut kehormatan kerajaan."Aku akan pergi," ucapnya pelan, meskipun terasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya saat mengucapkan kata-kata itu.Zhao mengangguk, meskipun ada sorot kesedihan di matanya. "Aku akan memastikan kau pergi dengan selamat. Tapi ingat, Mey Yan, aku akan selalu menunggumu. Dan aku berjanji, setelah ini semua selesai, aku akan kembali kepadamu."Mala
Di kamp militer, malam itu Zhao tengah memimpin rapat strategi bersama para perwiranya. Udara terasa dingin, dan suasana tegang menyelimuti tenda pertemuan. Namun, pikirannya terpecah ketika seorang kurir memasuki tenda dengan membawa surat dari Mey Yan. Zhao membuka surat itu dan membacanya dengan seksama. Kata-kata Mey Yan yang penuh kekhawatiran dan kasih membuat hatinya terasa lebih hangat di tengah suasana perang yang dingin. Namun, ia tahu ia tidak bisa membalasnya dengan kata-kata yang terlalu manis. Sebagai seorang pemimpin militer, ia harus tetap tegar dan memberi keyakinan pada istrinya. Setelah rapat selesai, Zhao menulis balasan di bawah cahaya lentera. "Mey Yan, Aku telah menerima suratmu. Jangan khawatirkan aku. Kami sedang mempersiapkan pertahanan terbaik untuk melindungi perbatasan. Aku berjanji akan bertahan demi kau dan demi masa depan kita. Fokuslah pada tugasmu di ibu kota, dan tetaplah kuat. Kau adalah cahaya yang selalu menuntunku pulang." Surat itu ia titip
Pagi yang SepiCahaya matahari perlahan menyusup melalui celah jendela, menerangi kamar sederhana tempat Mey Yan beristirahat. Namun, matanya sudah terbuka sejak lama. Semalaman ia tidak tidur nyenyak, pikirannya terus dipenuhi oleh kejadian tadi malam.Ia mendengar langkah kaki pelan di luar kamarnya, mungkin seorang prajurit yang sedang bertugas. Tidak lama kemudian, suara Xiao Yu terdengar, membangunkannya dengan lembut.“Nyonya, apakah ingin sarapan sekarang?”Mey Yan menghela napas. “Tidak perlu, Xiao Yu. Aku tidak lapar.”Xiao Yu menatapnya khawatir. “Tapi Nyonya harus tetap makan. Hari ini cuaca cukup dingin.”Mey Yan tersenyum tipis. “Nanti saja.”Xiao Yu masih tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk dan meninggalkan kamar. Setelah Xiao Yu pergi, Mey Yan duduk di tepi tempat tidur, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong.Ia merasa lelah.Bukan hanya fisiknya, tetapi juga hatinya.Ia mengira bahwa dengan datang ke perkemahan, semuanya akan menjadi lebih jelas. Bahwa ia a
Mey Yan tetap diam dalam pelukan Zhao. Hatinya masih dipenuhi perasaan yang bercampur aduk, tetapi setidaknya, kata-kata suaminya tadi memberinya sedikit kelegaan.“Jadi…” Zhao bersuara setelah beberapa saat, tangannya perlahan melepas pelukannya meski masih menggenggam bahu Mey Yan. “Apa kau akan tetap di sini malam ini, atau hanya ingin memastikan aku baik-baik saja lalu pergi?”Mey Yan menatapnya ragu. Keputusan awalnya memang hanya untuk datang, melihat dengan mata kepala sendiri, lalu pulang. Tapi sekarang setelah berada di sini… ia tidak yakin bisa pergi begitu saja.“Aku…”“Jika kau mau tinggal, aku akan meminta seseorang menyiapkan tempat untukmu,” potong Zhao, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Mey Yan menggigit bibirnya. Ada kehangatan dalam nada suara Zhao, sesuatu yang jarang ia tunjukkan dengan jelas.“Baiklah,” jawabnya akhirnya. “Aku akan tinggal malam ini.”Senyum kecil muncul di wajah Zhao sebelum ia mengangguk dan melangkah keluar, memanggil seorang praju
