Disinilah kami sekarang, berhadapan dengan Nisa teman sepantiku, wanita bergamis ini terlihat anggun dan berwibawa, aku tidak menyangka akan bertemu dengan Nisa lagi, apa mungkin Allah mengutuskan dia untuk menjadi penolong dalam masalahku.
Sepertinya gamis dengan stelan hijab panjang tidak mengganggu aktivitasnya sama sekali, bahkan aku sangaat mengagumi penampilannya, Nisa terlihat anggun dalam balutan gamis tersebut.Akupun sama juga memakai hijab, tapi aku lebih menyukai stelan tunik dipadankan dengan pasmina, karena bagiku sangat simpel."Maaf, Runa! Aku tidak bisa, aku tidak mungkin menjadi duri didalam pernikahan kalian." ujar Nisa saat aku mengatakan tujuanku, aku memang mengatakan niatku secara langsung, tidak ada yang kututup-tutupi.Mas Pras hanya diam tanpa melepaskan genggaman tangan ini, bisa kulihat dari ekor mataku, Nisa selalu menundukkan pandangannya saat berbicara kepadaku, mungkin karena ada mas Pras disebelahku.Wanita seperti inilah yang aku inginkan, aku tidak ingin salah memilih, karena nantinya akan hidup berdampingan denganku."Tapi Nis, aku tidak bisa merelakan suamiku untuk wanita yang belum kukenal, bagaimana jika wanita tersebut ingin merampas suamiku lalu mendepakku?" ujarku penuh permohonan, aku tidak ingin bernasib sama dengan pemeran wanita di novel-novel yang telah kubaca."Lalu bagaimana jika aku yang merampasnya?" tanya Nisa serius menatap kemanikku."Apa kamu sudah memikirkannya, Run? Ini tidak semudah yang terlihat, jangan sampai hubungan kita hancur hanya karena masalah ini." ujar Nisa memberi pengertian."Aku tahu kamu bukan wanita seperti itu." aku balas menatap Nisa, meskipun hati ini berontak tidak mempercayai ucapanku sendiri."Maaf, Run! Aku tidak bisa, aku tidak ingin menjadi pelakor untuk temanku sendiri.""Kalau begitu aku pamit!" ujar Nisa lalu bangkit dari duduknya."Nis, aku mohon?" ucapku mengiba kearah Nisa."Dek, jangan memaksa!" pinta Pras menghentikan aksi istrinya."Tapi mas, hanya Nisa yang bisa kupercaya, aku tidak bisa menemukan wanita lain." ujar Aruna prustasi."Sekali lagi maaf ya, Run! Aku benar-benar tidak bisa." Nisa menangkup kedua tangannya didepan dada lalu beranjak meninggalkan kami."Mas tunggu disini?" pintaku lalu gegas menyusul Nisa."Nis, Nisa! Panggilku membuat wanita itu menghentikan langkahnya."Cukup, Runa! Apa kamu sadar apa yang kamu lakukan sekarang?" tanya Nisa."Aku tidak punya pilihan lain, Nis! Andai papa meminta nyawaku sebagai gantinya aku bersedia memberikannya untuk papa, tapi papa tidak menginginkan itu.""Bagaimana jika aku juga tidak bisa memberikan keturunan? Apa kalian memikirkannya sampai sejauh itu?" tanya Nisa."Papa sudah memikirkannya, jika tidak berhasil juga, papa akan pergi de-dengan tenang." ujar ku tergugu saat mengucapkan kata tersebut, airmata ini tidak bisa kutahan, aku mengusap kasar airmataku meskipun airmata tersebut jatuh kembali membasahi pipiku."Usia papa mertuaku tidak lama lagi, Nis! Dan aku hanya memiliki mereka.""Kamu pasti tahu bagaimana mereka memperlakukan sejak kecil, mereka memberikanku kasih sayang layaknya anak mereka sendiri.""Aku akan melakukan apa saja untuk kebahagiaan mereka, meskipun kebahagiaanku taruhannya." isakku, semoga saja Nisa mau mengerti.Helaan nafas kasar bisa kudengar dari wanita bergamis ini, cukup lama dia terdiam lalu kembali menatapku."Aku