Rasa takut terus menghantui bahkan sampai mendatangiku di alam mimpi. Ya mimpi buruk tentunya. Mimpi di mana ketika aku sudah sangat mencintai dan menyayangi Indah, tiba-tiba saja Mawar mengambilnya. Sungguh jahat.
“Untung cuman mimpi,” kataku yang sudah berkeringat panas dan dingin.
Kutatap jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku baru ingat jika aku belum makan sejak tadi siang.
Kutinggalkan Indah yang tertidur lelap, lalu kupergi ke dapur. Serangan malam seperti ini memang sering terjadi dan aku pun untungnya selalu menyediakan mie instan sebagai ‘jalan jinjaku’.
Mie hangat dengan telur. Sebenarnya makanan itu adalah memang makanan favoritku. Ya, itu jadi favorit sesaat setelah Mas Kamal sering pergi. Pergi meninggalkanku tanpa uang sepeser pun. Makanya aku harus irit dan jarang makan royal.
Setelah kurasa perutku kenyang, aku pun menonton TV. Sengaja volume-nya pun tak begitu besar karena takut membangunkan Inda
Setelah mendapatkan uang, aku pun segera pergi. Rasanya aku benar-benar ingin terbang menjauh dari orang yang selalu membuatku naik darah itu.Keringat mulai bercucuran. Ya, mungkin ini akibat dari jarangnya aku berolahraga hingga baru berjalan beberapa meter saja, aku sudah terasa sangat kelelahan.“Gorengan ...!”Suara ini begitu bergetar. Aku sempat minum sebelumnya tadi karena tenggorokan ini mulai kering. Indah tampak nyaman dalam gendongan.“Anak pintar,” ucapku sambil terus berjalan.Tanpa disadari, langkah ini ternyata membawaku ke sebuah tempat yang tak asing. Di sana ada mobil dan ada orang yang kini sangat membenciku.“Mas Rendi,” ucapku pelan. Aku berdiri mematung.Mas Rendi pun menghentikan aktivitasnya yang sedang mengelap kendaraan kesayangannya itu. Ia menatap ke arahku. Bukan, maksudku kepada kami, aku dan Indah.Entah kenapa, aku merasa jika hati ini seolah ingin sekali kembali menjalin hub
Suara pintu diketuk berulang kali hingga membangunkanku. Segera kubangkit dari tempat ternyaman itu. Rasanya memang sulit meninggalkan kasur yang empuk kesayanganku.Mata kukerjapkan. Menguap beberapa kali. Meregangkan ototku yang kaku. Kemudian kupakai sandal jepit agar kakiku tak kedinginan saat bersentuhan dengan lantai keramik."Anita, buka Sayang! Mas pulang!" teriak seseorang dari luar. Ia menggedor pintu sangat keras. Hingga memekikkan telinga ini.“Iya, Mas. Tunggu sebentar!” sahutku dari dalam.Ya, namaku adalah Anita. Aku seorang ibu rumah tangga biasa. Tapi apakah aku bisa disebut seorang ibu rumah tangga sementara aku tidak akan dikaruniai anak? Kata Dokter sih, aku mandul. Tapi aku masih berharap akan ada keajaiban.Kuikat rambutku yang terurai dan kem
"Mawar masuk!"Mas Kamal menyuruh wanita yang bernama Mawar itu masuk ke dalam rumah. Ia pun mengantarnya ke kamar yang biasa tamu gunakan.Sementara itu, aku hanya berdiri sambil memperhatikan gerak-gerik keduanya. Kulihat Mas Kamal membantu Mawar untuk membaringkan tubuhnya. Ia pun menyelimutinya juga."Astaga ... sudahlah, Mas! Dia juga 'kan bisa sendiri," dengkusku kesal. Ia begitu perhatiannya kepada wanita yang baru kukenal itu."Iya, Sayang. Sebentar," sahut Mas Kamal."Ayo kita tidur!" ajaknya padaku. Mas Kamal menggiringku ke kamar. Ia memegang kedua pundakku.Kami berada di kamar. Mas Kamal berbaring di kasur sedangkan aku duduk bersandar pada bantal.Sebersit pemikiranku bekerja. Kuolah hingga menjadi
Aku pergi ke dapur dan mendengar suara air mengalir. Memang biasanya letak dapur tidak jauh dari letak kamar mandi."Apa Mas Kamal lupa matiin keran?" pikirku.Saat hendak membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba Mawar yang keluar. Aku terkejut dan segera mengambil langkah mundur."Mbak! Mbak belum masak, ya?" tanyanya. Rambutnya masih bercucuran air."Aku ... baru pulang dari pasar," jawabku agak kaku."Mbak, aku laper," katanya sambil memegang perutnya yang terhalang handuk itu."Ka-kalau begitu aku masak dulu.” Aku masih terbata-bata. Rasanya agak sulit untuk berucap dengan orang yang baru kukenal."Iya deh, Mbak. Oh iya, Mbak punya baju gede, ga?" Mawar terlihat kedinginan.
