Dek, papa meminta kita kerumahnya sekarang?" ujar mas Pras setelah aku mencium takhzim punggung tangannya lalu dia beralih mengecup kening ini, dua tahun pernikahan kami hal-hal kecil seperti ini tidak pernah dia lupakan.
"Kok mendadak ya, mas?" balasku, karena tidak seperti biasanya, apa ini menyangkut kesehatan papa yang akhir-akhir ini menurun drastis, bathin Aruna."Mas juga heran dek, tidak biasanya papa seperti ini." jawab mas Pras lalu merangkul pinggangku, berjalan beriringan masuk kedalam rumah.Berganti pakaian rumahan dengan pakaian yang dipilihkan mas Pras, Tunik maroon senada dengan pasmina lalu disandingkan dengan Kulot putih, hal yang paling mas Pras sukai, katanya aku akan terlihat cantik jika memakai pakaian yang dipilihkannya, terdengar konyol bukan? Tapi itulah kebiasaan suamiku.Sebenarnya banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu fikiran ini sejak tadi, tapi aku enggan mengatakannya, takut mas Pras kefikiran.Entah kenapa hati ini menjadi gelisah semenjak mas Pras mengatakan jika papanya meminta kami segera berkunjung kerumahnya.Hanya memakan waktu 15 menit akhirnya kami sampai karena jarak rumah kami tidak begitu jauh masih dikompleks perumahan yang sama.Hanya mama yang menyambut kedatangan kami, perasaanku semakin tidak enak, yang aku fikirkan saat ini apa kesehatan papa sedang tidak baik? Bathin Aruna.Aku menyalami punggung tangan mama mertuaku setelah mas Pras, lalu celingukan mencari keberadaan papa.Sepertinya mama menyadari hal itu."Papa dikamar, nak!" balas mama membuat atensi ini teralihkan."Papa baik-baik sajakan, ma?" Balasku dengan alis yang menyatu.Mama dengan cepat menggelengkan kepalanya, sendu diwajahnya tidak bisa dia sembunyikan meskipun dia berusaha menunjukkan senyum dihadapan kami."Pras sudah bilangkan, ma! Sebaiknya papa dirawat saja." ujar Pras khawatir, papanya benar-benar keras kepala."Kamu tahu sendirikan, Pras! Bagaimana keras kepalanya papamu, mama sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi dibuatnya." desah maya mama Pras."Masuk lah dulu." pinta mama, karena memang sedari tadi kami masih berbicara diambang pintu.Saat kaki ini ingin melangkah menuju kamar papa mertua, mama memanggilku dan mas Pras untuk mengikutinya keruang tamu."Nanti saja, papa baru saja tidur." pinta mama.Entah hanya perasaanku saja, tapi aku merasa ada yang berubah dari sikap mama mertuaku, dia seperti sedang mengulur waktu."Runa ..." panggil mama, aku menatap manik wanita yang sudah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri."Iya, ma." balasku menatap teduh kearah mama."Sebenarnya papa ingin berbicara denganmu berdua." ujarnya kemudian."Maksudnya?" tanya Pras, kening lelakiku mengkerut, belum sempat aku menjawab ucapan mama."Ada yang ingin papa bicarakan berdua dengan Aruna, Pras." balas mama, yang tidak berani menatap kearah putranya."Apa yang kalian sembunyikan?" Selidik Pras, dia memang sudah curiga sejak mendapatkan telpon tadi, tidak biasanya mama menelponnya dan meminta agar membawa Aruna segera kerumah mereka.Jika menyangkut kesehatan papa mereka akan lsngsung mengatakannya."Biarkan papa berbicara berdua dengan Aruna dulu, Pras." pinta mama memohon.Mas Pras mendengus, bisa kulihat raut tidak suka diwajah suamiku saat ini, mas Pras paling benci dengan yang namanya rahasia. aku hanya bisa mengusap punggung tangannya sebagai ungkapan kalau aku akan baik-baik saja, toh selama ini mama dan papa sangat menyayangiku.Baiklah, ma." jawabku kemudian."Sebentar mama cek papa kekamar