“Mama juga bingung harus gimana, tapi yang jelas sekarang lebih baik kamu fokus sama anak kamu, jangan dulu memikirkan laki-laki. Nanti, jika anak kamu sudah beranjak dewasa dan ada laki-laki baik yang mau menerima kamu dan juga Bintang Mama nggak jadi masalah. Takutnya kalau kamu mengambil keputusan dan menerima dia, Mama takut nasib kamu akan sama seperti kemarin, dan Mama nggak mau melihat kamu menderita lagi,” ujar Mama menasihati. Aku mengangguk paham saat Mama mengatakan hal itu, lebih baik menyendiri dulu dan bahagiakan anak tanpa lebih dulu memikirkan laki-laki. Kegagalan membuatku trauma, aku merasa lebih nyaman seperti ini tanpa merasa ada beban. “Iya, Ma. Keputusan aku menolak Pak Devan sepertinya sudah tepat. Aku ingin sendiri dulu membahagiakan anakku Satu-satunya, aku nggak mau Bintang kembali menjadi korban hanya karena salah memilih ayah untuk dia.”Mama mengangguk. Aku merasa lebih lega sekarang karena sudah mencurahkan isi hatiku. Mungkin jika memang hanya karena
Aku terdiam beberapa saat. Suasana seperti ini membuatku merasa bimbang. Aku harus jawab apa sekarang. Apa aku tolak saja? “Maaf, Mas, bukannya aku enggak mau, tapi aku sudah nggak mau menjalani hidup dengan laki-laki mana pun, aku masih ingin sendiri menikmati kehidupan seperti sekarang. Jadi, mohon maap kalau misalkan aku menolak permintaan kamu,” ucapku pada Mas Bagas dengan hati-hati. Aku takut ucapanku malah menyakiti perasaan dia. Mas Bagas menanggapi ucapanku dengan tersenyum, tatapan dia seolah-olah tidak menyimpan amarah. Namun, aku merasa nggak enak pada dirinya. “Nggak papa, Amira. Aku tahu jawaban kamu pasti akan seperti itu. Dan, aku juga sama sekali nggak marah apalagi sampai kesal hanya karena masalah ini. Aku tahu sakit yang sudah kamu rasakan kemarin, mungkin oleh karena itu kamu memilih ingin menyendiri tak ingin dengan siapa pun lagi,” ujar dia masih dengan senyumnya. Aku tahu, Mas Bagas sudah berubah tak lagi seperti dulu, tetapi bagaimana pun juga sudah keputu
POV BAGAS [Sayang, jangan lupa kita akan bertemu hari ini, soalnya aku rindu dan sudah pesan hotel yang paling bagus untuk kita berdua agar kita bisa menikmatinya dengan sangat romantis?] Pesan tersebut aku kirim kepada wanita yang selama ini selalu mengisi hari-hariku yang sepi. Dzakira. Entah kenapa ketika menyebut namanya hatiku berbunga, apalagi ketika memandang lekuk tubuhnya yang indah membuatku selalu ingin menyentuh tubuhnya. Berbeda dengan Amira--istriku, entah kenapa aku merasa jijik jika bertatap muka dengannya, apalagi menyentuhnya. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir menyentuh Amira. Setiap merasa kesepian, aku selalu meminta Dzakira, tentunya aku harus merogoh kocek yang lumayan agar mendapatkan kepuasan darinya. Tentunya Amira tidak mengetahui bahwa aku sudah menduakannya. Lagipula, ini salahnya yang tak mampu melayaniku. Bayangan terlukis di pikiran, hingga tak terduga, pesan yang barusaja kukurim ke nomernya berhasil terbaca olehnya. [Siap, Sayang. Sekarang juga
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMIKU (2) Sayang, ATM-ku sedang dalam masalah, untuk kali ini, kamu yang bayar ya, nanti aku akan ganti secepatnya,'' pintaku pada Dzakira memohon. Seketika raut wajahnya memerah menahan penuh amarah. ''Apa kamu sudah gila, tidak akan mungkin aku mau membayar empat puluh juta, aku sama sekali tidak ada uang sebesar itu dan lagipula aku tidak membawa uang sepeserpun,'' ujar Dzakira meluapkan kekecewaan. ''Aku baru memberimu yang seratus juta kemarin, kenapa bisa habis secepat itu?'' tanyaku heran. Bisa-bisanya dia boros hanya dengan satu hari. ''Uang yang kamu beri kemarin sudah habis dipakai shopping, lagipula uang segitu tidak ada apa-apanya, zaman sekarang serba mahal.'' Dzakira melipatkan kedua tangan di dada, kedua matanya memandang sinis. ''Kamu keterlaluan, Dzakira. Lalu bagaimana sekarang bukankah kamu tetap menginginkan hotel ini. Aku sama sekali tidak bawa uang cash, sementara kartu ATM-ku tidak bisa dipakai.'' Aku merasa frustasi dan
