Home / Romansa / MADU Titipan / Mandi Bersama?

Share

Mandi Bersama?

Author: Askama95
last update Last Updated: 2021-04-09 21:23:08
Aku pergi ke dapur dan mendengar suara air mengalir. Memang biasanya letak dapur tidak jauh dari letak kamar mandi.

"Apa Mas Kamal lupa matiin keran?" pikirku.

Saat hendak membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba Mawar yang keluar. Aku terkejut dan segera mengambil langkah mundur.

"Mbak! Mbak belum masak, ya?" tanyanya. Rambutnya masih bercucuran air.

"Aku ... baru pulang dari pasar," jawabku agak kaku.

"Mbak, aku laper," katanya sambil memegang perutnya yang terhalang handuk itu.

"Ka-kalau begitu aku masak dulu.” Aku masih terbata-bata. Rasanya agak sulit untuk berucap dengan orang yang baru kukenal.

"Iya deh, Mbak. Oh iya, Mbak punya baju gede, ga?" Mawar terlihat kedinginan.
"Baju?" ulangku.

"Iya Mbak. Aku ga bawa baju ganti soalnya. Lupa. Mas Kamal ngajaknya buru-buru," kata Mawar.

"Ya udah, tunggu di kamar aja! Aku cari dulu.” Aku merasa kasihan juga padanya.

Mawar pergi ke kamar. Begitu pun denganku, aku pergi ke kamar yang masih ada penghuninya di sana. Kulihat Mas Kamal sedang bermain ponsel di atas ranjang.

Tanpa menegur karena takut mengganggunya, kubuka lemari dan kuacak-acak semua isi di dalamnya.

"An, nyari apaan?" tanya suamiku yang sepertinya mulai terganggu dengan apa yang sedang aku lakukan.

"Ini Mas, Mawar mau pinjem baju katanya," jawabku.

"Oh, emang Mawar udah bangun?" Mas Kamal mendekatiku.

"Udah, Mas," sahutku seraya menganggukkan kepala.

"Kalu begitu, Mas nemuin dia dulu, ya?" Mas Kamal hendak pergi, namun segera kupegang tangannya.

"Eh?! Jangan dulu, Mas! Dia lagi pake handuk doang.” Kupegang tangan itu dengan erat.

Mas Kamal menatapku dengan tatapan aneh. "Oh, gitu. Ya udah, cepet kasih baju! Nanti dia keburu masuk angin," suruhnya penuh perhatian.

"Bantuin nyari dong, Mas!" pintaku. Aku mulai lelah, bosan.

Tanpa pikir panjang, Mas Kamal segera membantuku mencari pakaian yang agak besar.

Beberapa menit kami berkutat di sana, akhirnya aku pun menemukan pakaian yang kuanggap akan nyaman jika dipakai oleh seorang ibu hamil.

"Ini Mas, udah ketemu!" ucapku seraya mengangkat baju yang kumaksud.

"Ya udah, kasih aja!" titahnya.

Entah apa yang merasukiku hingga aku berbuat baik pada wanita yang awalnya sangat kubenci kedatangannya itu. Aku mengetuk pintu kamar Mawar.

"Mawar, buka!" teriakku.

Mawar pun membuka pintu dan aku pun masuk.

"Ini, bajunya," kataku sambil menyodorkan baju yang kubawa.

Mawar tersenyum. "Oh iya, Mbak. Makasih.”

"Iya.” Aku mengangguk dan mengambil langkah untuk keluar.

Mawar tiba-tiba bertanya, "Mas Kamal ke mana, Mbak?"

Sejenak aku berpikir, “Kenapa dia bertanya soal Mas Kamal? Huft! Aku cemburu.” Dengan sangat terpaksa aku pun menjawab, "Dia ... lagi di kamar.”

"Oh gitu.” Mulut Mawar membentuk huruf o.

"Kalau begitu aku ke dapur lagi, ya?" pamitku. Kuambil satu langkah dan aku pun tertegun saat melihat ada celana dalam pria di kamar Mawar.

Tanpa merasa jijik, segera saja kuambil. "Eh, ini milik Mas Kamal?" batinku.

"Mawar! Ini milik siapa?" Kutanyakan langsung.

"Mmm ... gatau, Mbak. Aku 'kan baru dateng kemarin," jawab Mawar. Ia kini duduk sambil menyisir rambutnya.