dahulu." mama langsung bangkit menuju kamar mereka."Pasti ada yang tidak beres." gumam Pras, yang masih didengar jelas oleh Aruna."Mas tidak boleh berprasangka buruk dengan orangtua sendiri." ujar Aruna karena menurutnya Pras sudah berfikiran terlalu jauh."Kamu tidak tahu sisi lain dari papa, dek!" balas Pras singkat.Sebelum melanjutkan ucapannya, mama terlebih dahulu datang, Pras tidak mungkin menceritakan sisi buruk papanya didepan mama."Papa sudah bangun, nak! Dia memintamu kedalam." ujar maya."Aku ikut." timpal Pras yang langsung berdiri."Biarkan mereka bicara terlebih dahulu, Pras!" pinta mama menatap penuh permohonan kepada anak semata wayangnya."Tapi, ma ..." ucapanku terhenti kala Aruna menggenggam jemariku bisa kulihat dia menggelengkan kepala meskipun itu sangat pelan.Akhirnya aku memutuskan menunggu Aruna diruang tamu bersama mama, aku semakin yakin ada hal yang orangtuanya sembunyikan darinya.Sementara Aruna sudah berada dikamar papa mertuanya."Kemari, nak!" pinta Gunawan papa mertuaku menunjuk kursi yang berada disisi tempat tidur.Semakin hari wajahnya semakin tirus, tubuh papa juga mulai menyusut, aku terhenyak melihat kesehatan lelaki yang telah membuatku merasakan pelukan dari seorang ayah tersebut.Aku duduk disisi ranjang."Bagaimana keadaan papa? bagaimana kalau kita kerumah sakit saja?" tanyaku seraya membujuk, meskipun papa melakukan perawatan dirumah menurut kami itu belum cukup karena pasti pasilitas dirumah sakit lebih lengkap."Penyakit papa sudah tidak bisa disembuhkan lagi nak, bahkan hidup papa sudah divonis tidak lama lagi, jadi papa sudah pasrah." balasnya.Aku menarik nafas panjang, jika sudah seperti ini aku ataupun mas Pras tidak akan bisa membujuknya."Runa ..." panggil papa."Iya, pa?" aku menatap sendu wajah mertuaku."Apakah sudah ada tanda-tanda?" tanya papa menatap penuh harap kemanikku.Aku tertunduk, aku tahu kemana arah pembicaraannya, aku menggeleng pelan.Bisa kudengar helaan nafas dari pria yang sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri tersebut."Run, umur papa tidak lama lagi! Papa hanya punya satu keinginan, yaitu melihat keturunan Pras.""Papa tidak menyalahkan kamu maupun Pras, tapi sampai kapan papa akan menunggu?" Papa menghentikan ucapannya sejenak."Papa tidak bisa pergi dengan tenang, disini seperti ada yang menahan papa." ujar pria paruh baya tersebut dengan air mata yang sudah berlinang.Air mataku tumpah mendengar kata-kata yang terlontar dari cinta pertamaku ini.Aku menggeleng cepat, isakanku semakin kencang kala tangan papa menggenggam jemariku."Runa, izinkan Pras menikah lagi, mungkin dia bisa memiliki keturunan." balas papa menatap dalam kemanikku."Izinkan papa menjadi egois sekali saja." pinta pria itu penuh harap."Pa, bagaimana bisa papa meminta hal seperti itu, aku dan mas Pras sama-sama sehat, kami hanya tinggal menunggu waktunya saja." ujarku mencoba menentang keinginan papa."Tapi sampai kapan papa harus menunggu?" balas papa mengusap sudut matanya, aku tahu papa berusaha menahan airmatanya agar tidak tumpah."Aku tidak bisa pa, aku tidak sanggup berbagi suami dengan wanita lain.""Coba posisi itu ditukar, apakah mas Pras mau berbagi istri dengan pria lain? Aku yakin mas Pras juga sepemikiran denganku." ujarku mencobah meluluhkan permintaan tak masuk akal dari mertuaku."Itu berbeda nak, wanita tidak boleh menikahi dua lelaki, tapi berbeda dengan lelaki mereka boleh menikahi wanita lebih dari satu.""Makanya papa meminta Pras yang menikah karena papa tidak mungkin memintamu