Sampai tak terasa, akhirnya aku telah memasuki halaman parkir perusahaan Mas Hartawan. Aku terdiam cukup lama. Suasana di depan perusahaan, nampak sepi seperti tak ada satu orang pun yang berada di dalam. Lalu sekarang, apakah Mas Hartawan berada di dalam perusahaan? Jika tidak, kemana perginya suamiku?Tok ... Tok ... Tok ...Suara ketukan kaca membuyarkan lamunanku, aku lantas menekan tombol agar kaca mobil terbuka dengan sempurna. Terlihat, seorang laki-laki muda berpenampilan security menatap sambil tersenyum ke arahku. ''Selamat malam, Bu Santi. Apakah ada yang bisa saya bantu?'' tanya security.''Apakah Pak Hartawan ada di dalam?'' tanyaku menatapnya.''Setahu saya Pak Hartawan sudah pulang dari sejak tadi siang, Bu. Semua karyawan pun sudah pulang,'' jawab security. Aku yang mendengar terkejut. Jika Mas Hartawan sudah pulang tadi siang, lalu kenapa hingga malam ini dia tak pulang ke rumah?''Apakah kamu tahu kemana Pak Hartawan pergi?'' tanyaku pelan. Semoga saja security itu
''Permisi, Mbak. Saya mau bertanya, apakah betul di sini ada pasien yang bernama Hartawan. Kebetulan barusan saya dapat telepon yang mengatakan bahwa suami saya telah mengalami kecelakaan dan dirawat di Rumah sakit ini,'' ujarku pada seorang wanita yang berpakaian suster. ''Sebentar, ya, Bu. Saya cek dulu.'' Aku mengangguk. Suster itu lantas mengecek lewat komputer yang ada dihadapannya.''Setelah saya cek ternyata memang betul ada pasien yang bernama Hartawan. Sekarang pasien tengah dirawat di ruang IGD lantai tiga,'' jelas Suster memberitahu.Jantungku berdebar kencang. Seluruh tubuh ini seakan lemah tak berdaya, merasakan tulang yang ada di tubuhku patah. Aku terduduk lesu, rasanya tak menyangka bahwa suami yang sangat kucintai mengalami kecelakaan. Seketika, air mata mengalir deras membasahi kedua pipi. ''Tolong antarkan saya kepada suami saya, Sus,'' pintaku pada suster.''Baik, Bu.'' Suster mengangguk dan langsung membantuku agar aku bisa berdiri tegak dan berjalan.Sesampain
POV AMIRAWaktu terlalu cepat berlalu, sudah satu bulan aku mencari keberadaan Bintang, namun hingga detik ini tak kunjung juga berhasil menemukan keberadaan anak semata wayangku satu-satunya. Semua orang berbondong-bondong mencari keberadaan Bintang, dari pihak kepolisian, wartawan serta masyarakat yang ikut prihatin mencari di mana keberadaan Bintang. Tubuh terasa lemah, perasaanku seakan tak mampu terungkapkan lagi. Aku sangat menderita karena telah kehilangan anak laki-laki kebanggaanku. Entah di mana Bintang sekarang, aku takut akan keselamatan yang terjadi menimpa putra sulungku.Waktu menetap tinggal di negara ini hanya beberapa hari lagi, sebentar lagi aku harus pulang ke tanah air. Atau, aku kembali memperpanjang masa tinggal di negara dengan mayoritas umat muslim ini. ''Amira, jangan melamun terus, kamu nggak boleh sakit,'' ujar Bunga.Bunga, alhamdulilah ia sudah siuman pasca kecelakaan yang terjadi satu bulan lalu.''Aku nggak mau makan, Bunga. Aku ingin Bintang kembali,
