Mey Yan memperhatikan Lady Lin dengan saksama, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan dari raut wajahnya. Namun, tatapan Lady Lin tetap tenang, tanpa sedikit pun memperlihatkan rasa bersalah atau kesan mencoba menyembunyikan sesuatu."Jika hanya untuk membantu prajurit, kenapa harus melibatkan perhatian sedemikian rupa pada Duke Zhao?" tanya Mey Yan, suaranya lebih lembut, namun tetap menyiratkan rasa ingin tahu yang mendalam.Lady Lin menghela napas pelan sebelum menjawab. "Duchess, saya tidak bisa menyangkal bahwa saya sangat menghormati Duke Zhao, bukan hanya sebagai pemimpin militer yang bijak, tapi juga sebagai seseorang yang menginspirasi." Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, "Namun, hormat itu tidak pernah melewati batas. Saya tidak berniat merebut tempat Anda di hatinya, jika itu yang Anda takutkan."Mey Yan merasa hatinya sedikit lega, meskipun masih ada keraguan yang menggantung di dalam pikirannya. "Jika benar begitu, saya berharap Anda mengerti batas-batas yang pantas un
Zhao menggenggam tangan Mey Yan lebih erat, seolah memastikan bahwa kehadirannya bukan mimpi. Namun, sorot matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran."Mey Yan, aku mengerti perasaanmu, tapi tempat ini bukan untukmu," ucap Zhao dengan nada lembut namun tegas. "Jika sesuatu terjadi padamu di sini, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri."Mey Yan menatap suaminya dengan penuh keyakinan. "Zhao, aku mungkin tidak bisa mengangkat pedang atau bertarung seperti dirimu, tapi aku bisa menjadi pendukungmu. Aku tidak ingin hidup dalam penyesalan karena tidak melakukan apa pun untuk mendukungmu. Aku di sini untuk membantumu, bahkan jika itu hanya dengan kehadiranku."Kata-kata Mey Yan membuat Zhao terdiam sejenak. Ia menyadari betapa besar tekad istrinya, dan meskipun ia ingin memintanya untuk kembali ke tempat yang lebih aman, ia tahu itu hanya akan membuat Mey Yan semakin merasa tak berdaya.Akhirnya, Zhao mengangguk perlahan. "Baiklah. Tapi kau harus tetap berada di area logistik ber
Mey Yan menatap Zhao dengan tatapan penuh dilema. "Tapi bagaimana denganku meninggalkanmu di sini, Zhao? Aku tidak ingin pergi sementara kau masih di medan perang."Zhao mendekati istrinya, meletakkan tangannya di bahu Mey Yan. "Aku akan baik-baik saja. Tugas di sini adalah tugasku, dan permintaan dari istana adalah tugasmu sebagai putri kerajaan. Kita tidak bisa mengabaikan tanggung jawab masing-masing."Mey Yan menghela napas, hatinya terasa berat. Namun ia tahu bahwa Zhao benar. Bagaimanapun, ia tidak bisa menolak panggilan dari keluarganya, terutama ketika ini menyangkut kehormatan kerajaan."Aku akan pergi," ucapnya pelan, meskipun terasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya saat mengucapkan kata-kata itu.Zhao mengangguk, meskipun ada sorot kesedihan di matanya. "Aku akan memastikan kau pergi dengan selamat. Tapi ingat, Mey Yan, aku akan selalu menunggumu. Dan aku berjanji, setelah ini semua selesai, aku akan kembali kepadamu."Mala
