Mas Bayu hanya terdiam.
"Pa, kenapa sebenarnya mas Bayu?" Aku coba memberanikan diri untuk bertanya.
Rasa penasaranku harus terjawab. Siapa tau, hal ini ada kaitannya dengan kelangsungan nasib rumah tanggaku.
Papa nampak menghela nafas, dia memandang lama mas Bayu. Jelas tergambar kekecewaan di raut wajahnya yang mulai menua.
"Bayu, kamu yang cerita ke Nawang atau Papa?! Dia masih istrimu, dia berhak tau!"
Mas Bayu masih saja diam, tetap menunduk tampak kebingungan, sesekali dia menggaruk kepalanya.
"Nawang, maafkan Papa. Papa baru tau. kalau se–"
&
Aku terus saja mondar mandir di dalam kamar. Bingung, keputusan seperti apa yang harus kuambil. Adilkah bila aku menuntut cerai? Sedangkan saat ini, mas Bayu sangat membutuhkan aku ada di sampingnya. Namun, aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Yang menolak untuk bersama lagi dengannya. Cintaku sudah tak berbekas untuknya. Cinta yang hanya bersemi sebentar saja."Nawang." Mama masuk ke kamar.Beliau mendekatiku dan membimbingku duduk di tepian ranjang."Mama tau, Nawang pasti bingung harus bagaimana. Mama gak akan memaksa Nawang. Jangan karena merasa gak enak sama Mama dan Papa, kamu jadi terpaksa kembali sama Bayu. Mama juga perempuan, jadi Mama tau sekali bagaimana perasaan kamu saat ini." Mama menggenggam tanganku.
"Bagaimana disana Nawang?" hanya Ibu yang sudah tak sabar menunggu cerita yang kubawa dari rumah Mama."Nanti saja Nawang cerita, ya Bu. Nawang mau menidurkan Tama dulu, sudah jam sembilan." Aku langsung masuk ke kamarku dengan menggendong Tama."Sebentar ya Nak. Bunda mau gosok gigi dulu." Tama kududukkan di dekat tempat tidur, tapi tidak di atas, aku takut dia terjatuh.Aku sekedar mencuci mukaku dengan sabun pembersih wajah dan menggosok gigi. Mengganti pakaianku dengan daster rumahan. Aku kembali menggendong Tama, naik ke atas tempat tidur. Sepanjang aku menidurkan Tama, pikiranku masih saja kalut. Masih bingung dengan keputusan yang harus kuambil.Setelah kupastikan Tama tertidur lelap, kuletakkan g
Mas Bayu pun cukup bisa diajak kerja sama di dalam menjalani masa rehabilitasi nya. Sehingga tak ada kesulitan yang berarti, dia kelihatan benar-benar ingin terlepas dari jeratan barang terlarang.Namun begitu, hatiku tertutup sudah untuk dia kembali. Mungkin hubungan kami selanjutnya hanya akan sebatas teman, apalagi kami orangtua Tama, tak bisa putus silaturahim. Kami tetap bisa bersama mengasuh Tama. Meski tidak lagi tinggal seatap.Bukannya aku egois, tapi terlalu banyak luka yang mas Bayu torehkan di hatiku. Luka itu terlalu dalam, mas Bayu tak lagi bisa mengobatinya hanya dengan kata maaf. Berapa banyak maaf yang dia ucapkan. Dan aku tetap memaafkan. Namun, dia tetap mengulangi.Aku tak mendendam, sungguh. Namun di hatiku tak lagi tersisa rasa cinta u
Benar kata orang, pasti ada hikmah di balik musibah. Semenjak Ibu mengetahui tentang perlakuan mas Bayu terhadapku, sekarang Ibu menjadi pribadi yang lebih hangat. Tidak kaku lagi seperti dulu, yang semua titahnya harus dituruti. Bahkan disaat aku tak merubah pendirianku untuk tetap berpisah dari mas Bayu. Ibu tak turut campur lagi, dia mendukung apapun keputusan yang kuambil. Apalagi keputusanku berpisah dari mas Bayu, tidak berdampak dengan persahabatan Ibu dan Mama.Mas Bayu awalnya memang tak menerima keputusanku, tapi lama kelamaan dia mengerti. Bahwa hatiku tak bisa lagi dipaksakan. Dulu, saat aku menikah dengannya, aku bisa memaksakan diri dan hatiku untuk mencintainya. Tapi sekarang, seperti apa pun kucoba, nuraniku tetap menolak. Kalau dipaksakan, takut malah jadi boom waktu, kelak bagi kami."Halo, Assalamualaik