''Kalian sedang membicarakan apa?'' Bang Irsyad tiba-tiba datang, dia menatap kami silih berganti. Tangan kanannya meletakan sebuah kantong kresek yang berisikan makanan. ''Kami sedang membicarakan Reyhan, Bang,'' ujar Bunga menjawab.''Reyhan? Reyhan kenapa?'' tanya Bang Irsyad. Dia duduk di sebelah Bunga.''Jadi gini, Amira menyangka bahwa Reyhan yang telah menculik Bintang. Entah kenapa, firasatnya mengatakan bahwa Reyhan benar-benar melakukan penculikan sesaat di bandara,'' jelas Bunga pada Bang Irsyad. Sementara aku, diam!''Jika memang firasat Amira benar bahwa Reyhan yang menculik Bintang, bisa jadi. Abang pun sebelumnya pernah berfikir bahwa Bintang diculik oleh Reyhan. Tetapi, sampai detik ini Abang belum punya bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa Reyhan adalah penculik Bintang,'' ujar Bang Irsyad.''Lalu, kita harus bagaimana, Bang? Aku takut Bintang kenapa-napa,'' lirihku ketakutan. Sebagai seorang Ibu, tentunya akan merasa terluka ketika anak yang dicintai hingga det
Tubuhku seketika langsung ambruk, rasa tak percaya dengan apa yang barusaja kudengar seketika terasa hancur. Aku kecewa, merasa terpukul atas apa yang sudah terjadi.''Amira, sekali lagi Abang minta maaf. Abang berjanji akan tetap mencari keberadaan Bintang dan mengungkap siapa yang menculik Bintang,'' ujar Bang Irsyad. Dia berjongkok menyejajarkan tubuhnya.Aku bergeming. Sekarang, sudah tak ada lagi yang dapat aku percayai. Jika mereka tak berhasil menemukan Bintang, lebih baik aku sendiri saja yang mencari. Namun, jika aku juga tidak berhasil menemukan Bintang, lebih baik aku MATI! Tubuh ini seakan lemah tak berdaya, ingin sekali rasanya mengakhiri hidup agar tak kembali memikirkan kesedihan yang kualami sekarang. Seharusnya, keberadaanku dan Bintang datang ke negara ini untuk saling berbahagia, tapi kenapa berakhir penuh penderitaan? Sampai kapan pun aku tak mau kehilangan Bintang, selain Tuhan mengambil kembali Bintang dariku. ***''Amira, bangun!'' Samar-samar terdengar suara
Mama menatap tak percaya, seolah-olah sangat tak mungkin aku bisa menemukan di mana keberadaan Bintang sekarang.''Mama nggak mau melihat kamu mengalami nasib yang sama, Amira. Cukup sekali Mama merasakan kesedihan kehilangan cucu kesayangan, mama tak ingin kehilangan kamu,'' ungkap Mama melarang.''Tidak, Ma. Aku akan tetap mencari Bintang, sampai kapan pun jika Bintang belum ditemukan aku akan berusaha mencari. Lagipula tubuh ini masih kuat, tidak akan mungkin aku membiarkan penculik merasa bahagia di atas penderitaanku,'' cecarku dengan tegas. Aku yakin, dengan tekad dan penuh keyakinan pasti aku berhasil menemukan Bintang. Hanya dua orang yang tengah aku curigai, salah satu dari mereka pasti yang sudah menculik Bintang. Siapa lagi jika bukan Mas Bagas—mantan suamiku dan Reyhan—suamiku.Secepatnya aku akan menemukan dimana keberadaan Mas Bagas dan Mas Reyhan. Hanya mereka berdua yang terbesit di hati dan aku sangat yakin.Secara perlahan, tubuhku bersiap untuk digerakkan. Tetapi,
''Maafkan Mama Amira, ini semua salah Mama. Seharusnya Mama memberitahukan bahwa Papamu meninggal dunia dari sesaat tiga hari lalu. Tetapi, ketika mengetahui kamu sedang dalam mengalami masalah, Mama mengurungkan niat itu,'' sahut Mama meminta maaf.Aku terdiam, tak lagi mengatakan hal apapun. Semuanya sudah berlalu, Papa sudah dikebumikan dan telah tenang di surga. Perlahan, aku menghapus air mata yang menetes di kedua pipi. Walaupun hatiku sakit, aku harus tetap terlihat tegar. Aku tak ingin melihat orang-orang di sekitarku melihatku menderita.Hatiku sudah rusak, untuk apalagi aku ada di sini, untuk apa? Aku begitu sangat menyesali waktu. Seharusnya, aku selalu ada di samping Bintang dan juga Papa. Tapi, kenapa ini semua bisa terjadi?Aku tahu, ini memang bukan salah Mama, ini salah takdir, mungkin memang Papa sudah digariskan untuk pulang terlebih dahulu menghadap sang pencipta. Perlahan, aku mulai mengatur rasa kesabaran, mengiklaskan dan meyakini bahwa memang ini sudah diatur j