Di kamp militer, malam itu Zhao tengah memimpin rapat strategi bersama para perwiranya. Udara terasa dingin, dan suasana tegang menyelimuti tenda pertemuan. Namun, pikirannya terpecah ketika seorang kurir memasuki tenda dengan membawa surat dari Mey Yan. Zhao membuka surat itu dan membacanya dengan seksama. Kata-kata Mey Yan yang penuh kekhawatiran dan kasih membuat hatinya terasa lebih hangat di tengah suasana perang yang dingin. Namun, ia tahu ia tidak bisa membalasnya dengan kata-kata yang terlalu manis. Sebagai seorang pemimpin militer, ia harus tetap tegar dan memberi keyakinan pada istrinya. Setelah rapat selesai, Zhao menulis balasan di bawah cahaya lentera. "Mey Yan, Aku telah menerima suratmu. Jangan khawatirkan aku. Kami sedang mempersiapkan pertahanan terbaik untuk melindungi perbatasan. Aku berjanji akan bertahan demi kau dan demi masa depan kita. Fokuslah pada tugasmu di ibu kota, dan tetaplah kuat. Kau adalah cahaya yang selalu menuntunku pulang." Surat itu ia titip
Hari demi hari berlalu, dan pertempuran di perbatasan semakin memanas. Mey Yan tetap tinggal di kamp, mendengar kabar dari para utusan yang datang dan pergi. Ia berusaha menjaga ketenangannya, tetapi setiap laporan tentang serangan musuh membuatnya semakin khawatir. Pada suatu malam, hujan turun deras, dan angin dingin menyapu perkemahan. Mey Yan duduk di dalam tenda, menatap bayangan api unggun dari luar. Suara langkah kaki mendekat, dan seorang perwira masuk membawa kabar. "Duchess, pasukan Tuan Zhao berhasil memukul mundur musuh hari ini. Namun, pertempuran berlangsung sangat berat, dan ada laporan bahwa beberapa prajurit terluka parah," ucap perwira itu dengan hormat. Mey Yan mencoba mempertahankan ketenangannya. "Bagaimana keadaan Tuan Zhao?" tanyanya, suaranya hampir bergetar. "Tuan Zhao… Dia terluka, tetapi masih memimpin pasukan dengan baik. Saat ini, ia sedang beristirahat di garis depan." Mendengar itu, Mey Yan langsung bangkit. "Bawa aku ke sana," pintanya tegas. Perw
Kabut masih menyelimuti perkemahan ketika pagi datang, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Mey Yan bangkit lebih awal dari biasanya. Ia menyiapkan teh hangat untuk Zhao yang masih sibuk berdiskusi dengan para perwira. Dari kejauhan, ia melihat sosok suaminya berdiri tegap di tengah para pria bersenjata. Luka di bahunya jelas belum sembuh, tetapi ia tak pernah menunjukkan kelemahan.Saat Zhao kembali ke tenda, ia terlihat letih. Mey Yan menyodorkan cangkir teh ke tangannya. "Kau butuh ini," katanya pelan.Zhao menerima teh itu tanpa berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. Sesaat, keheningan menyelimuti mereka."Aku mendengar sesuatu lagi tentang Lady Lin," Mey Yan akhirnya bicara, memecah kesunyian.Zhao mendesah, meletakkan cangkirnya. "Mey Yan, aku tahu ini mengganggumu. Tapi aku ingin kau percaya, tidak ada apa-apa antara aku dan dia. Apa yang ia lakukan murni untuk membantu para prajurit.""Aku
Setelah kepergian Lady Lin, suasana perkemahan kembali normal. Namun, di hati Mey Yan, percikan kecemasan tetap menyala. Ia merasa harus lebih bijaksana menghadapi situasi ini. Sebagai seorang Duchess sekaligus istri Duke Zhao, tanggung jawabnya tidak hanya mendukung suaminya tetapi juga menjaga reputasi mereka di depan prajurit dan bangsawan lainnya.Malam itu, angin dingin bertiup kencang. Mey Yan duduk di dalam tenda pribadinya, memandangi secarik surat yang telah ia tulis. Surat itu ditujukan untuk ibunya, Ratu, di ibu kota. Mey Yan ingin melaporkan situasi perkemahan, termasuk keberadaan Lady Lin yang menurutnya semakin mencurigakan. Namun, ia ragu. Apakah langkah itu bijak? Apakah ia hanya akan terlihat seperti seorang istri yang terlalu cemburu?Pikirannya terpecah saat Zhao masuk ke tenda. Wajahnya tampak lelah, tetapi ia langsung tersenyum tipis saat melihat Mey Yan."Kau belum tidur?" tanya Zhao sambil duduk di sampingnya.Mey Yan mengge
