Mey Yan menatap Zhao dengan tatapan penuh dilema. "Tapi bagaimana denganku meninggalkanmu di sini, Zhao? Aku tidak ingin pergi sementara kau masih di medan perang."
Zhao mendekati istrinya, meletakkan tangannya di bahu Mey Yan. "Aku akan baik-baik saja. Tugas di sini adalah tugasku, dan permintaan dari istana adalah tugasmu sebagai putri kerajaan. Kita tidak bisa mengabaikan tanggung jawab masing-masing."Mey Yan menghela napas, hatinya terasa berat. Namun ia tahu bahwa Zhao benar. Bagaimanapun, ia tidak bisa menolak panggilan dari keluarganya, terutama ketika ini menyangkut kehormatan kerajaan."Aku akan pergi," ucapnya pelan, meskipun terasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya saat mengucapkan kata-kata itu.Zhao mengangguk, meskipun ada sorot kesedihan di matanya. "Aku akan memastikan kau pergi dengan selamat. Tapi ingat, Mey Yan, aku akan selalu menunggumu. Dan aku berjanji, setelah ini semua selesai, aku akan kembali kepadamu."MalaDi kamp militer, malam itu Zhao tengah memimpin rapat strategi bersama para perwiranya. Udara terasa dingin, dan suasana tegang menyelimuti tenda pertemuan. Namun, pikirannya terpecah ketika seorang kurir memasuki tenda dengan membawa surat dari Mey Yan. Zhao membuka surat itu dan membacanya dengan seksama. Kata-kata Mey Yan yang penuh kekhawatiran dan kasih membuat hatinya terasa lebih hangat di tengah suasana perang yang dingin. Namun, ia tahu ia tidak bisa membalasnya dengan kata-kata yang terlalu manis. Sebagai seorang pemimpin militer, ia harus tetap tegar dan memberi keyakinan pada istrinya. Setelah rapat selesai, Zhao menulis balasan di bawah cahaya lentera. "Mey Yan, Aku telah menerima suratmu. Jangan khawatirkan aku. Kami sedang mempersiapkan pertahanan terbaik untuk melindungi perbatasan. Aku berjanji akan bertahan demi kau dan demi masa depan kita. Fokuslah pada tugasmu di ibu kota, dan tetaplah kuat. Kau adalah cahaya yang selalu menuntunku pulang." Surat itu ia titip
Hari demi hari berlalu, dan pertempuran di perbatasan semakin memanas. Mey Yan tetap tinggal di kamp, mendengar kabar dari para utusan yang datang dan pergi. Ia berusaha menjaga ketenangannya, tetapi setiap laporan tentang serangan musuh membuatnya semakin khawatir. Pada suatu malam, hujan turun deras, dan angin dingin menyapu perkemahan. Mey Yan duduk di dalam tenda, menatap bayangan api unggun dari luar. Suara langkah kaki mendekat, dan seorang perwira masuk membawa kabar. "Duchess, pasukan Tuan Zhao berhasil memukul mundur musuh hari ini. Namun, pertempuran berlangsung sangat berat, dan ada laporan bahwa beberapa prajurit terluka parah," ucap perwira itu dengan hormat. Mey Yan mencoba mempertahankan ketenangannya. "Bagaimana keadaan Tuan Zhao?" tanyanya, suaranya hampir bergetar. "Tuan Zhao… Dia terluka, tetapi masih memimpin pasukan dengan baik. Saat ini, ia sedang beristirahat di garis depan." Mendengar itu, Mey Yan langsung bangkit. "Bawa aku ke sana," pintanya tegas. Perw
Kabut masih menyelimuti perkemahan ketika pagi datang, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Mey Yan bangkit lebih awal dari biasanya. Ia menyiapkan teh hangat untuk Zhao yang masih sibuk berdiskusi dengan para perwira. Dari kejauhan, ia melihat sosok suaminya berdiri tegap di tengah para pria bersenjata. Luka di bahunya jelas belum sembuh, tetapi ia tak pernah menunjukkan kelemahan.Saat Zhao kembali ke tenda, ia terlihat letih. Mey Yan menyodorkan cangkir teh ke tangannya. "Kau butuh ini," katanya pelan.Zhao menerima teh itu tanpa berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. Sesaat, keheningan menyelimuti mereka."Aku mendengar sesuatu lagi tentang Lady Lin," Mey Yan akhirnya bicara, memecah kesunyian.Zhao mendesah, meletakkan cangkirnya. "Mey Yan, aku tahu ini mengganggumu. Tapi aku ingin kau percaya, tidak ada apa-apa antara aku dan dia. Apa yang ia lakukan murni untuk membantu para prajurit.""Aku