Mas Kamal meraih dan menggenggam tanganku. "Iya, Pak. Dia istriku,” jawabnya.Aku tersenyum, bahagia mendengar pengakuannya. “Kupikir dia tidak akan mengakui statusku,” batinku.Aku sudah berpikiran negatif dan takut diakui sebagai seorang asisten rumah tangganya saja.Pak Yanto terus memperhatikanku. Matanya tak beralih sedetikpun. Ia seperti tak suka jika aku diakui sebagai istri Mas Kamal juga."Oh, cantik juga. Ya ... tapi masih cantikan anak Bapak. Oh iya, Mawar mana?" Matanya berkeliaran mencari kesana-kemari.Aku tak suka dibanding-bandingkan seperti itu. Aku mengerucutkan bibirku. Jengkel."Di kamar, Pak,” jawab suamiku. Ia tak peduli jika istrinya sedang dibanding-bandingkan dan malah menyuruhku, "An, panggil Maw
Setelah selesai makan, Pak Yanto dan Mas Kamal berbincang di teras rumah sambil melihat turunnya hujan. Kubuatkan kopi untuk Pak Yanto dan segelas susu untuk suamiku. Sementara Mawar dan Ibunya masuk ke dalam kamar.Aku kembali ke dapur dan merapikan piring bekas makan. Kucuci semuanya sampai bersih."Masa aku harus tinggal serumah dengan kedua orang tua Mawar juga?" gerutuku.Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil mengelap meja makan. "Apa aku menginap dulu di rumah Mas Rendi? Mmm ... apa ga ada jalan lain?” pikirku."Ga mungkin. Masa aku nyerahin Mas Kamal gitu aja? Dia 'kan suamiku. Kalau aku pergi, ya ... sama aja aku kalah. Engga, ga mau aku kalau sampai jadi janda.” Kugosok nasi yang menempel di meja. Sudah lengket."Mas Kamal ada-ada aja, sih! Pake bawa Mawar ke rumah lagi. Jadi repot 'kan?!" Peluhku berjatuhan.Pukul dua siang aku tidur karena lelah dan mengantuk. Lalu pukul lima sore aku bangun dan kudengar suara hujan masih saja turun.
