Aku melangkah mundur, bersiap menghindar dari pukulannya.Namun sayangnya sapu itu lebih cepat diayunkan Renita ke tubuh ini. Aku menjerit saat merasakan sakit di tubuh, akibat pukulan dari sapu itu.Emosi diri ini akhirnya tersulut, karena Renita tidak membiarkan aku menghampiri anak-anak. Yang ada dipikiran saat ini adalah tangisan Aisyah, kecemasanku terhadap anak-anak lebih besar dari pada rasa sakit di tubuh ini. Bukan karena takut melawan Renita, tapi melihat Bang Danu sangat membela dan menjaganya,, aku justru takut mereka berdua kompak menyiksaku.Aku berlari dan mendorong Renita dengan kuat.Renita terhuyung karena perbuatanku barusan.Bang Danu langsung reflek menangkap tubuh Renita agar tak tersungkur di lantai.Mata Bang Danu melotot ke arahku, tak terima diri ini menyakiti selingkuhannya.Tetapi saat aku di sakiti, sedikit 'pun tidak ada niat melindungi dan membelaku."Astaghfirullah ... ternyata memang kamu suami dzolim Bang, aku benar-benar tak ada arti sedikitpun bag
Perlahan Shella mendekat ke arah Danu."Aku kecewa sama kelakuan kamu Mas, kamu tau dan lihat Istrimu, Ibu dari Anak-anakmu! Yang bertahun-tahun mengabdikan hidupnya untukmu, disiksa wanita lain yang menyakiti hatinya, tapi kamu biarkan?" Shella berkata dengan pelan namun tajam ke arah Bang Danu. Danu tetap diam sambil memandang wajah Shella dengan lekat tak berkedip, Renita sibuk mengeringkan pakaiannya dengan sapu tangan miliknya."Yakin, Nggak salah pilih kamu Mas?! Membuang perempuan baik-baik seperti Dewi, yang mau susah payah, banting tulang membantu meringankan bebanmu, menafkahi Anak-anakmu, menjaga auratnya dari lelaki lain, hanya demi pel@kor bar-bar begini, rendah sekali selera kamu ternyata." Shella masih berucap pelan dan tegas."Hai ...! tutup mulutmu!" Bentak Renita yang langsung marah mendengar ucapan Shella yang merendahkannya, menantang Shella dan ingin menghajarnya juga.Namun kulihat Bang Danu mencegahnya, tak membiarkan Renita menyentuh Shella, bahkan mata Ba
Kak Dewa memapah Shella duduk di sampingku, lalu mempersilahkan semua yang ada di ruang tamu untuk duduk, meminta kami semua menyelesaikan masalah yang sedang terjadi dengan baik-baik."Danu, Renita, silahkan duduk, mungkin bisa kita bicarakan baik-baik masalah kalian," ujar Kak Dewa mempersilahkan mereka duduk.Kulihat Bang Danu ingin melangkah duduk bersama kami di ruang tamu, tapi Renita mencegahnya, memegang lengan Bang Danu dengan kuat."Maaf, bajuku basah, aku kedinginan, lebih baik kami cepat pulang, takut masuk angin." Renita menolak untuk duduk bersama."Ayo, kita pulang aja." Renita menarik tangan Bang Danu agar mengikutinya keluar.Danu terpaksa mengikutinya, tak berani menolak permintaan selingkuhan kaya rayanya."Ardi, Aisyah, Ayah pulang dulu ya, cepet sembuh ya Nak, kalian jadi anak baik ya, jangan pernah membenci Ayah walaupun Ayahmu ini orang miskin," pamitnya pada kedua Putra-Putrinya.Ada nyeri menyentil relung hati mendengar ucapannya, bagaimana mungkin kami memben
Waktu berlalu dengan cepat, mengiringi kesibukanku.Satu persatu urusanku terselesaikan dengan baik.Proses perceraian, Alhamdulillah tidak terlalu rumit, karena Bang Danu tak pernah menghadiri persidangan, dalam hitungan bulan, proses selesai, surat cerai resmi sudah aku terima, diri ini telah sah menjadi janda, hal yang tidak pernah diinginkan oleh wanita manapun.Sejak kejadian kekerasan yang dilakukan Renita, dan warga ribut hendak melaporkan ke polisi, mereka tak ada kabar berita lagi, kabarnya pergi bekerja di tempat yang jauh, pernah juga ada yang memberitahu, Bang Danu pergi dan tak kembali lagi sejak ada hura hara di rumah ibunya, kabarnya keluarga dari pihak suami Renita datang melabrak ke sana.Rumah yang aku tinggali juga sudah selesai direnovasi, aku tak ingin terlalu mewah, diri ini hanya menghargai Pak Fandi dan Istrinya, mereka membuatkan juga rumah makan di depan rumah, dan sudah 1,5 bulan ini aku buka usaha kuliner lagi, yang sempat tutup beberapa bulan lamanya karen
