“Damn! Your bacot ya, Cin! Gue udah straight! Udah hamilin anak orang jug..”“Lo apa?” tanya Cinta saat Simon memotong kalimatnya sendiri dengan sebuah tamparan usai menyadari bahwa mulutnya sudah keceplosan.“Eng.. Enggak.”Cinta menyentak galak. “Nggak mata lo!” Jemari yang telah meninggalkan helaian rambut Simon pun kembali mampir, menjambak rambut sahabat jahanamnya, jauh lebih kuat dari sebelumnya.“Bocah sarap! Ngehamilin anak siapa lo, Sat?!”“Aaak! Mas, help! Bini lo kerasukan, Mas!” teriak Simon, meminta bantuan. Ia memegangi telapak tangan Cinta yang menarik rambutnya, mencoba meminimalisir rasa sakit yang disebabkan oleh jambakan sahabatnya.“Ampun, Cin. Semua bisa dibicarain. Nggak usah pake kekerasan ya..” Mohon Simon, memelas.Ia memang sempat kehilangan arah. Menilai jika arah orientasinya berbelok karena tak kunjung mendamba pada lawan jenis. Namun hanya sebatas itu— ia tidak berpikir akan mendalami ketidak-tertarikannya itu pada sesamanya.“Hem..”Melihat picingan taj
Merasakan keberadaan seseorang yang selalu mengikuti langkah kakinya, Cinta pun berpikir untuk membuktikan dugaannya itu— dengan cara mempermainkan langkahnya.Sebelum berhenti melangkah, Cinta terlebih dahulu menajamkan indera pendengarannya.‘Kena lo!’ pekiknya dalam hati, setelah tebakannya terbukti benar.Tak ingin meloloskan manusia yang menguntitnya, ia pun dengan cepat memutar tubuhnya ke belakang.“He?” kaget Cinta mendayu. Ia lalu bertanya pada si penguntit yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri, Simon. “Ngapain lo ngikutin gue sama Mas Adnan?!”Dengan tampang tak enak dipandang berkat bogem mentah Adnan, Simon yang kacau itu menggerundel, berkata bahwa dirinya juga akan pulang.“Oh.. Yaudah, gih!” lontar Cinta mempersilahkan dengan sebelah lengannya yang terbuka.“Ya kalian duluan lah yang jalan. Gue kan nebeng kalian.”“Lah, apa hubungannya Mon?” tanya Cinta, sepolos anak yang baru dilahirkan ke muka bumi.“Kunci mobilnya kan di laki lo, Cintul. Gue gimana bisa masuk kala
Bak anak raja dari kerajaan paling makmur sejagat raya, Cinta menikmati siang harinya dengan berlayankan para dayang setianya. Dayang-dayang itu tak lain adalah suami, ibu mertua dan anggota termuda di rumah yang dirinya tinggali sekarang.“Tante, aaaakk..”Disaat Nathania bertugas sebagai pengawas isi mulut Cinta, dayang ke 2, Adnan, secara bergantian memijat kaki-kakinya yang masih terbebas dari pembengkakkan. Sedangkan dayang ke 3, dayang paling spesial yang Cinta miliki, memenuhi job desc-nya dengan menggeser layar iPad. Menawarkan serangkaian produk yang siapa tahu saja akan diminati oleh menantu kesayangannya.Ketiganya benar-benar mendedikasikan diri untuk kepuasan sang putri.“yang ini kayaknya bakalan cocok deh kalau dipake buat acara tiga bulanan nanti. Modelnya eye catching. Nggak norak even diamond-nya lumayan gede.” Ucap Diah sembari mengetukkan jari telunjuknya pada barang yang sedang dirinya pilih.Wanita itu melakukan cubitan pada permukaan layar untuk memperbesar tampi
“What the..”Cinta tercengang, begitu juga dengan Adnan. Keduanya kehilangan kata-kata kala tak hanya mendapati Simon seorang diri, melainkan bersama dengan dua buah koper yang pria itu letakkan di kedua sisi tubuhnya.“Gue diusir..” Ucap Simon, pelan, nyaris tidak terdengar andai si kecil tak membeo, menirukan kalimat yang pria itu ucapkan.“HEEEE?!!!”“Om temennya Tante Cinta ya?”Simon dengan sisa-sisa kekuatannya mengangguk.“Kok jelek sih?”Seketika saja pipi-pipi Cinta menggembung dengan ujung bibir saling terekat erat.“Ni bocah siapa sih? Rusuh amat dah! Nggak liat apa, orang lagi sengsara!”Nathania melengos. Gadis cilik itu melompat, menuruni sofa panjang yang ia naiki dengan tujuan mengobservasi tamu tantenya.“Mamiii! Thania diomelin om-om jelek, Maaam!!” teriaknya mengadu, meski belum berhadapan dengan maminya.“You!!”Cinta berlari menghampiri Simon. Perempuan itu menurunkan jari telunjuk yang Simon gunakan untuk menuding keponakan suaminya.“Gila ya, lo! Itu anak cucu k