menikah lagi lalu bercerai dari anak papa."Kamu tahu sendiri papa sangat menyayangi kamu sama seperti papa menyayangi Pras.""Untuk kali ini papa tidak bisa menahannya Runa! Papa ingin sekali memiliki cucu dari anak kandung papa sendiri.""Papa tidak memiliki sanak saudara begitupun mama kamu, papa tidak ingin Pras mengalami nasib yang sama seperti kami.""Papa tahu permintaan papa sangat menyakiti hati kamu, tapi hanya ini permintaan terakhir papa." ujar papa, perlahan genggamannya melemah."Bagaimana jika pernikahan kedua mas Pras tidak juga memiliki keturunan? Apa papa tidak kefikiran sampai kesana?" tanya Aruna."Papa akan pergi dengan tenang, jik memang itu terjadi." balasnya lalu tidur membelakangi menantunya.Gunawan sudah tidak bisa menunggu terlalu lama, dan dia juga tidak bisa menahan keinginannya melihat untuk pertama dan terakhir cucu keturunannya, dia hanya ingin pergi dengan tenang, hanya itu yang dia fikirkan saat ini, meskipun itu akan menyakiti hati menantu kesayangannya.Lama Aruna menatap punggung Gunawan, sudah saatnya dia berbakti kepada pria yang memberikan kasih sayang layaknya seorang ayah terhadapnya sedari kecil.Apapun yang papa inginkan, aku akan wujudkan pa, meskipun rumah tanggaku yang jadi taruhannya, gumam Aruna."Izinkan aku memilih maduku sendiri, pa?" kata-kata itu terlontar sendiri dari lisan ini.BY : NOUVALLIN30Cukup lama aku menunggu, tapi Aruna tak kunjung keluar, akhirnya aku memutuskan untuk menyusul meskipun tanpa persetujuan dari mama."Aku tidak setuju!" Ujarku saat mendengar Aruna akan memilihkan madu untuk dirinya sendiri, pilihan macam apa itu.Meskipun aku tidak mendengar keseluruhan perbincangan mereka tapi aku sudah bisa membaca kemana arah pembicaraan mereka."Ma-mas ..." Aruna terkejut dengan kehadiranku, begitupun dengan papa kulihat beliau juga sama terkejutnya."Mas, kita bicarakan dirumah." Aruna langsung bangkit menarik tangan ini agar keluar dari kamar papa, aku tahu dia tidak ingin aku terlibat, terlebih dia sangat mengagungkan sosok papa."Tidak, mas harus bicara dengan papa, dek!" Pras menautkan jemari mereka lalu kembali mendekat keranjang Gunawan."Apa papa tidak memikirkan perasaan Aruna? Pras hanya mencintai Aruna dan selamanya tidak akan mfnbagi cinta ini dengan wanita lain." ujar Pras dengan wajah yang suda
Drrttt ...Pras meraih ponsel disaku celana nama istriku tampil dilayar ponsel, Pras memijit pelipisnya, dia lups mengabari sang istri."Hallo dek, Assalamualaikum? maaf mas tidak mengabari kamu?" sesal Pras."Wa'alaikumsalam! Kamu dimana, mas?" tanya Aruna cemas."Mas dirumah sakit, papa sudah mau dirawat." jawab Pras."Alhamdulillah, Aruna nyusul ya, mas?" pinta Aruna.."Besok saja, ini sudah malam! Sebentar lagi mas juga akan pulang." balas Pras, rencananya saat dirumah nanti dia akan mengatakan apa penyebab papanya mau dirawat."Ya sudah, hati-hati ya, mas?" balas Aruna."iya, dek! Love you han?" Pras mencium layar ponselnya."Love you to honey." balas Aruna, suaminya selalu membuatnya jatuh cinta setiap hari.Setelah panggilan terputus, senyum diwajah Aruna sirna. Bahkan untuk tersenyumpun Aruna sudah tidak sanggup.Lambat tapi pasti keinginan sang papa akan Aruna wujudkan, apa aku sanggup menghadapi kenyataan yang akan terjadi ya Allah, gumam Aruna.Tapi siapa yang akan aku jadi