"Mmm ... tapi tadi pagi Mas Kamal masuk ke kamarmu, ga?" Aku langsung menghantamnya dengan pertanyaan buruk ini. Aku benar-benar tak mau kecolongan.

"Engga, Mbak." Mawar menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bohong kamu?!" Aku curiga.

"Beneran, Mbak. Aku 'kan tadi abis dari WC," jawabnya dengan nada yang begitu datar.

Aku berpikir dan mengangguk-angguk. "Apa dari jemuran kemarin?"

Memang biasanya aku menyetrika di kamar yang ditempati Mawar karena setiap pakaian yang sudah dijemur kusimpan di kamar ini juga.

"Oh, mungkin ini ketinggalan, kemarin,” kataku tapi otakku masih saja berpikir yang bukan-bukan.

Mawar tertawa kecil. "Makanya Mbak, jangan sembarangan nyimpennya!"

"Iya. Hehe." Aku benar-benar malu dan keluar dari kamar Mawar. Kututup pintu kamarnya.

"Ah, dasar Anita bodoh!" gerutuku sambil berjalan ke dapur dan sebelumnya melempar celana dalam milik Mas Kamal ke dalam keranjang cucian yang ada di kamar mandi.

Setelahnya kubongkar semua isi keranjang belanjaanku. Kudidihkan air dan kumasukkan telur. Lalu kupanaskan wajan, kuberi minyak dan masuklah paha-paha ayam segar itu.

Kemudian kuiris bawang merah. Sebersit pertanyaan muncul di kepalaku. Dugaan aneh menyelimuti otakku. "Mas Kamal juga habis mandi. Apa mereka mandi bersama?"

Deg!

Jantungku tersentak. Mataku membulat. "Lalu ... apa benar celana dalam tadi memang tertinggal sejak kemarin?"

Aku mendecap kesal. "Ih, kenapa pikiranku jadi ngelantur? Engga mungkin Mas Kamal bermain curang padaku.”

Irisan bawang merah kusisihkan. Lalu kuiris bawang putih dan tomat sambil menunggu ayamku matang. Aku berniat untuk memasak ayam balado, tumis kentang dan semur telur.

Hampir dua jam aku berkutat di dapur. Memasak sebanyak itu memang membuatku lelah. Rasanya memasak kali ini sedikit menghamburkan waktu karena pikiranku berjalan-jalan entah ke mana. Ya, memikirkan Mas Kamal.

Setelah kurasa siap, aku pun menyajikan semua masakanku di meja makan. "Wah, kayanya aku udah kenyang duluan. Kelamaan masak, jadi malas makan.” Kuusap keringat yang bercucuran di kening ini.

Kemudian aku pun menggantung celemek pada paku yang menempel di tembok dapur dan pergi ke kamar menemui suamiku.

"Mas, udah siap tuh. Mau sarapan sekarang?" tanyaku pada suamiku yang masih bermain ponsel.

Mas Kamal menarik tanganku dan menuntunku agar duduk di pangkuannya. "Nanti aja, sekalian sama orang tua Mawar,” bisiknya.

Aku menggelinjang. "Geli, Mas!”

“Udah lama ya, kita ga bermesraan?” tanya Mas Kamal. Ia memelukku.

Aku mengangguk. “Iya. Mas Kamal sih ... dua bulan di Jakarta, dua bulan lalu di Bengkulu. Kaya yang punya istri simpenan aja.”

“Jangan bilang gitu! Ucapan itu doa, loh!” katanya.

“Ya, istri mana coba yang mau dimadu? Mmm ... ada sih, istri yang mau dimadu, ya ... kalau suaminya mau diracun. Hahaha.” Aku tertawa terbahak-bahak.

“Ih, ada-ada aja,” ucapnya seakan tak mau membahas lebih jauh.

“Mmm ... memangnya orang tua Mawar mau datang jam berapa?" tanyaku.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara pintu diketuk. "Nah, itu kayanya mereka,” kata Mas Kamal.

"Beneran, Mas?" Aku segera beranjak dari pangkuannya dan Mas Kamal pun melepaskan rangkulannya.

"Coba kita lihat!" ajak suamiku. Ia berjalan terlebih dahulu.

"Rambutku udah rapi? Lihat! Di wajahku ga ada bumbu yang nempel, Mas?" tanyaku sambil mengekor di belakangnya.

"Ga ada. Lagian ngapain juga kamu yang sibuk?" Mas Kamal tertawa kecil. Ia mencubit pipiku, gemas.

