"Buku harian apa, maksudnya?" tanya Ibu yang sedari tadi diam saja.
Baiknya aku cerita ke Ibu, agar tak menimbulkan salah pengertian.
"Em, begini Buk. Saat Nawang dan Mas Dimas masih menjalin hubungan dulu. Nawang dan Mas Dimas, menuliskan semua impian kami disitu." Aku menjeda kalimatku sejenak. Meskipun telah lama berlalu, sekelebat impian yang telah pupus itu bermain di mataku.
"Sebenarnya buku itu sudah Nawang buang dan ingin Nawang bakar, tapi tak tau bagaimana ceritanya. Buku itu bisa ada sama mas Bayu," jelasku, sekilas aku melirik mas Dimas, yang nampak tertegun mendengar ceritaku.
"Lalu, kenapa Bayu menemui Nak Dimas?" Ibu beralih ke mas Dimas.
Aku menelan salivaku mendengar perkataan mas Dimas. Tapi tak mungkin aku bercerita masalah rumah tanggaku ke mas Dimas. Sangat tidak etis menurutku."Sebenarnya–" Aku mencegah Ibu yang ingin buka suara, dengan menggenggam tangannya. Sepertinya Ibu faham, meski aku tak memberi kode lebih. Ibu langsung menghentikan kata-katanya."Jadi menurut Mas, apa yang harus Nawang lakukan?" Aku mencoba meminta pendapat mas Dimas."Entahlah, Mas pun tak bisa ikut campur terlalu dalam urusan intern keluargamu," kata mas Dimas ada benarnya.Ting.Suara notifikasi dari gawaiku. Kukeluarkan gawaiku dari dalam tas. Mataku membeliak melihat pesan yang baru masuk
Kuperhatikan setiap sudut kamar ini, banyak memori menyakitkan tersimpan disini. Kamar ini menjadi saksi, betapa mas Bayu sering memperlakukan aku tak manusiawi. Kuhapus, bening kristal yang hampir luruh.Kubuka lemari bajuku, kuambil beberapa baju yang kubutuhkan, tak semua. Aku tak mau Mama berkecil hati, jika melihatku membawa semua bajuku. Apalagi keputusanku untuk berpisah dari mas Bayu, belum final."Aww," pekikku. Kuusap-usap keningku, memang tak seberapa sakit. Hanya agak terkejut saja.Ada benda jatuh dari atas lemari, tepat mengenai kepalaku. Benda apa itu? Aku memungutnya. Kuperhatikan dengan seksama, bentuknya menyerupai sebuah botol, namun di atasnya seperti ada selang atau sedotan. Aku tak pasti.
Mas Bayu hanya terdiam."Pa, kenapa sebenarnya mas Bayu?" Aku coba memberanikan diri untuk bertanya.Rasa penasaranku harus terjawab. Siapa tau, hal ini ada kaitannya dengan kelangsungan nasib rumah tanggaku.Papa nampak menghela nafas, dia memandang lama mas Bayu. Jelas tergambar kekecewaan di raut wajahnya yang mulai menua."Bayu, kamu yang cerita ke Nawang atau Papa?! Dia masih istrimu, dia berhak tau!"Mas Bayu masih saja diam, tetap menunduk tampak kebingungan, sesekali dia menggaruk kepalanya."Nawang, maafkan Papa. Papa baru tau. kalau se–"&
Aku terus saja mondar mandir di dalam kamar. Bingung, keputusan seperti apa yang harus kuambil. Adilkah bila aku menuntut cerai? Sedangkan saat ini, mas Bayu sangat membutuhkan aku ada di sampingnya. Namun, aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Yang menolak untuk bersama lagi dengannya. Cintaku sudah tak berbekas untuknya. Cinta yang hanya bersemi sebentar saja."Nawang." Mama masuk ke kamar.Beliau mendekatiku dan membimbingku duduk di tepian ranjang."Mama tau, Nawang pasti bingung harus bagaimana. Mama gak akan memaksa Nawang. Jangan karena merasa gak enak sama Mama dan Papa, kamu jadi terpaksa kembali sama Bayu. Mama juga perempuan, jadi Mama tau sekali bagaimana perasaan kamu saat ini." Mama menggenggam tanganku.