Disinilah kami sekarang, berhadapan dengan Nisa teman sepantiku, wanita bergamis ini terlihat anggun dan berwibawa, aku tidak menyangka akan bertemu dengan Nisa lagi, apa mungkin Allah mengutuskan dia untuk menjadi penolong dalam masalahku.Sepertinya gamis dengan stelan hijab panjang tidak mengganggu aktivitasnya sama sekali, bahkan aku sangaat mengagumi penampilannya, Nisa terlihat anggun dalam balutan gamis tersebut.Akupun sama juga memakai hijab, tapi aku lebih menyukai stelan tunik dipadankan dengan pasmina, karena bagiku sangat simpel."Maaf, Runa! Aku tidak bisa, aku tidak mungkin menjadi duri didalam pernikahan kalian." ujar Nisa saat aku mengatakan tujuanku, aku memang mengatakan niatku secara langsung, tidak ada yang kututup-tutupi.Mas Pras hanya diam tanpa melepaskan genggaman tangan ini, bisa kulihat dari ekor mataku, Nisa selalu menundukkan pandangannya saat berbicara kepadaku, mungkin karena ada mas Pras disebelahku.Wanit
Aku merasakan pelukan hangat seseorang saat mengerjabkan mata ini, perlahan membuka mata karena kepalaku terasa begitu berat.Aku melirik jam didinding, astahhfirullah! Ternyata hari sudah malam, aku melewati 3 waktu shalat, acara ijab pukul 10 pagi dan sekarang sudah memasuki waktu isya.Mungkin karena pergerakanku, mas Pras terbangun tanpa memalingkan tatapannya dari wajahku."Kenapa tidak membangunkanku." balasku menatapnya, mas Pras semakin mengeratkan pelukannya saat aku ingin beranjak."Mas tahu aku melewatkan waktu shalatku." Pras menatap wajah istrinya, meskipun Aruna marah tapi dimatanya itu ekspresi yang sangat menggemaskan.Pras langsung mencuri kecupan dibibir tipis istrinya dan membuat yang empunya melotot."Mas sangat mencintaimu, dek!" balas Pras."Bukankah mas seharusnya dikamar Nisa?" Aruna menautkan Alisnya, tanpa menjawab pernyataan cinta suaminya, dia tidak boleh egois bagaimanapun Pras bukan miliknya
Setelah berberes aku dan Nisa menyusul keruang tamu, kulihat wajah mas Pras memerah seperti tengah meredam amarah, apa mereka habis berdebat."Run, papa ingin kekamar?" pinta papa saat aku baru saja sampai disana, keningku mengkerut menatap mas Pras."Berhenti meracuni Aruna, pa? Papa tidak tahu bagaimana terlukanya Aruna." tukas mas Pras, aku bingung tidak mengerti arah pembicaraan mereka."Mas! Aku mendelikkan mata kearah mas Pras, aku hanya tidak inhin jika keadaan papa drop lagi."Biar Aruna antar, pa!" balasku seraya mendorong kursi roda, mama menyusul dibelakangku.Aku dan mama membantu papa berbaring ditempat tidur saat sampai dikamar."Run, maafkan papa?" ujar sang papa.Aku tersenyum lalu duduk disisi ranjang membawa tangan pria paruh baya tersebut kedalam genggamanku."Tidak ada yang perlu dimaafkan, pa! Aruna ikhlas." ujar Aruna, kebahagiaan sang papa adalah yang utama baginya."Papa istiraha
Vop NisaHari pertama aku menginjakkan kembali kaki ini dikota dimana aku dibesarkan.Karena kegigihan dan tekadku untuk sukses, disini lah aku sekarang, aku sudah bisa membeli sebuah ruko untuk tempat tinggalku sekalian membuka tokoh pakaian muslimah didepannya dengan hasil jerih payahku.Saat berberes satu pesan masuk diponselku, notif pesan keakun disalah satu aplikasi diponselku,Saat kubuka ternyata pesan dari Aruna teman kecilku saat masih dipanti.Aruna mengajakku bertemu, dan tentunya aku langsung mengiyakan karena aku juga sangat merindukan anak itu.Nasibku tidak seberuntung Aruna, saat lulus sekolah dia langsung dipinang oleh salah satu donatur tetap dipanti tempat kami tinggal untuk anak semata wayang mereka.Aruna tidak perlu banting tulang sepertiku karena yang meminangnya orang terpandang dikota ini, dan memang sedari kecil keluarga pak Gunawan memang sangat menyayangi Aruna diantara puluhan anak Panti lainnya.