tidak ingin masalah ini menjadi retaknya pertemanan kita, Run!" ujar Nisa."Dan pernikahan bukanlah permainan, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku, apa kamu mau berbagi suami denganku selamanya?" tanya Nisa menatapku dalam."A-aku ... Aku menarik nafas dalam, lalu menatap kemanik hitam Nisa."Aku bersedia, Nis! ucapku sekali tarikan nafas, demi papa, apapun akan aku lakukan.Akhirnya aku membawa kembali Nisa kehadapan mas Pras."Mas, Nisa sudah setuju." ujarku kembali duduk disamping suamiku.Nisa tidak pernah menegakan pandangannya meskipun sebentar lagi mas Pras akan menjadi suaminya juga."Kita kerumah sakit sekarang, sekalian ajak Nisa." ujar Aruna.Pras hanya mengangguk, berkatapun percuma Aruna tidak akan mendengarkannya, meskipun lukanya berdarah-darah jika menyangkut kebahagiaan orang terkasihnya Aruna akan melakukan apapun, Pras sangat mengenal sikap itu.****Satu minggu dirawat keadaan papa mulai membaik meskipun harus duduk dikursi roda. Nisa sudah kuperkenalkan, dan diluar dugaanku papa langsung meminta agar pernikahan mereka segera dilangsungkan.Mas Pras kembali menolak saat kami dikamar berdua, dia tidak bisa membagi hati ataupun tubuhnya dengan wanita lain, dan aku tahu cintanya untukku begitu besar.Andai ini bukan permintaaan terakhir papa, mungkin aku akan menjadi wanita paling bahagia dimuka bumi, memiliki suami yang mengagung tinggi derajat seorang istri memberikannya cinta yang berlimpah.Tapi pil pahit serasa empedu kutelan sendiri, permintaan papa bagaikan sebuah perintah untukku, dan aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, terlihat setelah seminggu yang lalu aku meperkenalkan Nisa keadaannya berangsur membaik.Papa menggantungkan harapannya kepada Nisa dan mas Pras, tapi apakah papa lupa jika yang mampu mewujudkan keinginannya hanya sang pencipta.Tapi kata-kata itu hanya tercekat ditenggorokan, aku tidak ingin menyinggung perasaannya.Sehari sebelum ijab kabul aku meminta Nisa menginap dirumah orangtua mas Pras begitupun kami.Tidak banyak yang dipersiapkan karena yang hadir hanya beberapa keluarga inti dan beberapa orang saksi.Aku menatap Nisa, dia begitu cantik dalam balutan baju pengantin yang didesain khusus untuk wanita yang menggunakan gamis seperti Nisa karena memang aku mengundang perancang ternama untuk membuatnya.Ini pernikahan pertama untuk Nisa, aku tidak mungkin membiarkannya menikah dengan berpakaian biasa-biasa saja, Nisa sudah merelakan kebahagiaannya sendiri demi membantuku dan bukankah sudah seharusnya aku membalas kebaikannya.Aku hanya bisa tertawa miris, aku mempersiapkan pernikahan suamiku sendiri dengan wanita lain, entah Kenapa airmata ini enggan keluar apa mereka sudah lelah menemani kesedihanku.Menggandeng tangan Nisa melangkah keruangan ijab kabul yang sudah dipersiapkan, disana sudah duduk suamiku dengan stelan jas senada dengan baju yang dipakai Nisa.Hati ini terkoyak kala menyaksikan pemandangam didepan mata, tapi aku tidak boleh menangis dihadapan papa, dalam hitungan menit Suamiku akan mengucapkan janji suci dihadapan semua orang terutama dihadapan sang pencipta.Tatapan mas Pras tidak beralih menatapku, aku tahu lelakiku juga sama terlukanya, tapi kami tidak bisa melakukan apa-apa.Aku mengantar Nisa sampai duduk disisi mas Pras, saat akan beranjak mas Pras menahan tanganku."Temani