Bethany merasakan jantungnya terasa seperti berhenti sesaat ketika wanita di hadapannya menemukan dirinya dan Alex di sebuah gudang tersembunyi di dalam kantor mereka. "Aku menjawab seluruh telepon masuk dari para influencer dan kalian malah bersenang-senang di sini, huh?!" "Vallery!" Bethany langsung mengenali rekannya tersebut. "Kau bahkan tidak melihat bagian paling serunya," timpal Alex sambil terkekeh. Vallery memutar bola matanya ke atas sambil mendesah pelan. "Mumpung kau ada di sini, Alex. Aku ingin bertanya suatu hal." "Apa?" "Kenapa pekerjaanmu sangat buruk sekali. Aku sampai harus mengganti banyak halaman pada dokumen yang kau kerjakan." Bethany memandang Alex membuat sebuah protes di ekspresinya. "Apa? Jangan salahkan aku. Cathy bahkan tidak bisa melakukan apa pun. Dan membuat dokumen seperti itu bukan keahlianku," ucap Alex berusaha membela diri. Bethany akhirnya berdiri sambil membetulkan lekukan pada roknya yang hampir kusut. Ia kemudian berpali
Di dalam sebuah ruang pertemuan yang luas, panggung yang dirancang cukup megah dan lampu sorot yang menyala, Bethany berdiri di atas panggung tersebut dengan tatapan kosong. Dalam hatinya berpikir bahwa ia semakin dekat dengan keberhasilan project. Di sisi lain dalam hatinya, dia sangat merindukan saudari kembarnya. Perasaan bersalah terus menghantuinya. Perusahaan yang menyebabkan kembarannya menghilang, kini malah ia sokong menuju kesuksesan. "Apa yang kau pikirkan?" Sebuah tangan melingkar di pinggangnya dari belakang. Bethany menoleh, Alex sudah memeluknya dan membenamkan kepalanya di lehernya. "Alex. Hentikan," ucap Bethany dengan waspada. Mereka masih di depan publik. Dia tidak menyangka Alex akan seberani itu. "Mereka semua sudah pulang." Alex membalik tubuh Bethany untuk menghadap ke arahnya. Tatapannya kini tajam mencari jawaban melalui mata Bethany yang terlihat habis menangis. "Kau teringat Bella lagi?" tanya Alex dengan tangan yang sudah memegang pipi Bet
Dengan Alex yang tiba-tiba tubuh di hadapannya. Bethany hanya bisa menopang tubuh itu. Dia sangat lemas tapi berusaha untuk kuat menahan tubuhnya dan emosinya. Sekuat tenaga Bethany akhirnya berhasil membuat dirinya mengeluarkan suara. "Siapa pun tolong panggil ambulans!" Seorang wartawan di dekatnya langsung menghubungi panggilan darurat. "Alex. Please ... kau harus bertahan." Bethany masih memeluk Alex. Alex masih mengeluarkan suara erangan kesakitan. Bethany mulai menangis. Dia sangat takut kehilangan Alex. Beberapa saat kemudian, seorang paramedis menghampiri mereka dan melakukan pertolongan pertama pada Alex. Setelah dilakukan pertolongan pertama tersebut. Mereka menggotong tubuh Alex untuk masuk ke dalam ambulans. Paramedis lain menghampiri Bethany dan memeriksa keadaannya. "Kau tidak apa-apa?" tanya wanita paramedis itu. Bethany tidak menjawab pertanyaan tersebut. Dia hanya melontarkan pertanyaan balik. "Apa aku bisa ikut di ambulans itu?" Paramedis meme