Setelah kepergian Lady Lin, suasana perkemahan kembali normal. Namun, di hati Mey Yan, percikan kecemasan tetap menyala. Ia merasa harus lebih bijaksana menghadapi situasi ini. Sebagai seorang Duchess sekaligus istri Duke Zhao, tanggung jawabnya tidak hanya mendukung suaminya tetapi juga menjaga reputasi mereka di depan prajurit dan bangsawan lainnya.Malam itu, angin dingin bertiup kencang. Mey Yan duduk di dalam tenda pribadinya, memandangi secarik surat yang telah ia tulis. Surat itu ditujukan untuk ibunya, Ratu, di ibu kota. Mey Yan ingin melaporkan situasi perkemahan, termasuk keberadaan Lady Lin yang menurutnya semakin mencurigakan. Namun, ia ragu. Apakah langkah itu bijak? Apakah ia hanya akan terlihat seperti seorang istri yang terlalu cemburu?Pikirannya terpecah saat Zhao masuk ke tenda. Wajahnya tampak lelah, tetapi ia langsung tersenyum tipis saat melihat Mey Yan."Kau belum tidur?" tanya Zhao sambil duduk di sampingnya.Mey Yan mengge
Hari-hari berlalu, dan meskipun Mey Yan berusaha mengabaikan kehadiran Lady Lin, perasaan waswas terus mengikutinya. Sebagai seorang istri, ia merasa harus menjaga suaminya dari segala kemungkinan, namun sebagai seorang Duchess, ia juga tahu bahwa ia tidak boleh membiarkan emosinya menguasai dirinya.Suatu pagi, seorang prajurit mendatangi Mey Yan di tenda tempat ia tinggal. Wajah prajurit itu tampak ragu, seolah-olah ada sesuatu yang penting namun sulit untuk diungkapkan."Maafkan saya, Duchess," katanya, menundukkan kepala. "Ada laporan bahwa Lady Lin sedang berbicara dengan beberapa prajurit, dan dia meminta izin untuk menemui Duke Zhao secara pribadi."Mey Yan merasakan dadanya sesak. "Apakah Zhao tahu tentang ini?" tanyanya tegas.Prajurit itu mengangguk. "Dia sedang mempertimbangkan permintaannya, tapi saya pikir Anda perlu tahu, Duchess."Setelah prajurit itu pergi, Mey Yan berdiri di depan cermin kecil di tendanya. Ia mengenakan j
Mey Yan terdiam, mencoba memproses kata-kata wanita itu. Ada sesuatu yang mendalam di balik semua ini—sesuatu yang lebih besar dari apa yang ia bayangkan. Setiap detik yang berlalu terasa semakin berat, dan dalam keheningan itu, pikirannya berputar cepat, mencoba mencari tahu siapa yang bersembunyi di balik penculikan ini dan mengapa ia menjadi sasaran.Wanita itu tetap diam, seolah menunggu reaksi dari Mey Yan. Sesekali, ia menatapnya dengan sorot mata yang tajam namun tak mengungkapkan banyak. Mey Yan tahu bahwa saat ini ia tidak bisa berharap terlalu banyak untuk mendapatkan jawaban yang jelas. Namun, ia tidak bisa berhenti bertanya-tanya—siapa yang ingin mencelakai hidupnya? Apa yang mereka harapkan darinya?Setelah beberapa saat, wanita itu akhirnya berbicara lagi, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya. "Kau harus tahu bahwa keputusan ini bukanlah milik kami. Kami hanya menjalankan perintah," katanya, seolah memberi penjelasan meskipun tampaknya tak ada pe