mas, dek?" ucapnya."A-aku tidak bisa, mas! Jangan paksa aku untuk menyaksikan semua ini." susah payah aku menahan tangis ini agar tidak runtuh.Perlahan pegangan tangan mas Pras mengendur, aku berlari kecil menuju kamarku, pertahananku runtuh seketika, entah apa yang terjadi diluar sana aku tidak ingin tahu.Aku memukul keras dada ini, sesak sekali, sesakit inikah mencintai, itulah sebabnya Allah tidak memperbolehkan kita mencintai mahkluknya melebihi cinta kepada-Nya, tapi aku hanya manusia biasa yang tidak bisa menahan perasaan ini.BY : NOUVALLIN30Aku merasakan pelukan hangat seseorang saat mengerjabkan mata ini, perlahan membuka mata karena kepalaku terasa begitu berat.Aku melirik jam didinding, astahhfirullah! Ternyata hari sudah malam, aku melewati 3 waktu shalat, acara ijab pukul 10 pagi dan sekarang sudah memasuki waktu isya.Mungkin karena pergerakanku, mas Pras terbangun tanpa memalingkan tatapannya dari wajahku."Kenapa tidak membangunkanku." balasku menatapnya, mas Pras semakin mengeratkan pelukannya saat aku ingin beranjak."Mas tahu aku melewatkan waktu shalatku." Pras menatap wajah istrinya, meskipun Aruna marah tapi dimatanya itu ekspresi yang sangat menggemaskan.Pras langsung mencuri kecupan dibibir tipis istrinya dan membuat yang empunya melotot."Mas sangat mencintaimu, dek!" balas Pras."Bukankah mas seharusnya dikamar Nisa?" Aruna menautkan Alisnya, tanpa menjawab pernyataan cinta suaminya, dia tidak boleh egois bagaimanapun Pras bukan miliknya
Setelah berberes aku dan Nisa menyusul keruang tamu, kulihat wajah mas Pras memerah seperti tengah meredam amarah, apa mereka habis berdebat."Run, papa ingin kekamar?" pinta papa saat aku baru saja sampai disana, keningku mengkerut menatap mas Pras."Berhenti meracuni Aruna, pa? Papa tidak tahu bagaimana terlukanya Aruna." tukas mas Pras, aku bingung tidak mengerti arah pembicaraan mereka."Mas! Aku mendelikkan mata kearah mas Pras, aku hanya tidak inhin jika keadaan papa drop lagi."Biar Aruna antar, pa!" balasku seraya mendorong kursi roda, mama menyusul dibelakangku.Aku dan mama membantu papa berbaring ditempat tidur saat sampai dikamar."Run, maafkan papa?" ujar sang papa.Aku tersenyum lalu duduk disisi ranjang membawa tangan pria paruh baya tersebut kedalam genggamanku."Tidak ada yang perlu dimaafkan, pa! Aruna ikhlas." ujar Aruna, kebahagiaan sang papa adalah yang utama baginya."Papa istiraha
Vop NisaHari pertama aku menginjakkan kembali kaki ini dikota dimana aku dibesarkan.Karena kegigihan dan tekadku untuk sukses, disini lah aku sekarang, aku sudah bisa membeli sebuah ruko untuk tempat tinggalku sekalian membuka tokoh pakaian muslimah didepannya dengan hasil jerih payahku.Saat berberes satu pesan masuk diponselku, notif pesan keakun disalah satu aplikasi diponselku,Saat kubuka ternyata pesan dari Aruna teman kecilku saat masih dipanti.Aruna mengajakku bertemu, dan tentunya aku langsung mengiyakan karena aku juga sangat merindukan anak itu.Nasibku tidak seberuntung Aruna, saat lulus sekolah dia langsung dipinang oleh salah satu donatur tetap dipanti tempat kami tinggal untuk anak semata wayang mereka.Aruna tidak perlu banting tulang sepertiku karena yang meminangnya orang terpandang dikota ini, dan memang sedari kecil keluarga pak Gunawan memang sangat menyayangi Aruna diantara puluhan anak Panti lainnya.
