Bunga melangkah kembali meninggalkan aku. Dia nampaknya sudah sangat membenciku. Sekarang, aku harus bagaimana?Tiba-tiba dari kejauhan, terlihat sebuah mobil melaju kencang dari arah kanan. Kedua mataku terbuka lebar ketika mengetahui posisi Bunga tepat di arah kanan. ''Bunga ... awas!'' Bunga melirik ke kanan, dia terkejut dan berteriak. Mobil itu berhasil menabrak tubuh Bunga hingga tubuhnya terkapar berlumuran darah di tanah.''Astagfirullah, Bunga ....'' Aku berlari mendekat ke arahnya. Seluruh orang yang melihat kejadian ini pun turut menyaksikan kejadian tabrakan. ''Please, call an ambulance!'' seruku berteriak pada orang-orang untuk segera menelepon ambulance.Diantara mereka mengangguk, lalu merogoh ponsel dan menelepon pihak ambulance agar segera datang menuju tempat kejadian.Bulir air mata menetes membasahi kedua pipi. Hancur perasaanku ketika menyaksikan wanita yang sangat kucintai tertabrak di depan kedua mata. Aku merasa menyesal tak buru-buru menolongnya. Jika saja,
POV BUNGA Hari ini, entah kenapa hatiku seakan hancur ketika mendengar pengakuan dari mulut Bang Reyhan. Seharusnya, aku tak terlalu berharap lebih padanya, dia laki-laki yang tak mempertanggungjawabkan apa yang sudah ia janjikan. Seharusnya, sudah sejak lama hubungan kami berlanjut ke jenjang yang lebih serius, namun nyatanya kenyataan yang harus kuterima begitu sakit. Aku merasa dunia seakan runtuh, hancur sekali perasaanku ketika Bang Irsyad mengundur waktu akan ucapan yang dahulu pernah ia janjikan. Seharusnya sebagai seorang wanita, aku tak usah menuntut sesuatu padanya dan tak menunggu harapan yang pastinya tidak akan terjadi dalam hidupku. Pada kenyataannya, cintaku bertepuk sebelah tangan. Bang Irsyad tega mempermainkan perasaanku. Mungkin, dirinya tidak benar-benar mencintaiku. Aku sebagai seorang wanita terlarut dalam kebodohannya. Aku begitu terlena dan tak kuasa menahan kekecewaan yang teramat sakit di dalam dada. Menurut orang tua zaman dahulu, seorang perempuan tidak
POV AmiraSuasana saat ini terasa begitu dingin, udara menyeruak hingga membuat kulit di tubuhku merasa tak kuat menahan kedinginan. Sekarang, jam di pergelangan tanganku sudah menunjuk ke arah pukul 03:00 WIB, namun hingga detik ini tidak ada tanda-tanda Bang Irsyad dan Bunga akan kembali pulang, mereka pun tak sama sekali mengabari lewat sambungan telepon dan membuat perasaanku khawatir akan keberadaan mereka.Terlihat, Bintang telah terlelap pulas dengan dengkurannya yang khas, sementara aku masih berdiam diri di balkon sembari menatap langit yang sudah gelap dan gedung-gedung pencakar langit lainnya yang terlihat begitu menakjubkan. Tak terasa, satu jam lagi adzan subuh berkumandang dengan merdu. Tak ayal, walaupun keberadaanku berada di atas puncak gedung Burj Khalifa masih terdengar jelas suara adzan berkumandang.Seharusnya, sesaat tadi setelah membereskan semua pakaian ke dalam koper, aku langsung pergi meninggalkan hotel ini untuk kembali pulang ke tanah air. Tetapi, sayangn
