Sambil menangis aku mencoba untuk mengeringkan rambut yang masih bercucuran air ini. Kuambil sisir di atas lemari. Pelan-pelan kugunakan sisir tersebut untuk merapikan rambutku yang kusut, berantakan.
Lalu aku pun keluar dengan mata sembab. Cukup lama aku berada di dalam kamar, tapi tak ada satu orang pun yang mengetuk pintu. Ya, aku mengerti, mungkin mereka ingin memberiku waktu untuk sendirian. Berpikir.Kulihat ada keponakanku yang sedang bermain ponsel menonton film kartun di sofa yang lain karena sofa yang tadi menjadi tempat dudukku sedang dikeringkan memakai hair dryer.Kudekati keponakanku itu dan duduk di sampingnya. Kuusap rambutnya pelan. "Jika saja aku punya anak, mungkin aku tidak akan sesedih ini. Ya, mungkin Mas Kamal tidak akan mengkhianatiku."Hatiku tersuat-suat dengan nasib dan vonis yang diberikan dokter. Aku merasa telah gagal karena tidak akan pernah diberi kesempatan untuk menjadi wanita yang seutuhnya. “Aku memang punya ibu, tapi apa benar aku tidak akan pernah menjadi seorang ibu?”"Maaf, Mas. Sofanya jadi basah gara-gara aku." Aku menundukkan kepalaku. Malu."Engga apa-apa," jawab Mas Rendi. Ia tak marah.Dari kecil aku selalu menyusahkan Kakakku, merepotkannya. Akan tetapi ia tak pernah mengeluh dan merasa keberatan. Ia sangat menyayangiku tentunya. Bagiku ia bukan hanya sekedar seorang Kakak. Ia juga teman dan sekaligus sebagai pengganti kedua orang tuaku.Kukuatkan hati ini. Kuyakinkan diriku dan terus menerus mencoba untuk mengumpulkan keberanianku untuk berucap."Mas ... aku mau ngomong aja. Soalnya kayanya aku ga bakalan kuat kalau mendem masalah ini sendirian," kataku agak kaku.Mas Rendi mematikan hair dryer itu dan duduk di hadapanku. Ia siap mendengarkan. “Katakan aja, An! Mas siap dengerin, kok! Jangan suka mendem masalah sendirian! Nanti kamu sakit, Mas juga yang repot.”Mbak Rina yang sedang sibuk mengepel lantai karena bekas kaki kotorku pun ikut mendengarkan. Ia terlihat begitu antusias dan berdiri tepat di samping suaminya."Mas ... aku ga kuat, Mas." Belum apa-apa, air mataku sudah menetes lagi.
"Kenapa? Coba ceritakan sama Mas! Mungkin jika Mas bisa bantu, Mas bakalan ngebantu sekuat mungkin,” kata Mas Rendi dengan nada yang begitu rendah."Mas Kamal, Mas ... Mas Kamal! Dia ... dia membawa istri sirinya ke rumah." Aku segera menutup wajah dengan kedua telapak tanganku."Apa?!" Mas Rendi terkejut. "Apa maksudmu?""Iya, Mas Kamal nikah diem-diem sebelum nikah sama aku, Mas. Dia itu pembohong!" ucapku.Sekuat tenaga aku mencoba menceritakan apa yang telah aku alami. Meskipun harus berderai air mata, tapi aku merasa sangat lega setelah mengatakan semuanya. Kutarik nafas panjang.
"Gila si Kamal!" berang Mas Rendi. Ia mengepalkan kedua tangannya."Mas, sumpah demi apa pun. Aku ga tahu kalau Mas Kamal udah nikah. Apalagi sekarang istrinya ternyata lagi hamil besar," lanjutku. Kali ini aku berkata dengan lancarnya. Ada rasa kepuasan batin sesaat setelah mengucapkan hal itu."Hamil?" ulang Mbak Rina. Ia pasti sangat terkejut mendengar hal ini."Kurang ajar! Si Kamal penipu, sialan!" Mas Rendi marah besar.Brak!Ia menggebrak meja dengan keras. Mas Rendi naik pitam. Murka. Gebrakan meja itu dengan spontan mengagetkan keponakanku dan membuatnya menangis. Menjerit ketakutan.Dengan sigap Mbak Rina membawa dan menenangkan anaknya. Ia membawanya keluar.Jantungku pun agak tersentak. Sambil menangis, kucoba berucap lagi. Kataku, "Yang lebih parah, Mas ... Mas Kamal juga membawa mertuanya ke rumah. Ya, orang tua dari wanita itu."Mas Rendi menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Astagfirullah! Itu si Kamal udah ga waras? Bener-bener ga tau diri!" ucap Mas Rendi dengan menggunakan nada yang begitu tinggi."Mas bakal ngasih perhitungan sama dia!" Mas Rendi bangkit dari duduknya. Ia melipat ujung kaos lengan pendek itu dan memperlihatkan otot-ototnya.