Deru suara mesin mobil berhenti didepan rumah, bisa kutebak mas Pras pasti akan kembali, aku hanya bisa menghembuskan nafas kasar, bingung! bagaimana cara menyampaikannya lagi kepada mas Pras.Sekarang dia tidak hanya memilikiku sebagai istrinya tapi diluar sana juga ada wanita lain yang sama berhaknya seperti diriku, dia harus berlaku adil, ini bukan hanya tentang keadilan tapi janjiku terhadap sang papa harus segera terwujud jika mas Pras menundanya keingin papa pasti akan tertunda lagi, aku tidak mau jika kondisi papa memburuk kembali.Biarlah diri ini menangis darah melihat suamiku bersama istri keduanya, asalkan aku masih bisa melihat senyuman selalu terbit dibibir sang papa.Aku langsung berlari kecil menuju kamar, tidak ingin mas Pras melihat kesedihanku, jika dia melihatnya pasti dia akan merasa bersalah karena tidak becus menjadi kepala rumah tangga.Aku berpura-pura memejamkan mata ini saat mendengar suara langkah kaki perlahan mendekat
Mobil berbelok memasuki halaman rumah, kami berlari masuk kedalam, tangisan mama terdengar sampai keambang pintu.Papa dibopong oleh mang adi dan pak jono keluar dari kamar, lalu disusul mama yang tengah menangis dibelakangnya.Mama menghamburkan tubuhnya kedalam pelukanku sedangkan mas Pras membantu mereka membawa papa kedalam mobil."Tenanglah, ma! Runa yakin papa pasti kuat." ujarku menenangkan mama meskipun hati ini tidak begitu yakin dengan ucapan sendiri.Mama hanya mengangguk, kami menyusul mas Pras kemobil lalu masuk kedalamnya, aku meminta mama duduk disisi mas Pras karena bisa kulihat tubuh lemahnya sedangkan aku duduk dikursi belakang meletakan kepala papa dipangkuanku.Pras melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi, panik tentu tapi dia berusaha mengendalikan kecemasannya agar tidak terjadi hal yang membahayakan saat didalam perjalanan, terutama dimobil ada orang-orang terkasihnya.Aku kembali menghubungi Nisa memin
"Mas ..." Nisa melambaikan tangannya didepan wajah Pras."I-iya! kenapa?" ujar Pras tersentak."Mas butuh sesuatu?" tanya Nisa lagi."Tidak! cepatlah kasihan Aruna sendirian dirumah sakit." Ujar Pras lalu berbalik meninggalkan Nisa yang masih terpaku menatap punggung lelaki yang bergelar suaminya tersebut.Aku tidak mengapa jika kamu tidak mencintaiku, mas! akupun juga tidak mengapa jika kamu tidak bisa memberikan hakku sebagai istrimu, tapi aku hanya minta hargai statusku yang telah menjadi istrimu meskipun tidak ada cinta didalam pernikahan ini tapi naluriku sebagai seorang istri begitu terluka saat diperlakukan tidak adil seperti ini.Aku tahu, cintamu sepenuhnya tlah dimiliki oleh sosok Aruna seorang, tapi aku hanya minta jangan perlakukan aku seperti orang asing, Nisa hanya mampu berucap didalam hati, tidak berani mengungkapkan isi hatinya.Sedangkan Pras kembali duduk diruang tamu, sebenarnya dia ingin membahas masalah yang
Berat sekali rasanya mata ini untuk terbuka, tapi perdebatan suara yang tidak asing membuatku harus tetap membuka mata ini.Saat kesadaran ini semakin pulih, kulihat wajah mas Pras yang tampak sangat kacau, dia mengusap kasar wajahnya didepan dokter yang tengah menangani papa tadi.Kulirik jam diponselku yang berada diatas nakas, astaghfirullah! sudah pukul 5 pagi, itu artinya aku tertidur cukup lama.Ku urungkan niatku yang ingin bertanya tentang apa yang mas Pras bicarakan dengan dokter karena aku harus menunaikan shalat subuh di mushola yang berada dirumah sakit ini, aku tidak mungkin mengerjakannya diruangan ini karena memang aku tidak sempat membawa perlengkapan shalat."Dek, kamu sudah bangun?" tanya mas Pras seraya mendekat kearahku, aku membalasnya dengan anggukan."Mas aku shalat dulu, mas sudah shalat belum?" tanyaku."Iya, dek! mas baru saja selesai." balas Pras."Emm ... itu mas!" ucapanku terhenti kala mata