''Aku sangat heran Ma, entah apa kesalahanku sehingga pernikahanku selalu kandas, aku ingin bahagia, tapi kenapa Tuhan tidak mentakdirkan aku bahagia,'' lirihku sembari meneteskan air mata.Sudah kedua kalinya aku membina rumah tangga, entah kenapa selalu kandas. Aku merasa Tuhan belum siap memberikan jodoh yang terbaik untukku sehingga kedua laki-laki yang pernah menjadi suami memilih wanita Idaman Lain di luaran sana. Sebetulnya apa kekuranganku sehingga mengakibatkan yang kucintai malah memilih wanita di luar sana dibanding aku yang sebagai istrinya.Aku hanya bisa mengeluh sekarang, bisa-bisanya aku menerima seseorang tanpa tahu dulu latar belakangnya. Seharusnya aku tidak terlebih dahulu menerima lamaran, tetapi Mungkin nasibku sudah seperti ini harus menjaga untuk kedua kalinya.***Saat ini, jam sudah menunjuk ke arah pukul 17:00 WIB, kami telah tiba di bandara dan sedang menunggu transit penerbangan pesawat menuju Indonesia. Kami semua duduk di kursi tunggu menunggu panggilan.
Aku terdiam beberapa saat. Suasana seperti ini membuatku merasa bimbang. Aku harus jawab apa sekarang. Apa aku tolak saja? “Maaf, Mas, bukannya aku enggak mau, tapi aku sudah nggak mau menjalani hidup dengan laki-laki mana pun, aku masih ingin sendiri menikmati kehidupan seperti sekarang. Jadi, mohon maap kalau misalkan aku menolak permintaan kamu,” ucapku pada Mas Bagas dengan hati-hati. Aku takut ucapanku malah menyakiti perasaan dia. Mas Bagas menanggapi ucapanku dengan tersenyum, tatapan dia seolah-olah tidak menyimpan amarah. Namun, aku merasa nggak enak pada dirinya. “Nggak papa, Amira. Aku tahu jawaban kamu pasti akan seperti itu. Dan, aku juga sama sekali nggak marah apalagi sampai kesal hanya karena masalah ini. Aku tahu sakit yang sudah kamu rasakan kemarin, mungkin oleh karena itu kamu memilih ingin menyendiri tak ingin dengan siapa pun lagi,” ujar dia masih dengan senyumnya. Aku tahu, Mas Bagas sudah berubah tak lagi seperti dulu, tetapi bagaimana pun juga sudah keputu
“Mama juga bingung harus gimana, tapi yang jelas sekarang lebih baik kamu fokus sama anak kamu, jangan dulu memikirkan laki-laki. Nanti, jika anak kamu sudah beranjak dewasa dan ada laki-laki baik yang mau menerima kamu dan juga Bintang Mama nggak jadi masalah. Takutnya kalau kamu mengambil keputusan dan menerima dia, Mama takut nasib kamu akan sama seperti kemarin, dan Mama nggak mau melihat kamu menderita lagi,” ujar Mama menasihati. Aku mengangguk paham saat Mama mengatakan hal itu, lebih baik menyendiri dulu dan bahagiakan anak tanpa lebih dulu memikirkan laki-laki. Kegagalan membuatku trauma, aku merasa lebih nyaman seperti ini tanpa merasa ada beban. “Iya, Ma. Keputusan aku menolak Pak Devan sepertinya sudah tepat. Aku ingin sendiri dulu membahagiakan anakku Satu-satunya, aku nggak mau Bintang kembali menjadi korban hanya karena salah memilih ayah untuk dia.”Mama mengangguk. Aku merasa lebih lega sekarang karena sudah mencurahkan isi hatiku. Mungkin jika memang hanya karena
