Share

MERAJUT ASA MEMBUANG LUKA

Aku menatap wajah ibu Mertua, mengharap dan memohon agar ada rasa Iba di hatinya untuk diri ini yang telah disakiti putranya, jangan memihak hanya karena hubungan darah.

"Ibu tahu 'kan, berbohong itu dosa, kita sama- sama perempuan, coba ibu bayangkan bagaimana rasanya dikhianati pasangan sah kita, Renita istri orang loh Bu? Suaminya kerja di luar negeri, tak malukah bila diketahui banyak orang, apalagi kalau suami Renita tahu, lalu melabrak keluarga kalian,"

ujarku melunak saat bicara dengan ibu mertua, yang sudah aku anggap seperti ibuku sendiri.

"Itu semua fitnah ...! Silahkan kalau kau percaya!" bentak Bang Rizal.

"Anakku sendiri yang bicara Bang Rizal, bohong bagaimana? Dia bukan balita lagi, kau pikir ada anak kandung mengadu domba orang tua kandungnya, biar berantakan, mengatakan cerita bohong? Nggak ada Bang!" teriakku balik sambil menunjuk ke wajahnya, hancur sudah hubungan kekeluargan ini, menguap sudah rasa simpati pada iparku.

Aku menatap wajah Ibu, ada kabut menggumpal di matanya, ibu tetap terdiam tak bicara lagi.

"Kok bisa kalian mengelak, nggak mau jujur, jelas- jelas sudah ada bukti foto dan saksi matanya anakku sendiri, ada juga tetangga, nggak malu gitu, kebohongannya ketahuan. Bang Danu yang sudah jelas jelas selingkuh, kenapa aku yang disalahkan?" sindirku ke mereka.

"Ayo pulang Bu! Pusing ngadepin orang pinter omong, memutar balikkan fakta, dasar lebay sukanya mendramatisir keadaan," ketusnya, sambil berlalu keluar dari rumahku.

"Apa harus menunggu terjadi hal buruk dan memalukan dulu, untuk membuat para pes3lingkuh sadar dari perbuatan b3jadnya," ujarku sinis.

Bang Rizal menatapku tajam menunjukkan kebengisannya.

Hatiku sedikit bergetar ketakutan, aneh pula Abang satu ini, kenapa begitu bencinya sama aku.

Aku membiarkan mereka pergi, tak terucap sepatah kata pun lagi, segera menutup pintu rumah, berlari ke arah kamar, lalu menutup pintu, di kamar sunyi ini, aku bersimpuh di lantai, menekan dada ini yang masih berdetak kencang dan terasa nyeri, mengeluarkan rasa sesak yang begitu meremas hati, tubuh ini membungkuk dan menangis tergugu, meluapkan emosi diri yang benar-benar terkuras beberapa hari ini.

Aku lelah Ya Allah, kuatkan hatiku demi anak- anakku. Kuatkan ragaku agar bisa menafkahi putra putriku seorang diri.

Hingga beberapa menit aku masih tetap menikmati rasa sedih, hingga diri ini tersadar saat telinga ini mendengar salam putri kecilku dari luar.

"Assalamualaikum wr wb, Ibu ... Aisyah pulang, yuhuu .... Ibu," teriaknya dengan riang.

Ya Allah, sementara aku masih tergugu di kamar, lekas aku berdiri, merapikan pakaian dan rambut, aku usap wajah dan bekas air mata dengan tissue, lalu tersenyum untuk menghilangkan jejak bekas menangis, supaya Aisyah tak heran melihat keadaanku.

Aku segera pura pura merapikan tempat tidur sambil menjawab salam Aisyah.

"Ya Sayang, Ibu di kamar, sini Nak," teriakku memanggil Aisyah.

Kriettt...

Aisyah membuka pintu, wajahnya yang ayu muncul di balik pintu dengan senyuman memunculkan lesung pipit di kedua pipinya.

"Tarra ... Ibu aku dapat hadiah jajan, tadi ada teman yang ulang tahun di kelas," ujarnya riang khas anak-anak.

Aku terharu, melihat putriku yang selalu riang.

Namun membayangkan dia tak lagi bersama ayahnya nanti, tak lagi didampingi ayahnya, lalu ketakutanku akan anak-anak yang bersedih saat merasa tak punya ayah lagi, atau membayangkan mereka ikut ayahnya, membuat hatiku terasa diremas lagi.