Mobil di belakang sudah sangat tidak sabar. Terus menerus membunyikan klakson agar pemilik mobil yang Bethany naiki ini segera menjalankan mobilnya. "Shit! Katakan padaku nanti apa maksudmu dengan bukti itu." Danny kesal dengan David yang tiba-tiba saja duduk di kursi penumpang dan memberikan sebuah pertanyaan besar di benaknya. Bethany yang duduk di kursi belakang segera mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke David. 'Bukti apa yang kau maksud?' David yang merasakan ponselnya bergetar segera mengambilnya dan melihat pesan masuk dari Bethany yang duduk tepat di belakangnya. 'Bukti yang bisa membuktikan bahwa kau tidak mencelakai Alex,' balasnya. Bethany membaca balasan dari David dan mengernyitkan dahinya. 'Aku memang tidak mencelakainya. Kau sudah gila? Aku ini pacarnya. Kenapa kau berkata seperti itu?' David mendesah pelan dan berusaha membahasnya secepat kilat. 'Aku tahu. Tapi orang lain berpikir kau yang mencelakai Alex. Kau lihat dua orang tua di ruma
Bethany masih terdiam di dalam mobil Danny yang melaju makin cepat. Bethany tidak sempat fokus pada apa yang akan menimpanya nanti. Saat ini dia hanya memikirkan kondisi Alex. Danny memutar mobilnya menjauhi pusat kota. Dia memasuki sebuah pemukiman yang cukup sepi dan berakhir memarkirkan mobilnya pada sebuah rumah sederhana di tengah hutan. "Ap-apa yang akan kita lakukan di sini?" tanya David kini merasa takut. "Turunlah. Aku tidak akan berbuat apa pun." Danny mematikan mesin mobilnya dan keluar dari mobil. Bethany dan David mengikutinya. Mereka melihat rumah yang sangat sederhana dan halaman yang cukup luas, dengan rumah bergaya peternakan Amerika. "Masuklah." Danny mengamati kedua staffnya tersebut dan menyuruh mereka segera masuk. Bethany dan David hanya mengikuti langkah Danny. Mereka melihat seorang wanita paruh baya memeluk Danny. Wanita itu tampak sangat terkejut atas kedatangan Danny. Tatapannya hampir seperti ingin menangis. Dia mencium pipi Danny beber
Malam semakin larut, ketiga kolega tersebut masih duduk dengan suasana tegang. Terutama Bethany, yang baru saja menerima informasi bahwa ada orang yang berusaha untuk mencelakainya. "M-mencelakaiku? Jadi, orang yang menusuk punggung Alex, dia benar-benar berniat untuk mencelakaiku?!" tanya Bethany dengan tangan yang bergetar. Bethany langsung mengingat kembali kejadian pahit yang menimpanya hari ini. "Kau belum menghitung orang yang mengikuti kita saat kita menuju kantor polisi," tambah Danny. Memori Bethany langsung flashback ke kejadian beberapa saat lalu sebelum mereka tiba di rumah sederhana ini. "Jadi, itu alasanmu berbalik arah dan malah membawa kita ke sini? Kau tahu siapa dia?" tanyanya. Danny menggeleng kepalanya dan memasang raut wajah sedih. David berpura-pura batuk untuk mengarahkan kedua koleganya itu menoleh ke arahnya. "Kalian lupa alasan aku memaksa ikut dengan kalian?" Danny dan Bethany hanya mengerutkan kening. "Sudah kubilang bahwa aku memi
Setelah Betty mengetahui lokasi keberadaan Bethany dan David. Dia beserta Robert dan Vallery bergegas pergi untuk menemui kedua rekannya tersebut yang sedang bersembunyi dari polisi. Sementara Bethany mulai lega mendengar operasi Alex berjalan dengan lancar. Kini dia berada di kamar yang telah disediakan oleh Emily untuk dia menginap. Dia hanya berbaring menatap langit-langit kamar itu dengan tatapan kosong. Hari yang sangat buruk ini tidak mampu membuatnya untuk tidur terlelap di kamarnya. Dia sangat ingin menemui Alex. Memeluknya dan memastikan dengan matanya sendiri bahwa kekasihnya itu baik-baik saja. Tanpa sadar, Bethany melangkahkan kakinya ke keluar kamar. Dia melihat Danny sedang duduk di kursi taman. Sendirian dan tenggelam dengan pikirannya sendiri. Dia enggan mendekati Danny, mengingat perlakuan bosnya itu selama ini kepada dirinya dan timnya. Namun, terbesit ingatan bahwa Alex pernah mengatakan padanya bahwa Danny sangat dekat dengan Bella, kembarannya yang mas