di tengah malam, tubuhnya terasa lelah namun pikirannya tak bisa tidur. Setelah pertemuannya dengan Nyonya Li, ia merasa semakin terbeban oleh rahasia yang tersembunyi dalam permainan kekuasaan yang jauh lebih besar dari apa yang ia bayangkan. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang mengancam, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami.Malam itu, ia duduk di tepi jendela, menatap langit yang penuh dengan bintang. Pikirannya berkelana ke masa lalu, mengenang masa-masa ketika hidupnya terasa lebih sederhana, ketika ia masih bisa merasakan kebahagiaan kecil yang datang dari kebersamaan dengan Zhao. Namun sekarang, semuanya terasa berbeda. Teka-teki yang harus ia pecahkan semakin rumit, dan ia merasa semakin jauh dari jawabannya.Namun, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan menyerah begitu saja. Sejak ia kecil, Mey Yan sudah terbiasa dengan rasa sakit dan kehilangan. Ia telah terbiasa bertahan hidup meskipun keadaan tak berpihak padanya. Ini bukanlah pertama kalinya ia m
Mey Yan dan Zhao melangkah ke dalam dunia yang semakin gelap, penuh dengan konspirasi dan pengkhianatan yang mereka harus hadapi. Setiap pertemuan dengan sekutu semakin tegang, dan mereka merasakan tekanan yang semakin berat. Namun, meskipun segala hal terasa tidak pasti, mereka tidak bisa mundur. Cinta mereka, yang telah terbentuk melalui segala cobaan, menjadi satu-satunya harapan yang mereka miliki.Pada malam yang dingin, Zhao memutuskan untuk bersembunyi sementara waktu, agar pihak lawan tidak bisa menebak pergerakannya. Mey Yan, meskipun khawatir, merasa tenang ketika Zhao memutuskan untuk menjaga jarak. Kekuatan dalam diri Zhao saat ini bukan hanya untuk mempertahankan dirinya, tetapi juga untuk melindungi mereka berdua.Hari-hari berlalu dengan penuh kecemasan, setiap langkah mereka penuh perhitungan. Namun, kebingungannya semakin meningkat saat Mey Yan menerima surat dari ibunya. Surat itu, yang seharusnya hanya berisi kabar biasa, ternyata membawa pesan y
Mey Yan masih menatap Zhao dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia ingin mempercayai kata-katanya, ingin mempercayai bahwa tak ada yang terjadi antara Zhao dan Lady Lin. Namun, bayangan wanita itu yang berdiri di sisi Zhao di perkemahan masih membekas di benaknya."Aku ingin percaya padamu, Zhao," katanya pelan, suaranya hampir bergetar. "Tapi selama ini aku merasa seperti orang luar dalam hidupmu. Aku tidak pernah tahu apa yang kau pikirkan, bagaimana perasaanmu… dan sekarang, tiba-tiba kau mengatakan kau takut kehilangan aku. Bagaimana aku bisa memahami semua ini?"Zhao menatapnya dengan sorot mata yang jarang ia tunjukkan—sesuatu yang dalam, penuh perasaan. "Aku tahu aku telah banyak melakukan kesalahan, Mey Yan. Aku tahu aku telah membuatmu merasa sendirian. Tapi percayalah, bukan karena aku tidak peduli. Justru karena aku peduli, aku tidak tahu harus berbuat apa."Mey Yan tertawa kecil, tapi itu bukan tawa bahagia. "Kalau kau peduli, seharusnya kau tidak membuatku merasa sendiria
Malam semakin larut, tetapi Mey Yan masih belum beranjak dari tempatnya. Udara dingin menyelinap di antara helaian rambutnya, namun pikirannya tetap dipenuhi oleh bayangan Zhao. Kata-kata Nenek Ru masih terngiang di telinganya, membiarkan hatinya bergulat dengan perasaan yang sulit ia kendalikan.Zhao memang bukan pria yang mudah di mengerti. Ia dingin, keras, dan selalu menyimpan pikirannya sendiri. Tetapi, di balik sikapnya yang terlihat tak peduli, ada hal-hal kecil yang selama ini mungkin luput dari perhatiannya—tatapan yang lebih lama dari seharusnya, genggaman yang tidak segera dilepaskan, dan kata-kata yang meskipun sederhana, terasa jujur.Mey Yan menarik napas dalam-dalam, matanya menatap permukaan air di kolam yang bergoyang pelan. Apakah ia benar-benar ingin terus meragukan perasaan Zhao? Atau ini hanya bentuk ketakutannya sendiri?"Nyonya, lebih baik masuk sebelum udara semakin dingin." Suara lembut Nenek Ru membuyarkan lamunannya.Mey Yan menoleh, lalu tersenyum tipis. "A
