Benar kata orang, pasti ada hikmah di balik musibah. Semenjak Ibu mengetahui tentang perlakuan mas Bayu terhadapku, sekarang Ibu menjadi pribadi yang lebih hangat. Tidak kaku lagi seperti dulu, yang semua titahnya harus dituruti. Bahkan disaat aku tak merubah pendirianku untuk tetap berpisah dari mas Bayu. Ibu tak turut campur lagi, dia mendukung apapun keputusan yang kuambil. Apalagi keputusanku berpisah dari mas Bayu, tidak berdampak dengan persahabatan Ibu dan Mama.
Mas Bayu awalnya memang tak menerima keputusanku, tapi lama kelamaan dia mengerti. Bahwa hatiku tak bisa lagi dipaksakan. Dulu, saat aku menikah dengannya, aku bisa memaksakan diri dan hatiku untuk mencintainya. Tapi sekarang, seperti apa pun kucoba, nuraniku tetap menolak. Kalau dipaksakan, takut malah jadi boom waktu, kelak bagi kami.
"Halo, Assalamualaik
Aku terus saja mondar mandir di dalam kamar. Bingung, keputusan seperti apa yang harus kuambil. Adilkah bila aku menuntut cerai? Sedangkan saat ini, mas Bayu sangat membutuhkan aku ada di sampingnya. Namun, aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Yang menolak untuk bersama lagi dengannya. Cintaku sudah tak berbekas untuknya. Cinta yang hanya bersemi sebentar saja."Nawang." Mama masuk ke kamar.Beliau mendekatiku dan membimbingku duduk di tepian ranjang."Mama tau, Nawang pasti bingung harus bagaimana. Mama gak akan memaksa Nawang. Jangan karena merasa gak enak sama Mama dan Papa, kamu jadi terpaksa kembali sama Bayu. Mama juga perempuan, jadi Mama tau sekali bagaimana perasaan kamu saat ini." Mama menggenggam tanganku.
"Assalamualaikum." Aku langsung saja masuk ke dalam rumah, yang belum di tutup pintunya. Sepertinya Ibu dan Bapak sengaja menungguku pulang. Sementara Kang Supri langsung mengarahkan mobil ke garas yang ada di samping rumah."Waalaikum salam," sahut Ibu dari ruang keluarga.Tama tertawa-tawa senang melihatku. Kurentangkan kedua tanganku, dia merangkak dengan cepat ke arahku. Suara gemerincing dari gelang kakinya, begitu riuh. Aku sengaja memberikannya gelang kaki dari perak dengan kerincingan. Jadi sewaktu Tama terbangun malam, sementara aku tertidur, suara gelang kakinya bisa membangunkanku.Tama masih belajar jalan, biasanya dia masih merangkak bila ingin cepat sampai ke tujuannya. Begitu sampai, aku langsung memeluknya erat. Kuhujani wajahnya dengan ciuman, di
Mas Bayu pun cukup bisa diajak kerja sama di dalam menjalani masa rehabilitasi nya. Sehingga tak ada kesulitan yang berarti, dia kelihatan benar-benar ingin terlepas dari jeratan barang terlarang.Namun begitu, hatiku tertutup sudah untuk dia kembali. Mungkin hubungan kami selanjutnya hanya akan sebatas teman, apalagi kami orangtua Tama, tak bisa putus silaturahim. Kami tetap bisa bersama mengasuh Tama. Meski tidak lagi tinggal seatap.Bukannya aku egois, tapi terlalu banyak luka yang mas Bayu torehkan di hatiku. Luka itu terlalu dalam, mas Bayu tak lagi bisa mengobatinya hanya dengan kata maaf. Berapa banyak maaf yang dia ucapkan. Dan aku tetap memaafkan. Namun, dia tetap mengulangi.Aku tak mendendam, sungguh. Namun di hatiku tak lagi tersisa rasa cinta u
