"Ah, bukan apa-apa, An!" ucap Mas Kamal. Ia mendorong tubuhku pelan. Memisahkan ketegangan di antara kami. Ya, maksudku ketegangan di antara aku dan Mawar.
"Apanya yang bukan apa-apa?" Aku kesal.Mawar menatapku penuh kebencian. Begitu pun aku yang tak kalah membenci dirinya. Aku jijik melihat wajahnya.
"Udahlah, Mas capek! Punggung Mas pegal.” Mas Kamal menjatuhkan bobot tubuhnya di atas tempat tidur. Ia benar-benar terlihat malas mendengar pertengkaran kami.
"Ya udah Mas, biar Mawar pijitin," saran Mawar. Ia duduk di samping suamiku dan memijat kaki Mas Kamal.Perbuatannya semakin menyulut amarahku. "Eh, eh, eh, jangan berani-berani pegang suami orang, dong!" bentakku kasar. Aku menarik tangan Mawar.Sebagai sesama wanita harusnya dia mengerti perasaanku. Namun sayang, Mawar malah berpura-pura naif dan polos.
"Loh?! Aku juga 'kan istrinya juga," jawab Mawar dengan polosnya.Mas Kamal yang kesal lalu mengacak-acak rambutnya. “Berisik!” katanya. “Pusing!”Aku tak memedulikan Mas Kamal. Yang aku pikirkan hanyalah tentang harga diriku yang sudah diinjak-injak ini."Eh, asal kau tahu, ya! Pernikahan yang dilakuin pas hamil itu ... hukumnya ga sah." Aku benar-benar sudah tidak tahan. Emosiku sudah naik sampai ubun-ubun. Telingaku bahkan seperti mengeluarkan asap.Mawar berkacak pinggang. "Eh? Siapa juga yang nikah pas hamil? Dengerin, ya Mbak! Aku dan Mas Kamal justru sudah menikah siri sebelum mengenal Bos Zenal. Ya, dan pernikahan siriku dilakuin jauh sebelum pernikahannya Mbak!” jelas Mawar dengan lantangnya.Jedar!Suara petir menggelegar sesaat setelah Mawar berucap. Gemuruh angin dan hujan deras membuat telingaku tak karuan. Sejenak aku benar-benar tak dapat mencerna dan mengolah perkataan Mawar. Tubuhku langsung lemas dan gemetar.Cuaca seakan mendukung perasaanku yang sedang kacau dan bersedih. Air mata sudah berada di ujung pelupuk mata. Nanarku berkaca-kaca. Rasanya belum sanggup aku berkata. Aku terdiam, membisu. Mematung seakan dikutuk menjadi batu setelah petir menyambar tadi.“Mawar ...!” bentak Mas Kamal. Ia baru bersuara lagi.Mas Kamal bangun dan menunjuk wajah Mawar seakan berusaha menutup mulutnya. Ia mengepalkan tangan satunya."Mas ...," lirihku. Mataku kini hanya tertuju padanya. Berharap perkataan Mawar adalah dusta semata.Mas Kamal menatapku dengan nanar yang begitu sendu. "Engga. Itu ga bener, An!" Mas Kamal menggeleng-gelengkan kepalanya."Udahlah, Mas! Ngaku aja! Lagian aku memang mau diajak kemari supaya statusku diakui," kata Mawar seraya melipat tangan di dada.Mas Kamal menggemeretakkan giginya. "Ingat! Kamu masih punyanya Bos Zenal!" kata Mas Kamal. Ia masih menunjuk-nunjuk wajah Mawar."Engga. Aku milikmu, Mas. Aku ga mau jadi wanita simpanan Bos Zenal. Tanpa status begitu," kata Mawar dengan manjanya. Ia bergelayut mesra di tubuh suamiku."Cuman kamu yang aku mau, Mas." tambahnya. Ia mengecup pipi suamiku dengan sengaja."Kurang ajar! Dasar wanita murahan!" ledekku. Aku pun hendak pergi, tapi tangan Mas Kamal menahanku."Udahlah, Mas! Ceraikan aku aja! Aku udah muak. Aku jijik!" Aku mencoba meronta."An, tunggu! Mas bakal jelasin. Tunggu, An!" pinta Mas Kamal. Memohon. Aku tak kuasa lagi berucap. Bibirku bergetar. Hidungku sudah memerah menahan tangis."Udahlah, biarin aja cewek cengeng kaya dia!" ejek Mawar sambil menyunggingkan sudut bibirnya. Tersenyum menghinaku.Kuempaskan tangan Mas Kamal dengan sekuat tenaga dan segera berlari keluar meninggalkan kekacauan yang terjadi. Aku dengan sangat