''Doctor, how is my sister?" tanya Amira menggunakan bahasa Inggris, dia bertanya tentang bagaimana kondisi Amira.Dokter terdiam. Dia menarik nafas gusar seakan-akan berat hendak memberitahukan sebuah kabar tentang kondisi Bunga."The patient was seriously injured, currently the patient is undergoing treatment. Just pray that the patient will recover soon.''Seketika air mata kami sama sekali tidak berhenti menetes, aku dan Bang Irsyad merasa sedih ketika mendengar penjelasan dokter yang mengatakan bahwa Bunga saat ini sedang kritis akibat kecelakaan parah yang dialaminya. Dokter yang memeriksa keadaan Bunga menyuruh kami masuk ke dalam untuk melihat, kami dengan senang langsung masuk dan melihat keadaan Bunga. Terlihat, tubuh Bunga saat ini tengah terbaring lemah di atas ranjang tempat tidur. Luka di sekujur tubuhnya ternyata cukup parah, aku merasa tak menyangka Bunga bisa mengalami kecelakaan tunggal hingga mengakibatkan kondisinya menjadi seperti ini.''Bunga, aku sedih melihat
''Amira, kamu di mana, nak. Secepatnya kamu harus pulang. Kondisi Papa sekarang makin memburuk,'' ujar Mama dari seberang telepon. Suaranya seakan tengah menangis pilu.''Sebentar lagi juga Amira akan pulang Ma, ini masih di perjalanan. Mama temani Papa, Amira pasti akan segera sampai dan menjenguk Papa secepatnya,'' ujarku meyakinkan kepada Mama.''Mama tunggu kamu pulang, Nak.'' Panggilan pun terputus. Mama mematikan sambungan telepon secara sepihak.Aku menghela nafas kembali setelah mobil taksi berhasil mendaratkan di depan gedung Burj Khalifa. Sesudah membayar aku masuk ke dalam untuk menuju ke arah lift. Lalu, tombol lantai 122 tertekan. Dalam hitungan detik, lift ini berhasil membawa aku dan Bintang menuju lantai ke 122. Kami melanjutkan perjalanan menuju hotel tempat dimana kami menginap. ''Kamu yang sabar, ya, Sayang. Setelah ini kita akan pulang ke Indonesia. Pasti kamu sangat merindukan nenek dan kakek 'kan?'' ucapku pada Bintang.''Iya, Ma. Aku sangat merindukan mereka.'
''Bintang ....!'' Teriakku kembali.Beberapa Sekurity datang menghampiriku. Mereka menanyakan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mereka pun bingung, tak lama itu para security mencari Bintang ke semua penjuru Bandara dan mengumumkan hilangnya Bintang lewat speaker ke semua orang yang berada di bandara ini.''Bintang, sebetulnya kamu ada di mana? Kenapa kamu pergi, padahal sudah jelas-jelas Mama sudah memberitahumu untuk jangan kemana-mana. Tapi kenapa kamu tak ada Bintang.'' Aku menangis tersedu-sedu. ***Senja sudah terlihat, hingga detik ini aku sama sekali tak bisa menemukan keberadaan Bintang. Aku merasa sedih dan terluka. Sebetulnya kemana perginya Bintang? apakah seseorang ada yang menculik? Tapi siapa? ''CCTV? Ya, Aku harus melihat rekaman cctv agar aku bisa mengetahui kemana perginya Bintang.'' Aku berucap lirih, lalu bangkit dan menghadap ke arah security. Tanpa berlama-lama, security sigap menerima laporan dan meminta rekaman. Kami pun lantas melangkah untuk mengecek cc
POV SantiSiang ini, aku duduk termenung di depan rumah sembari menyeruput segelas teh hangat yang sudah disajikan oleh Dewi. Setelah kepergian Amira dan Reyhan, suasana rumah ini terasa sepi. Hatiku seakan rindu mengingat mereka yang tengah berlibur di kota Dubai, Uni Emirat Arab. Sebagai seorang Ibu, aku merasa bahagia melihat anak yang kucintai menikah dengan seorang laki-laki baik seperti Reyhan. Aku berharap, pernikahan mereka tidak mengalami kegagalan seperti pernikahan Amira dan Bagas. Jika mengingat kembali masa lalu, Bagas awalnya pun terlihat baik dan berwibawa. Namun nyatanya, setelah menikah, dia tega menyakiti Amira. Semoga saja Reyhan tidak seperti Bagas, aku yakin. Dia sangat mencintai Amira dan tak mungkin melanggar janjinya sendiri.Tiba-tiba, awan putih berubah gelap. Nampak sebentar lagi hujan akan turun. Aku menatap jam di pergelangan tangan, terlihat waktu sudah menunjuk ke arah pukul 15:00 WIB. Seketika hatiku merasa gelisah, Mas Hartawan hingga sekarang belum m
