Aku menelan salivaku mendengar perkataan mas Dimas. Tapi tak mungkin aku bercerita masalah rumah tanggaku ke mas Dimas. Sangat tidak etis menurutku.
"Sebenarnya–" Aku mencegah Ibu yang ingin buka suara, dengan menggenggam tangannya. Sepertinya Ibu faham, meski aku tak memberi kode lebih. Ibu langsung menghentikan kata-katanya.
"Jadi menurut Mas, apa yang harus Nawang lakukan?" Aku mencoba meminta pendapat mas Dimas.
"Entahlah, Mas pun tak bisa ikut campur terlalu dalam urusan intern keluargamu," kata mas Dimas ada benarnya.
Ting.
Suara notifikasi dari gawaiku. Kukeluarkan gawaiku dari dalam tas. Mataku membeliak melihat pesan yang baru masuk
Kuperhatikan setiap sudut kamar ini, banyak memori menyakitkan tersimpan disini. Kamar ini menjadi saksi, betapa mas Bayu sering memperlakukan aku tak manusiawi. Kuhapus, bening kristal yang hampir luruh.Kubuka lemari bajuku, kuambil beberapa baju yang kubutuhkan, tak semua. Aku tak mau Mama berkecil hati, jika melihatku membawa semua bajuku. Apalagi keputusanku untuk berpisah dari mas Bayu, belum final."Aww," pekikku. Kuusap-usap keningku, memang tak seberapa sakit. Hanya agak terkejut saja.Ada benda jatuh dari atas lemari, tepat mengenai kepalaku. Benda apa itu? Aku memungutnya. Kuperhatikan dengan seksama, bentuknya menyerupai sebuah botol, namun di atasnya seperti ada selang atau sedotan. Aku tak pasti.
Mas Bayu hanya terdiam."Pa, kenapa sebenarnya mas Bayu?" Aku coba memberanikan diri untuk bertanya.Rasa penasaranku harus terjawab. Siapa tau, hal ini ada kaitannya dengan kelangsungan nasib rumah tanggaku.Papa nampak menghela nafas, dia memandang lama mas Bayu. Jelas tergambar kekecewaan di raut wajahnya yang mulai menua."Bayu, kamu yang cerita ke Nawang atau Papa?! Dia masih istrimu, dia berhak tau!"Mas Bayu masih saja diam, tetap menunduk tampak kebingungan, sesekali dia menggaruk kepalanya."Nawang, maafkan Papa. Papa baru tau. kalau se–"&
Aku terus saja mondar mandir di dalam kamar. Bingung, keputusan seperti apa yang harus kuambil. Adilkah bila aku menuntut cerai? Sedangkan saat ini, mas Bayu sangat membutuhkan aku ada di sampingnya. Namun, aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Yang menolak untuk bersama lagi dengannya. Cintaku sudah tak berbekas untuknya. Cinta yang hanya bersemi sebentar saja."Nawang." Mama masuk ke kamar.Beliau mendekatiku dan membimbingku duduk di tepian ranjang."Mama tau, Nawang pasti bingung harus bagaimana. Mama gak akan memaksa Nawang. Jangan karena merasa gak enak sama Mama dan Papa, kamu jadi terpaksa kembali sama Bayu. Mama juga perempuan, jadi Mama tau sekali bagaimana perasaan kamu saat ini." Mama menggenggam tanganku.