Hari-hari berlalu, dan meskipun Mey Yan berusaha mengabaikan kehadiran Lady Lin, perasaan waswas terus mengikutinya. Sebagai seorang istri, ia merasa harus menjaga suaminya dari segala kemungkinan, namun sebagai seorang Duchess, ia juga tahu bahwa ia tidak boleh membiarkan emosinya menguasai dirinya.Suatu pagi, seorang prajurit mendatangi Mey Yan di tenda tempat ia tinggal. Wajah prajurit itu tampak ragu, seolah-olah ada sesuatu yang penting namun sulit untuk diungkapkan."Maafkan saya, Duchess," katanya, menundukkan kepala. "Ada laporan bahwa Lady Lin sedang berbicara dengan beberapa prajurit, dan dia meminta izin untuk menemui Duke Zhao secara pribadi."Mey Yan merasakan dadanya sesak. "Apakah Zhao tahu tentang ini?" tanyanya tegas.Prajurit itu mengangguk. "Dia sedang mempertimbangkan permintaannya, tapi saya pikir Anda perlu tahu, Duchess."Setelah prajurit itu pergi, Mey Yan berdiri di depan cermin kecil di tendanya. Ia mengenakan j
Pagi yang SepiCahaya matahari perlahan menyusup melalui celah jendela, menerangi kamar sederhana tempat Mey Yan beristirahat. Namun, matanya sudah terbuka sejak lama. Semalaman ia tidak tidur nyenyak, pikirannya terus dipenuhi oleh kejadian tadi malam.Ia mendengar langkah kaki pelan di luar kamarnya, mungkin seorang prajurit yang sedang bertugas. Tidak lama kemudian, suara Xiao Yu terdengar, membangunkannya dengan lembut.“Nyonya, apakah ingin sarapan sekarang?”Mey Yan menghela napas. “Tidak perlu, Xiao Yu. Aku tidak lapar.”Xiao Yu menatapnya khawatir. “Tapi Nyonya harus tetap makan. Hari ini cuaca cukup dingin.”Mey Yan tersenyum tipis. “Nanti saja.”Xiao Yu masih tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk dan meninggalkan kamar. Setelah Xiao Yu pergi, Mey Yan duduk di tepi tempat tidur, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong.Ia merasa lelah.Bukan hanya fisiknya, tetapi juga hatinya.Ia mengira bahwa dengan datang ke perkemahan, semuanya akan menjadi lebih jelas. Bahwa ia a
Mey Yan tetap diam dalam pelukan Zhao. Hatinya masih dipenuhi perasaan yang bercampur aduk, tetapi setidaknya, kata-kata suaminya tadi memberinya sedikit kelegaan.“Jadi…” Zhao bersuara setelah beberapa saat, tangannya perlahan melepas pelukannya meski masih menggenggam bahu Mey Yan. “Apa kau akan tetap di sini malam ini, atau hanya ingin memastikan aku baik-baik saja lalu pergi?”Mey Yan menatapnya ragu. Keputusan awalnya memang hanya untuk datang, melihat dengan mata kepala sendiri, lalu pulang. Tapi sekarang setelah berada di sini… ia tidak yakin bisa pergi begitu saja.“Aku…”“Jika kau mau tinggal, aku akan meminta seseorang menyiapkan tempat untukmu,” potong Zhao, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Mey Yan menggigit bibirnya. Ada kehangatan dalam nada suara Zhao, sesuatu yang jarang ia tunjukkan dengan jelas.“Baiklah,” jawabnya akhirnya. “Aku akan tinggal malam ini.”Senyum kecil muncul di wajah Zhao sebelum ia mengangguk dan melangkah keluar, memanggil seorang praju