"Assalamualaikum?" jawab salam seseorang diluar sana, obrolan kami terhenti.Nisa melangkah masuk kedalam ruangan ditangannya menenteng beberaps kantong kresek, aku celingukan mencari keberadaan mas Pras lalu beralih menatap Nisa."Mas Pras mana?" tanyaku."Ah ... anu mbak mas Pras tidak pergi bersamaku." ujar Nisa sambil mengeluarkan makanan dari kantong yang dia bawa lalu menatanya diatas meja."Bukannya tadi kalian pergi bersama?" sahut mama dengan kerutan dikeningnya."Enggak jadi, ma! sepertinya mas Pras ada urusan mendadak jadi dia memintaku yang membelikan sarapan untuk kita." balas Nisa polos."Astaghfirullah." ucapku, sekali lagi aku berfikiran negatif dengan mas Pras, aku fikir mas Pras telah membuka hatinya untuk Nisa."Ma, mbak! mari silahkan dimakan, nanti keburu dingin." pinta Nisa, aku benar-benar tidak bisa membaca fikiran wanita ini, dia terlihat baik-baik saja ketika suami yang telah mengucapkan namanya didalam ijab kabul itu terus mengabaikan keberadaannya.Kami men
"Ma-maksud kamu apa, mbak?" Nisa berbicara dengan suara terbata. "Apa ini wujud aslimu?" ulangku lagi seraya mendekatkan wajah kami, menatap wajah polos wanita yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Apa yang dikatakan Siska ada benarnya, aku saja yang baru menyadarinya, ternyata hati seseorang tidak bisa kita nilai hanya dari penampilannya saja. "Mbak...! kita sama-sama besar dipanti asuhan, dan sudah merasakan bagaimana rasanya tidak memiliki orangtua, apa mbak tidak kasihan sama anak yang ada dikandunganku?" perkataan Nisa membuyarkan lamunanku. "Lalu?" tanyaku dengan alis bertaut. "Aku tidak ingin anak ini bernasib sama seperti kita, mbak!" lanjut Nisa dengan tatapan sendu. "To the poin saja, Nis! kamu ingin aku yang mundur bukan?" "Sepertinya kamu sudah mulai lupa apa dan kenapa kamu bisa berada ditengah-tengah kami! aku ingatkan sekali lagi, kamu berada disini hanya untuk memberikan anak untuk
"Lebih baik Nisa tinggal dirumah kalian saja." ujar Pras terang-terangan saat sudah berada dikamar kedua orangtuanya. "Mana bisa begitu, Pras! Nisa lebih membutuhkan kamu." balas mama penuh penekanan. "Jika mama masih bersikeras, biar aku dan Aruna saja yang keluar dari rumah ini." ancam Pras. "Secepat itukah kasih sayang mama berubah untuk Aruna? bahkan mama tidak peduli lagi bagaimana terlukanya Aruna oleh prilaku dan ucapan mama." "Pras ..." bentak mama menatap nanar kearahku putra semata wayangnya. "Apa yang sedang kalian perdebatkan?" timpal Papa, sepertinya tidurnya terganggu oleh perdebatan kami. "Pras menolak Nisa tinggal disini, pa! jika mereka tinggal bersama bukankah jauh lebih baik, Pras bisa memantau Nisa setiap saat dan disini juga ada Aruna yang bisa menjaganya." jelas mama. "Nggak bisa ma! besok mama ajak Nisa tinggal bersama kalian, kalau tidak biarkan dia kembali kerumahnya, aku akan menye