"Hehe. Malu aja, Mas." Aku cengengesan.

Sampai di depan, Mas Kamal pun membuka pintu dan nampaklah dua orang paruh baya di sana. “Sepertinya benar ini orang tua Mawar. Mereka cepet banget datangnya!” pikirku.

“Eh, Pak Yanto?” sebut suamiku seolah berpura-pura terkejut.

"Kamal? Ini rumahmu?" tanya Bapak Mawar yang Mas Kamal sebut dengan nama Pak Yanto itu.

"Iya, Pak!" jawab Mas Kamal. Ia meraih tangan kedua orang tua itu dan mengecup punggung tangannya. Begitu pun denganku, kulakukan hal yang sama sebagai tanda hormat.

"Masuk, Pak, Bu!" Aku tersenyum sambil mempersilahkan mereka masuk. Lalu kuambil air dari dapur dan kuletakkan di meja.

"Jadi ... dia istrimu?" tanya Bapak Mawar. Mas Kamal menatapku tajam.

Related chapters

  • MADU Titipan   Anak Siapa?

    Mas Kamal meraih dan menggenggam tanganku. "Iya, Pak. Dia istriku,” jawabnya.Aku tersenyum, bahagia mendengar pengakuannya. “Kupikir dia tidak akan mengakui statusku,” batinku.Aku sudah berpikiran negatif dan takut diakui sebagai seorang asisten rumah tangganya saja.Pak Yanto terus memperhatikanku. Matanya tak beralih sedetikpun. Ia seperti tak suka jika aku diakui sebagai istri Mas Kamal juga."Oh, cantik juga. Ya ... tapi masih cantikan anak Bapak. Oh iya, Mawar mana?" Matanya berkeliaran mencari kesana-kemari.Aku tak suka dibanding-bandingkan seperti itu. Aku mengerucutkan bibirku. Jengkel."Di kamar, Pak,” jawab suamiku. Ia tak peduli jika istrinya sedang dibanding-bandingkan dan malah menyuruhku, "An, panggil Maw

    Last Updated : 2021-04-09
  • MADU Titipan   Berebut

    Setelah selesai makan, Pak Yanto dan Mas Kamal berbincang di teras rumah sambil melihat turunnya hujan. Kubuatkan kopi untuk Pak Yanto dan segelas susu untuk suamiku. Sementara Mawar dan Ibunya masuk ke dalam kamar.Aku kembali ke dapur dan merapikan piring bekas makan. Kucuci semuanya sampai bersih."Masa aku harus tinggal serumah dengan kedua orang tua Mawar juga?" gerutuku.Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil mengelap meja makan. "Apa aku menginap dulu di rumah Mas Rendi? Mmm ... apa ga ada jalan lain?” pikirku."Ga mungkin. Masa aku nyerahin Mas Kamal gitu aja? Dia 'kan suamiku. Kalau aku pergi, ya ... sama aja aku kalah. Engga, ga mau aku kalau sampai jadi janda.” Kugosok nasi yang menempel di meja. Sudah lengket."Mas Kamal ada-ada aja, sih! Pake bawa Mawar ke rumah lagi. Jadi repot 'kan?!" Peluhku berjatuhan.Pukul dua siang aku tidur karena lelah dan mengantuk. Lalu pukul lima sore aku bangun dan kudengar suara hujan masih saja turun.

    Last Updated : 2021-04-09
  • MADU Titipan   Pergi

    "Ah, bukan apa-apa, An!" ucap Mas Kamal. Ia mendorong tubuhku pelan. Memisahkan ketegangan di antara kami. Ya, maksudku ketegangan di antara aku dan Mawar."Apanya yang bukan apa-apa?" Aku kesal.Mawar menatapku penuh kebencian. Begitu pun aku yang tak kalah membenci dirinya. Aku jijik melihat wajahnya."Udahlah, Mas capek! Punggung Mas pegal.” Mas Kamal menjatuhkan bobot tubuhnya di atas tempat tidur. Ia benar-benar terlihat malas mendengar pertengkaran kami."Ya udah Mas, biar Mawar pijitin," saran Mawar. Ia duduk di samping suamiku dan memijat kaki Mas Kamal.Perbuatannya semakin menyulut amarahku. "Eh, eh, eh, jangan berani-berani pegang suami orang, dong!" bentakku kasar. Aku menarik tangan Mawar.Sebagai sesama wanita harusnya dia mengerti perasaanku. Namun sayang, Mawar malah berpura-pura naif dan polos."Loh?! Aku juga 'kan istrinya juga," jawab Mawar dengan polosnya.Mas Kamal yang kesal lalu mengacak-acak rambutnya. “Berisik!” katanya. “Pus