Perjalanan ke PerkemahanMey Yan duduk di dalam tandu, matanya menatap tirai yang sedikit terbuka, memperlihatkan jalan tanah yang semakin jauh dari kediaman keluarganya. Perjalanan ke perkemahan tidak terlalu jauh, tetapi cukup untuk membuat pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.Ia sudah memutuskan untuk datang, tetapi pertanyaan dalam benaknya belum juga mereda.Bagaimana jika ternyata kekhawatirannya benar? Bagaimana jika Zhao dan Lady Lin memang memiliki sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan sekadar kata-kata?Ia mengepalkan jemarinya di atas pangkuan, berusaha menahan kegelisahan.Di sebelahnya, Xiao Yu sesekali melirik tuannya dengan cemas. “Nyonya, apakah Anda baik-baik saja?”Mey Yan tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja.”Xiao Yu menunduk, tetapi tetap terlihat khawatir. “Jika ada sesuatu yang tidak menyenangkan di sana… kita bisa kembali kapan saja.”Mey Yan mengangguk, tetapi hatinya tahu bahwa ia tidak akan kembali tanpa mendapatkan jawaban.---Di Gerbang Perkemahan
Pagi itu, saat mentari baru saja muncul di ufuk timur, Mey Yan sudah bersiap. Ia mengenakan pakaian yang lebih sederhana daripada biasanya, namun tetap menunjukkan statusnya sebagai seorang nyonya. Rambutnya disanggul rapi, hanya dihiasi sebuah jepit giok sederhana.Di halaman depan, sebuah tandu telah disiapkan, didampingi oleh beberapa pengawal keluarga Mey. Ia tidak bisa pergi sendirian, tentu saja, tetapi kali ini ia memilih untuk membawa sedikit orang agar tidak terlalu menarik perhatian.Ibunya berdiri di dekat pintu, menatapnya dengan penuh kasih. “Hati-hati di perjalanan, Mey Yan. Ingatlah, apapun yang kau temukan di sana, jangan biarkan emosi menguasai dirimu.”Mey Yan mengangguk. “Aku mengerti, Ibu.”Dengan langkah mantap, ia naik ke dalam tandu. Perjalanan ke perkemahan memakan waktu beberapa jam, dan sepanjang jalan, pikirannya terus dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah Zhao benar-benar berkata jujur? Ataukah ia hanya mencoba menenangkannya?Saat tandu mulai mendekati per
Sepanjang perjalanan kembali ke kediaman mereka, Mey Yan duduk diam di dalam tandu. Hatinya masih gelisah, bukan hanya karena pertemuan tadi, tapi juga karena tatapan Lady Lin yang seakan menyimpan sesuatu.Di sampingnya, Zhao juga tidak banyak bicara. Tangannya menggenggam tangan Mey Yan, memberikan kehangatan, tetapi pikirannya jelas masih dipenuhi banyak hal."Kamu marah?" suara Zhao akhirnya memecah keheningan.Mey Yan menggeleng pelan. "Bukan marah… hanya merasa lelah. Sepertinya apa pun yang kita lakukan, selalu ada orang yang ingin menjatuhkan kita."Zhao menghela napas, lalu menarik Mey Yan lebih dekat ke dalam dekapannya. "Aku tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun mengusikmu. Apalagi seseorang seperti Lady Lin."Mey Yan menatapnya. "Tuan yakin tidak ada yang terjadi di antara kalian?"Zhao mengernyit, tampak kesal karena pertanyaan itu muncul lagi. "Mey Yan…""Aku hanya ingin mendengar jawaban langsung darimu."Zhao mengangguk. "Tidak ada apa-apa. Dia memang sering d
Zhao menggenggam tangan Mey Yan lebih erat, seolah ingin meyakinkannya bahwa ia ada di sini, bahwa tak ada yang perlu ia ragukan. Namun, sebelum keduanya bisa tenggelam lebih jauh dalam ketenangan sesaat itu, ketukan pelan di pintu menginterupsi keheningan mereka. Mey Yan menoleh ke arah pintu, sedikit terkejut. Zhao melepaskan genggaman tangannya dengan enggan sebelum akhirnya berdiri. "Masuk," katanya dengan suara dalam. Seorang pelayan masuk dengan kepala tertunduk, membawa sebuah surat di tangannya. "Tuan, ini pesan dari Permaisuri. Beliau ingin bertemu dengan Anda segera." Zhao menerima surat itu dan membuka gulungannya dengan tenang, tetapi matanya dengan cepat menangkap isi pesan yang ditulis dengan tinta merah. Ia mengernyit, lalu menggulung kembali surat itu dengan ekspresi tak terbaca. "Aku harus pergi," katanya pada Mey Yan, suaranya lebih dingin dari sebelumnya. Mey Yan menatapnya, mencoba membaca ekspresi suaminya. "Ada apa?" tanyanya dengan suara khawatir. Zha