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMIKU (3) Dzakira terdiam, ia menahan kekecewaan, aku pun tak memperdulikannya, urusan batin nanti pun kami akan kembali melakukannya. Yang jelas, untuk sekarang aku tidak mau sampai Amira mengetahui kebusukan yang sudah aku lakukan di belakangnya. ''Bagas?'' Aku melangkah keluar kamar meninggalkan Dzakira sendirian. Teriakan dan cacian terdengar sangat jelas di telinga. Hatiku saat ini tidak perduli dengannya, aku hanya takut Amira marah dan mengusirku dari rumah hanya gara-gara perselingkuhan. Menurutku, nyawa lebih berharga dibanding nafsu birahi. Jika Amira dan keluarga besarnya mengetahui bahwa aku telah berkhianat. Mungkin, aku akan ditendang dari keluarga Hartawan dan tidak diberikan sepeserpun harta. Padahal niatku dari awal ingin sekali merebut semua harta yang dimiliki oleh keluarga Amira hingga jatuh ke tanganku. Soal Dzakira, nanti pun ia akan berbaik hati kembali, apalagi jika diberi uang yang banyak. Dia perempuan matre yang hanya memandang
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMIKU (4) Tanpa terasa, aku telah tiba di halaman rumah keluarga Hartawan. Terlihat, kedua mertuaku tengah berdiri di samping Amira yang masih menggunakan kursi roda miliknya. Mereka seakan-akan tengah menunggu kedatanganku, tatapannya penuh dengan kebencian. Hatiku seakan tak tenang ketika dipandang seperti itu. ''Pa, Ma, Amira. Maaf aku--'' BUGH! Pukulan keras mengenai dada hingga membuat tubuhku terjatuh ke tanah. Aku terkejut ketika mengetahui Papa mertuaku marah dan melakukan tindakan kekerasan. Padahal setahuku, Papa terkenal pendiam dan jarang marah. Tapi kenapa ia berani melakukan hal ini kepadaku? Apa jangan-jangan .... ''Papa kenapa memukulku secara tiba-tiba, apa salahku?'' tanyaku heran. ''Jangan berpura-pura, kami sudah mengetahui bahwa kamu sudah mengkhianati Amira, mulai detik ini kamu sudah bukan lagi suami anak saya,'' sentak Papa Hartawan. ''Aku bisa menjelaskannya, Pa. Aku sama sekali tidak berniat untuk mengkhianati Amira. Aku sangat
MEMBALAS PENGKHIANATAN SUAMIKU (5) ''Aku tidak akan pernah pergi dari rumah ini sebelum kamu memenuhi persyaratanku,'' ujarku menatap wanita yang ada di hadapanku dengan tajam. ''Syarat?'' ''Aku minta uang talak sebesar satu milyar sebagai tanda bahwa aku sudah resmi bercerai denganmu Amira. Jika kamu memberiku uang talak sesuai permintaanku, maka aku akan pergi dan tidak akan pernah lagi datang menginjakkan kaki di rumah ini,'' ucapku meminta dengan paksa. Mereka terlihat terkejut mendengar nominal yang aku sebutkan. ''Apa? Satu milyar? Kamu mau memeras kami? Uang satu ribu pun tidak akan pernah saya berikan,'' ujar Amira kesal. ''Aku sama sekali tidak mau tahu, yang jelas uang talak harus dibayar sekarang juga, jika dibayar saat ini aku janji tidak akan pernah kembali ke rumah ini lagi dan aku rasa uang satu milyar tidak ada apa-apanya, bukankah kalian sangat kaya raya?'' ucapku memaksa. Entah kenapa, dengan sengaja aku mengucap syarat permintaan uang talak yang cukup fantastis
Degh. Dzakira meminta uang empat puluh juta yang aku janjikan. Bagaimana ini? Aku sama sekali tidak bisa membayarnya. Untuk makan saja pastinya aku sangat tak mampu karena sekarang aku bukan lagi suami Amira. Untuk membayar hutang kepadanya, rasanya aku tidak mampu. ''Nanti ya, Sayang, aku janji akan membayarnya, kamu tenang saja,'' ungkapku sembari tersenyum. ''Kapan mau membayarnya? Aku tidak mau sampai kamu berlama-lama menunggu tak membayarnya. Apa jangan-jangan kamu diusir lagi oleh Amira?'' sangka Dzakira membuat dadaku berdebar. ''Aku sama sekali tidak diusir oleh Amira, kebetulan tadi sesaat aku pulang ke rumah Amira meminta aku untuk menjaga rumah karena ia dan kedua orang tuanya akan berangkat ke luar negeri menjalankan bisnis. Daripada aku hanya berdiam diri di rumah lebih baik aku tinggal bersama kamu saja di apartemen, boleh 'kan? Dan untuk uang empat puluh juta, kamu tenang saja Dzakira aku pasti akan segera menggantinya. Kamu tidak usah khawatir, kapan juga a