    Last Updated : 2021-04-10
  • MADU Titipan   Mas Rendi Murka

    Sambil menangis aku mencoba untuk mengeringkan rambut yang masih bercucuran air ini. Kuambil sisir di atas lemari. Pelan-pelan kugunakan sisir tersebut untuk merapikan rambutku yang kusut, berantakan.Lalu aku pun keluar dengan mata sembab. Cukup lama aku berada di dalam kamar, tapi tak ada satu orang pun yang mengetuk pintu. Ya, aku mengerti, mungkin mereka ingin memberiku waktu untuk sendirian. Berpikir.Kulihat ada keponakanku yang sedang bermain ponsel menonton film kartun di sofa yang lain karena sofa yang tadi menjadi tempat dudukku sedang dikeringkan memakai hair dryer.Kudekati keponakanku itu dan duduk di sampingnya. Kuusap rambutnya pelan. "Jika saja aku punya anak, mungkin aku tidak akan sesedih ini. Ya, mungkin Mas Kamal tidak akan mengkhianatiku."Hatiku tersuat-suat dengan nasib dan vonis yang diberikan dokter. Aku merasa telah gagal karena tidak akan pernah diberi kesempatan untuk menjadi wanita yang seutuhnya. “Aku memang punya ibu, tapi apa ben

    Last Updated : 2021-04-10
  • MADU Titipan   Setan Apa yang Merasuki?

    Halo readers! Bab ini mengandungadegan kekerasan. Harap bijak memilih dan memilah bacaan.Tolong jangan salahin author ya, kalo sampe kebawa emosi. Hehe. Terima kasih.Happy reading~***Mbak Rina memberikan anaknya padaku. "Mana wanita itu?" Ia lalu masuk ke dalam kamar."Oh ... jadi wanita ini?!" teriak Mbak Rina. Aku bisa mendengarnya dari luar. Dengan spontan kututup telinga anaknya takut jika Mbak Rina berkata kasar.Plak!Suara tamparan terdengar sangat keras. Mataku terbelalak. “Mbak Rina melakukan itu untukku?” batinku. Aku tak percaya Kakak Iparku begitu peduli padaku.Orang tua Mawar saat itu sedang menyaksikan Mas Kamal di lawang pintu. Mereka sepertinya mendengar suara tamparan itu juga dan sama-sama terkejut. Mereka berjalan cepat melewatiku dan masuk ke dalam kamar juga."Bagaimana ini? Aku harus menolong siapa? Apa aku harus menolong suamiku atau

    Last Updated : 2021-04-10
  • MADU Titipan   Kamal yang Bodoh

    POV KAMALPagi itu aku pergi bersama Bos Zenal. Ya, aku selalu ikut bersamanya karena aku bekerja sebagai sopir pribadinya. Kukendarai mobil mahal ini menuju ke sebuah hotel bintang lima."Berhenti di sini! Kita tunggu sebentar," titah Bos.Kuhentikan laju mobil di bahu jalan. "Memangnya ada apa Bos?" Aku ingin tahu, padahal harusnya aku sudah tahu jika ia sedang menunggu wanita pesanannya. Bosku memang suka jajan."Kamu banyak nanya, kaya yang belum kenal saya saja! Hahaha,” jawab Bos seraya menengok ke kanan dan ke kiri. Menatap kendaraan yang melintas."Maap, Bos."Beberapa menit kami menunggu, akhirnya datang sebuah mobil angkutan umum dan berhenti di ujung jalan.Lalu keluarlah seorang wanita. Ia menggunakan pakaian yang begitu seksi. Mataku sampai tak mampu berkedip melihat lekuk tubuhnya. Kulihat dari ujung kaki sampai ....Saat kulihat wajahnya. Ia nampak tak begitu asing bagiku. "Mawar?" sebu