Keesokan jarinya, Bethany dan David kembali berkumpul di ruang makan rumah milik Emily, ibu dari Danny. Bethany melihat beberapa sandwich dam omelette di meja makan. "Duduk dan makanlah, kalian pasti lapar sejak kemarin kan?" ucap Emily dengan ramah. "Terima kasih. Kau sebenarnya tidak perlu melakukan ini,", jawab Bethany. Bethany dan David duduk di kursi yang mengelilingi meja makan. Mereka belum melihat Danny. Bethany mengintip sedikit ke arah lorong menuju ruang terdalam rumah tersebut. Emily melihat raut wajah David Dan Bethany yang kebingungan, dia tersenyum dan mengatakan. "Danny keluar sebentar." "Oh, kemana?" tanya David sambil memakan gigitan pertama pada sepotong sandwich di hadapannya. "Ke makam ibunya." David tiba-tiba tersedak, Bethany memberikan air ke rekannya tersebut. "Kau bilang, kau ini ibunya?" tanya Bethany berusaha mengkonfirmasi apa yang dia dengar kemarin. Emily mengeluarkan hidangan terakhir di atas meja. Sebuah mangkuk sup besar yang
-Kembali ke masa kini- "Jenius yang sebenarnya?" tanya Alex masih tidak mengerti ucapan Bella. "Rencana yang dibuat untuk menjatuhkan Wilson itu rencananya. Kalian pikir akan sejauh apa dampak dari rencananya ini?" tanya Bella mencoba memberi teka-teki. "Tunggu. Maksudmu, kau ingin kita memikirkan apa yang akan terjadi setelah Hardvey putus dari Wilson? Bukankah tujuannya hanya untuk membuat Wilson patah hati agar merasakan sesuatu yang berharga baginya direbut? Seperti yang dia lakukan pada Robert, merebut jabatannya di kantor." Danny mulai menjelaskan sesuatu yang ia rencanakan dengan Bethany dan rekan lainnya. Bethany mendengus pelan. "Kalian terlalu menganggap remeh rencana ini." Belum sempat Danny dan Alex bertanya lebih lanjut maksud dari ucapan Bella tersebut, ponsel Danny berdering. Ia melihat nama David di layar ponselnya. Danny segera mengangkat panggilan tersebut dan membuat percakapannya dengan mode loudspeaker. Bella mencegahnya, ia melirik ke arah Alex
(Flashback ke Bab 45) -Pertemuan pertama Bethany & Bella setelah beberapa bulan kabar hilangnya Bella- "Bagaimana? Sangat melelahkan bukan?Menyamar sebagai Bella," ucap orang itu dengan sebuah senyum kepuasan. Bethany terkejut dengan suara yang sangat ia kenal. Dengan tangan bergetar ia memalingkan wajahnya dari arah cermin ke sumber suara. Seseorang yang sangat mirip dengannya kini sudah berada di hadapannya. "B-Bella?!" Bethany dengan sigap memeluk kembarannya. Tubuhnya masih gemetar seakan tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat sekarang. "Kau baik-baik saja, kembaranku?" tanya Bella dengan senyum dan mata yang mulai berkaca-kaca. "Pertanyaan macam apa itu?! Aku yang seharusnya bertanya padamu. Apa kau baik-baik saja?" Bethany melonggarkan pelukannya dan menatap wajah kembarannya dengan untuk meluapkan seluruh emosinya. Ia teringat sebuah foto dengan luka yang bercucuran darah pada sebuah pergelangan tangan yang ada di dalam roadmap di balik lukisan yan