terpaksa harus menerobos hujan. Aku tak peduli dengan tubuhku yang mulai kebasahan. Aku menangis.Air mata kini sudah bercampur dengan air hujan yang turun begitu deras. "Apa bisa hatiku dingin dengan guyuran air hujan ini?"Langkah kaki ini sudah membawaku cukup jauh dari tempat kabar buruk yang baru kuterima. Kutengok ke belakang dan Mas Kamal tidak ada. Aku benar-benar kecewa. “Bahkan dia ga ngejar aku.” Tangisku pecah.Kaki ini terus berlari dan pandanganku mulai kosong.Bruk!Aku terjatuh karena jalanan yang licin dan aku pun pergi tanpa menggunakan alas kaki. Semakin terpuruk aku di sana. "Mas Kamal jahat!" teriakku dengan suara serak. Kukepalkan tangan dan memukul air yang menggenang hingga cipratannya mengenai wajahku. Aku tak peduli.Aku pun sudah tak peduli jika ada yang memperhatikanku. Ini soal hati, bukan lebay. "Kalau udah kaya gini, apa aku ga boleh nangis?" Hatiku menjerit. "Dikhianati ternyata rasanya sakit ... sakit banget!" Kutepuk-tepuk dada ini dengan kepalan tanganku.Aku sering melihat kejadian ini di dalam sinetron, sinema atau apalah itu. Sungguh, aku tak menyangka jika aku akan mengalaminya sendiri.Kuberlari dengan cepat. Selain takut disambar petir, aku memang ingin segera berteduh dan mencurahkan kisah sedih ini kepada Kakakku. Bukan berarti aku seorang pengadu. Jika kalian yang mengalami, apa kalian sanggup memendamnya sendiri?"Mas Rendi ...!" teriakku sambil masih dalam keadaan menangis tersedu. Aku menggigil kedinginan.Tok! Tok! Tok!Beberapa kali aku ketuk pintu rumahnya dan barulah Kakakku itu keluar."Anita?!" sebutnya. Ia menatapku dengan tatapan aneh. Terkejut tentunya."Mas ...." Kuterbang, memeluk seseorang yang mematung di lawang pintu. Rasanya hangat. Namun, kehangatan ini tak dapat membuat rasa sakit hatiku memudar."Kenapa? Ada apa?" tanyanya dengan memasang wajah yang begitu panik.Entah kenapa, saat itu rasanya sulit untuk berucap. Mas Rendi segera menggiringku masuk ke dalam.Dengan pakaian basah aku duduk di sofanya. Mas Rendi membawakan handuk untukku."Ini, pakai!" suruhnya. Ia terlihat bingung. Lalu ia pun berinisiatif untuk mengambil segelas air dari dapur. Kupakai handuk itu untuk mengelap wajah dan rambutku yang basah.“Kepalaku pusing,” gumamku seraya memegang kepala dengan kedua tanganku.Selang beberapa menit, istri Mas Rendi datang dengan menggendong anaknya yang berumur tiga tahun."Asagfirullah! Ada apa, An? Kenapa kamu?" Ia kaget. Matanya membulat sempurna melihat keadaanku yang sudah basah kuyup."Mbak Rina ...," sebutku, gemetar.Mbak Rina menurunkan anaknya dan langsung memelukku. Kini matanya hanya mengarah padaku."Mbak ... Mas Kamal, Mbak," kataku yang masih menangis sesenggukan. Kupegang tangan Kakak iparku itu dengan sangat kuat. Tangannya terasa hangat. Keponakanku yang masih kecil itu memperhatikan, tak mengerti apa-apa.Lalu Mas Rendi memberiku segelas air. “Ada apa dengan si Kamal?" tanya Mas Rendi. Matanya melotot.Segelas air itu kuminum dengan sekali tegukan. Memang air itu sedikit menenangkan. Ya, sedikit."Udah, nanti dulu ceritanya! Yuk, ganti dulu bajunya! Nanti kau bisa sakit," saran Mbak Rina.Mbak Rina mengajakku ke kamarnya. Aku diberi pakaian miliknya. Ia pun meninggalkanku di kamar, memberiku waktu untuk mengganti pakaian.Kulepas pakaian basahku dan kupakai pakaian yang kuterima tadi. Dengan tangis yang enggan berhenti, aku pun lemah dan terduduk di lantai."Bagaimana ini? Apa benar yang aku lakuin? Aku harus berkata apa nanti kepada Kakakku?" Aku