    Last Updated : 2021-04-11
  • MADU Titipan   Kejadian Tak Terduga

    “Tapi ... nyatanya dugaanku salah.”POV KAMAL end***Aku mendengarkan apa yang diceritakan Mas Kamal dengan saksama. Sungguh aku merasa benar-benar telah dibohongi. Aku sangat geram. Jika diperkenankan aku ingin sekali meludah di wajahnya. Jika di dunia ini tidak ada istilah hukum, aku ingin sekali membunuhnya, menghabisi nyawanya sekarang juga. Namun, sayangnya aku masih dalam kondisi sadar. Hingga keinginanku yang bisa saja kulakukan masih bisa ditahan."Lalu maksudmu, itu anak siapa?" tanya Mas Rendi."Aku ga tahu." Mas Kamal menggeleng-gelengkan kepalanya."Ya ... itu anakmu dong, Mas!" ucapku begitu lantangnya sambil berkacak pinggang. Dadaku terasa sesak."Mas ...!"

    Last Updated : 2021-04-11
  • MADU Titipan   Ananknya Mirip Kamu Mas!

    Kasih saran ya readers! Supaya ceritaku berkembang. Terima kasih~Happy reading~***"Engga. Aku ga mau masuk. Biarin aja! Toh biasanya juga ada perawat di sana," tolakku.Setahuku pasti selalu ada seorang asisten yang akan membantu Dokter atau Bidan untuk menghadapi proses persalinan.Pak Yanto menatapku dengan penuh kekecewaan. Alisnya turun. Matanya berkaca-kaca. Ia menghempaskan tanganku kasar."Ya Tuhan ... dasar wanita jahat!" katanya. Ia bisa dengan mudahnya menilai seseorang.“Kamu sampe ga mau nolongin kaya gitu. Kamu wanita! Tapi kamu ga ngerti keadaan mendesak kaya gini? Ga punya hati banget! Kenapa bisa Kamal sampe menikahi wanita sejahat dirimu? Kamu pasti maen pelet, kan?!” tuduh Pak Yanto.“Sembarangan! Maaf ya, Pak. Bapak memang boleh marah dan kecewa karena aku ga bantuin Bapak. Tapi, Bapak ga usah dan ga perlu ngomong kaya gitu. Nuduh kaya gitu!” berangku sambil menunjuk wajah Pak

    Last Updated : 2021-04-11

Latest chapter

  • MADU Titipan   Perang Dingin Masih Berlanjut

    Setelah mendapatkan uang, aku pun segera pergi. Rasanya aku benar-benar ingin terbang menjauh dari orang yang selalu membuatku naik darah itu.Keringat mulai bercucuran. Ya, mungkin ini akibat dari jarangnya aku berolahraga hingga baru berjalan beberapa meter saja, aku sudah terasa sangat kelelahan.“Gorengan ...!”Suara ini begitu bergetar. Aku sempat minum sebelumnya tadi karena tenggorokan ini mulai kering. Indah tampak nyaman dalam gendongan.“Anak pintar,” ucapku sambil terus berjalan.Tanpa disadari, langkah ini ternyata membawaku ke sebuah tempat yang tak asing. Di sana ada mobil dan ada orang yang kini sangat membenciku.“Mas Rendi,” ucapku pelan. Aku berdiri mematung.Mas Rendi pun menghentikan aktivitasnya yang sedang mengelap kendaraan kesayangannya itu. Ia menatap ke arahku. Bukan, maksudku kepada kami, aku dan Indah.Entah kenapa, aku merasa jika hati ini seolah ingin sekali kembali menjalin hub

  • MADU Titipan   Berjualan

    Rasa takut terus menghantui bahkan sampai mendatangiku di alam mimpi. Ya mimpi buruk tentunya. Mimpi di mana ketika aku sudah sangat mencintai dan menyayangi Indah, tiba-tiba saja Mawar mengambilnya. Sungguh jahat.“Untung cuman mimpi,” kataku yang sudah berkeringat panas dan dingin.Kutatap jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku baru ingat jika aku belum makan sejak tadi siang.Kutinggalkan Indah yang tertidur lelap, lalu kupergi ke dapur. Serangan malam seperti ini memang sering terjadi dan aku pun untungnya selalu menyediakan mie instan sebagai ‘jalan jinjaku’.Mie hangat dengan telur. Sebenarnya makanan itu adalah memang makanan favoritku. Ya, itu jadi favorit sesaat setelah Mas Kamal sering pergi. Pergi meninggalkanku tanpa uang sepeser pun. Makanya aku harus irit dan jarang makan royal.Setelah kurasa perutku kenyang, aku pun menonton TV. Sengaja volume-nya pun tak begitu besar karena takut membangunkan Inda