Kakakku memang suka berolah raga. Tak ayal, badannya bak seorang binaragawan profesional.
"Jangan, Mas!" Segera kutahan tangannya itu. Kukeluarkan semua kekuatanku."Mana bisa seorang Kakak diem aja liat adiknya disakiti begitu? Mas ga terima." Ia menurunkan tanganku dan matanya kini hanya menatap ke depan."Jangan, Mas! Kita bisa bicarain masalah ini baik-baik," larangku dengan sedikit menambahkan saran. Aku takut ketika melihat kemarahan Kakakku itu. Tubuhnya yang berotot terlihat menyeramkan."Ah, ga usah. Ga perlu! Kalau kita baikin dia ... nanti dia bakalan ngelunjak. Ga bisa dibiarin!" katanya.Jika dipikir-pikir, perkataan Mas Rendi memang benar adanya. Aku pun berpikir ulang. Kuregangkan genggaman tanganku.
Mas Rendi melenggang pergi dengan terburu-buru. Ia memang orang yang nekat. Kulihat wajahnya merah padam dengan kepalan tangan yang begitu kuat. Aku sampai bisa melihat urat-uratnya yang menegang.“Mas! Mau ke mana?” teriak Mbak Rina. Ia pun menatapku.“Mbak, gawat! Mas Rendi pasti akan menghajar Mas Kamal!” ucapku, panik.“Kalau gitu, ayo cepet kita susul!” ajak Mbak Reni sambil menggendong anaknya. Kami pun segera berlari mengekor di belakang. Saat itu hujan sudah reda meskipun terkadang rintik-rintik air masih menjatuhi kepalaku.Begitu khawatirnya aku saat Mas Rendi memanggil nama suamiku padahal jarak tempatnya berdiri dari rumahku sekitar lima meter lagi. Ya, masih agak jauh maksudnya.Tetangga yang mendengar teriakan Mas Rendi tentu datang berhamburan. Wajah mereka penuh tanya. Aku menunduk malu."Kamal ...!" teriak Mas Rendi dengan suara yang begitu menggelegar.Brak!Pintu rumahku ditendang dengan sangat keras. Namun, yang keluar adalah orang tua Mawar."Siapa kalian? Pergi kalian dari sini!" kata Mas Rendi saat melihat orang yang baru dilihatnya."Eh, kalau ngomong sama orang tua itu yang sopan, ya! Jaga mulutmu!" ucap Pak Yanto.Mas Rendi tak menghiraukan perkataan orang tua Mawar. Ia malah pergi ke arah kamarku."Hei! Ini rumah menantuku. Maen selonong aja kaya anak ayam!" ledek Pak Yanto.
Mas Rendi hanya memberikan tatapan tajam. Matanya sudah sangat merah. Sungguh menyeramkan.
Duk! Duk! Duk!"Woy Kamal! Buka ...!" Mas Rendi masih terus berteriak.Beberapa kali pintu kamarku dipukul dengan keras. Sesekali Mas Rendi mencoba mendobrak dengan lengan atasnya.Sepersekian detik saat Mas Rendi hendak mengetuk pintu lagi, Mas Kamal lalu membuka pintu itu."Ada apa, Mas? Kenapa teriak-teriak begitu?" tanya Mas Kamal dengan nada datarnya. Ia memasang wajahnya begitu polos tanpa dosa. Pintar berpura-pura.Kulihat Mas Kamal bersikap biasa-biasa saja. Tenang. Aku tak habis pikir dengan kelakuan suamiku itu.
"Ada apa ... ada apa?! Keluar kamu! Malah enak-enakan di dalam!" Mas Rendi menarik dan menyeret suamiku keluar.Tanpa perlawanan Mas Kamal mengikuti kemauan Mas Rendi. Tubuhku gemetar. Aku berpegangan pada lengan Mbak Rina. "Apa yang harus aku lakuin? Apa aku harus nolongin Mas Kamal?"