Sampai tak terasa, akhirnya aku telah memasuki halaman parkir perusahaan Mas Hartawan. Aku terdiam cukup lama. Suasana di depan perusahaan, nampak sepi seperti tak ada satu orang pun yang berada di dalam. Lalu sekarang, apakah Mas Hartawan berada di dalam perusahaan? Jika tidak, kemana perginya suamiku?Tok ... Tok ... Tok ...Suara ketukan kaca membuyarkan lamunanku, aku lantas menekan tombol agar kaca mobil terbuka dengan sempurna. Terlihat, seorang laki-laki muda berpenampilan security menatap sambil tersenyum ke arahku. ''Selamat malam, Bu Santi. Apakah ada yang bisa saya bantu?'' tanya security.''Apakah Pak Hartawan ada di dalam?'' tanyaku menatapnya.''Setahu saya Pak Hartawan sudah pulang dari sejak tadi siang, Bu. Semua karyawan pun sudah pulang,'' jawab security. Aku yang mendengar terkejut. Jika Mas Hartawan sudah pulang tadi siang, lalu kenapa hingga malam ini dia tak pulang ke rumah?''Apakah kamu tahu kemana Pak Hartawan pergi?'' tanyaku pelan. Semoga saja security itu
Aku terdiam beberapa saat. Suasana seperti ini membuatku merasa bimbang. Aku harus jawab apa sekarang. Apa aku tolak saja? “Maaf, Mas, bukannya aku enggak mau, tapi aku sudah nggak mau menjalani hidup dengan laki-laki mana pun, aku masih ingin sendiri menikmati kehidupan seperti sekarang. Jadi, mohon maap kalau misalkan aku menolak permintaan kamu,” ucapku pada Mas Bagas dengan hati-hati. Aku takut ucapanku malah menyakiti perasaan dia. Mas Bagas menanggapi ucapanku dengan tersenyum, tatapan dia seolah-olah tidak menyimpan amarah. Namun, aku merasa nggak enak pada dirinya. “Nggak papa, Amira. Aku tahu jawaban kamu pasti akan seperti itu. Dan, aku juga sama sekali nggak marah apalagi sampai kesal hanya karena masalah ini. Aku tahu sakit yang sudah kamu rasakan kemarin, mungkin oleh karena itu kamu memilih ingin menyendiri tak ingin dengan siapa pun lagi,” ujar dia masih dengan senyumnya. Aku tahu, Mas Bagas sudah berubah tak lagi seperti dulu, tetapi bagaimana pun juga sudah keputu
“Mama juga bingung harus gimana, tapi yang jelas sekarang lebih baik kamu fokus sama anak kamu, jangan dulu memikirkan laki-laki. Nanti, jika anak kamu sudah beranjak dewasa dan ada laki-laki baik yang mau menerima kamu dan juga Bintang Mama nggak jadi masalah. Takutnya kalau kamu mengambil keputusan dan menerima dia, Mama takut nasib kamu akan sama seperti kemarin, dan Mama nggak mau melihat kamu menderita lagi,” ujar Mama menasihati. Aku mengangguk paham saat Mama mengatakan hal itu, lebih baik menyendiri dulu dan bahagiakan anak tanpa lebih dulu memikirkan laki-laki. Kegagalan membuatku trauma, aku merasa lebih nyaman seperti ini tanpa merasa ada beban. “Iya, Ma. Keputusan aku menolak Pak Devan sepertinya sudah tepat. Aku ingin sendiri dulu membahagiakan anakku Satu-satunya, aku nggak mau Bintang kembali menjadi korban hanya karena salah memilih ayah untuk dia.”Mama mengangguk. Aku merasa lebih lega sekarang karena sudah mencurahkan isi hatiku. Mungkin jika memang hanya karena