bingung. Kuremas pakaianku menahan sesak di dada.Sambil menangis aku mencoba untuk mengeringkan rambut yang masih bercucuran air ini. Kuambil sisir di atas lemari. Pelan-pelan kugunakan sisir tersebut untuk merapikan rambutku yang kusut, berantakan.Lalu aku pun keluar dengan mata sembab. Cukup lama aku berada di dalam kamar, tapi tak ada satu orang pun yang mengetuk pintu. Ya, aku mengerti, mungkin mereka ingin memberiku waktu untuk sendirian. Berpikir.Kulihat ada keponakanku yang sedang bermain ponsel menonton film kartun di sofa yang lain karena sofa yang tadi menjadi tempat dudukku sedang dikeringkan memakai hair dryer.Kudekati keponakanku itu dan duduk di sampingnya. Kuusap rambutnya pelan. "Jika saja aku punya anak, mungkin aku tidak akan sesedih ini. Ya, mungkin Mas Kamal tidak akan mengkhianatiku."Hatiku tersuat-suat dengan nasib dan vonis yang diberikan dokter. Aku merasa telah gagal karena tidak akan pernah diberi kesempatan untuk menjadi wanita yang seutuhnya. “Aku memang punya ibu, tapi apa ben
Halo readers! Bab ini mengandungadegan kekerasan. Harap bijak memilih dan memilah bacaan.Tolong jangan salahin author ya, kalo sampe kebawa emosi. Hehe. Terima kasih.Happy reading~***Mbak Rina memberikan anaknya padaku. "Mana wanita itu?" Ia lalu masuk ke dalam kamar."Oh ... jadi wanita ini?!" teriak Mbak Rina. Aku bisa mendengarnya dari luar. Dengan spontan kututup telinga anaknya takut jika Mbak Rina berkata kasar.Plak!Suara tamparan terdengar sangat keras. Mataku terbelalak. “Mbak Rina melakukan itu untukku?” batinku. Aku tak percaya Kakak Iparku begitu peduli padaku.Orang tua Mawar saat itu sedang menyaksikan Mas Kamal di lawang pintu. Mereka sepertinya mendengar suara tamparan itu juga dan sama-sama terkejut. Mereka berjalan cepat melewatiku dan masuk ke dalam kamar juga."Bagaimana ini? Aku harus menolong siapa? Apa aku harus menolong suamiku atau
POV KAMALPagi itu aku pergi bersama Bos Zenal. Ya, aku selalu ikut bersamanya karena aku bekerja sebagai sopir pribadinya. Kukendarai mobil mahal ini menuju ke sebuah hotel bintang lima."Berhenti di sini! Kita tunggu sebentar," titah Bos.Kuhentikan laju mobil di bahu jalan. "Memangnya ada apa Bos?" Aku ingin tahu, padahal harusnya aku sudah tahu jika ia sedang menunggu wanita pesanannya. Bosku memang suka jajan."Kamu banyak nanya, kaya yang belum kenal saya saja! Hahaha,” jawab Bos seraya menengok ke kanan dan ke kiri. Menatap kendaraan yang melintas."Maap, Bos."Beberapa menit kami menunggu, akhirnya datang sebuah mobil angkutan umum dan berhenti di ujung jalan.Lalu keluarlah seorang wanita. Ia menggunakan pakaian yang begitu seksi. Mataku sampai tak mampu berkedip melihat lekuk tubuhnya. Kulihat dari ujung kaki sampai ....Saat kulihat wajahnya. Ia nampak tak begitu asing bagiku. "Mawar?" sebu
“Tapi ... nyatanya dugaanku salah.”POV KAMAL end***Aku mendengarkan apa yang diceritakan Mas Kamal dengan saksama. Sungguh aku merasa benar-benar telah dibohongi. Aku sangat geram. Jika diperkenankan aku ingin sekali meludah di wajahnya. Jika di dunia ini tidak ada istilah hukum, aku ingin sekali membunuhnya, menghabisi nyawanya sekarang juga. Namun, sayangnya aku masih dalam kondisi sadar. Hingga keinginanku yang bisa saja kulakukan masih bisa ditahan."Lalu maksudmu, itu anak siapa?" tanya Mas Rendi."Aku ga tahu." Mas Kamal menggeleng-gelengkan kepalanya."Ya ... itu anakmu dong, Mas!" ucapku begitu lantangnya sambil berkacak pinggang. Dadaku terasa sesak."Mas ...!"