Halo readers! Bab ini mengandungadegan kekerasan. Harap bijak memilih dan memilah bacaan.Tolong jangan salahin author ya, kalo sampe kebawa emosi. Hehe. Terima kasih.Happy reading~***Mbak Rina memberikan anaknya padaku. "Mana wanita itu?" Ia lalu masuk ke dalam kamar."Oh ... jadi wanita ini?!" teriak Mbak Rina. Aku bisa mendengarnya dari luar. Dengan spontan kututup telinga anaknya takut jika Mbak Rina berkata kasar.Plak!Suara tamparan terdengar sangat keras. Mataku terbelalak. “Mbak Rina melakukan itu untukku?” batinku. Aku tak percaya Kakak Iparku begitu peduli padaku.Orang tua Mawar saat itu sedang menyaksikan Mas Kamal di lawang pintu. Mereka sepertinya mendengar suara tamparan itu juga dan sama-sama terkejut. Mereka berjalan cepat melewatiku dan masuk ke dalam kamar juga."Bagaimana ini? Aku harus menolong siapa? Apa aku harus menolong suamiku atau
POV KAMALPagi itu aku pergi bersama Bos Zenal. Ya, aku selalu ikut bersamanya karena aku bekerja sebagai sopir pribadinya. Kukendarai mobil mahal ini menuju ke sebuah hotel bintang lima."Berhenti di sini! Kita tunggu sebentar," titah Bos.Kuhentikan laju mobil di bahu jalan. "Memangnya ada apa Bos?" Aku ingin tahu, padahal harusnya aku sudah tahu jika ia sedang menunggu wanita pesanannya. Bosku memang suka jajan."Kamu banyak nanya, kaya yang belum kenal saya saja! Hahaha,” jawab Bos seraya menengok ke kanan dan ke kiri. Menatap kendaraan yang melintas."Maap, Bos."Beberapa menit kami menunggu, akhirnya datang sebuah mobil angkutan umum dan berhenti di ujung jalan.Lalu keluarlah seorang wanita. Ia menggunakan pakaian yang begitu seksi. Mataku sampai tak mampu berkedip melihat lekuk tubuhnya. Kulihat dari ujung kaki sampai ....Saat kulihat wajahnya. Ia nampak tak begitu asing bagiku. "Mawar?" sebu
“Tapi ... nyatanya dugaanku salah.”POV KAMAL end***Aku mendengarkan apa yang diceritakan Mas Kamal dengan saksama. Sungguh aku merasa benar-benar telah dibohongi. Aku sangat geram. Jika diperkenankan aku ingin sekali meludah di wajahnya. Jika di dunia ini tidak ada istilah hukum, aku ingin sekali membunuhnya, menghabisi nyawanya sekarang juga. Namun, sayangnya aku masih dalam kondisi sadar. Hingga keinginanku yang bisa saja kulakukan masih bisa ditahan."Lalu maksudmu, itu anak siapa?" tanya Mas Rendi."Aku ga tahu." Mas Kamal menggeleng-gelengkan kepalanya."Ya ... itu anakmu dong, Mas!" ucapku begitu lantangnya sambil berkacak pinggang. Dadaku terasa sesak."Mas ...!"