Ya Allah ... bagaimana ini ...“Kamu kenapa, Amira?”Tiba-tiba terdengar suara dari belakang, dengan cepat aku memutar tubuh dan menatap ke arahnya. Ternyata dia ....“Mas Devan?”Aku terkejut setelah tahu ternyata itu adalah Mas Devan. Tatapannya seakan bingung, mungkin dia heran melihat aksiku yang seperti anak kecil. Aku juga seakan merasa malu pada dirinya, bisa-bisanya aku bertingkah seperti itu. “Kamu kenapa, Amira?” tanya Mas Devan mengulang pertanyaan yang sama. “Nggak papa, kok, Pak.” Aku tersenyum, kemudian berniat ingin menjauhinya karena merasa malu. “Permisi, Pak.” Aku pamit dan melangkah pergi. “Tunggu sebentar, Amira,” ujarnya menghentikan langkah kakiku. Perasaanku seakan menggebu saat dia memanggilku. Aku pun lantas berbalik arah dan menatapnya lagi. “Iya, kenapa, Pak?” tanyaku menatap mata elangnya. Jujur, Mas Devan memang begitu sangat tampan sekali. Matanya pun nampak indah. Dia manis. 'Astagfirullah. Apa-apaan sih Amira. Inget, kamu itu janda. Nggak boleh
“Saya enggak membutuhkan pekerja untuk menjadi asisten pribadi saya. Memang kemarin iya, tapi jika dipikir-pikir saya nggak butuh asisten pribadi,” ucap Mas Devan menjelaskan. “Jika tidak membutuhkan asisten pribadi, saya tidak akan jadi melamar di perusahaan ini, karena dengan pengalaman saya sebelumnya pernah memimpin perusahaan dan mungkin saya juga bisa mengatur segala urusan apapun sebagai asisten pribadi,” sahutku berucap. Seketika itu dia menatapku seolah-olah penasaran. Kemudian dia meraih CV yang aku bawa dari rumah. Dia membaca secara seksama isi dari CV itu.“Waw, hebat sekali! Ternyata sebelumnya kamu pernah memiliki perusahaan besar. Saya sangat mengenal betul pemilik perusahaan itu. Apakah kamu putri dari Pak Handriana, directur utama perusahaan Aksara Pramudia?” “Betul, Mas. Itu Papa saya. Perusahaan yang sudah Papa saya bangun dan kelola selama ini mengalami masalah sehingga kami tidak memimpin kembali perusahaan itu. Oleh sebab itu, saya memutuskan mencari lowongan
“Ya mau bagaimana lagi, Ma. Amira sedang mencari. Mungkin nanti secepatnya dapat pekerjaan, yang penting Mama doakan selalu Amira,” “Mama doakan semoga kamu secepatnya mendapatkan pekerjaan Amira,” lirih Mama berucap. Aku merasa belum mampu membahagiaan Mama padahal hanya aku satu-satunya anak Mama. Ya Allah ... mudah-mudahan Engkau lancarkan agar aku bisa mendapatkan uang. Aku nggak tahu lagi bagaimana caranya mencari uang sedangkan anak aku pun masih kecil. Aku berharap ada keajaiban, Allah maha baik dia pasti menolongku. Setelah obrolan itu, pagi ini aku bersiap akan melakukan perjalanan ke kota untuk mencari pekerjaan. Aku menenteng map cokelat yang berisikan surat-surat yang dibutuhkan. Masuk ke dalam kendaraan roda empat, satu-satunya yang kumiliki saat ini. Dengan cepat aku mobilku melesat menyusuri jalanan raya yang lenggang. Saat ini tujuanku ingin melamar ke perusahaan digital yang bergerak dibidang pemasaran lokasinya tak jauh dari rumah. Aku begitu sangat percaya diri
Jam dipergelangan tanganku sudah menunjuk ke arah pukul 13:00 WIB, sudah hampir menjelang sore namun hujan hingga kini belum juga usai. Aku pun berniat ingin menerjang hujan karena takut Bintang menunggu kepulanganku di rumah. Saat hendak masuk ke mobil, tiba-tiba saja pandanganku teralih ke arah seorang laki-laki yang tengah duduk termenung di pinggir jalan. Wajahnya nampak mirip sekali dengan Mas Reyhan, dia terlihat sedih, berulang kali menatap jalan raya dengan perasaan cemas. Entah kenapa hatiku ingin sekali menghampirinya. Aku segera masuk ke dalam mobil bersiap menghidupkan mobil, lalu kendaraan roda empat yang tengah kukendaraipun berjalan tepat di depan laki-laki itu yang mirip sekali dengan Mas Reyhan.“Permisi, Mas. Sejak tadi saya lihat di tempat pemakaman umum Mas terlihat sedih. Ada apa?” tanyaku menghampirinya.“Anak saya sampai saat ini belum kunjung pulang, Mbak. Saya sangat khawatir dengan keadaannya.” Dia menjelaskan keresahan hatinya.“Memangnya anak Mas usia ber