  • MADU Titipan   Biarkan Aku Memilih

    Aku membawa bayi ini menuju ke rumah Mas Rendi. Dengan jantung yang dag-dig-dug tak karuan aku pun masuk. Ternyata Mas Rendi sudah menungguku sambil berkacak pinggang."Anita!" Tentu Mas Rendi akan membentakku seperti itu dan aku sudah sangat siap. Kusimpan tas besar milik bayi ini di atas meja. Tanganku mulai terasa kram."Kenapa kamu ini? Kenapa malah membawa anak itu ke rumah?" Begitupun dengan pertanyaan ini. Aku masih berdiri tak jauh dari pintu sambil mendengarkan apa-apa yang akan dikatakan Kakakku.Kutatap saja matanya. "Kenapa, Mas? Apa tidak boleh?" Padahal aku pun sudah sangat tahu apa yang akan dikatakannya."Sudah jelas tadi Mas ngelarang!" katanya masih dengan nada yang memekikkan telingaku."Tapi, Mas--" Pandangan mataku kini beralih pada si bayi. Kutatap nanarnya yang begitu berbinar. Menggoda dan menggelitik hatiku agar melindunginya."Udah, Mas ga mau ngurusin adik kaya kamu. Mas ga mau juga terbebani anak haram itu!” kata Ma

  • MADU Titipan   Bayi yang Malang

    Pria itu pun melenggang pergi. Ia pulang dan aku masih merasa jantungku belum bisa berdegup dengan normal. Kututup pintu dan kulihat sepasang suami-istri sudah menunggu. Bersiap untuk menggodaku."Cieeee ....," goda Mas Rendi."Ih, apa sih, Mas?" Aku tersipu malu. Pipiku sudah memerah seperti kepiting rebus.Kami bertiga tertawa bersama. Mbak Rina pun menepuk pundakku. "Mbak lihat ... mereka cocok," katanya."Hahaha. Maen cocok cocok aja si Mbak." Aku tertawa terbahak-bahak.Tok! Tok! Tok!Sekitar sepuluh menit, terdengarlah suara pintu diketuk lagi. "Masa dia balik lagi?" pikirku. Hatiku sudah merasa tak karuan.“Jangan-jangan dia balik lagi, An?!” Mbak Rina menyikut perutku pelan sambil terkikik. Begitu pun dengan suaminya. Mereka terlihat begitu kompak. Bahagia melihat penderitaanku."Cieee ... bukain sana!" suruh Mas Rendi. Ia bahkan sengaja mendorongku.Kurapikan rambutku dan dengan semangat kubuka pintu. Ternyata ...."Mas Kamal?"

  • MADU Titipan   Pria Asing

    Ceklek!"Wa'alaikum salam ...," jawab Mas Rendi sambil membuka pintu.Semua mata mengarah ke arah luar. Aku menatap aneh. "Syukurlah, kukira dia Mas Kamal. Tapi ... dia siapa?" batinku.Mbak Rina tersenyum padaku. Aku tak mengerti maksud dibalik senyum itu. Mas Rendi bergegas menghampiri tamu tersebut."Ah ... Mas Rido? Masuk!" Mas Rendi mempersilakan orang asing itu masuk.Kakakku menyebut pria asing itu dengan nama Rido. Kulihat wajahnya memang tampan. Seperti Mas Kamal, dia juga berjanggut dan berkumis tipis. Ia memakai kemeja putih, dengan jas menggantung di lengannya. "Apa dia seorang Bos?" pikirku."Silakan duduk!" titah Mas Rendi. Sementara itu, aku dan Mbak Rina masih berdiri berdampingan seperti sedang mengantre pembagian sembako."Terima kasih, Mas," sahut Rido. Ia pun duduk di sofa tempatku menangis dulu. Ya, tentu saja aku masih ingat.Mas Rendi menatap ke arah kami berdua. Katanya, "Kok malah bengong?! Ambilin air! Masa