"Ah, bukan apa-apa, An!" ucap Mas Kamal. Ia mendorong tubuhku pelan. Memisahkan ketegangan di antara kami. Ya, maksudku ketegangan di antara aku dan Mawar."Apanya yang bukan apa-apa?" Aku kesal.Mawar menatapku penuh kebencian. Begitu pun aku yang tak kalah membenci dirinya. Aku jijik melihat wajahnya."Udahlah, Mas capek! Punggung Mas pegal.” Mas Kamal menjatuhkan bobot tubuhnya di atas tempat tidur. Ia benar-benar terlihat malas mendengar pertengkaran kami."Ya udah Mas, biar Mawar pijitin," saran Mawar. Ia duduk di samping suamiku dan memijat kaki Mas Kamal.Perbuatannya semakin menyulut amarahku. "Eh, eh, eh, jangan berani-berani pegang suami orang, dong!" bentakku kasar. Aku menarik tangan Mawar.Sebagai sesama wanita harusnya dia mengerti perasaanku. Namun sayang, Mawar malah berpura-pura naif dan polos."Loh?! Aku juga 'kan istrinya juga," jawab Mawar dengan polosnya.Mas Kamal yang kesal lalu mengacak-acak rambutnya. “Berisik!” katanya. “Pus
Sambil menangis aku mencoba untuk mengeringkan rambut yang masih bercucuran air ini. Kuambil sisir di atas lemari. Pelan-pelan kugunakan sisir tersebut untuk merapikan rambutku yang kusut, berantakan.Lalu aku pun keluar dengan mata sembab. Cukup lama aku berada di dalam kamar, tapi tak ada satu orang pun yang mengetuk pintu. Ya, aku mengerti, mungkin mereka ingin memberiku waktu untuk sendirian. Berpikir.Kulihat ada keponakanku yang sedang bermain ponsel menonton film kartun di sofa yang lain karena sofa yang tadi menjadi tempat dudukku sedang dikeringkan memakai hair dryer.Kudekati keponakanku itu dan duduk di sampingnya. Kuusap rambutnya pelan. "Jika saja aku punya anak, mungkin aku tidak akan sesedih ini. Ya, mungkin Mas Kamal tidak akan mengkhianatiku."Hatiku tersuat-suat dengan nasib dan vonis yang diberikan dokter. Aku merasa telah gagal karena tidak akan pernah diberi kesempatan untuk menjadi wanita yang seutuhnya. “Aku memang punya ibu, tapi apa ben
Setelah mendapatkan uang, aku pun segera pergi. Rasanya aku benar-benar ingin terbang menjauh dari orang yang selalu membuatku naik darah itu.Keringat mulai bercucuran. Ya, mungkin ini akibat dari jarangnya aku berolahraga hingga baru berjalan beberapa meter saja, aku sudah terasa sangat kelelahan.“Gorengan ...!”Suara ini begitu bergetar. Aku sempat minum sebelumnya tadi karena tenggorokan ini mulai kering. Indah tampak nyaman dalam gendongan.“Anak pintar,” ucapku sambil terus berjalan.Tanpa disadari, langkah ini ternyata membawaku ke sebuah tempat yang tak asing. Di sana ada mobil dan ada orang yang kini sangat membenciku.“Mas Rendi,” ucapku pelan. Aku berdiri mematung.Mas Rendi pun menghentikan aktivitasnya yang sedang mengelap kendaraan kesayangannya itu. Ia menatap ke arahku. Bukan, maksudku kepada kami, aku dan Indah.Entah kenapa, aku merasa jika hati ini seolah ingin sekali kembali menjalin hub
Rasa takut terus menghantui bahkan sampai mendatangiku di alam mimpi. Ya mimpi buruk tentunya. Mimpi di mana ketika aku sudah sangat mencintai dan menyayangi Indah, tiba-tiba saja Mawar mengambilnya. Sungguh jahat.“Untung cuman mimpi,” kataku yang sudah berkeringat panas dan dingin.Kutatap jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku baru ingat jika aku belum makan sejak tadi siang.Kutinggalkan Indah yang tertidur lelap, lalu kupergi ke dapur. Serangan malam seperti ini memang sering terjadi dan aku pun untungnya selalu menyediakan mie instan sebagai ‘jalan jinjaku’.Mie hangat dengan telur. Sebenarnya makanan itu adalah memang makanan favoritku. Ya, itu jadi favorit sesaat setelah Mas Kamal sering pergi. Pergi meninggalkanku tanpa uang sepeser pun. Makanya aku harus irit dan jarang makan royal.Setelah kurasa perutku kenyang, aku pun menonton TV. Sengaja volume-nya pun tak begitu besar karena takut membangunkan Inda