Perjalanan ke PerkemahanMey Yan duduk di dalam tandu, matanya menatap tirai yang sedikit terbuka, memperlihatkan jalan tanah yang semakin jauh dari kediaman keluarganya. Perjalanan ke perkemahan tidak terlalu jauh, tetapi cukup untuk membuat pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.Ia sudah memutuskan untuk datang, tetapi pertanyaan dalam benaknya belum juga mereda.Bagaimana jika ternyata kekhawatirannya benar? Bagaimana jika Zhao dan Lady Lin memang memiliki sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan sekadar kata-kata?Ia mengepalkan jemarinya di atas pangkuan, berusaha menahan kegelisahan.Di sebelahnya, Xiao Yu sesekali melirik tuannya dengan cemas. “Nyonya, apakah Anda baik-baik saja?”Mey Yan tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja.”Xiao Yu menunduk, tetapi tetap terlihat khawatir. “Jika ada sesuatu yang tidak menyenangkan di sana… kita bisa kembali kapan saja.”Mey Yan mengangguk, tetapi hatinya tahu bahwa ia tidak akan kembali tanpa mendapatkan jawaban.---Di Gerbang Perkemahan
Pagi itu, saat mentari baru saja muncul di ufuk timur, Mey Yan sudah bersiap. Ia mengenakan pakaian yang lebih sederhana daripada biasanya, namun tetap menunjukkan statusnya sebagai seorang nyonya. Rambutnya disanggul rapi, hanya dihiasi sebuah jepit giok sederhana.Di halaman depan, sebuah tandu telah disiapkan, didampingi oleh beberapa pengawal keluarga Mey. Ia tidak bisa pergi sendirian, tentu saja, tetapi kali ini ia memilih untuk membawa sedikit orang agar tidak terlalu menarik perhatian.Ibunya berdiri di dekat pintu, menatapnya dengan penuh kasih. “Hati-hati di perjalanan, Mey Yan. Ingatlah, apapun yang kau temukan di sana, jangan biarkan emosi menguasai dirimu.”Mey Yan mengangguk. “Aku mengerti, Ibu.”Dengan langkah mantap, ia naik ke dalam tandu. Perjalanan ke perkemahan memakan waktu beberapa jam, dan sepanjang jalan, pikirannya terus dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah Zhao benar-benar berkata jujur? Ataukah ia hanya mencoba menenangkannya?Saat tandu mulai mendekati per
Sepanjang perjalanan kembali ke kediaman mereka, Mey Yan duduk diam di dalam tandu. Hatinya masih gelisah, bukan hanya karena pertemuan tadi, tapi juga karena tatapan Lady Lin yang seakan menyimpan sesuatu.Di sampingnya, Zhao juga tidak banyak bicara. Tangannya menggenggam tangan Mey Yan, memberikan kehangatan, tetapi pikirannya jelas masih dipenuhi banyak hal."Kamu marah?" suara Zhao akhirnya memecah keheningan.Mey Yan menggeleng pelan. "Bukan marah… hanya merasa lelah. Sepertinya apa pun yang kita lakukan, selalu ada orang yang ingin menjatuhkan kita."Zhao menghela napas, lalu menarik Mey Yan lebih dekat ke dalam dekapannya. "Aku tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun mengusikmu. Apalagi seseorang seperti Lady Lin."Mey Yan menatapnya. "Tuan yakin tidak ada yang terjadi di antara kalian?"Zhao mengernyit, tampak kesal karena pertanyaan itu muncul lagi. "Mey Yan…""Aku hanya ingin mendengar jawaban langsung darimu."Zhao mengangguk. "Tidak ada apa-apa. Dia memang sering d