Danny dan Bella masih terus saling menautkan bibir mereka. Tanpa sadar, dari kejauhan ada seseorang yang memperhatikan mereka sejak tadi. Orang yang telah dengan geram dan menahan emosinya sendiri. Tidak puas hanya dengan menonton, orang itu akhirnya mendekati kedua kekasih yang baru saja melakukan 'reuni panas' mereka. Ia mencengkram kemeja Danny dan dengan cepat meninju wajahnya hingga tersungkur. Dengan rasa terkejut yang amat sangat dan menahan rasa sakit di wajahnya, Danny melihat siapa orang yang telah melakukan itu padanya. "Alex?! Sial. Apa yang kau lakukan?!" teriak Danny yang sangat tidak menerima pukulan tadi. Alex hanya terdiam dan malu mengungkapkan rasa cemburunya yang teramat sangat. Di sisi lain, wanita yang tadi bercumbu dengan Danny masih mematung terkejut dengan kejadian barusan. Wanita itu menghampiri Danny yang masih terduduk di atas aspal dingin basement hotel itu. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan khawatir. "Hei, apa aku benar-benar semudah
Keesokan paginya, sesuai janji yang dibuat oleh Danny dan Hardvey, mereka akan bertemu di basement hotel pukul sembilan pagi. Tanpa sepengetahuan Hardvey, David sudah memasangkan kamera pengawas di beberapa titik di lokasi pertemuan rahasia tersebut. Tidak hanya Danny, seseorang yang melewatkan malam panas dengannya juga sudah berada di sana untuk mengawasi. Lebih tepatnya, seorang wanita yang harus berada di sana untuk menjadi cameo dalam drama kali ini. "Kenapa dia lama sekali?" ucap Danny merasa gelisah. Tidak hanya gelisah karena menunggu targetnya yang akan datang. Namun, dia juga gelisah karena dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Hatinya masih berdebar mengingat kejadian panas semalam. Tubuhnya terasa lelah namun segar. Keringat dingin mulai terlihat di wajahnya, ia mencoba menahan diri untuk fokus pada rencana mereka kali ini. "Kau harus tenang," ucap wanita di sebelahnya. "Bagaimana aku bisa tenang? Aku masih memikirkan kejadian semalam, kau tahu?
Pintu lift tertutup. Di sana, hanya ada dirinya dan Hardvey yang terlihat sangat terkejut akan tindakannya barusan. "Hei, apa yang kau-" Hardvey makin terkejut lagi melihat orang yang ada di hadapannya. "Kau, Willy kan?" tanya Hardvey begitu teringat orang yang beberapa kali tanpa sengaja bertemu dengannya. Terutama rambut perak yang sangat mencolok itu. Danny kebingungan, dia menyipitkan matanya setelah mendengar nama asing di telinganya. Beberapa saat kemudian dia tersadar bahwa orang di hadapannya menyebutkan nama samaran yang ia buat kemarin. "Ya, benar. Oh, kau Hardvey kan? Aktor yang kemarin menyeleksiku di audisi?" jawabnya. "Ya. Kau, menginap juga di sini?" tanya Hardvey mulai penasaran dan sedikit bersemangat. "Ya, aku menginap di sini." Danny mulai sedikit gugup. Firasat tidak enak kembali mulai dirasakannya. Apalagi, aktor itu kini semakin mendekatkan diri padanya. "Hei, kita tiga kali bertemu secara tidak sengaja seperti ini. Pasti ini takdir," ucap H
Setelah mengetahui letak hotel tempat Hardvey menginap, Danny dan David membooking kamar di hotel tersebut untuk melakukan rencana selanjutnya. Bethany membantu mereka di sana untuk mengawasi aksi mereka. "Kenapa dia harus menginap di hotel? Bukankah dia punya rumah pribadi yang lebih memiliki privasi?" tanya Danny. "Mungkin karena skandal itu, jadi dia terpaksa tidak tinggal di rumahnya dulu untuk sementara waktu," jawab Bethany. David yang sedang menyiapkan alat sadapnya menyahut, "Ya, benar. Jika kau melihat berita media online, skandal itu masih jadi topik pembicaraan yang panas di kalangan selebriti." "Bukankah hal seperti itu biasa di kalangan selebriti? Bahkan banyak selebriti yang terang-terangan mengaku mereka penyuka sesama jenis." Danny mulai mempertanyakan rasa penasarannya tentang skandal yang dibesar-besarkan tersebut. "Mungkin jika Hardvey adalah selebriti yang tidak laku di pasaran, berita itu akan cepat lenyap. Tapi, dia adalah salah satu selebriti ya