  • MADU Titipan   Dilema

    "Hahahahaha ...." Serentak semua tertawa. Ya, menertawakanku."Ya iyalah. Itu kan memang anaknya," ucap Pak Yanto."Mas??" Mataku berkaca-kaca dan segeralah aku berlari keluar. Kupinjam telepon rumah sakit dan mencoba menghubungi Mas Rendi."Mas jemput aku di rumah sakit Bintari!" ucapku di telepon.Setelahnya kututup sambungan telepon itu dan menunggu di bibir pintu masuk rumah sakit. Rasanya aku ingin segera pergi jauh dari tempat ini. Malu.Akan tetapi, tiba-tiba Mas Kamal memelukku dari belakang. "Percayalah! Dia bukan anakku," bisiknya.Aku terkejut. Sejenak aku terdiam. "Lepasin, Mas!" pekikku. Aku sudah menyingkirkan rasa malu ini. Aku berteriak.Namun, Mas Kamal tak menyerah. Ia tak hilang akal dan malah membawaku ke tempat parkir. Di sana memang agak sepi."Udah jelas-jelas wajahnya aja mirip kamu, Mas. Pokoknya aku minta kita cerai. Pisah!" tegasku."Ga. Ga akan. Mas ga mau, An!" Mas Kamal menarik pinggangku. Merangkul tubuhku. Kupaling

  • MADU Titipan   Ananknya Mirip Kamu Mas!

    Kasih saran ya readers! Supaya ceritaku berkembang. Terima kasih~Happy reading~***"Engga. Aku ga mau masuk. Biarin aja! Toh biasanya juga ada perawat di sana," tolakku.Setahuku pasti selalu ada seorang asisten yang akan membantu Dokter atau Bidan untuk menghadapi proses persalinan.Pak Yanto menatapku dengan penuh kekecewaan. Alisnya turun. Matanya berkaca-kaca. Ia menghempaskan tanganku kasar."Ya Tuhan ... dasar wanita jahat!" katanya. Ia bisa dengan mudahnya menilai seseorang.“Kamu sampe ga mau nolongin kaya gitu. Kamu wanita! Tapi kamu ga ngerti keadaan mendesak kaya gini? Ga punya hati banget! Kenapa bisa Kamal sampe menikahi wanita sejahat dirimu? Kamu pasti maen pelet, kan?!” tuduh Pak Yanto.“Sembarangan! Maaf ya, Pak. Bapak memang boleh marah dan kecewa karena aku ga bantuin Bapak. Tapi, Bapak ga usah dan ga perlu ngomong kaya gitu. Nuduh kaya gitu!” berangku sambil menunjuk wajah Pak

  • MADU Titipan   Kejadian Tak Terduga

    “Tapi ... nyatanya dugaanku salah.”POV KAMAL end***Aku mendengarkan apa yang diceritakan Mas Kamal dengan saksama. Sungguh aku merasa benar-benar telah dibohongi. Aku sangat geram. Jika diperkenankan aku ingin sekali meludah di wajahnya. Jika di dunia ini tidak ada istilah hukum, aku ingin sekali membunuhnya, menghabisi nyawanya sekarang juga. Namun, sayangnya aku masih dalam kondisi sadar. Hingga keinginanku yang bisa saja kulakukan masih bisa ditahan."Lalu maksudmu, itu anak siapa?" tanya Mas Rendi."Aku ga tahu." Mas Kamal menggeleng-gelengkan kepalanya."Ya ... itu anakmu dong, Mas!" ucapku begitu lantangnya sambil berkacak pinggang. Dadaku terasa sesak."Mas ...!"

  • MADU Titipan   Kamal yang Bodoh

    POV KAMALPagi itu aku pergi bersama Bos Zenal. Ya, aku selalu ikut bersamanya karena aku bekerja sebagai sopir pribadinya. Kukendarai mobil mahal ini menuju ke sebuah hotel bintang lima."Berhenti di sini! Kita tunggu sebentar," titah Bos.Kuhentikan laju mobil di bahu jalan. "Memangnya ada apa Bos?" Aku ingin tahu, padahal harusnya aku sudah tahu jika ia sedang menunggu wanita pesanannya. Bosku memang suka jajan."Kamu banyak nanya, kaya yang belum kenal saya saja! Hahaha,” jawab Bos seraya menengok ke kanan dan ke kiri. Menatap kendaraan yang melintas."Maap, Bos."Beberapa menit kami menunggu, akhirnya datang sebuah mobil angkutan umum dan berhenti di ujung jalan.Lalu keluarlah seorang wanita. Ia menggunakan pakaian yang begitu seksi. Mataku sampai tak mampu berkedip melihat lekuk tubuhnya. Kulihat dari ujung kaki sampai ....Saat kulihat wajahnya. Ia nampak tak begitu asing bagiku. "Mawar?" sebu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status