"Kenapa wi," tanya Shella dengan panik.Kak Dewa reflek mengambil air mineral dan memberikannya padaku, aku menerimanya dengan gugup.Aku lihat semua wajah menatapku dengan cemas, saat aku melirik sambil meminum air yang disodorkan Kak Dewa, air itu kuhabiskan hingga tandas, aku jadi binggung sendiri.Akhirnya aku mencubit lengan Shella pelan, sambil mencebik pura-pura marah, karena pertanyaannya sudah membuatku terkejut."Kalau mau tanya jangan dadakan Shella, tenggorokanku lagi ada isinya, jadi kaget, gara-gara pengen cepet jawab kamu," ujarku berusaha mencairkan suasana."wkwkwk, masa sih, maaf ya, jadi bikin kaget, hihihi .... Ya, maksud gue, kalau pilihan Kakak itu masih gadis, terserah pilihan yang Kak Dewa mau, yang dia anggap terbaik, tapi kalau pilih janda yang sudah punya anak, ngapain pilih yang lain, aku pilih Dewi loh Kak, udah kita kenal baik, pokoknya nggak mau yang lain, titik," ujar Shella tegas.Aku melebarkan mata ke arah Shella, asal ceplos aja deh dia."Hais! Sh
"Gimana bisa, Ardi dapat mobil? Kerja aja belum?" kataku."Ya ampun Dewi, lu liat itu mereka lagi fokus sama laptop, Iklan dan promosi video yang Ardi buat, keren." Dewi dan Shella memperhatikan dua pria yang fokus dengan pekerjaannya.Shella melanjutkan ucapannya."Ardi sekolah ambil jurusan yang sesuai kemampuan dia, terus ada campur tangan Kak Dewa, Papa, di asah itu anak lu, dasarnya otak Ardi jenius, bisa bantu bikin iklan, dokumen pemasaran dan penjualan, bantu kerjaan Kak Dewa dan Papa, 3 bulan ini penjualan naik, Ardi dapat bonuslah dari hasil kerjanya, otak dia jenius, cepet tanggap." Shella bercerita tentang teknologi, yang aku nggak paham, aku memang gaptek, pegang ponsel saja aku cuma tahu WA dan, FB untuk mendukung promosi, lainnya aku tak mengerti, untuk belajar diri ini masih tak berminatAkuu menatap Putraku tak percaya, memperhatikan tangannya yang begitu lincah mengetik di laptopnya, Kak Dewa tersenyum senang dengan terus mengarahkan Ardi untuk melakukan sesuatu se
"Mbak Dewi!""Mas Hanif ...?!"Aku heran melihat keberadaan Mas Hanif disini, apalagi tadi terdengar dia memanggil, Ayah? Bunda? Apakah yang dipanggil itu Pak Fandi dan Bu Yulia? Hati ini makin dibuat penasaran, aku menatap Mas Hanif yang berjalan semakin mendekat, dan kini berdiri di depanku, dengan senyum tersungging."Assalamualaikum, Mbak Dewi, nggak sangka kita ketemu di sini ya, duduk dulu yuk, kita ngobrol dulu, oh ya sama siapa kesini?" tanya Hanif."Sama Anak-anak, itu di sana," aku memberi tahu keberadaan Kak Dewa dan anak-anak. Mas Hanif ikut menatap ke arah yang aku tunjukkan, terlihat kedua alisnya menaut saat aku melihatnya, Kak Dewa juga sedang memandang ke arahku dengan mimik wajah serius, tapi hawa penasaranku begitu besar, aku ingin tahu ada hubungan apa Mas Hanif dengan Pak Fandi dan Ibu Yulia.Aku dan Mas Hanif masih saling pandang, fokus dengan pikiran kami masing-masing, aku ingin meminta penjelasan, yang diri ini sendiri binggung, sementara Hanif terdiam juga
"Dewi ...!" Kak Dewa memanggil dan sudah berdiri di sampingku dengan senyum tersungging di wajah."Ya Kak, sebentar ya," aku menjawab panggilannya."Jadi benar beliau Bapak Fandi?" tanya Kak Dewa padaku."Iya Kak, Bapak Fandi beserta istri, Ibu Yulia dan ini Mas Hanif Putra beliau, ini Bapak Iqbal orang kepercayaan Pak Fandi yang datang ke rumah sama Pak RT waktu itu." Aku memperkenalkan Pak Fandi sekeluarga pada Kak Dewa.Kak Dewa menghampiri mereka dan mengajak berjabatan tangan serta menyapa dengan ramah."Senang bertemu dan berkenalan dengan Anda Pak Fandi, saya Dewa Hamijoyo."Lalu Kak dewa menyalami Pak Iqbal."Hallo Pak Iqbal, senang bisa bertemu lagi disini," sapa Kak dewa ramah."Iya Pak Dewa, senang juga bisa berkenalan dengan pengusaha muda yang sukses seperti anda." Pak Iqbal menyambut ramah jabatan tangan Kak Dewa."Hai, kenalkan saya Dewa," ucap Kak Dewa ramah dan mengulurkan tangan ke arah Mas Hanif."Saya Hanif, senang berkenalan dengan Anda," jawab Mas Hanif dengan
Aku bergegas ke depan, ingin memastikan warungku sudah ditutup terlebih dahulu, kasian Mbak Sumi dan Mbak Sri, mereka sudah waktunya pulang. Chat Kak Dewa aku balas nanti saja, aku masih memikirkan jawabannya.Ardi dan Aisyah masih di Musholla dekat rumah, mereka pulang setelah Sholat Isya berjamaah.Saat kaki ini melangkah menuju arah warung, telingaku mendengar suara celoteh dan candaan yg riuh dari arah warung, juga seseorang sedang memasak, sedang apa mereka? Bukankah ini jam pulang?Sesampainya di warung, aku tercengang, warungku penuh pemuda-pemuda atau abang-abang, seperti para petani. Mereka sedang duduk di memenuhi bangku, ramai bercanda, ada yang mengobrol sendiri dengan temannya, ada yang bercanda dengan Mbak Sumi yang sedang meladeni pembeli, membuatkan minuman.Lalu aku metoleh melihat ke arah Mbak Sri yang sedang memasak nasi goreng di wajan besar bersama dua pemuda, aku berjalan ke arahnya dengan heran."Mbak Sri ...?! Kenapa rolling door warung nggak cepet ditutup?