Permasalahan yang menyeret peran Cinta masuk ke dalamnya pun, akhirnya dapat terselesaikan setelah Cinta menghubungi ayahnya.Perempuan itu meminta agar sang ayah mendatangkan orang tua Simon ke rumah mertuanya. Setelahnya, nama baik yang dijadikan kambing hitam atas kesalahan anak itu pun, pulih dalam hitungan menit.“Pak Samuel, Bu Diah, sekali lagi, kami meminta maaf untuk ulah tidak tahu malu anak ini.”“Biar kami angkut anak ini ke Bantar Gebang, Pak.” Imbuh papa Simon, menimpali permintaan maaf yang entah sudah berapa kali diucapkan oleh istrinya.Mendengarnya, Simon pun merajuk. “Mah, Pah! Simon bukan sampah ya!” Anak itu sama sekali tak memperlihatkan kesan laki-laki dewasa pada umumnya. Persis seperti Cinta yang tak mau repot untuk menyembunyikan keaslian dirinya dihadapan orang lain.“Yailah, pake lupa jati diri lo, Mon. Lo kan sampah. Sampah Masyarakat!”“Bacot lo, Cin! Kalau nggak ngikutin nasehat lo, hidup gue nggak bakalan begini ya!”Perang mulut pun terjadi dengan Simo
Mengurusi masalah sendiri saja sudah melelahkan, eh, ini, mereka malah harus mengurusi masalah orang lain, yang orangnya saja tak merasa jika dirinya bermasalah! Sungguh terlalu kalau kata Bang Haji Oma.Terima atau tidak, keputusan pun telah dibuat oleh orang tua Simon. Posisi sebagai pewaris anak itu kini terancam dengan kandidat lain yang dirinya buat secara tidak sengaja.Rasakan! Memangnya enak. Sedari awal jika anak itu tidak berdrama dan mempertanggung jawabkan perbuatannya, kisah malang tentang terampasnya hak waris anak itu pasti tidak akan tercipta.Gara-gara Simon, hari-nya menjadi sangat sibuk. Ia tidak hanya dipaksa ber-cosplay untuk jadi penasehat dadakan, tapi juga detektif swasta tanpa bayaran yang harus mencari data-data seorang wanita, yang sosoknya dihamili oleh sahabatnya.“Capek banget, capek.” Racau Cinta sembari menggeleparkan tubuhnya keatas ranjang.Dari arah belakang dengan langkai zombie-nya, Adnan pun menyusul pergerakan sang istri. Namun, sebelum pria itu
“Bye-bye, Tante. Nanti jemput Thania ya..”Cinta melambaikan tangannya, berdada, melepaskan Nathania yang mulai baru saja melewati gate gedung sekolahnya. Setelah gadis cilik dan pengasuhnya itu tak lagi terlihat, Cinta yang sama sekali belum melunturkan senyuman di wajah cantiknya, tampak menghembuskan nafas.“Abis nikah sama CEO bukannya naik pangkat, malah turun jadi tukang anter anak sekolah. Sib-Nasib!” Celotehnya, berhasil membuat bahu-bahu Adnan tergetar oleh tawa.“Makanya kamunya jangan terlalu manjain dia, Yang. Maminya aja jarang nganterin kok.”Cinta pun mendengus.Kalau kakak iparnya sih beda cerita ya. Wanita itu kan memang super sibuk. Jadwal kerjanya sangat padat. Apalagi sejak dirinya dinyatakan hamil anak suaminya, beberapa tugas yang mengharuskan Adnan untuk bekerja di luar kota, seketika saja dilimpahkan kepada sang kakak.Karena hal itu, sosoknya semakin jarang terlihat di rumah. Kalau pun ada waktu untuk menyenangkan Nathania, waktunya sungguh sangat terbatas. Be
Cinta memasuki gedung perusahaan milik papi mertuanya dengan Adnan yang menggendong bridal tubuhnya.Setelah sadar dari kekonyolan nafsu makannya, saraf ditubuhnya tiba-tiba saja melemah. Entah itu karena efek kekenyangan yang datang sangat terlambat, Cinta sendiri pun tak tahu persisnya— yang pasti, ia menjadi kesulitan untuk bergerakkan diri.“Malu banget aku tuh.” Gumam Cinta, menelungkupkan kepala pada permukaan tuxedo yang Adnan kenakan.“Pengen nyemplung ke rawa-rawa rasanya.”“Nyemplung ke hati-nya Mas aja, Yang.”Bugh!Adnan menahan napas kala sebuah hantaman mampir, mengenai dadanya.“Kamu, maaah! Aku lagi serius juga!”Benar-benar kacau. Selain rasa kenyang yang datangnya terlambat, keterlambatan itu juga menyerang kesadarannya. ‘Telat banget gue nyadarnya, kalau gue malu-maluin.’ Sesalnya, karena bertingkah seperti gelandangan yang sudah lima abad tidak menyentuh makanan.“Nggak perlu malu, Sayang. Makan banyak kan dibayar. Mereka tadi juga keliatan seneng banget kan, waktu