Deru suara mesin mobil berhenti didepan rumah, bisa kutebak mas Pras pasti akan kembali, aku hanya bisa menghembuskan nafas kasar, bingung! bagaimana cara menyampaikannya lagi kepada mas Pras.Sekarang dia tidak hanya memilikiku sebagai istrinya tapi diluar sana juga ada wanita lain yang sama berhaknya seperti diriku, dia harus berlaku adil, ini bukan hanya tentang keadilan tapi janjiku terhadap sang papa harus segera terwujud jika mas Pras menundanya keingin papa pasti akan tertunda lagi, aku tidak mau jika kondisi papa memburuk kembali.Biarlah diri ini menangis darah melihat suamiku bersama istri keduanya, asalkan aku masih bisa melihat senyuman selalu terbit dibibir sang papa.Aku langsung berlari kecil menuju kamar, tidak ingin mas Pras melihat kesedihanku, jika dia melihatnya pasti dia akan merasa bersalah karena tidak becus menjadi kepala rumah tangga.Aku berpura-pura memejamkan mata ini saat mendengar suara langkah kaki perlahan mendekat
Mobil berbelok memasuki halaman rumah, kami berlari masuk kedalam, tangisan mama terdengar sampai keambang pintu.Papa dibopong oleh mang adi dan pak jono keluar dari kamar, lalu disusul mama yang tengah menangis dibelakangnya.Mama menghamburkan tubuhnya kedalam pelukanku sedangkan mas Pras membantu mereka membawa papa kedalam mobil."Tenanglah, ma! Runa yakin papa pasti kuat." ujarku menenangkan mama meskipun hati ini tidak begitu yakin dengan ucapan sendiri.Mama hanya mengangguk, kami menyusul mas Pras kemobil lalu masuk kedalamnya, aku meminta mama duduk disisi mas Pras karena bisa kulihat tubuh lemahnya sedangkan aku duduk dikursi belakang meletakan kepala papa dipangkuanku.Pras melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi, panik tentu tapi dia berusaha mengendalikan kecemasannya agar tidak terjadi hal yang membahayakan saat didalam perjalanan, terutama dimobil ada orang-orang terkasihnya.Aku kembali menghubungi Nisa memin
"Ma-maksud kamu apa, mbak?" Nisa berbicara dengan suara terbata. "Apa ini wujud aslimu?" ulangku lagi seraya mendekatkan wajah kami, menatap wajah polos wanita yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Apa yang dikatakan Siska ada benarnya, aku saja yang baru menyadarinya, ternyata hati seseorang tidak bisa kita nilai hanya dari penampilannya saja. "Mbak...! kita sama-sama besar dipanti asuhan, dan sudah merasakan bagaimana rasanya tidak memiliki orangtua, apa mbak tidak kasihan sama anak yang ada dikandunganku?" perkataan Nisa membuyarkan lamunanku. "Lalu?" tanyaku dengan alis bertaut. "Aku tidak ingin anak ini bernasib sama seperti kita, mbak!" lanjut Nisa dengan tatapan sendu. "To the poin saja, Nis! kamu ingin aku yang mundur bukan?" "Sepertinya kamu sudah mulai lupa apa dan kenapa kamu bisa berada ditengah-tengah kami! aku ingatkan sekali lagi, kamu berada disini hanya untuk memberikan anak untuk
"Lebih baik Nisa tinggal dirumah kalian saja." ujar Pras terang-terangan saat sudah berada dikamar kedua orangtuanya. "Mana bisa begitu, Pras! Nisa lebih membutuhkan kamu." balas mama penuh penekanan. "Jika mama masih bersikeras, biar aku dan Aruna saja yang keluar dari rumah ini." ancam Pras. "Secepat itukah kasih sayang mama berubah untuk Aruna? bahkan mama tidak peduli lagi bagaimana terlukanya Aruna oleh prilaku dan ucapan mama." "Pras ..." bentak mama menatap nanar kearahku putra semata wayangnya. "Apa yang sedang kalian perdebatkan?" timpal Papa, sepertinya tidurnya terganggu oleh perdebatan kami. "Pras menolak Nisa tinggal disini, pa! jika mereka tinggal bersama bukankah jauh lebih baik, Pras bisa memantau Nisa setiap saat dan disini juga ada Aruna yang bisa menjaganya." jelas mama. "Nggak bisa ma! besok mama ajak Nisa tinggal bersama kalian, kalau tidak biarkan dia kembali kerumahnya, aku akan menye