Air mata ini ternyata belum kering, masih lolos saja tanpa permisi, aku segera memeluk tubuh putriku dan menciumi pipinya.

"Ya ampun, baik sekali teman Aisyah yang sudah berbagi Rezeky, Alhamdulillah ya, Ibu jadi terharu kalau ada orang baik begitu," ucapku sambil tersedu sedu karena bayangan ketakutan dari fikiranku tadi.

Aisyah memandangku heran.

"Kok Ibu nangis?" tanyanya dengan kening berkerut.

"Ibu Kan lagi terharu," kataku sambil memonyongkan mulutku, agar Aisyah merasa m Ibunya sedang bercanda, aku memangkunya dan menciumi pipinya lagi dan lagi, aku takut kehilangan putra putriku.

Ya Allah aku tak mau berpisah dengan anak-anak, aku siap menjalani suka duka bersama mereka, siap banting tulang, asal Ardi dan Aisyah tetap bersamaku, dalam pengasuhan diriku.

"Kok nangisnya aneh sih Bu? Biasanya juga nggak nangis, dapatnya cuma mini tart aja sama susu kotak kok," sahutnya tetap dengan pandangan heran.

Aku bingung mencari alasan, namun masih tetap memeluknya tak ingin kulepas, diri ini ingin menikmati rasa nyaman, memeluk buat hati tersayangku.

"Mungkin efek laper Nak, Ibu laper loh, tapi nggak ada makanan di dapur, Ibu nggak sempet masak tadi," ucapku yang teringat belum masak lauk lagi karena kehadiran Ibu dan Iparku yang mengajak berdebat cukup lama.

"Aaaaa ... buka mulutnya Ibu, Aisyah suapin rotinya biar nggak laper yar," anakku mengarahkan sendok plastik ke arah mulutku agar aku menerima suapannya.

Aku langsung mencaplok suapannya yang membuat Aisyah terkekeh melihat gayaku makan.

"Abis ini kita ke warteg Mbak Nengsih yuk, beli lauk buat makan, sebentar lagi kakak kan pulang sekolah, kalau liat meja makan ngga ada makanan, nanti dia teriak-teriak kaya biasanya Dek," ujarku.

"Hallo, Every body home? Anak pungut dah pulang nich, kok nggak dikasih makan," ucapku menirukan gaya bicara anakku Ardi dengan nada melucu.

Aisyah langsung tergelak mendengar dan melihat candaanku tentang kebiasaan kakaknya.

Aku tersenyum dan merasa tentram sekali memandang tawa dan keceriaan buah hatiku.

Wahai suami, tidak berpikirkah kamu dengan perbuatan haram yang kamu lakukan?! Tidak takutkah kamu atas karma yang berlaku, akan ada hukum tabur tuai.

Karena zina itu adalah hutang, akan ada keluargamu yang menanggung perbuatanmu kelak, aku tak mau putra putriku tersakiti karena ulah ayahnya.

"Ya Allah tolong jaga anak-anakku, semoga mereka bahagia selalu dimanapun berada, aku tak ingin berbuat aneh-aneh, dan tetap melantunkan doa dalam hati untuk mereka, agar Engkau selalu menjaga Putra Putriku," doaku dalam hati, Aamiin Yra.

Aku tak boleh lemah, ada buah hati yang perlu aku nafkahi, walau takdirku kini harus seorang diri, aku harus kuat, diluar sana juga banyak wanita tangguh yang berjuang sendiri demi anak-anak mereka, sambut esok hari dengan bahagia, telah tiba waktu merajut asa, mengukir senyum membuang luka..

Bismillah, Maafkan anakmu Ayah, Ibu, rumah tanggaku akhirnya gagal, aku siap menjadi janda daripada harus terluka bila bertahan,

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
pasti nanti kalau anaknya Rizal ada perempuan semoga tidak di cabuli dan di rusak orang
goodnovel comment avatar
Rifatul Mahmuda
kamu harus kuat demi anak-anak mu
goodnovel comment avatar
Saraswati_5
bang rizal jahat banget sih, aku kok curiga kalau bang rizal udah di kasih sesuatu sama selingkuhan danu deh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status