Aku membawa bayi ini menuju ke rumah Mas Rendi. Dengan jantung yang dag-dig-dug tak karuan aku pun masuk. Ternyata Mas Rendi sudah menungguku sambil berkacak pinggang."Anita!" Tentu Mas Rendi akan membentakku seperti itu dan aku sudah sangat siap. Kusimpan tas besar milik bayi ini di atas meja. Tanganku mulai terasa kram."Kenapa kamu ini? Kenapa malah membawa anak itu ke rumah?" Begitupun dengan pertanyaan ini. Aku masih berdiri tak jauh dari pintu sambil mendengarkan apa-apa yang akan dikatakan Kakakku.Kutatap saja matanya. "Kenapa, Mas? Apa tidak boleh?" Padahal aku pun sudah sangat tahu apa yang akan dikatakannya."Sudah jelas tadi Mas ngelarang!" katanya masih dengan nada yang memekikkan telingaku."Tapi, Mas--" Pandangan mataku kini beralih pada si bayi. Kutatap nanarnya yang begitu berbinar. Menggoda dan menggelitik hatiku agar melindunginya."Udah, Mas ga mau ngurusin adik kaya kamu. Mas ga mau juga terbebani anak haram itu!” kata Ma
Pria itu pun melenggang pergi. Ia pulang dan aku masih merasa jantungku belum bisa berdegup dengan normal. Kututup pintu dan kulihat sepasang suami-istri sudah menunggu. Bersiap untuk menggodaku."Cieeee ....," goda Mas Rendi."Ih, apa sih, Mas?" Aku tersipu malu. Pipiku sudah memerah seperti kepiting rebus.Kami bertiga tertawa bersama. Mbak Rina pun menepuk pundakku. "Mbak lihat ... mereka cocok," katanya."Hahaha. Maen cocok cocok aja si Mbak." Aku tertawa terbahak-bahak.Tok! Tok! Tok!Sekitar sepuluh menit, terdengarlah suara pintu diketuk lagi. "Masa dia balik lagi?" pikirku. Hatiku sudah merasa tak karuan.“Jangan-jangan dia balik lagi, An?!” Mbak Rina menyikut perutku pelan sambil terkikik. Begitu pun dengan suaminya. Mereka terlihat begitu kompak. Bahagia melihat penderitaanku."Cieee ... bukain sana!" suruh Mas Rendi. Ia bahkan sengaja mendorongku.Kurapikan rambutku dan dengan semangat kubuka pintu. Ternyata ...."Mas Kamal?"
Ceklek!"Wa'alaikum salam ...," jawab Mas Rendi sambil membuka pintu.Semua mata mengarah ke arah luar. Aku menatap aneh. "Syukurlah, kukira dia Mas Kamal. Tapi ... dia siapa?" batinku.Mbak Rina tersenyum padaku. Aku tak mengerti maksud dibalik senyum itu. Mas Rendi bergegas menghampiri tamu tersebut."Ah ... Mas Rido? Masuk!" Mas Rendi mempersilakan orang asing itu masuk.Kakakku menyebut pria asing itu dengan nama Rido. Kulihat wajahnya memang tampan. Seperti Mas Kamal, dia juga berjanggut dan berkumis tipis. Ia memakai kemeja putih, dengan jas menggantung di lengannya. "Apa dia seorang Bos?" pikirku."Silakan duduk!" titah Mas Rendi. Sementara itu, aku dan Mbak Rina masih berdiri berdampingan seperti sedang mengantre pembagian sembako."Terima kasih, Mas," sahut Rido. Ia pun duduk di sofa tempatku menangis dulu. Ya, tentu saja aku masih ingat.Mas Rendi menatap ke arah kami berdua. Katanya, "Kok malah bengong?! Ambilin air! Masa
