Kami hanya diam di sepanjang perjalanan, hanya celoteh Tama yang menemani.
Sampai di rumah orangtuaku, Bapak dan Ibuk yang sedang duduk di teras rumah merasa heran dengan kedatangan kami.
"Kirain siapa, gak inget kalau yang masuk halaman mobil besan," kata Ibuk berbasa basi sambil memeluk Mama bercipika cipiki. Dengan senyumnya yang sumringah.
"Kok gak kasih kabar, mau kemari Jeng?" tanya Ibu.
"Iya, dadakan Jeng," jawab Mama berusaha biasa saja.
Aku meraih tangan Bapak dan Ibuk, menyalam punggung tangan mereka. Ibuk meraih Tama dalam gendonganku. Bapak menatap lekat wajahku seolah mencurigai sesuatu. Aku memalingkan wajah, supaya Bap
"Maafkan Ibu … Nawang." Ibu tak henti minta maaf, dia terus saja memelukku erat.Mungkin rasa penyesalan tengah bersemayam di hati beliau. Tapi sungguh aku tak menyalahkan Ibu, atas nasib malang yang menimpaku. Aku tau, Ibu hanya ingin yang terbaik buat anak-anaknya sebagaimana orangtua lainnya."Bu … jangan seperti ini. Nawang jadi sedih. Nawang udah gak papa kok Bu," kataku berusaha membuat Ibu tenang."Jeng, saya yang minta maaf. Saya juga gak menyangka … Bayu bisa berbuat hal di luar batas. Sebelumnya, belum pernah Bayu kasar. Makanya, kami pun gak pernah tau, kalau Nawang sering mengalami KDRT. Nawang juga, kalau tak didesak tak bercerita," beber Mama.Mama benar, Ma
Tak ada salahnya kupikir, siapa tau dengan bertemu dengannya, ada titik terang atas pertanyaan yang menggelayut di hatiku selama ini. Tentang perubahan mas Bayu.Aku bangkit dari ranjangku, melangkahkan kaki keluar dari kamar. Aku ingin memberitahu Ibu tentang Mas Dimas yang ngajak ketemuan. Sapa tau, dengan bertemu Mas Dimas. Ada titik terang atas persoalan yang kini menjerat rumah tanggaku."Bu," panggilku begitu keluar dari kamar. Suasana di dalam rumah terlihat sepi."Ibu, mana Mbok?" tanyaku pada mbok Ijah, yang baru datang dari arah dapur."Tadi di teras Mbak," jawabnya."Mbok, tolong dengerin Tama ya. Dia baru aja tidur," pesanku ke
"Buku harian apa, maksudnya?" tanya Ibu yang sedari tadi diam saja.Baiknya aku cerita ke Ibu, agar tak menimbulkan salah pengertian."Em, begini Buk. Saat Nawang dan Mas Dimas masih menjalin hubungan dulu. Nawang dan Mas Dimas, menuliskan semua impian kami disitu." Aku menjeda kalimatku sejenak. Meskipun telah lama berlalu, sekelebat impian yang telah pupus itu bermain di mataku."Sebenarnya buku itu sudah Nawang buang dan ingin Nawang bakar, tapi tak tau bagaimana ceritanya. Buku itu bisa ada sama mas Bayu," jelasku, sekilas aku melirik mas Dimas, yang nampak tertegun mendengar ceritaku."Lalu, kenapa Bayu menemui Nak Dimas?" Ibu beralih ke mas Dimas.
Aku menelan salivaku mendengar perkataan mas Dimas. Tapi tak mungkin aku bercerita masalah rumah tanggaku ke mas Dimas. Sangat tidak etis menurutku."Sebenarnya–" Aku mencegah Ibu yang ingin buka suara, dengan menggenggam tangannya. Sepertinya Ibu faham, meski aku tak memberi kode lebih. Ibu langsung menghentikan kata-katanya."Jadi menurut Mas, apa yang harus Nawang lakukan?" Aku mencoba meminta pendapat mas Dimas."Entahlah, Mas pun tak bisa ikut campur terlalu dalam urusan intern keluargamu," kata mas Dimas ada benarnya.Ting.Suara notifikasi dari gawaiku. Kukeluarkan gawaiku dari dalam tas. Mataku membeliak melihat pesan yang baru masuk
Kuperhatikan setiap sudut kamar ini, banyak memori menyakitkan tersimpan disini. Kamar ini menjadi saksi, betapa mas Bayu sering memperlakukan aku tak manusiawi. Kuhapus, bening kristal yang hampir luruh.Kubuka lemari bajuku, kuambil beberapa baju yang kubutuhkan, tak semua. Aku tak mau Mama berkecil hati, jika melihatku membawa semua bajuku. Apalagi keputusanku untuk berpisah dari mas Bayu, belum final."Aww," pekikku. Kuusap-usap keningku, memang tak seberapa sakit. Hanya agak terkejut saja.Ada benda jatuh dari atas lemari, tepat mengenai kepalaku. Benda apa itu? Aku memungutnya. Kuperhatikan dengan seksama, bentuknya menyerupai sebuah botol, namun di atasnya seperti ada selang atau sedotan. Aku tak pasti.
Mas Bayu hanya terdiam."Pa, kenapa sebenarnya mas Bayu?" Aku coba memberanikan diri untuk bertanya.Rasa penasaranku harus terjawab. Siapa tau, hal ini ada kaitannya dengan kelangsungan nasib rumah tanggaku.Papa nampak menghela nafas, dia memandang lama mas Bayu. Jelas tergambar kekecewaan di raut wajahnya yang mulai menua."Bayu, kamu yang cerita ke Nawang atau Papa?! Dia masih istrimu, dia berhak tau!"Mas Bayu masih saja diam, tetap menunduk tampak kebingungan, sesekali dia menggaruk kepalanya."Nawang, maafkan Papa. Papa baru tau. kalau se–"&
Aku terus saja mondar mandir di dalam kamar. Bingung, keputusan seperti apa yang harus kuambil. Adilkah bila aku menuntut cerai? Sedangkan saat ini, mas Bayu sangat membutuhkan aku ada di sampingnya. Namun, aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Yang menolak untuk bersama lagi dengannya. Cintaku sudah tak berbekas untuknya. Cinta yang hanya bersemi sebentar saja."Nawang." Mama masuk ke kamar.Beliau mendekatiku dan membimbingku duduk di tepian ranjang."Mama tau, Nawang pasti bingung harus bagaimana. Mama gak akan memaksa Nawang. Jangan karena merasa gak enak sama Mama dan Papa, kamu jadi terpaksa kembali sama Bayu. Mama juga perempuan, jadi Mama tau sekali bagaimana perasaan kamu saat ini." Mama menggenggam tanganku.
"Bagaimana disana Nawang?" hanya Ibu yang sudah tak sabar menunggu cerita yang kubawa dari rumah Mama."Nanti saja Nawang cerita, ya Bu. Nawang mau menidurkan Tama dulu, sudah jam sembilan." Aku langsung masuk ke kamarku dengan menggendong Tama."Sebentar ya Nak. Bunda mau gosok gigi dulu." Tama kududukkan di dekat tempat tidur, tapi tidak di atas, aku takut dia terjatuh.Aku sekedar mencuci mukaku dengan sabun pembersih wajah dan menggosok gigi. Mengganti pakaianku dengan daster rumahan. Aku kembali menggendong Tama, naik ke atas tempat tidur. Sepanjang aku menidurkan Tama, pikiranku masih saja kalut. Masih bingung dengan keputusan yang harus kuambil.Setelah kupastikan Tama tertidur lelap, kuletakkan g