Mey Yan berdiri terpaku di depan pintu, perasaan cemas mulai merayap dalam dadanya. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia terima. Zhao kembali ke Istana? Mengapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini ada hubungannya dengan kabar yang beredar mengenai hubungan Zhao dengan Lady Lin?Ia memutuskan untuk tidak terlalu larut dalam kekhawatiran. Jika ada sesuatu yang sangat mendesak, Zhao pasti akan memberitahunya. Namun, hati kecilnya tak bisa menahan kegelisahan yang terus mengganggu. Ia berjalan mondar-mandir di kamarnya, memikirkan segala kemungkinan.Sejenak, ia menatap jendela yang menghadap ke taman yang gelap. Udara malam terasa sejuk, seolah membawa sedikit ketenangan, namun pikiran Mey Yan tetap tidak bisa tenang. Dengan gerakan cepat, ia berjalan menuju meja kecil di sudut kamar dan mengambil sebuah gulungan surat. Tanpa berpikir panjang, ia mulai menulis surat kepada Zhao, mencoba meredakan kegelisahannya.Suamiku yang tercinta,Semoga perj
Zhao menarik napas dalam-dalam, menekan perasaan yang mulai memuncak di dadanya. Ia tahu bahwa keadaan di luar sana tidaklah mudah, dan meskipun ia terbiasa menghadapi pertempuran, tekanan yang datang dari dalam hati jauh lebih sulit untuk dihadapi. Tidak ada yang bisa menjelaskan kecemasannya saat memikirkan Mey Yan—istrinya yang kini berada di Istana, tempat yang penuh dengan intrik dan permainan kekuasaan yang tak terduga.Dalam hening malam itu, langkah-langkah lembut terdengar dari pintu belakang ruangannya. Zhao berbalik, dan dengan cepat, wajahnya yang penuh pemikiran berubah menjadi serius. Seorang pelayan masuk dengan membawa surat. “Tuan, surat dari Putri Mey Yan,” kata pelayan itu, membungkuk rendah.Zhao meraih surat itu dengan cepat, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka gulungan surat tersebut. Hatinya berdebar saat membaca tulisan tangan Mey Yan, yang meskipun sederhana, terasa penuh dengan ketulusan dan perasaan y
Senja di Kediaman JenderalLangit berubah warna menjadi jingga keemasan saat matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Angin musim semi berembus lembut, menggoyangkan kelopak bunga plum yang bermekaran di halaman kediaman Jenderal Zhao. Aroma tanah dan embun bercampur dengan wangi teh hangat yang baru saja dituangkan oleh Lian di meja batu.Mey Yan duduk di bawah paviliun kayu, menatap cangkir teh di tangannya dengan tatapan kosong. Ia masih memikirkan percakapannya dengan Zhao tadi sore."Aku ingin memperbaiki semuanya."Kata-kata itu terus terngiang di benaknya. Ia ingin mempercayai Zhao, tapi terlalu banyak ketidakpastian yang masih mengikat hatinya. Apalagi, bayangan Lady Lin terus menghantui pikirannya.Suara langkah kaki di jalan berbatu menarik perhatiannya. Ia mengangkat kepala dan melihat Zhao berjalan mendekat. Mantel militernya sedikit berkibar tertiup angin, menambah kesan gagah pada sosoknya."Sudah malam, kenapa kau belum masuk?" tanya Zhao dengan suara rendah, matanya