Mey Yan menghela napas panjang. Malam yang seharusnya memberi ketenangan justru menjadi saksi atas perasaannya yang bergejolak. Kata-kata Zhao terdengar tulus, tapi bayangan Lady Lin masih terukir jelas dalam benaknya. Apakah benar tidak ada yang terjadi di antara mereka? Ataukah ia hanya terlalu takut menerima kenyataan?Zhao menggenggam tangannya lebih erat, seolah tak ingin kehilangan kesempatan untuk meyakinkannya. “Aku tahu sulit bagimu untuk mempercayaiku sekarang, tapi aku ingin kamu melihat hatiku, Nyonya. Aku tidak akan pernah melukai perasaanmu dengan sengaja.”Mey Yan menatapnya, mencari sesuatu dalam sorot mata Zhao—kejujuran, ketulusan, atau mungkin hanya jawaban yang bisa menenangkan pikirannya. Namun, pikirannya tetap dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung menemukan kepastian.“Aku ingin percaya, Tuan,” katanya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh hembusan angin malam. “Tapi hatiku masih takut.”Zhao terdiam, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak akan memaksamu untuk memperc
Setelah beberapa hari di ibu kota, Mey Yan mulai merasakan betapa beratnya beban yang harus ia pikul. Setiap langkah yang diambilnya terasa lebih berat dari sebelumnya, seperti ada banyak mata yang mengawasi, menilai, dan mungkin saja menunggunya untuk gagal. Istana yang dulu terasa begitu nyaman kini menjadi penjara bagi hatinya. Rasa cemas yang menggerogoti dirinya terus mengganggu, terutama setelah ia mendapatkan kabar bahwa ada kelompok yang berusaha menggulingkan kekuasaan kerajaan. Hal itu membuat situasi semakin tidak menentu, dan Mey Yan merasa seperti berada di tengah badai yang tak bisa ia hindari.Malam itu, setelah berhari-hari sibuk dengan berbagai urusan kerajaan, Mey Yan memutuskan untuk berjalan di sekitar taman istana. Angin malam yang sejuk berhembus, membawa aroma bunga-bunga yang masih mekar, namun tidak mampu mengusir kegelisahan yang menggelayuti pikirannya. Setiap bayangan di sekitar taman seolah menjadi sesuatu yang asing dan menakutkan. Tiba-tiba, langkahnya t
Zhao masih memeluk Mey Yan dengan erat, seolah ingin menyatukan dua jiwa yang terpisah oleh jarak dan waktu. Mey Yan bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, begitu jelas di telinganya. Ada sesuatu dalam pelukan itu yang membuat hatinya sedikit lebih tenang, namun keraguan yang masih mengendap tak bisa diabaikan begitu saja.“Mey Yan…” suara Zhao terdengar lagi, lebih lembut, namun ada penekanan dalam kata-katanya. “Aku tahu, ini tidak mudah. Aku tahu aku telah membuatmu merasa sepi dan terabaikan, dan itu adalah salahku. Tapi percayalah, tidak ada satu pun hal yang lebih penting bagiku selain dirimu.”Mey Yan menatap ke lantai, matanya mulai buram oleh air mata yang menunggu untuk jatuh. Ia ingin percaya, ia ingin sekali mempercayai kata-kata itu. Tapi hatinya terlalu rapuh untuk itu. Rasa takut yang tiba-tiba datang, keraguan yang begitu dalam, semua itu seakan-akan meruntuhkan segala usaha yang telah dilakukan Zhao untuk meyakinkannya.“Dan Lady Lin, Tuan?” Suaranya hamp