"Bagaimana disana Nawang?" hanya Ibu yang sudah tak sabar menunggu cerita yang kubawa dari rumah Mama."Nanti saja Nawang cerita, ya Bu. Nawang mau menidurkan Tama dulu, sudah jam sembilan." Aku langsung masuk ke kamarku dengan menggendong Tama."Sebentar ya Nak. Bunda mau gosok gigi dulu." Tama kududukkan di dekat tempat tidur, tapi tidak di atas, aku takut dia terjatuh.Aku sekedar mencuci mukaku dengan sabun pembersih wajah dan menggosok gigi. Mengganti pakaianku dengan daster rumahan. Aku kembali menggendong Tama, naik ke atas tempat tidur. Sepanjang aku menidurkan Tama, pikiranku masih saja kalut. Masih bingung dengan keputusan yang harus kuambil.Setelah kupastikan Tama tertidur lelap, kuletakkan g
Mas Bayu pun cukup bisa diajak kerja sama di dalam menjalani masa rehabilitasi nya. Sehingga tak ada kesulitan yang berarti, dia kelihatan benar-benar ingin terlepas dari jeratan barang terlarang.Namun begitu, hatiku tertutup sudah untuk dia kembali. Mungkin hubungan kami selanjutnya hanya akan sebatas teman, apalagi kami orangtua Tama, tak bisa putus silaturahim. Kami tetap bisa bersama mengasuh Tama. Meski tidak lagi tinggal seatap.Bukannya aku egois, tapi terlalu banyak luka yang mas Bayu torehkan di hatiku. Luka itu terlalu dalam, mas Bayu tak lagi bisa mengobatinya hanya dengan kata maaf. Berapa banyak maaf yang dia ucapkan. Dan aku tetap memaafkan. Namun, dia tetap mengulangi.Aku tak mendendam, sungguh. Namun di hatiku tak lagi tersisa rasa cinta u
Benar kata orang, pasti ada hikmah di balik musibah. Semenjak Ibu mengetahui tentang perlakuan mas Bayu terhadapku, sekarang Ibu menjadi pribadi yang lebih hangat. Tidak kaku lagi seperti dulu, yang semua titahnya harus dituruti. Bahkan disaat aku tak merubah pendirianku untuk tetap berpisah dari mas Bayu. Ibu tak turut campur lagi, dia mendukung apapun keputusan yang kuambil. Apalagi keputusanku berpisah dari mas Bayu, tidak berdampak dengan persahabatan Ibu dan Mama.Mas Bayu awalnya memang tak menerima keputusanku, tapi lama kelamaan dia mengerti. Bahwa hatiku tak bisa lagi dipaksakan. Dulu, saat aku menikah dengannya, aku bisa memaksakan diri dan hatiku untuk mencintainya. Tapi sekarang, seperti apa pun kucoba, nuraniku tetap menolak. Kalau dipaksakan, takut malah jadi boom waktu, kelak bagi kami."Halo, Assalamualaik
Aku terus saja mondar mandir di dalam kamar. Bingung, keputusan seperti apa yang harus kuambil. Adilkah bila aku menuntut cerai? Sedangkan saat ini, mas Bayu sangat membutuhkan aku ada di sampingnya. Namun, aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Yang menolak untuk bersama lagi dengannya. Cintaku sudah tak berbekas untuknya. Cinta yang hanya bersemi sebentar saja."Nawang." Mama masuk ke kamar.Beliau mendekatiku dan membimbingku duduk di tepian ranjang."Mama tau, Nawang pasti bingung harus bagaimana. Mama gak akan memaksa Nawang. Jangan karena merasa gak enak sama Mama dan Papa, kamu jadi terpaksa kembali sama Bayu. Mama juga perempuan, jadi Mama tau sekali bagaimana perasaan kamu saat ini." Mama menggenggam tanganku.