"hmm....hmmm."Aku melirik Mbak Sumi yang sedang cengar-cengir, menggoda kami berdua sambil mesem-mesem lebar, melihatku dan Mas Hanif duduk berhadapan.Aku agak salah tingkah, tapi berusaha mengendalikan diri agar terlihat biasa-biasa saja."oh iya Mbak Dewi, boleh minta nomor WA kamu?" tanya pria itu sopan."Boleh." Lalu aku memberi kartu nama rumah-makan ini padanya."Ini yang nomor pribadi? Yang langsung ke kamu," tanyanya. "Iya," jawabku sopan."Boleh Aku WA, hanya sekedar berteman, mengobrol?" tanyanya ragu.Aku berpikir sejenak, sebenarnya risih kalau di WA lawan jenis kalau hanya basa basi, kecuali urusan bisnis.Kecuali Kak Dewa yang sudah kami anggap seperti keluarga."Boleh, asal nggak menganggu satu sama lain," ujarku, hatiku sebenarnya menolak, namun bibirku bilang boleh, haduhh."Mas Ganteng ...! ini pesanannya saya taruh sini ya, kalau masih mau ngobrol nggak Apa-apa, saya malah seneng liatnya. Mbak Dewi udah di situ aja, biar aku yang ngeladenin pembeli." Mbak Sumi b
Setelah Mbak Sumi berlalu, aku membuka ponsel lagi, penasaran sekali ingin melihat foto-foto yang di kirim Mas Hanif dengan lebih jelas.Gambar itu ternyata, semuanya foto-foto diri ini saat sedang duduk, bicara dengan pelanggan, tersenyum saat melayani pembeli, sedang duduk sendiri di depan meja kadir dan semua foto memakai baju yang berbeda. Mas Hanif mengambilnya diam diam saat sedang duduk menikmati makanannya di hari yang berbeda.Berarti, setiap dia kesini selalu mengambil foto diri ini tanpa sepengetahuanku, tapi untuk apa?Tiba-tiba ada rasa takut, siapa sebenarnya Hanif, kenapa dia tahu banyak tentang diriku, ingin lebih dekat dengan diriku, apakah salah bila diri ini merasa curiga?Ting.Mas Hanif mengirim pesan WA lagi.{Maaf ya, kalau nggak berkenan, aku janji nggak akan ulangi lagi, tapi jangan suruh menghapus foto-foto ini ya} dengan emot tersenyum dan tangan menangkup.{Maaf, sebenarnya anda siapa?}Send.Ting { Seseorang yang ingin mengenalmu lebih dalam}Aku terd
Malam hari. di rumah DewiSetelah selesai sholat Isya, aku bersiap Istirahat, agar bisa bangun tengah malam nanti, untuk Sholat Sunat Tahajud dan menyiapkan bahan-bahan untuk pesanan yang akan dimasak besok.Sebelum tidur aku cek ponsel dulu, kulihat lagi ada beberapa notifikasi pesan masuk dari Mas Hanif, Kak Dewa dan Shella.Aku membuka satu persatu pesan yang masuk, pertama dari Kak Hanif yang chat dari sore tadi.{Dewi, jangan marah ya kalau aku kirim pesan terus, semoga kamu mau berteman denganku, Aman kok, dijamin aku orang baik}{ Met istirahat ya, semoga mimpi aku ... Eh ... Indah maksudnya, maaf }Aku tersenyum membacanya, tapi tak kubalas dulu, aku membuka lagi pesan dari Kak Dewa.{ Assalamualaikum wr wb, Dewi, sudah dapat kabar dari Ardi? Bulan depan kalau tidak ada halangan, kami ajak ke Bali ya, kita sekeluarga, ke hotel milik Mama, dan Mama sama Shella berharap kamu dan Aisyah ikut juga, kalau bisa, ikut ya}Aku terdiam, aku harus bagaimana?Lalu aku membuka pesan dari
"Hah ... ! Gaji 50 juta Nak?" Aku terlonjak kaget."Jangan main-main Ardi, itu jumlah uang yang sangat besar, kerja apa anak seusia kamu bisa dapat segitu Nak, mungkin Om Dewa aja itu yang mau kasih cuma-cuma, iya 'kan?" tanyaku tetap tak percaya."Gini Bu, Ibu kalau ada yang pesen nasi 10 bungkus, Ibu kasih bonus 1 porsi 'kan? Kalau ada yang bantu promosikan dagangan Ibu, bawa rombongan makan ke sini, orang yang promosiin itu juga Ibu kasih bonus 1 porsi 'kan?" tanya Putraku."Iya memang harus dikasih bonus, buat jasa dia sudah bantu promosi dan cari pembeli, biar senang makan di sini dan datang ke sini lagi, kok jadi ngomongin nasi? Apa hubungannya?" tanyaku dengan nada heran."Ini penjelasan yang gampang aja buat Ibu, Ardi sudah bantu usaha Kak Dewa, bikinin iklan, bikin laporan, bantu bikin faktur, terus penjualan Kak Dewa meningkat, hasilnya milyaran loh Bu, yang Ardi dapat ini bonus penjualan selama 3 bulan, malah masih ada lagi kata Om Dewa, bulan depan dapat lagi Bu," Jelas p