Pras, Runa! kemarilah, ada yang ingin mama bicarakan?" panggil mama saat kami baru saja menginjakkan kaki didalam rumah.Keningku langsung mengkerut saat melihat Nisa berada dirumah kami, kenapa mas Pras membawanya kemari? gumamku.Disini hanya ada mama dan Nisa, dan sepertinya papa sedang beristirahat dikamar."Jadi begini ..." mama menjeda perkataannya sejenak, tatapannya terarah kearahku."Sebaiknya selama Nisa hamil biarkan dia tinggal dirumah kalian." Lanjutnya kemudian, aku masih menatap dalam kearah mama, apa ini wanita yang telah kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri? bahkan sedikitpun dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku saat ini, dia hanya memikirkan calon cucunya yang ada dirahim menantu keduanya."Kalian tahu sendirikan keadaan Nisa bagaimana, jika dia tinggal sendirian mama takut terjadi apa-apa dengan dia dan kandungannya." ujar mama kemudian yang terlihat jelas kecemasan dari raut wajahnya."Aku tidak setuju,
Bukan tanpa alasan aku menilai istri kedua dari Pras yang baru saja kuketahui, mungkin dia mengira hubunganku dengan Aruna hanya sebatas antara dokter dan pasien.Saat Pras dan keluarganya menyadari jika Aruna sudah tidak berada diruangan, wanita itu langsung menghentikan Pras yang hendak mencari Aruna keluar, wanita itu beralibi jika tubuhnya sangat lemas dan ingin segera beristirahat, apa seperti itu sikap wanita yang baik menurut Aruna?Lagu lama ... mungkin dia bisa membohongi Pras dengan keluarganya tapi tidak denganku, ternyata penampilan dan hati wanita ini sangat bertolak belakang.Dan untuk saat ini aku memilih untuk tidak menceritakan perihal yang terjadi didalam ruangan tadi, nanti jika waktunya sudah tepat aku akan memberitahu Aruna siapa sebenarnya wanita yang dia bawa ketengah-tengah mereka, dab akupun tidak ingin menambah beban fikiran Aruna."Sis ... Siska! malah bengong." lamunanku tersentak saat Aruna memanggil sembari melambaika
"Ini beneran?" tanya Pras lagi, Dokter Siska menjawab dengan anggukan, Pras masih belum percaya jika ketidaksengajaan yang telah terjadi beberapa waktu lalu antara mereka membuahkan hasil, itu artinya dia tidak harus berpura-pura lagi dihadapan istrinya Aruna, jujur saja selama ini Pras merasa tertekan dengan hubungannya bersama Nisa, meskipun dia mengatakan akan berusaha untuk menerima kehadiran istri keduanya nyatanya Pras tidak bisa, dan semua yang dia lakukan selama ini semata-mata demi Aruna.Papa menghapus sudut matanya yang mengembun, pastinya airmata kebahagiaan, sedangkan mama langsung memeluk tubuh Nisa."Jadi a-aku hamil, dok?" tanya Nisa setelah mama melepaskan pelukannya."Benar, buk!" jawab Siska.Nisa menangis sambil mengelus perutnya yang masih rata, tidak bisa kubohongi perasaan ini jika ada rasa iri yang bersarang, tapi sebisa mungkin kutepiskan rasa itu.Mereka semua larut dalam kebahagiaan, mengelilingi Nisa tidak terkecuali mas Pras.Pras melangkah kearah Nisa kemu
Satu bulanpun berlalu..Pras sudah mulai terbiasa dengan kehidupan rumah tangganya bersama Aruna dan Nisa, meskipun demikian Seluruh cintanya masih untuk Aruna, tidak ada niat sedikitpun membagi cintanya untuk perempuan lain, Andai Aruna tahu hingga saat ini Pras masih belum bisa memberikan hak Nisa, pastilah Aruna akan sangat kecewa.Hari ini Pras menjemput Aruna sebelum berangkat kekantor tanpa sepengetahuan Nisa, sejak semalam Nisa kurang enak badan dan Pras tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, jadi dia meminta Aruna untuk menemani Nisa dirumah."Mas berangkat ya, dek?" ujar Pras sambil mengulurkan tangannya, dia juga ikut turun dari mobil, mengantar Aruna sampai didepan pintu."Nggak pamit dulu sama Nisa?" tanya Aruna, lalu mencium punggung tangan suaminya."Tidak usah, pasti Nisa masih tidur." Pras mencium kening Aruna cukup lama, rasa rindunya cukup terobati dengan kehadiran istrinya saat ini.Disisi lain Nisa memegang dad