Aku terus saja mondar mandir di dalam kamar. Bingung, keputusan seperti apa yang harus kuambil. Adilkah bila aku menuntut cerai? Sedangkan saat ini, mas Bayu sangat membutuhkan aku ada di sampingnya. Namun, aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Yang menolak untuk bersama lagi dengannya. Cintaku sudah tak berbekas untuknya. Cinta yang hanya bersemi sebentar saja."Nawang." Mama masuk ke kamar.Beliau mendekatiku dan membimbingku duduk di tepian ranjang."Mama tau, Nawang pasti bingung harus bagaimana. Mama gak akan memaksa Nawang. Jangan karena merasa gak enak sama Mama dan Papa, kamu jadi terpaksa kembali sama Bayu. Mama juga perempuan, jadi Mama tau sekali bagaimana perasaan kamu saat ini." Mama menggenggam tanganku.
"Assalamualaikum." Aku langsung saja masuk ke dalam rumah, yang belum di tutup pintunya. Sepertinya Ibu dan Bapak sengaja menungguku pulang. Sementara Kang Supri langsung mengarahkan mobil ke garas yang ada di samping rumah."Waalaikum salam," sahut Ibu dari ruang keluarga.Tama tertawa-tawa senang melihatku. Kurentangkan kedua tanganku, dia merangkak dengan cepat ke arahku. Suara gemerincing dari gelang kakinya, begitu riuh. Aku sengaja memberikannya gelang kaki dari perak dengan kerincingan. Jadi sewaktu Tama terbangun malam, sementara aku tertidur, suara gelang kakinya bisa membangunkanku.Tama masih belajar jalan, biasanya dia masih merangkak bila ingin cepat sampai ke tujuannya. Begitu sampai, aku langsung memeluknya erat. Kuhujani wajahnya dengan ciuman, di
Mas Bayu pun cukup bisa diajak kerja sama di dalam menjalani masa rehabilitasi nya. Sehingga tak ada kesulitan yang berarti, dia kelihatan benar-benar ingin terlepas dari jeratan barang terlarang.Namun begitu, hatiku tertutup sudah untuk dia kembali. Mungkin hubungan kami selanjutnya hanya akan sebatas teman, apalagi kami orangtua Tama, tak bisa putus silaturahim. Kami tetap bisa bersama mengasuh Tama. Meski tidak lagi tinggal seatap.Bukannya aku egois, tapi terlalu banyak luka yang mas Bayu torehkan di hatiku. Luka itu terlalu dalam, mas Bayu tak lagi bisa mengobatinya hanya dengan kata maaf. Berapa banyak maaf yang dia ucapkan. Dan aku tetap memaafkan. Namun, dia tetap mengulangi.Aku tak mendendam, sungguh. Namun di hatiku tak lagi tersisa rasa cinta u
"Asiiiih! Kamu sengaja ya, masak pedesnya kebangetan kayak gini! Sengaja ya, mau bikin perut aku mules!" sungut Ira si nini pelet."Pedes juga, tetap habis. Bacot luh tuh lebih pedes!" sinisku. Gak menghargai banget nih nini pelet, susah payah aku masak. Tinggal nelen aja, masih komen."Karena gak ada makanan yang laen aja. Kalau gak, males makan masakanmu!" Dia mencebik, tak mau kalah."Halah alasan! Beli aja sana, uang mas Pur kan, luh sekarang yang pegang!""Sayang dong, bisa aku belikan emas. Sukur-sukur bisa beli berlian," katanya mengejekku, dengan jalan berlenggok masuk ke kamarnya.Kukepalkan jari jemariku, gigiku merapat, mataku m