Dicintai dua lelaki ganteng? Apakah diri ini bahagia? Dicintai Pria berkelas seperti mereka justru membuatku ngeri, pria yang sekelas Bang Danu saja, pria biasa, dia membuangku, tak menginginkan aku menjadi Istrinya, apalagi yang lebih.Sungguh aku tidak percaya isini Diri ini sadar diri tak punya kecantikan seperti Shella, seperti mantan kekasih Kak Dewa yang seorang model, bahkan pelakor bernama Renita saja sangat glowing dan modis, aku tak sebanding dengan mereka.Kak Dewa dan Mas Hanif ini lelaki-lelaki berkelas, pengusaha kaya raya, gantengnya diatas rata-rata, dan mereka bilang menyukaiku?Oh Tuhan apa mereka sakit mata? Aku merasa seperti di sinetron Betty la fea yang sedang dicintai lelaki luar biasa.Aku mengambil ponsel, aku nyalakan, dan membuka aplikasi WAAku coba mengetik jawaban pesan untuk Kak Dewa dan Mas Hanif, dengan jawaban yang sama, karena binggung harus jawab apa yang tak sampai menyinggung hati, berkali-kali aku mengetik tapi berkali-kali pula aku menghapu
"Ibu, Ardi sama Aisyah berangkat sekolah ya, Assalamualaikum," Putra putriku, memanggil untuk berpamitan pergi ke sekolah."Waalaikumsalam wr wb, iya sayang, hati-hati ya Nak, belajar yang pinter," ucapku lembut.Mereka berdua menyalami tangan dan mencium punggung tangankuSetelah melihat kedua anakku menjauh, Aku segera menuju kamar mandi dan membersihkan diri, bekas memilih ikan di Mang Ujang tadi lumayan amis baunya.Selesai mandi, aku kenakan pakaian yang sopan dan pantas untuk menyambut tamu, aku pilih gamis sederhana warna abu muda, yang tidak banyak motif pemberian dari Mama Laura dan hijab warna abu-abu tua, untuk menyambut kedatangan Pak Fandi dan Ibu Yulia yang pertama kali ke rumah makan milikku.Rumah makan ini aku dapat dari bantuan mereka, walau tidak besar, hanya di halaman rumah, tanah orang tuaku luasnya 20x25 jadi di belakang warungku, berdiri rumah kecil yang sederhana, sekarang sudah direnovasi minimalis, 2 lantai. Kecil memang namun nyaman.Walau Orang tuaku ke
Aku sengaja menginjak kaki Mbak Sumi dengan kuat, supaya ucapannya nggak dilanjutkan, aku takut kalau orang tua Mas Hanif kurang suka cara dan gaya bercanda Mbak Sumi.Aduh, maafkan kakiku yang sudah menginjakmu Mbak, nanti saat warung sepi, aku akan datang minta maaf."Loh?! Kenapa Mbak?" tanya Mas Hanif yang lebih dekat jaraknya dengan Mbak Sumi.Orang tuanya juga menatap dengan heran."Anu Mas ...! Kesenggol gelas kopi tadi, masih panas he he he maaf ya kalau bikin kaget, saya juga ikutan kaget barusan, makanya teriak, mari silahkan diminum, permisi," ujar Mbak Sumi yang berbalik badan menuju ke belakang sambil mencebik, melirik manja ke arahku.Aku tetap diam tak merespon ulah Mbak Sumi.Semua tamuku terdiam, mungkin memikirkan jawaban Mbak Sumi yang aneh, bilangnya kesenggol gelas kopi, padahal saat dia teriak, yang di pegang gelas juz buah.Hadeh.Mas Hanif melihat ke arahku sambil tersenyum, seolah dia tahu aku telah melakukan sesuatu ke Mbak Sumi.Aku meringis dengan ulahku s