"Bagaimana disana Nawang?" hanya Ibu yang sudah tak sabar menunggu cerita yang kubawa dari rumah Mama."Nanti saja Nawang cerita, ya Bu. Nawang mau menidurkan Tama dulu, sudah jam sembilan." Aku langsung masuk ke kamarku dengan menggendong Tama."Sebentar ya Nak. Bunda mau gosok gigi dulu." Tama kududukkan di dekat tempat tidur, tapi tidak di atas, aku takut dia terjatuh.Aku sekedar mencuci mukaku dengan sabun pembersih wajah dan menggosok gigi. Mengganti pakaianku dengan daster rumahan. Aku kembali menggendong Tama, naik ke atas tempat tidur. Sepanjang aku menidurkan Tama, pikiranku masih saja kalut. Masih bingung dengan keputusan yang harus kuambil.Setelah kupastikan Tama tertidur lelap, kuletakkan g
Mas Bayu pun cukup bisa diajak kerja sama di dalam menjalani masa rehabilitasi nya. Sehingga tak ada kesulitan yang berarti, dia kelihatan benar-benar ingin terlepas dari jeratan barang terlarang.Namun begitu, hatiku tertutup sudah untuk dia kembali. Mungkin hubungan kami selanjutnya hanya akan sebatas teman, apalagi kami orangtua Tama, tak bisa putus silaturahim. Kami tetap bisa bersama mengasuh Tama. Meski tidak lagi tinggal seatap.Bukannya aku egois, tapi terlalu banyak luka yang mas Bayu torehkan di hatiku. Luka itu terlalu dalam, mas Bayu tak lagi bisa mengobatinya hanya dengan kata maaf. Berapa banyak maaf yang dia ucapkan. Dan aku tetap memaafkan. Namun, dia tetap mengulangi.Aku tak mendendam, sungguh. Namun di hatiku tak lagi tersisa rasa cinta u
Benar kata orang, pasti ada hikmah di balik musibah. Semenjak Ibu mengetahui tentang perlakuan mas Bayu terhadapku, sekarang Ibu menjadi pribadi yang lebih hangat. Tidak kaku lagi seperti dulu, yang semua titahnya harus dituruti. Bahkan disaat aku tak merubah pendirianku untuk tetap berpisah dari mas Bayu. Ibu tak turut campur lagi, dia mendukung apapun keputusan yang kuambil. Apalagi keputusanku berpisah dari mas Bayu, tidak berdampak dengan persahabatan Ibu dan Mama.Mas Bayu awalnya memang tak menerima keputusanku, tapi lama kelamaan dia mengerti. Bahwa hatiku tak bisa lagi dipaksakan. Dulu, saat aku menikah dengannya, aku bisa memaksakan diri dan hatiku untuk mencintainya. Tapi sekarang, seperti apa pun kucoba, nuraniku tetap menolak. Kalau dipaksakan, takut malah jadi boom waktu, kelak bagi kami."Halo, Assalamualaik
Aku terus saja mondar mandir di dalam kamar. Bingung, keputusan seperti apa yang harus kuambil. Adilkah bila aku menuntut cerai? Sedangkan saat ini, mas Bayu sangat membutuhkan aku ada di sampingnya. Namun, aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Yang menolak untuk bersama lagi dengannya. Cintaku sudah tak berbekas untuknya. Cinta yang hanya bersemi sebentar saja."Nawang." Mama masuk ke kamar.Beliau mendekatiku dan membimbingku duduk di tepian ranjang."Mama tau, Nawang pasti bingung harus bagaimana. Mama gak akan memaksa Nawang. Jangan karena merasa gak enak sama Mama dan Papa, kamu jadi terpaksa kembali sama Bayu. Mama juga perempuan, jadi Mama tau sekali bagaimana perasaan kamu saat ini." Mama menggenggam tanganku.
"Assalamualaikum." Aku langsung saja masuk ke dalam rumah, yang belum di tutup pintunya. Sepertinya Ibu dan Bapak sengaja menungguku pulang. Sementara Kang Supri langsung mengarahkan mobil ke garas yang ada di samping rumah."Waalaikum salam," sahut Ibu dari ruang keluarga.Tama tertawa-tawa senang melihatku. Kurentangkan kedua tanganku, dia merangkak dengan cepat ke arahku. Suara gemerincing dari gelang kakinya, begitu riuh. Aku sengaja memberikannya gelang kaki dari perak dengan kerincingan. Jadi sewaktu Tama terbangun malam, sementara aku tertidur, suara gelang kakinya bisa membangunkanku.Tama masih belajar jalan, biasanya dia masih merangkak bila ingin cepat sampai ke tujuannya. Begitu sampai, aku langsung memeluknya erat. Kuhujani wajahnya dengan ciuman, di