Renita berteriak dan langsung berdiri mengibaskan tumpahan air dibajunya."Astaga Danu, gimana sih! Basah jadinya bajuku, taruh gelas yang bener dong," teriak Renita, tak peduli walau makin banyak pasang mata yang melihat kearahnya Renita memanggil Bang Danu tanpa embel-embel Abang atau Mas, mungkin karena semasa SMA mereka satu kelas.Sepertinya Bang Danu tak sengaja saat meletakkan gelas di meja, dia letakkan di atas piring yang masih ada makanannya, akibatnya gelas tak seimbang dan terguling, yang akhirnya air dalam gelas tumpah dipangkuan Renita, tuh 'kan, tanda nggak fokus orangnya. Aku tersenyum geli ... upst, maaf bukannya bahagia melihat derita orang lain, tapi bukankah ini yang aku mau, aku senang melihatnya.Bang Danu pasti kaget mendengar perbincanganku dengan Kak Dewa, selama 15 tahun bersamanya, jangankan bedak tabur yang harga termurah, makan saja kami kurang dari cukup.Sekarang dia mendengar Kak Dewa akan membelikan sesuatu yang belum pernah dia belikan untukku selam
Siapa pengirim misterius itu? Aku memapah Ardi masuk ke dalam rumah, Aisyah sudah duluan membantuku membukakan pintu rumah dan pintu kamar Kakaknya.Beberapa tetanggaku yang melihat kepulanganku, datang menghampiri sekedar menyapa dan memberi semangat, juga doa untuk kesembuhan Ardi.Saat tetanggaku masih berkumpul di rumah, aku segera bertanya pada mereka."Oh iya Mbak, itu di depan rumah aku kok banyak material bahan bangunan? Milik siapa ya? Apa ada yang belanja terus titip taruh di tempatku? Tapi halaman rumah-rumah di sini, luasnya sama, masa sih titip?"Beberapa dari mereka menggelengkan kepala karena tak tahu, ada yang mengingat-ingat sesuatu, ada yang bicara, tetangga samping rumahku, Mbak Nengsih usianya seumuran denganku dan Bu Tatik, beliau sudah mempunyai dua cucu."Oh iya, Dewi, kemarin jam tiga sore ada yang kirim, aku yang tanda tangan kwitansi pengirimannya, kata supir truk yang kirim barang, itu dari kerabat kamu yang kerja di luar kota." Mbak Ningsih memberi penje
Aku melangkah mundur, bersiap menghindar dari pukulannya.Namun sayangnya sapu itu lebih cepat diayunkan Renita ke tubuh ini. Aku menjerit saat merasakan sakit di tubuh, akibat pukulan dari sapu itu.Emosi diri ini akhirnya tersulut, karena Renita tidak membiarkan aku menghampiri anak-anak. Yang ada dipikiran saat ini adalah tangisan Aisyah, kecemasanku terhadap anak-anak lebih besar dari pada rasa sakit di tubuh ini. Bukan karena takut melawan Renita, tapi melihat Bang Danu sangat membela dan menjaganya,, aku justru takut mereka berdua kompak menyiksaku.Aku berlari dan mendorong Renita dengan kuat.Renita terhuyung karena perbuatanku barusan.Bang Danu langsung reflek menangkap tubuh Renita agar tak tersungkur di lantai.Mata Bang Danu melotot ke arahku, tak terima diri ini menyakiti selingkuhannya.Tetapi saat aku di sakiti, sedikit 'pun tidak ada niat melindungi dan membelaku."Astaghfirullah ... ternyata memang kamu suami dzolim Bang, aku benar-benar tak ada arti sedikitpun bag
Perlahan Shella mendekat ke arah Danu."Aku kecewa sama kelakuan kamu Mas, kamu tau dan lihat Istrimu, Ibu dari Anak-anakmu! Yang bertahun-tahun mengabdikan hidupnya untukmu, disiksa wanita lain yang menyakiti hatinya, tapi kamu biarkan?" Shella berkata dengan pelan namun tajam ke arah Bang Danu. Danu tetap diam sambil memandang wajah Shella dengan lekat tak berkedip, Renita sibuk mengeringkan pakaiannya dengan sapu tangan miliknya."Yakin, Nggak salah pilih kamu Mas?! Membuang perempuan baik-baik seperti Dewi, yang mau susah payah, banting tulang membantu meringankan bebanmu, menafkahi Anak-anakmu, menjaga auratnya dari lelaki lain, hanya demi pel@kor bar-bar begini, rendah sekali selera kamu ternyata." Shella masih berucap pelan dan tegas."Hai ...! tutup mulutmu!" Bentak Renita yang langsung marah mendengar ucapan Shella yang merendahkannya, menantang Shella dan ingin menghajarnya juga.Namun kulihat Bang Danu mencegahnya, tak membiarkan Renita menyentuh Shella, bahkan mata Ba