"Hei, Danny. Apa kau mendengarku? Sudah cukup. Jangan terbawa suasana. Cepatlah keluar!" teriak Bethany di sambungan telepon. Danny langsung berdiri dari posisinya dan bergegas keluar toilet. Di luar toilet ia segera memegang earphone yang ada di telinganya. "Hei! Kau sangat kejam! Jangan mengatakan sesuatu seolah-olah aku menikmatinya!" teriak Danny dengan frustasi. "Bukankah kau sudah kelewatan menggodanya?" tanya David. Bethany hanya cekikikan dan tampak tidak merasa bersalah. "Tenang saja. Aku tahu persis dia tergila-gila dengan saudari kembarku. Dia tidak mungkin terbawa suasana seperti itu dengan laki-laki." Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu mobil van itu diketuk begitu kencang berkali-kali. Bethany menyadari siapa yang sebentar lagi akan masuk dan memakinya. Setelah pintu mobil van itu terbuka, terlihat raut wajah Danny yang penuh amarah. "Kurang ajar kau! Kata-katamu-" "Dia memang kelewatan. Tapi tenang dan masuklah. Kita harus bergegas perg
Beberapa jam kemudian, Danny dan Bethany sudah berada di dalam sebuah Cafe yang cukup sepi. "Hey, tidakkah warna silver ini terlalu mencolok?" kata Danny sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan warna rambut barunya. "Tenang saja, itu hanya untuk sementara. Kita butuh menjadikan dirimu pusat perhatian aktor itu, kau tahu," jawab Bethany berusaha menenangkannya. Danny dan Bethany mencari tempat duduk yang letaknya paling sudut di Cafe tersebut. Setelah duduk, Danny melihat sekeliling dan tidak menemukan target mereka. "Kau yakin dia akan datang ke sini?" tanya Danny. Bethany cekikikan dan berniat menggodanya. "Kau menjadi tidak sabar." "Diam kau! Jangan membuatku memikirkan hal menjijikan lagi." Bethany mengangkat kedua tangannya pertanda menyerah. Dia juga sebenarnya sedikit tidak tega. "David sudah mencari tahu Cafe langganan tempat Hardvey dan manajernya biasa membahas project baru mereka. Dan ... karena hari ini adalah ulang tahun pemilik Cafe ini, dia pasti ak
"Alex?" ucap Bethany ketika hampir bersamaan dengan terbukanya pintu apartemen. "Ah, ternyata bukan," sambungnya lagi. 'Apa yang kuharapkan? Tentu saja Alex tidak akan ke sini lagi setelah bilang putus dariku,' batinnya dengan sedikit kecewa. "Kalau tidak salah, kau pengawalnya Alex yang di rumah sakit itu kan? Apa tadi kau yang mengirim pesan kepadaku menggunakan nomor telepon Alex?" tanyanya kepada pria bertubuh besar berotot di hadapannya. "Benar Nona. Perkenalkan, saya Gerard. Saya ke sini untuk mengembalikan ini." Bethany langsung membuka sebuah kotak kecil yang diberikan Gerard padanya. Ia melihat gelang yang pernah diberikan Alex di desa Woodwill. Bethany terkejut dan matanya membelalak, "Di mana kau menemukannya?! Aku benar-benar berpikir gelang ini sudah hilang." "Di kantor, Nona. Saya menemukan itu di dekat pintu masuk," jawab Gerard. Bethany mengambil gelang itu. Mengusap inisial nama BA di baliknya. Kemudian, ia mengembalikan gelang itu lagi kepada G