Zhao menggenggam tangan Mey Yan lebih erat, seolah ingin meyakinkannya bahwa ia ada di sini, bahwa tak ada yang perlu ia ragukan. Namun, sebelum keduanya bisa tenggelam lebih jauh dalam ketenangan sesaat itu, ketukan pelan di pintu menginterupsi keheningan mereka. Mey Yan menoleh ke arah pintu, sedikit terkejut. Zhao melepaskan genggaman tangannya dengan enggan sebelum akhirnya berdiri. "Masuk," katanya dengan suara dalam. Seorang pelayan masuk dengan kepala tertunduk, membawa sebuah surat di tangannya. "Tuan, ini pesan dari Permaisuri. Beliau ingin bertemu dengan Anda segera." Zhao menerima surat itu dan membuka gulungannya dengan tenang, tetapi matanya dengan cepat menangkap isi pesan yang ditulis dengan tinta merah. Ia mengernyit, lalu menggulung kembali surat itu dengan ekspresi tak terbaca. "Aku harus pergi," katanya pada Mey Yan, suaranya lebih dingin dari sebelumnya. Mey Yan menatapnya, mencoba membaca ekspresi suaminya. "Ada apa?" tanyanya dengan suara khawatir. Zha
Mey Yan berdiri terpaku di depan pintu, perasaan cemas mulai merayap dalam dadanya. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia terima. Zhao kembali ke Istana? Mengapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini ada hubungannya dengan kabar yang beredar mengenai hubungan Zhao dengan Lady Lin?Ia memutuskan untuk tidak terlalu larut dalam kekhawatiran. Jika ada sesuatu yang sangat mendesak, Zhao pasti akan memberitahunya. Namun, hati kecilnya tak bisa menahan kegelisahan yang terus mengganggu. Ia berjalan mondar-mandir di kamarnya, memikirkan segala kemungkinan.Sejenak, ia menatap jendela yang menghadap ke taman yang gelap. Udara malam terasa sejuk, seolah membawa sedikit ketenangan, namun pikiran Mey Yan tetap tidak bisa tenang. Dengan gerakan cepat, ia berjalan menuju meja kecil di sudut kamar dan mengambil sebuah gulungan surat. Tanpa berpikir panjang, ia mulai menulis surat kepada Zhao, mencoba meredakan kegelisahannya.Suamiku yang tercinta,Semoga perj
Zhao menarik napas dalam-dalam, menekan perasaan yang mulai memuncak di dadanya. Ia tahu bahwa keadaan di luar sana tidaklah mudah, dan meskipun ia terbiasa menghadapi pertempuran, tekanan yang datang dari dalam hati jauh lebih sulit untuk dihadapi. Tidak ada yang bisa menjelaskan kecemasannya saat memikirkan Mey Yan—istrinya yang kini berada di Istana, tempat yang penuh dengan intrik dan permainan kekuasaan yang tak terduga.Dalam hening malam itu, langkah-langkah lembut terdengar dari pintu belakang ruangannya. Zhao berbalik, dan dengan cepat, wajahnya yang penuh pemikiran berubah menjadi serius. Seorang pelayan masuk dengan membawa surat. “Tuan, surat dari Putri Mey Yan,” kata pelayan itu, membungkuk rendah.Zhao meraih surat itu dengan cepat, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka gulungan surat tersebut. Hatinya berdebar saat membaca tulisan tangan Mey Yan, yang meskipun sederhana, terasa penuh dengan ketulusan dan perasaan y
Senja di Kediaman JenderalLangit berubah warna menjadi jingga keemasan saat matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Angin musim semi berembus lembut, menggoyangkan kelopak bunga plum yang bermekaran di halaman kediaman Jenderal Zhao. Aroma tanah dan embun bercampur dengan wangi teh hangat yang baru saja dituangkan oleh Lian di meja batu.Mey Yan duduk di bawah paviliun kayu, menatap cangkir teh di tangannya dengan tatapan kosong. Ia masih memikirkan percakapannya dengan Zhao tadi sore."Aku ingin memperbaiki semuanya."Kata-kata itu terus terngiang di benaknya. Ia ingin mempercayai Zhao, tapi terlalu banyak ketidakpastian yang masih mengikat hatinya. Apalagi, bayangan Lady Lin terus menghantui pikirannya.Suara langkah kaki di jalan berbatu menarik perhatiannya. Ia mengangkat kepala dan melihat Zhao berjalan mendekat. Mantel militernya sedikit berkibar tertiup angin, menambah kesan gagah pada sosoknya."Sudah malam, kenapa kau belum masuk?" tanya Zhao dengan suara rendah, matanya