"Asiiiih! Kamu sengaja ya, masak pedesnya kebangetan kayak gini! Sengaja ya, mau bikin perut aku mules!" sungut Ira si nini pelet."Pedes juga, tetap habis. Bacot luh tuh lebih pedes!" sinisku. Gak menghargai banget nih nini pelet, susah payah aku masak. Tinggal nelen aja, masih komen."Karena gak ada makanan yang laen aja. Kalau gak, males makan masakanmu!" Dia mencebik, tak mau kalah."Halah alasan! Beli aja sana, uang mas Pur kan, luh sekarang yang pegang!""Sayang dong, bisa aku belikan emas. Sukur-sukur bisa beli berlian," katanya mengejekku, dengan jalan berlenggok masuk ke kamarnya.Kukepalkan jari jemariku, gigiku merapat, mataku m
"Fatin kan, anak baek budi. Pasti mau minta maaf. Bunda kan, sering bilang. Kalau kita salah, kita harus berani minta maaf.""Tapi … Farel duluan Bun. Dia ambil kotak mainan Fatin. Fatin gak boleh main, Fatin kesel, jadi Fatin timpuk," katanya sambil menangis."Tante Ira, dorong Fatin Bun huhuhuhu." Dadaku bergemuruh mendengarnya.Aku mendekapnya erat, kuelus lembut rambutnya yang sudah panjang. Bunda tau Nak, bagaimana rasanya. Mataku berkaca-kaca, cepat kuhapus buliran itu, jangan sampai terjatuh di depan si Nini pelet. Aku sudah bersumpah dengan diriku sendiri. Tak akan mengeluarkan air mata di depannya maupun mas Pur.Aku tak ingin terlihat lemah, di hadapan mereka. Cukup mereka me
Sampai juga taksi yang kami naiki dihalaman rumah mbak Asih. Udah gak sabar ketemu Mbakku itu. Kami cuma dua bersaudara, sejak kecil selalu kompak. Beberapa waktu tak melihatnya secara langsung, membuat rasa rindu membuncah di dalam dada. Apalagi Ibuk, jelas rindunya sudah sampai di ubun-ubun.Aku menggendong Tama, yang tertidur pulas, Ibu yang membawa tas kami berdua. Kami tak membawa banyak baju, hanya baju buat jalan-jalan saja. Ibu sudah mengagendakan, kami akan pergi ke beberapa tempat rekreasi. Kalau baju rumah, nanti bisa pakai punya mbak Asih saja.TOK TOK TOKIbu mengetuk pintu rumah mbak Asih, belum ada jawaban. Ibu mengetuk lagi, tak lama terdengar suara kunci pintu yang di putar. Pintu terbuka, tapi bukan mbak Asih yang kami lihat.
"Terus kenapa sekarang perempuan itu bisa ada di rumah Mbak?" tanyaku."Sesudah Bapak mertua meninggal, Mas Pur baru berani membawanya. Mbak pun taunya setelah perempuan itu datang.""Tega sekali Mas Pur," gumamku, tak menyangka Abang ipar panutanku ternyata perangainya jauh lebih buruk dari mas Bayu. Karena dia melakukan semua dalam keadaan sadar."Kenapa, Mbak tak cerita ke Nawang?""Sebenarnya waktu Mbak chat kamu beberapa waktu lalu, Mbak mau cerita. Tapi takut kamu ngomong sama Ibuk. Tau sendiri, Ibuk gak bisa dengar berita mengejutkan seperti ini. Mbak takut, sakit jantung Ibuk kumat."Ternyata pikiranku sama Mbak Asih sama. Ka
Air mata Ibu terus saja mengalir, beliau terisak hingga tersengal, "Íbuu, sudah jangan begini. Nawang! Panggil dokter!""Eyang huhuhu." Fatin menangis melihat keadaan Ibu.Nawang sigap keluar ruangan memanggil dokter."Ibuk, jangan begini. Asih baik-baik aja." Aku terus berusaha membuat Ibu tenang. Nafas Ibu masih saja tersengal-sengal."Biar saya periksa," kata Dokter, yang baru saja datang. Aku segera menyingkir ke belakang."Mbak." Nawang memegang tanganku. Kami berusaha saling menguatkan, berharap Ibu baik-baik saja."Ibu Anda, sepertinya mengalami syok berat. Tap