"Hahahahaha ...." Serentak semua tertawa. Ya, menertawakanku."Ya iyalah. Itu kan memang anaknya," ucap Pak Yanto."Mas??" Mataku berkaca-kaca dan segeralah aku berlari keluar. Kupinjam telepon rumah sakit dan mencoba menghubungi Mas Rendi."Mas jemput aku di rumah sakit Bintari!" ucapku di telepon.Setelahnya kututup sambungan telepon itu dan menunggu di bibir pintu masuk rumah sakit. Rasanya aku ingin segera pergi jauh dari tempat ini. Malu.Akan tetapi, tiba-tiba Mas Kamal memelukku dari belakang. "Percayalah! Dia bukan anakku," bisiknya.Aku terkejut. Sejenak aku terdiam. "Lepasin, Mas!" pekikku. Aku sudah menyingkirkan rasa malu ini. Aku berteriak.Namun, Mas Kamal tak menyerah. Ia tak hilang akal dan malah membawaku ke tempat parkir. Di sana memang agak sepi."Udah jelas-jelas wajahnya aja mirip kamu, Mas. Pokoknya aku minta kita cerai. Pisah!" tegasku."Ga. Ga akan. Mas ga mau, An!" Mas Kamal menarik pinggangku. Merangkul tubuhku. Kupaling
Kasih saran ya readers! Supaya ceritaku berkembang. Terima kasih~Happy reading~***"Engga. Aku ga mau masuk. Biarin aja! Toh biasanya juga ada perawat di sana," tolakku.Setahuku pasti selalu ada seorang asisten yang akan membantu Dokter atau Bidan untuk menghadapi proses persalinan.Pak Yanto menatapku dengan penuh kekecewaan. Alisnya turun. Matanya berkaca-kaca. Ia menghempaskan tanganku kasar."Ya Tuhan ... dasar wanita jahat!" katanya. Ia bisa dengan mudahnya menilai seseorang.“Kamu sampe ga mau nolongin kaya gitu. Kamu wanita! Tapi kamu ga ngerti keadaan mendesak kaya gini? Ga punya hati banget! Kenapa bisa Kamal sampe menikahi wanita sejahat dirimu? Kamu pasti maen pelet, kan?!” tuduh Pak Yanto.“Sembarangan! Maaf ya, Pak. Bapak memang boleh marah dan kecewa karena aku ga bantuin Bapak. Tapi, Bapak ga usah dan ga perlu ngomong kaya gitu. Nuduh kaya gitu!” berangku sambil menunjuk wajah Pak
“Tapi ... nyatanya dugaanku salah.”POV KAMAL end***Aku mendengarkan apa yang diceritakan Mas Kamal dengan saksama. Sungguh aku merasa benar-benar telah dibohongi. Aku sangat geram. Jika diperkenankan aku ingin sekali meludah di wajahnya. Jika di dunia ini tidak ada istilah hukum, aku ingin sekali membunuhnya, menghabisi nyawanya sekarang juga. Namun, sayangnya aku masih dalam kondisi sadar. Hingga keinginanku yang bisa saja kulakukan masih bisa ditahan."Lalu maksudmu, itu anak siapa?" tanya Mas Rendi."Aku ga tahu." Mas Kamal menggeleng-gelengkan kepalanya."Ya ... itu anakmu dong, Mas!" ucapku begitu lantangnya sambil berkacak pinggang. Dadaku terasa sesak."Mas ...!"
POV KAMALPagi itu aku pergi bersama Bos Zenal. Ya, aku selalu ikut bersamanya karena aku bekerja sebagai sopir pribadinya. Kukendarai mobil mahal ini menuju ke sebuah hotel bintang lima."Berhenti di sini! Kita tunggu sebentar," titah Bos.Kuhentikan laju mobil di bahu jalan. "Memangnya ada apa Bos?" Aku ingin tahu, padahal harusnya aku sudah tahu jika ia sedang menunggu wanita pesanannya. Bosku memang suka jajan."Kamu banyak nanya, kaya yang belum kenal saya saja! Hahaha,” jawab Bos seraya menengok ke kanan dan ke kiri. Menatap kendaraan yang melintas."Maap, Bos."Beberapa menit kami menunggu, akhirnya datang sebuah mobil angkutan umum dan berhenti di ujung jalan.Lalu keluarlah seorang wanita. Ia menggunakan pakaian yang begitu seksi. Mataku sampai tak mampu berkedip melihat lekuk tubuhnya. Kulihat dari ujung kaki sampai ....Saat kulihat wajahnya. Ia nampak tak begitu asing bagiku. "Mawar?" sebu