Naldi dan Asih terperangah melihat kehadiran Rika yang datang berdua dengan Pur ke rumah mereka. Sempat terlintas pikiran buruk di benak mereka. Apalagi mendengar Pur dan Rika mengutarakan niat mereka untuk menikah. "Bagaimana kalian bisa saling kenal? Tau-tau kalian ingin menikah?" selidik Naldi. "Tak perlu kami ceritakan bagaimana prosesnya. Yang jelas, keinginan kami sungguh-sungguh untuk menikah," jawab Pur. Dia merasa tak perlu berbagi cerita tentang niat terselubung mereka pada awalnya. Yang terpenting sekarang, dia dan Rika sungguh-sungguh ingin menjalin cinta mereka sendiri. Tanpa mengusik jalinan cinta orang lain lagi. "Tapi Rika masih kuliah, pasti Ayah tak akan mengizinkannya menikah semuda ini. Apalagi dengan orang yang usianya jauh lebih tua." "Aku tetap mengizinkan Rika menyambung kuliahnya. Tapi dia harus balik lagi ke Kalimantan. Soal usia, aku rasa tak masalah. Asal Rika nyaman." Naldi memandangi wajah adiknya. Naldi melihat harapan besar akan restunya buat Rika,
Hari-hari terus berlalu, hubungan Rika dan Asih semakin akrab. Rika juga tetap menjalankan aktifitasnya bersama Pur. Menghabiskan sore hari dengan bermandi peluh, menikmati kenikmatan sesaat. Sebelum tujuannya tercapai, Rika tak akan berhenti. "Huh, kamu gagal!" Rika langsung memukul Pur, saat baru saja Pur membuka pintu kamarnya di hotel.Pur bingung, melihat tingkah Rika kali ini. Biasanya Rika datang langsung mendorongnya ke atas tempat tidur. Rika bertindak lebih agresif memang. Dia yang selalu memulai duluan, tanpa menciptakan suasana romantis sebelum memulainya.Jelas saja, tak dibutuhkan romantisme. Tak ada cinta di antara mereka. Mereka melakukan itu hanya untuk memuluskan rencana mereka saja.Ada sedikit penyesalan di hati Pur. Sejak awal manis madu Rika dia reguk. Dia tau, Rika gadis yang tak mudah mengobral diri. Terbukti, meski perangainya terlalu menyebalkan. Tapi dia masih bisa menjaga kesucian. Dia menyerahkan pada Pur hanya untuk satu tujuan. Merebut Naldi dari Asih.
Naldi memandangi gawainya cukup lama. Dia merasa heran dengan sikap Rika barusan saat dia hubungi. Kenapa Rika tan sepertinya? batinnya. Bukan dia tak menyenangi perubahan Rika yang sepertinya sudah bisa menerima pernikahannya dengan Asih. Tapi terlalu mendadak bagi Naldi. Masih dia ingat, bagaimana sikap Rika terakhir kali. Ada rasa curiga terselip di hatinya. "Apa Rika sedang merencanakan sesuatu?" gumamnya. "Bang!" "Ya!" sahut Naldi mendengar panggilan Rika dari dapur yang ada di lantai bawah."Tolongin dong!" kata Asih. Tanpa bertanya, pertolongan seperti apa yang diinginkan istrinya. Naldi bangkit dari peraduan, diletakkan kacamata yang sedari tadi bertengger di hidungnya ke atas meja kerjanya beserta dengan file yang ada ditangannya. Dia segera keluar kamar dan menuruni anak tangga satu persatu. Langsung menuju ke arah dapur. "Tolong apa, Dek?" tanyanya saat sudah sampai di dapur."Ini, tolong buatkan sangkutan buat menyangkutkan wajan juga panci." Naldi langsung memenuhi
"Syukurlah, sekarang Karin sudah keluar dari rumah ini. Kalau tidak, kita pasti akan dalam masalah lebih besar," kata Papa Bayu setelah mendengar cerita Bayu, tentang kronologi perempuan bernama Ayu mencari Karin hingga membawa orang-orang suruhan, membuat kekacauan di rumah mereka."Bayu juga nggak nyangka Pa. Karin bisa terlibat dengan sindikat seperti itu." "Begitulah, kalau terlalu materialistis. Gak pikir panjang, kalau mau berbuat sesuatu. Ada hikmahnya juga, dia dulu ninggalin kamu." "Iya Pa. Hikmah terbesarnya, Bayu bisa punya istri seperti Nawang," kata Bayu melirik Nawang yang pura-pura asik mencari channel siaran yang menarik di tivi. Padahal dia juga mendengar pembicaraan bapak dan anak itu. Nawang mencoba menutupi semburat merah di pipinya dengan pura-pura mencium ujung rambutnya sendiri.Nawang tak henti mengucap syukur di dalam hatinya, ternyata kesabarannya berbuah manis. Meski sempat hampir menyerah menghadapi sikap temperamental Bayu. Namun kesempatan kedua yang di