“Amira, kamu kenapa menangis?”“Mas Reyhan bunuh diri, Ma,” jelasku pada wanita yang telah melahirkanku dua puluh sembilan tahun lalu.“Apa? Kok bisa?” “Entahlah, aku sendiri pun nggak tahu kenapa dia malah memilih jalan buntu dengan melakukan perbuatan itu.” Aku menghela nafas menghapus air mata yang sedari tadi mengalir. “Apa mungkin karena perkataanku tadi ya, sampai-sampai dia berani bunuh diri?” lanjutku menatap tak percaya Mama.“YaAlloh Amira ... kamu jangan menyalahkan diri kamu atas kematian Reyhan, kamu perempuan baik, mungkin dia seperti itu karena sudah terlalu capek hidup di dunia walaupun dengan cara yang salah memaksakan diri untuk mengakhiri hidup,” lirih Mama menguatkan. Sebagaimana perasaanku kini, hati yang paling terasa begitu belum ikhlas. Memang setiap yang bernyawa pasti akan kembali lagi ke sang pencipta, namun harus bagaimana lagi mungkin sudah garis takdir.“Iya.” Aku mulai merasa tenang saat Mama berucap barusan, mungkin saat ini aku harus belajar ikhlas
"Hallo, Amira. Ada sesuatu yang ingin aku beritahu tentang kamu tentang mantan suamimu. Ternyata dia barusaja melakukan pencobaan bunuh diri.” Jelasnya dari seberang telepon. “Apa? Ini siapa?” “Ini Bunga.” “Siapa yang bunuh diri?” “Reyhan.” “Apa?” Seketika itu aku merasakan debaran yang bergejolak di dada, terasa aneh dan tak percaya membuatku seakan tak percaya. Mas Reyhan bunuh diri? Karena apa? “Aku nggak percaya dia bunuh diri, kamu tahu dari mana?” tanyaku tak percaya, apalagi baru tadi sore Mas Reyhan datang ke rumah dan meminta maap atas apa yang telah ia perbuat kepadaku di masa lalu. “Malam tadi. Aku juga tahu dari Mas Irsyad.” Jelasnya membuatku terkejut. Bagai dihantam batu besar dadaku saat mendengarnya. Hatiku seketika gelisah. Bagaimana mungkin Mas Reyhan tega melakukan hal itu sementara setahuku dia tak akan mungkin melakukan hal bodoh apalagi sampai menghilangkan nyawanya sendiri. “Nggak mungkin dia bunuh diri, Bunga. Baru tadi sore dia datang ke rumahku.” A
—Lima tahun kemudian—“Ma, di depan ada tamu, katanya ingin bertemu dengan Mama,” ucap Bintang menghampiriku yang tengah sibuk menata bumbu di dapur.“Siapa, Nak?” “Nggak tahu. Katanya teman Mama.” Keningku mengerut heran. Aku merasa nggak ada janji dengan siapa pun tiba-tiba saja ada tamu datang ke rumah ini. Aku lantas menyelesaikan aktivitas di dapur dan segera menghampiri seseorang yang berada di ruang tamu. Kedua kakiku melangkah pelan menyusuri ruangan, tepat tiga langkah hendak menuju ruang tamu aku menatap dari kejauhan. Terlihat seorang laki-laki duduk termenung menampakkan raut wajahnya yang gelisah. Aku begitu terkejut ketika mengetahui tamu yang dimaksud Bintang.“Mas Reyhan?”Ternyata dia sudah bebas dari penjara. Lantas, kenapa dia datang ke rumah ini? Apa jangan-jangan ia ingin kembali menculik Bintang? “Ada perlu apa kamu datang ke rumah ini?” tanyaku menghampirinya menatap tak suka dengan kehadiran matan suamiku.“Amira.” Dia bangkit dan tersenyum.“Kamu mau mencu