Ya Allah ... bagaimana ini ...“Kamu kenapa, Amira?”Tiba-tiba terdengar suara dari belakang, dengan cepat aku memutar tubuh dan menatap ke arahnya. Ternyata dia ....“Mas Devan?”Aku terkejut setelah tahu ternyata itu adalah Mas Devan. Tatapannya seakan bingung, mungkin dia heran melihat aksiku yang seperti anak kecil. Aku juga seakan merasa malu pada dirinya, bisa-bisanya aku bertingkah seperti itu. “Kamu kenapa, Amira?” tanya Mas Devan mengulang pertanyaan yang sama. “Nggak papa, kok, Pak.” Aku tersenyum, kemudian berniat ingin menjauhinya karena merasa malu. “Permisi, Pak.” Aku pamit dan melangkah pergi. “Tunggu sebentar, Amira,” ujarnya menghentikan langkah kakiku. Perasaanku seakan menggebu saat dia memanggilku. Aku pun lantas berbalik arah dan menatapnya lagi. “Iya, kenapa, Pak?” tanyaku menatap mata elangnya. Jujur, Mas Devan memang begitu sangat tampan sekali. Matanya pun nampak indah. Dia manis. 'Astagfirullah. Apa-apaan sih Amira. Inget, kamu itu janda. Nggak boleh
“Saya enggak membutuhkan pekerja untuk menjadi asisten pribadi saya. Memang kemarin iya, tapi jika dipikir-pikir saya nggak butuh asisten pribadi,” ucap Mas Devan menjelaskan. “Jika tidak membutuhkan asisten pribadi, saya tidak akan jadi melamar di perusahaan ini, karena dengan pengalaman saya sebelumnya pernah memimpin perusahaan dan mungkin saya juga bisa mengatur segala urusan apapun sebagai asisten pribadi,” sahutku berucap. Seketika itu dia menatapku seolah-olah penasaran. Kemudian dia meraih CV yang aku bawa dari rumah. Dia membaca secara seksama isi dari CV itu.“Waw, hebat sekali! Ternyata sebelumnya kamu pernah memiliki perusahaan besar. Saya sangat mengenal betul pemilik perusahaan itu. Apakah kamu putri dari Pak Handriana, directur utama perusahaan Aksara Pramudia?” “Betul, Mas. Itu Papa saya. Perusahaan yang sudah Papa saya bangun dan kelola selama ini mengalami masalah sehingga kami tidak memimpin kembali perusahaan itu. Oleh sebab itu, saya memutuskan mencari lowongan
“Ya mau bagaimana lagi, Ma. Amira sedang mencari. Mungkin nanti secepatnya dapat pekerjaan, yang penting Mama doakan selalu Amira,” “Mama doakan semoga kamu secepatnya mendapatkan pekerjaan Amira,” lirih Mama berucap. Aku merasa belum mampu membahagiaan Mama padahal hanya aku satu-satunya anak Mama. Ya Allah ... mudah-mudahan Engkau lancarkan agar aku bisa mendapatkan uang. Aku nggak tahu lagi bagaimana caranya mencari uang sedangkan anak aku pun masih kecil. Aku berharap ada keajaiban, Allah maha baik dia pasti menolongku. Setelah obrolan itu, pagi ini aku bersiap akan melakukan perjalanan ke kota untuk mencari pekerjaan. Aku menenteng map cokelat yang berisikan surat-surat yang dibutuhkan. Masuk ke dalam kendaraan roda empat, satu-satunya yang kumiliki saat ini. Dengan cepat aku mobilku melesat menyusuri jalanan raya yang lenggang. Saat ini tujuanku ingin melamar ke perusahaan digital yang bergerak dibidang pemasaran lokasinya tak jauh dari rumah. Aku begitu sangat percaya diri
Jam dipergelangan tanganku sudah menunjuk ke arah pukul 13:00 WIB, sudah hampir menjelang sore namun hujan hingga kini belum juga usai. Aku pun berniat ingin menerjang hujan karena takut Bintang menunggu kepulanganku di rumah. Saat hendak masuk ke mobil, tiba-tiba saja pandanganku teralih ke arah seorang laki-laki yang tengah duduk termenung di pinggir jalan. Wajahnya nampak mirip sekali dengan Mas Reyhan, dia terlihat sedih, berulang kali menatap jalan raya dengan perasaan cemas. Entah kenapa hatiku ingin sekali menghampirinya. Aku segera masuk ke dalam mobil bersiap menghidupkan mobil, lalu kendaraan roda empat yang tengah kukendaraipun berjalan tepat di depan laki-laki itu yang mirip sekali dengan Mas Reyhan.“Permisi, Mas. Sejak tadi saya lihat di tempat pemakaman umum Mas terlihat sedih. Ada apa?” tanyaku menghampirinya.“Anak saya sampai saat ini belum kunjung pulang, Mbak. Saya sangat khawatir dengan keadaannya.” Dia menjelaskan keresahan hatinya.“Memangnya anak Mas usia ber