Kak Dewa memapah Shella duduk di sampingku, lalu mempersilahkan semua yang ada di ruang tamu untuk duduk, meminta kami semua menyelesaikan masalah yang sedang terjadi dengan baik-baik."Danu, Renita, silahkan duduk, mungkin bisa kita bicarakan baik-baik masalah kalian," ujar Kak Dewa mempersilahkan mereka duduk.Kulihat Bang Danu ingin melangkah duduk bersama kami di ruang tamu, tapi Renita mencegahnya, memegang lengan Bang Danu dengan kuat."Maaf, bajuku basah, aku kedinginan, lebih baik kami cepat pulang, takut masuk angin." Renita menolak untuk duduk bersama."Ayo, kita pulang aja." Renita menarik tangan Bang Danu agar mengikutinya keluar.Danu terpaksa mengikutinya, tak berani menolak permintaan selingkuhan kaya rayanya."Ardi, Aisyah, Ayah pulang dulu ya, cepet sembuh ya Nak, kalian jadi anak baik ya, jangan pernah membenci Ayah walaupun Ayahmu ini orang miskin," pamitnya pada kedua Putra-Putrinya.Ada nyeri menyentil relung hati mendengar ucapannya, bagaimana mungkin kami memben
Waktu berlalu dengan cepat, mengiringi kesibukanku.Satu persatu urusanku terselesaikan dengan baik.Proses perceraian, Alhamdulillah tidak terlalu rumit, karena Bang Danu tak pernah menghadiri persidangan, dalam hitungan bulan, proses selesai, surat cerai resmi sudah aku terima, diri ini telah sah menjadi janda, hal yang tidak pernah diinginkan oleh wanita manapun.Sejak kejadian kekerasan yang dilakukan Renita, dan warga ribut hendak melaporkan ke polisi, mereka tak ada kabar berita lagi, kabarnya pergi bekerja di tempat yang jauh, pernah juga ada yang memberitahu, Bang Danu pergi dan tak kembali lagi sejak ada hura hara di rumah ibunya, kabarnya keluarga dari pihak suami Renita datang melabrak ke sana.Rumah yang aku tinggali juga sudah selesai direnovasi, aku tak ingin terlalu mewah, diri ini hanya menghargai Pak Fandi dan Istrinya, mereka membuatkan juga rumah makan di depan rumah, dan sudah 1,5 bulan ini aku buka usaha kuliner lagi, yang sempat tutup beberapa bulan lamanya karen
"hmm....hmmm."Aku melirik Mbak Sumi yang sedang cengar-cengir, menggoda kami berdua sambil mesem-mesem lebar, melihatku dan Mas Hanif duduk berhadapan.Aku agak salah tingkah, tapi berusaha mengendalikan diri agar terlihat biasa-biasa saja."oh iya Mbak Dewi, boleh minta nomor WA kamu?" tanya pria itu sopan."Boleh." Lalu aku memberi kartu nama rumah-makan ini padanya."Ini yang nomor pribadi? Yang langsung ke kamu," tanyanya. "Iya," jawabku sopan."Boleh Aku WA, hanya sekedar berteman, mengobrol?" tanyanya ragu.Aku berpikir sejenak, sebenarnya risih kalau di WA lawan jenis kalau hanya basa basi, kecuali urusan bisnis.Kecuali Kak Dewa yang sudah kami anggap seperti keluarga."Boleh, asal nggak menganggu satu sama lain," ujarku, hatiku sebenarnya menolak, namun bibirku bilang boleh, haduhh."Mas Ganteng ...! ini pesanannya saya taruh sini ya, kalau masih mau ngobrol nggak Apa-apa, saya malah seneng liatnya. Mbak Dewi udah di situ aja, biar aku yang ngeladenin pembeli." Mbak Sumi b
Setelah Mbak Sumi berlalu, aku membuka ponsel lagi, penasaran sekali ingin melihat foto-foto yang di kirim Mas Hanif dengan lebih jelas.Gambar itu ternyata, semuanya foto-foto diri ini saat sedang duduk, bicara dengan pelanggan, tersenyum saat melayani pembeli, sedang duduk sendiri di depan meja kadir dan semua foto memakai baju yang berbeda. Mas Hanif mengambilnya diam diam saat sedang duduk menikmati makanannya di hari yang berbeda.Berarti, setiap dia kesini selalu mengambil foto diri ini tanpa sepengetahuanku, tapi untuk apa?Tiba-tiba ada rasa takut, siapa sebenarnya Hanif, kenapa dia tahu banyak tentang diriku, ingin lebih dekat dengan diriku, apakah salah bila diri ini merasa curiga?Ting.Mas Hanif mengirim pesan WA lagi.{Maaf ya, kalau nggak berkenan, aku janji nggak akan ulangi lagi, tapi jangan suruh menghapus foto-foto ini ya} dengan emot tersenyum dan tangan menangkup.{Maaf, sebenarnya anda siapa?}Send.Ting { Seseorang yang ingin mengenalmu lebih dalam}Aku terd