Sesuai kesepakatanku bersama Aruna, mulai malam ini dan tiga hari kedepan aku akan pulang kerumah Nisa.Aku juga tidak ingin mempersulit Aruna lagi, sudah cukup airmata yang telah ia keluarkan, dan sekarang sudah kuputuskan aku akan mengikuti apa yang telah direncanakan oleh Aruna sebelumnya."Nis, ada yang ingin mas bicarakan?" ujarku, sekarang kami sedang duduk dibalkon lantai dua rumah Nisa."Apa, mas?" jawab Nisa menatapku sebentar lalu beralih menatap kedepan."Sebelumnya maaf atas tindakan mas yang mungkin telah melukai hati kamu selama ini.""Mulai sekarang mas akan berusaha untuk menerima status pernikahan kita, dan mas akan bertanggung jawab untuk kehidupanmu selanjutnya.""Tapi ...? ehm ... Pras menjeda ucapannya, sambil memikirkan kata-kata yang akan dia sampaikan agar tidak menyinggung perasaan Nisa."Dan untuk yang terjadi diantara kita beberapa waktu lalu mas benar-benar minta maaf, mas dibawah pengaruh minuman waktu itu." Pras berusaha untuk tetap tenang meskipun kecang
senyum yang sedari tadi merekah akhirnya sirna saat melihat wanita yang duduk bersama Aruna, bukannya aku membenci Nisa tapi karena hadirnya dirinya diantara kami membuat hubungan yang selalu harmonis kini menjadi berantakan, tidak adalagi kudapatkan senyum termanis dari raut istriku, manjanya yang selalu mengisi hari-hariku kini ikut lenyap bersama lukanya.Kuhembuskan nafas kasar lalu kembali melangkah menghampiri mereka, kutampilkan senyuman terbaikku untuk Aruna tapi dia hanya menanggapi dengan senyuman tipis, sedangkan Nisa hanya menatapku sekilas lalu menundukkan pandangannya, fikiranku kembali ke kejadian semalam, perihal itu belum aku tanyakan kepada Aruna, aku sangat yakin Aruna memberikan aku sesuatu obat sehingga aku bisa melakukannya bersama Nisa.Entah marah atau benci istri yang berstatuskan istri keduaku ini, tapi saat itu fikiran kalut dan bercampur rasa bersalah terhadap Aruna membuatku meninggalkan dia sendirian tanpa permintaan maaf sekalipun."Mas mau pesan apa? Sua
Selepas kepergian mas Pras kekantor, ponselku berdering, nama Nisa tertera disana, kuhembuskan nafas perlahan lalu mengangkat panggilan dari gawaiku."Assalamu'alaikum, mbak?" salam Nisa diseberang sana."Waalaikumsalam." balasku."Mbak, mas Pras ada disana nggak?" tanya Nisa daei nada bicaranya terdengar dia sangat mengkhawatirkan mas Pras."Barusan berangkat kekantor." jawabku."Syukurlah." ucapnya lega."Aku hanya khawatir, takutnya terjadi apa-apa dengannya dijalan." timpal Nisa.Dadaku berdesir kala mendengar ada wanita lain yang mengkhawatirkan suamiku, sesak didada tidak bisa kusembunyikan, aku mendongakkan kepala keatas menahan airmata ini agar tidak tumpah."Semalam mas Pras mabuk, mbak! aku sudah mencoba menghubungi nomor mbak tapi tidak dijawab." Nisa berkata panjang lebar."Aku sudah tidur." jawabku singkat."Mbak tutup dulu ya, masih banyak kerjaan." padahal itu hanya alasanku saja, aku tidak ongin berlama-lama berbicara dengan Nisa, itu hanya akan membuat luka yang sempa