Zhao berdiri di depan Mey Yan, memandangnya dengan tatapan penuh makna. Meski ia mencoba mengendalikan diri, ada perasaan cemas yang terpendam dalam hatinya. Ia tahu betapa berat perasaan Mey Yan saat ini, betapa banyak yang harus ia hadapi dan jelaskan. Namun, kata-kata tak selalu cukup untuk menyembuhkan luka yang ada.Mey Yan menunduk, matanya menyentuh tanah seakan mencoba menghindari tatapan Zhao. Beberapa saat yang lalu, saat pertama kali datang ke kamp, semuanya terasa jauh lebih sederhana. Perasaan yang ia miliki untuk Zhao begitu kuat, bahkan sebelum mereka menikah, tapi kenyataan ini terasa berbeda. Begitu banyak yang mengganggu pikirannya, termasuk kehadiran Lady Lin yang sering datang membawa hadiah dan makanan untuk para prajurit. Hatinya terasa tercabik-cabik, tak tahu apa yang harus ia percayai lagi.Zhao menghela napas panjang, mendekat sedikit, dan meraih tangan Mey Yan yang terkulai di sampingnya. “Aku tahu kau terluka, Mey Yan. Aku juga merasakannya. Tapi kita harus
Mey Yan berdiri di balik pepohonan, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, tapi bukan karena perjalanan panjang yang baru saja ia tempuh. Apa yang dilihatnya kini—Zhao dan Lady Lin berdiri berdekatan, berbincang dalam suasana yang tampak akrab—membuat dadanya terasa sesak.Lady Lin tersenyum lembut, tatapannya tertuju pada Zhao dengan cara yang membuat hati Mey Yan bergejolak. Ia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi cukup melihat gerak-gerik keduanya untuk merasakan sesuatu yang asing di dalam hatinya.Ragu, Mey Yan menggigit bibir bawahnya. Apakah ia harus maju dan memanggil Zhao? Atau haruskah ia tetap di tempatnya dan menunggu hingga mereka berpisah?Liang Hui yang berdiri di sampingnya tampak gelisah. “Nyonya…” bisiknya pelan, seolah ikut merasakan kebimbangan yang sama.Mey Yan menghela napas panjang. Ia tidak ingin berpikiran buruk, tetapi bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan apa yang ada di depan matanya?Namun, sebelum ia semp
Malam itu, Mey Yan duduk di beranda dengan segelas teh yang sudah mulai dingin di tangannya. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga dari taman belakang. Biasanya, suasana seperti ini akan membuatnya tenang, tapi kali ini pikirannya terlalu penuh.Sejak mendengar tentang kedatangan Lady Lin yang semakin sering ke kamp militer, ia tidak bisa berhenti berpikir. Apakah benar semua ini hanya kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang belum ia pahami?Liang Hui sudah kembali ke kamarnya setelah melaporkan hasil penyelidikan awalnya. Masih banyak yang belum jelas, tapi satu hal yang pasti—Lady Lin bukan sekadar wanita bangsawan yang gemar memberikan hadiah kepada para prajurit. Ia memiliki tujuan lain.Mey Yan menghela napas panjang. Ia mengangkat pandangannya ke langit yang gelap. Di kejauhan, bintang-bintang bertaburan, berkelap-kelip seperti harapan yang masih menggantung.“Tuan… apa kau baik-baik saja di sana?” gumamnya pelan.Ia merindukan Zhao. Sudah berbulan-bulan mereka ber
Malam semakin larut, tetapi Nyonya Mey Yan masih terjaga di ruang kerjanya. Surat yang baru saja ia baca masih tergenggam erat di tangannya. Jika ia benar-benar pergi ke kuil tua di luar kota, ia harus memastikan segalanya dipersiapkan dengan matang.Ia tidak bisa membawa banyak orang, apalagi membuat pergerakannya terlalu mencolok. Jika ini jebakan, maka ia harus bisa keluar dari sana dengan selamat. Namun, jika ini adalah kesempatan untuk mengetahui siapa pengkhianat di dalam istana, maka ia tidak boleh menyia-nyiakannya.Mey Yan menatap ke luar jendela, menimbang berbagai kemungkinan.Liang Hui masuk ke dalam ruangan setelah mengetuk pintu dengan sopan. “Nyonya, apa yang ingin Anda lakukan?”Mey Yan menyerahkan surat itu kepadanya. Liang Hui membacanya dengan seksama, lalu mengerutkan kening.“Ini terlalu berisiko,” katanya tegas. “Tidak ada jaminan bahwa ini bukan jebakan.”“Aku tahu,” Mey Yan mengakui. “Tapi jika kita tidak bergerak sekarang, kita bisa kehilangan jejak pengkhiana