Pras, Runa! kemarilah, ada yang ingin mama bicarakan?" panggil mama saat kami baru saja menginjakkan kaki didalam rumah.Keningku langsung mengkerut saat melihat Nisa berada dirumah kami, kenapa mas Pras membawanya kemari? gumamku.Disini hanya ada mama dan Nisa, dan sepertinya papa sedang beristirahat dikamar."Jadi begini ..." mama menjeda perkataannya sejenak, tatapannya terarah kearahku."Sebaiknya selama Nisa hamil biarkan dia tinggal dirumah kalian." Lanjutnya kemudian, aku masih menatap dalam kearah mama, apa ini wanita yang telah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri? bahkan sedikitpun dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku saat ini, dia hanya memikirkan calon cucunya yang ada dirahim menantu keduanya."Kalian tahu sendirikan keadaan Nisa bagaimana, jika dia tinggal sendirian mama takut terjadi apa-apa dengan dia dan kandungannya." ujar mama kemudian yang terlihat jelas kecemasan dari raut wajahnya."Aku tidak setuju,
Bukan tanpa alasan aku menilai istri kedua dari Pras yang baru saja kuketahui, mungkin dia mengira hubunganku dengan Aruna hanya sebatas antara dokter dan pasien.Saat Pras dan keluarganya menyadari jika Aruna sudah tidak berada diruangan, wanita itu langsung menghentikan Pras yang hendak mencari Aruna keluar, wanita itu beralibi jika tubuhnya sangat lemas dan ingin segera beristirahat, apa seperti itu sikap wanita yang baik menurut Aruna?Lagu lama ... mungkin dia bisa membohongi Pras dengan keluarganya tapi tidak denganku, ternyata penampilan dan hati wanita ini sangat bertolak belakang.Dan untuk saat ini aku memilih untuk tidak menceritakan perihal yang terjadi didalam ruangan tadi, nanti jika waktunya sudah tepat aku akan memberitahu Aruna siapa sebenarnya wanita yang dia bawa ketengah-tengah mereka, dab akupun tidak ingin menambah beban fikiran Aruna."Sis ... Siska! malah bengong." lamunanku tersentak saat Aruna memanggil sembari melambaika
"Ini beneran?" tanya Pras lagi, Dokter Siska menjawab dengan anggukan, Pras masih belum percaya jika ketidaksengajaan yang telah terjadi beberapa waktu lalu antara mereka membuahkan hasil, itu artinya dia tidak harus berpura-pura lagi dihadapan istrinya Aruna, jujur saja selama ini Pras merasa tertekan dengan hubungannya bersama Nisa, meskipun dia mengatakan akan berusaha untuk menerima kehadiran istri keduanya nyatanya Pras tidak bisa, dan semua yang dia lakukan selama ini semata-mata demi Aruna.Papa menghapus sudut matanya yang mengembun, pastinya airmata kebahagiaan, sedangkan mama langsung memeluk tubuh Nisa."Jadi a-aku hamil, dok?" tanya Nisa setelah mama melepaskan pelukannya."Benar, buk!" jawab Siska.Nisa menangis sambil mengelus perutnya yang masih rata, tidak bisa kubohongi perasaan ini jika ada rasa iri yang bersarang, tapi sebisa mungkin kutepiskan rasa itu.Mereka semua larut dalam kebahagiaan, mengelilingi Nisa tidak terkecuali mas Pras.Pras melangkah kearah Nisa kemu