Karin benar-benar merasa bingung sekarang. Kalau dia menyeret nama Bram, dia khawatir keselamatan keluarganya akan terancam. Bram merupakan otak dari sindikat perdagangan manusia. Bisnis prostitusinya sangat sulit diendus pihak berwajib. Bukan hanya secara online, Bram juga menjalani bisnisnya secara offline, yang menyasar kalangan atas. Bram pasti tidak akan tinggal diam. Selama ini dia selalu bekerja di belakang layar dan sangat rapi, wanita-wanita yang dia pekerjakan tak ada yang mengenalnya. Hingga sulit bagi polisi untuk melacaknya. "Saudari Karin, sebaiknya Anda bekerja sama. Kalau Anda kooperatif, itu dapat mengurangi hukuman Anda." Penyidik terus memperhatikan ekspresi Karin, yang jelas ketakutan juga kebingungan."Apa … Anda sedang merasa terancam?" tanya penyidik. Karin masih saja bungkam."Kami akan memberi perlindungan pada Anda, kalau benar ada yang mengancam keselamatan Anda," kata penyidik. Karin tetap saja tidak berani buka suara, meski polisi berjanji akan melindungi
Sementara itu di tempat lain. Rika datang menemui Pur ke hotel tempatnya menginap. Rika mengambil gawainya dari dalam tas. Dicarinya nama Pur, tertera tulisan Secret Man. Dihubunginya melalui aplikasi bergambar gagang telepon berwarna hijau."Aku sudah di depan hotel," kata Rika langsung tanpa basa basi, saat Pur mengangkat panggilannya."Aku di kamar Melati. Kamu temui saja customer service, nanti aku akan menghubunginya. Aku akan beritahu dia, kalau kamu adalah tamuku." Klik, Rika langsung mematikan gawaiya. Kakinya melangkah dengan mantap masuk ke dalam hotel, tak ada keraguan sedikitpun ataupun merasa risih, dia akan mendatangi seorang pria yang usianya jauh lebih tua darinya. "Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" sambut customer service ramah, saat Rika sudah ada di hadapannya."Saya mau ke kamar Melati," jawab Rika."Oh iya, tadi sudah diberitahu kalau akan ada tamu. Silahkan naik ke lantai tiga, sebelah kiri, kamar ketiga, nanti ada tulisan kamar Melati di pintunya. Terima
Seorang polisi juga ikut ke kamar tamu bersama dengan Bayu. Mata mereka memindai setiap sudut kamar, hingga bawah kolong tempat tidur juga di dalam lemari, tak ditemukan keberadaan Karin. "Apa mungkin dia keluar sebelum orang-orang tadi datang?" gumam Bayu. Bukan tanpa alasan Bayu berpikir seperti itu. Seluruh rumah mereka memiliki jerjak besi di tiap jendela juga pintunya, tak mungkin bagi Karin bisa keluar tanpa diketahui siapa pun. "Karin! Keluar!" teriak Bayu, matanya nyalang. Dia geram, karena Karin tak kunjung keluar dari persembunyian. Padahal polisi sudah mengamankan ke empat orang yang mencarinya."Saudari Karin! Sebaiknya anda keluar, sudah aman sekarang. Orang yang mencari anda sudah ditahan!" polisi berpangkat kapten yang bersama Bayu juga turut memanggil Karin.Karin mendengar, tapi dia terlalu takut untuk keluar. Dia bertahan di tempat persembunyiannya, berencana akan kabur bila nanti ada kesempatan. Menunggu Bayu dan keluarganya lengah. Dia tak may polisi menahannya.
Laki-laki itu langsung masuk ke kamar tamu. Kali ini Nawang tak lagi mencegahnya. Dia mengambil gawai yang ada di saku celananya. Mencoba menghubungi Bayu."Anak ganteng." Nawang berhenti, urung menghubungi Bayu. Saat dilihatnya wanita itu mengangkat Bayu tinggi-tinggi seolah hendak menghempaskan tubuh putranya.Nawang dan Mama Bayu sangat khawatir, kalau perempuan itu benar akan menghempaskan tubuh Tama. Tama justru tertawa-tawa, merasa senang saat perempuan itu berulangkali melempar tubuhnya ke udara lalu menangkapnya lagi. Tama mengira, perempuan itu sedang mengajaknya main."Tolong, lepasin anak saya." Karin memelas pada wanita itu. Tapi tak diindahkan."Dia gak ada bos," kata laki-laki tadi keluar dari ka
Cipto menggeleng-gelengkan kepalanya, menghembuskan nafasnya perlahan. Membuat Bayu bingung dengan sikap Cipto."Apa Karin yang mengatakan begitu?" tanya laki-laki berjenggot itu."Ya," jawab Bayu seraya mengangguk."Maafkan aku, jujur, dulu aku memang sangat menggilai dia. Sampai tak berpikir panjang waktu itu. Memang kuakui, beberapa hari sebelum kalian menikah, aku masih berusaha membujuk Karin untuk kembali." Cipto mulai bercerita. Bayu tak berniat menyelanya. Sudah tak lagi ada amarah di hatinya, karena perbuatan Cipto yang ingin merebut Karin kembali dulu. Semua itu hanya tinggal masa lalu back Bayu."Tapi waktu itu Karin menolak. Dengan alasan, dia sudah tak mencintai aku. Dan kamu lebih memiliki segalanya da