Kasih saran ya readers! Supaya ceritaku berkembang. Terima kasih~Happy reading~***"Engga. Aku ga mau masuk. Biarin aja! Toh biasanya juga ada perawat di sana," tolakku.Setahuku pasti selalu ada seorang asisten yang akan membantu Dokter atau Bidan untuk menghadapi proses persalinan.Pak Yanto menatapku dengan penuh kekecewaan. Alisnya turun. Matanya berkaca-kaca. Ia menghempaskan tanganku kasar."Ya Tuhan ... dasar wanita jahat!" katanya. Ia bisa dengan mudahnya menilai seseorang.“Kamu sampe ga mau nolongin kaya gitu. Kamu wanita! Tapi kamu ga ngerti keadaan mendesak kaya gini? Ga punya hati banget! Kenapa bisa Kamal sampe menikahi wanita sejahat dirimu? Kamu pasti maen pelet, kan?!” tuduh Pak Yanto.“Sembarangan! Maaf ya, Pak. Bapak memang boleh marah dan kecewa karena aku ga bantuin Bapak. Tapi, Bapak ga usah dan ga perlu ngomong kaya gitu. Nuduh kaya gitu!” berangku sambil menunjuk wajah Pak
"Hahahahaha ...." Serentak semua tertawa. Ya, menertawakanku."Ya iyalah. Itu kan memang anaknya," ucap Pak Yanto."Mas??" Mataku berkaca-kaca dan segeralah aku berlari keluar. Kupinjam telepon rumah sakit dan mencoba menghubungi Mas Rendi."Mas jemput aku di rumah sakit Bintari!" ucapku di telepon.Setelahnya kututup sambungan telepon itu dan menunggu di bibir pintu masuk rumah sakit. Rasanya aku ingin segera pergi jauh dari tempat ini. Malu.Akan tetapi, tiba-tiba Mas Kamal memelukku dari belakang. "Percayalah! Dia bukan anakku," bisiknya.Aku terkejut. Sejenak aku terdiam. "Lepasin, Mas!" pekikku. Aku sudah menyingkirkan rasa malu ini. Aku berteriak.Namun, Mas Kamal tak menyerah. Ia tak hilang akal dan malah membawaku ke tempat parkir. Di sana memang agak sepi."Udah jelas-jelas wajahnya aja mirip kamu, Mas. Pokoknya aku minta kita cerai. Pisah!" tegasku."Ga. Ga akan. Mas ga mau, An!" Mas Kamal menarik pinggangku. Merangkul tubuhku. Kupaling
Ceklek!"Wa'alaikum salam ...," jawab Mas Rendi sambil membuka pintu.Semua mata mengarah ke arah luar. Aku menatap aneh. "Syukurlah, kukira dia Mas Kamal. Tapi ... dia siapa?" batinku.Mbak Rina tersenyum padaku. Aku tak mengerti maksud dibalik senyum itu. Mas Rendi bergegas menghampiri tamu tersebut."Ah ... Mas Rido? Masuk!" Mas Rendi mempersilakan orang asing itu masuk.Kakakku menyebut pria asing itu dengan nama Rido. Kulihat wajahnya memang tampan. Seperti Mas Kamal, dia juga berjanggut dan berkumis tipis. Ia memakai kemeja putih, dengan jas menggantung di lengannya. "Apa dia seorang Bos?" pikirku."Silakan duduk!" titah Mas Rendi. Sementara itu, aku dan Mbak Rina masih berdiri berdampingan seperti sedang mengantre pembagian sembako."Terima kasih, Mas," sahut Rido. Ia pun duduk di sofa tempatku menangis dulu. Ya, tentu saja aku masih ingat.Mas Rendi menatap ke arah kami berdua. Katanya, "Kok malah bengong?! Ambilin air! Masa
Pria itu pun melenggang pergi. Ia pulang dan aku masih merasa jantungku belum bisa berdegup dengan normal. Kututup pintu dan kulihat sepasang suami-istri sudah menunggu. Bersiap untuk menggodaku."Cieeee ....," goda Mas Rendi."Ih, apa sih, Mas?" Aku tersipu malu. Pipiku sudah memerah seperti kepiting rebus.Kami bertiga tertawa bersama. Mbak Rina pun menepuk pundakku. "Mbak lihat ... mereka cocok," katanya."Hahaha. Maen cocok cocok aja si Mbak." Aku tertawa terbahak-bahak.Tok! Tok! Tok!Sekitar sepuluh menit, terdengarlah suara pintu diketuk lagi. "Masa dia balik lagi?" pikirku. Hatiku sudah merasa tak karuan.“Jangan-jangan dia balik lagi, An?!” Mbak Rina menyikut perutku pelan sambil terkikik. Begitu pun dengan suaminya. Mereka terlihat begitu kompak. Bahagia melihat penderitaanku."Cieee ... bukain sana!" suruh Mas Rendi. Ia bahkan sengaja mendorongku.Kurapikan rambutku dan dengan semangat kubuka pintu. Ternyata ...."Mas Kamal?"