Satu bulanpun berlalu..Pras sudah mulai terbiasa dengan kehidupan rumah tangganya bersama Aruna dan Nisa, meskipun demikian Seluruh cintanya masih untuk Aruna, tidak ada niat sedikitpun membagi cintanya untuk perempuan lain, Andai Aruna tahu hingga saat ini Pras masih belum bisa memberikan hak Nisa, pastilah Aruna akan sangat kecewa.Hari ini Pras menjemput Aruna sebelum berangkat kekantor tanpa sepengetahuan Nisa, sejak semalam Nisa kurang enak badan dan Pras tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, jadi dia meminta Aruna untuk menemani Nisa dirumah."Mas berangkat ya, dek?" ujar Pras sambil mengulurkan tangannya, dia juga ikut turun dari mobil, mengantar Aruna sampai didepan pintu."Nggak pamit dulu sama Nisa?" tanya Aruna, lalu mencium punggung tangan suaminya."Tidak usah, pasti Nisa masih tidur." Pras mencium kening Aruna cukup lama, rasa rindunya cukup terobati dengan kehadiran istrinya saat ini.Disisi lain Nisa memegang dad
Sesuai kesepakatanku bersama Aruna, mulai malam ini dan tiga hari kedepan aku akan pulang kerumah Nisa.Aku juga tidak ingin mempersulit Aruna lagi, sudah cukup airmata yang telah ia keluarkan, dan sekarang sudah kuputuskan aku akan mengikuti apa yang telah direncanakan oleh Aruna sebelumnya."Nis, ada yang ingin mas bicarakan?" ujarku, sekarang kami sedang duduk dibalkon lantai dua rumah Nisa."Apa, mas?" jawab Nisa menatapku sebentar lalu beralih menatap kedepan."Sebelumnya maaf atas tindakan mas yang mungkin telah melukai hati kamu selama ini.""Mulai sekarang mas akan berusaha untuk menerima status pernikahan kita, dan mas akan bertanggung jawab untuk kehidupanmu selanjutnya.""Tapi ...? ehm ... Pras menjeda ucapannya, sambil memikirkan kata-kata yang akan dia sampaikan agar tidak menyinggung perasaan Nisa."Dan untuk yang terjadi diantara kita beberapa waktu lalu mas benar-benar minta maaf, mas dibawah pengaruh minuman waktu itu." Pras berusaha untuk tetap tenang meskipun kecang
senyum yang sedari tadi merekah akhirnya sirna saat melihat wanita yang duduk bersama Aruna, bukannya aku membenci Nisa tapi karena hadirnya dirinya diantara kami membuat hubungan yang selalu harmonis kini menjadi berantakan, tidak adalagi kudapatkan senyum termanis dari raut istriku, manjanya yang selalu mengisi hari-hariku kini ikut lenyap bersama lukanya.Kuhembuskan nafas kasar lalu kembali melangkah menghampiri mereka, kutampilkan senyuman terbaikku untuk Aruna tapi dia hanya menanggapi dengan senyuman tipis, sedangkan Nisa hanya menatapku sekilas lalu menundukkan pandangannya, fikiranku kembali ke kejadian semalam, perihal itu belum aku tanyakan kepada Aruna, aku sangat yakin Aruna memberikan aku sesuatu obat sehingga aku bisa melakukannya bersama Nisa.Entah marah atau benci istri yang berstatuskan istri keduaku ini, tapi saat itu fikiran kalut dan bercampur rasa bersalah terhadap Aruna membuatku meninggalkan dia sendirian tanpa permintaan maaf sekalipun."Mas mau pesan apa? Sua
Selepas kepergian mas Pras kekantor, ponselku berdering, nama Nisa tertera disana, kuhembuskan nafas perlahan lalu mengangkat panggilan dari gawaiku."Assalamu'alaikum, mbak?" salam Nisa diseberang sana."Waalaikumsalam." balasku."Mbak, mas Pras ada disana nggak?" tanya Nisa daei nada bicaranya terdengar dia sangat mengkhawatirkan mas Pras."Barusan berangkat kekantor." jawabku."Syukurlah." ucapnya lega."Aku hanya khawatir, takutnya terjadi apa-apa dengannya dijalan." timpal Nisa.Dadaku berdesir kala mendengar ada wanita lain yang mengkhawatirkan suamiku, sesak didada tidak bisa kusembunyikan, aku mendongakkan kepala keatas menahan airmata ini agar tidak tumpah."Semalam mas Pras mabuk, mbak! aku sudah mencoba menghubungi nomor mbak tapi tidak dijawab." Nisa berkata panjang lebar."Aku sudah tidur." jawabku singkat."Mbak tutup dulu ya, masih banyak kerjaan." padahal itu hanya alasanku saja, aku tidak ongin berlama-lama berbicara dengan Nisa, itu hanya akan membuat luka yang sempa