“Amira, kamu kenapa menangis?”“Mas Reyhan bunuh diri, Ma,” jelasku pada wanita yang telah melahirkanku dua puluh sembilan tahun lalu.“Apa? Kok bisa?” “Entahlah, aku sendiri pun nggak tahu kenapa dia malah memilih jalan buntu dengan melakukan perbuatan itu.” Aku menghela nafas menghapus air mata yang sedari tadi mengalir. “Apa mungkin karena perkataanku tadi ya, sampai-sampai dia berani bunuh diri?” lanjutku menatap tak percaya Mama.“YaAlloh Amira ... kamu jangan menyalahkan diri kamu atas kematian Reyhan, kamu perempuan baik, mungkin dia seperti itu karena sudah terlalu capek hidup di dunia walaupun dengan cara yang salah memaksakan diri untuk mengakhiri hidup,” lirih Mama menguatkan. Sebagaimana perasaanku kini, hati yang paling terasa begitu belum ikhlas. Memang setiap yang bernyawa pasti akan kembali lagi ke sang pencipta, namun harus bagaimana lagi mungkin sudah garis takdir.“Iya.” Aku mulai merasa tenang saat Mama berucap barusan, mungkin saat ini aku harus belajar ikhlas
"Hallo, Amira. Ada sesuatu yang ingin aku beritahu tentang kamu tentang mantan suamimu. Ternyata dia barusaja melakukan pencobaan bunuh diri.” Jelasnya dari seberang telepon. “Apa? Ini siapa?” “Ini Bunga.” “Siapa yang bunuh diri?” “Reyhan.” “Apa?” Seketika itu aku merasakan debaran yang bergejolak di dada, terasa aneh dan tak percaya membuatku seakan tak percaya. Mas Reyhan bunuh diri? Karena apa? “Aku nggak percaya dia bunuh diri, kamu tahu dari mana?” tanyaku tak percaya, apalagi baru tadi sore Mas Reyhan datang ke rumah dan meminta maap atas apa yang telah ia perbuat kepadaku di masa lalu. “Malam tadi. Aku juga tahu dari Mas Irsyad.” Jelasnya membuatku terkejut. Bagai dihantam batu besar dadaku saat mendengarnya. Hatiku seketika gelisah. Bagaimana mungkin Mas Reyhan tega melakukan hal itu sementara setahuku dia tak akan mungkin melakukan hal bodoh apalagi sampai menghilangkan nyawanya sendiri. “Nggak mungkin dia bunuh diri, Bunga. Baru tadi sore dia datang ke rumahku.” A
—Lima tahun kemudian—“Ma, di depan ada tamu, katanya ingin bertemu dengan Mama,” ucap Bintang menghampiriku yang tengah sibuk menata bumbu di dapur.“Siapa, Nak?” “Nggak tahu. Katanya teman Mama.” Keningku mengerut heran. Aku merasa nggak ada janji dengan siapa pun tiba-tiba saja ada tamu datang ke rumah ini. Aku lantas menyelesaikan aktivitas di dapur dan segera menghampiri seseorang yang berada di ruang tamu. Kedua kakiku melangkah pelan menyusuri ruangan, tepat tiga langkah hendak menuju ruang tamu aku menatap dari kejauhan. Terlihat seorang laki-laki duduk termenung menampakkan raut wajahnya yang gelisah. Aku begitu terkejut ketika mengetahui tamu yang dimaksud Bintang.“Mas Reyhan?”Ternyata dia sudah bebas dari penjara. Lantas, kenapa dia datang ke rumah ini? Apa jangan-jangan ia ingin kembali menculik Bintang? “Ada perlu apa kamu datang ke rumah ini?” tanyaku menghampirinya menatap tak suka dengan kehadiran matan suamiku.“Amira.” Dia bangkit dan tersenyum.“Kamu mau mencu