Kasih saran ya readers! Supaya ceritaku berkembang. Terima kasih~Happy reading~***"Engga. Aku ga mau masuk. Biarin aja! Toh biasanya juga ada perawat di sana," tolakku.Setahuku pasti selalu ada seorang asisten yang akan membantu Dokter atau Bidan untuk menghadapi proses persalinan.Pak Yanto menatapku dengan penuh kekecewaan. Alisnya turun. Matanya berkaca-kaca. Ia menghempaskan tanganku kasar."Ya Tuhan ... dasar wanita jahat!" katanya. Ia bisa dengan mudahnya menilai seseorang.“Kamu sampe ga mau nolongin kaya gitu. Kamu wanita! Tapi kamu ga ngerti keadaan mendesak kaya gini? Ga punya hati banget! Kenapa bisa Kamal sampe menikahi wanita sejahat dirimu? Kamu pasti maen pelet, kan?!” tuduh Pak Yanto.“Sembarangan! Maaf ya, Pak. Bapak memang boleh marah dan kecewa karena aku ga bantuin Bapak. Tapi, Bapak ga usah dan ga perlu ngomong kaya gitu. Nuduh kaya gitu!” berangku sambil menunjuk wajah Pak
"Hahahahaha ...." Serentak semua tertawa. Ya, menertawakanku."Ya iyalah. Itu kan memang anaknya," ucap Pak Yanto."Mas??" Mataku berkaca-kaca dan segeralah aku berlari keluar. Kupinjam telepon rumah sakit dan mencoba menghubungi Mas Rendi."Mas jemput aku di rumah sakit Bintari!" ucapku di telepon.Setelahnya kututup sambungan telepon itu dan menunggu di bibir pintu masuk rumah sakit. Rasanya aku ingin segera pergi jauh dari tempat ini. Malu.Akan tetapi, tiba-tiba Mas Kamal memelukku dari belakang. "Percayalah! Dia bukan anakku," bisiknya.Aku terkejut. Sejenak aku terdiam. "Lepasin, Mas!" pekikku. Aku sudah menyingkirkan rasa malu ini. Aku berteriak.Namun, Mas Kamal tak menyerah. Ia tak hilang akal dan malah membawaku ke tempat parkir. Di sana memang agak sepi."Udah jelas-jelas wajahnya aja mirip kamu, Mas. Pokoknya aku minta kita cerai. Pisah!" tegasku."Ga. Ga akan. Mas ga mau, An!" Mas Kamal menarik pinggangku. Merangkul tubuhku. Kupaling
Ceklek!"Wa'alaikum salam ...," jawab Mas Rendi sambil membuka pintu.Semua mata mengarah ke arah luar. Aku menatap aneh. "Syukurlah, kukira dia Mas Kamal. Tapi ... dia siapa?" batinku.Mbak Rina tersenyum padaku. Aku tak mengerti maksud dibalik senyum itu. Mas Rendi bergegas menghampiri tamu tersebut."Ah ... Mas Rido? Masuk!" Mas Rendi mempersilakan orang asing itu masuk.Kakakku menyebut pria asing itu dengan nama Rido. Kulihat wajahnya memang tampan. Seperti Mas Kamal, dia juga berjanggut dan berkumis tipis. Ia memakai kemeja putih, dengan jas menggantung di lengannya. "Apa dia seorang Bos?" pikirku."Silakan duduk!" titah Mas Rendi. Sementara itu, aku dan Mbak Rina masih berdiri berdampingan seperti sedang mengantre pembagian sembako."Terima kasih, Mas," sahut Rido. Ia pun duduk di sofa tempatku menangis dulu. Ya, tentu saja aku masih ingat.Mas Rendi menatap ke arah kami berdua. Katanya, "Kok malah bengong?! Ambilin air! Masa
Pria itu pun melenggang pergi. Ia pulang dan aku masih merasa jantungku belum bisa berdegup dengan normal. Kututup pintu dan kulihat sepasang suami-istri sudah menunggu. Bersiap untuk menggodaku."Cieeee ....," goda Mas Rendi."Ih, apa sih, Mas?" Aku tersipu malu. Pipiku sudah memerah seperti kepiting rebus.Kami bertiga tertawa bersama. Mbak Rina pun menepuk pundakku. "Mbak lihat ... mereka cocok," katanya."Hahaha. Maen cocok cocok aja si Mbak." Aku tertawa terbahak-bahak.Tok! Tok! Tok!Sekitar sepuluh menit, terdengarlah suara pintu diketuk lagi. "Masa dia balik lagi?" pikirku. Hatiku sudah merasa tak karuan.“Jangan-jangan dia balik lagi, An?!” Mbak Rina menyikut perutku pelan sambil terkikik. Begitu pun dengan suaminya. Mereka terlihat begitu kompak. Bahagia melihat penderitaanku."Cieee ... bukain sana!" suruh Mas Rendi. Ia bahkan sengaja mendorongku.Kurapikan rambutku dan dengan semangat kubuka pintu. Ternyata ...."Mas Kamal?"
Aku membawa bayi ini menuju ke rumah Mas Rendi. Dengan jantung yang dag-dig-dug tak karuan aku pun masuk. Ternyata Mas Rendi sudah menungguku sambil berkacak pinggang."Anita!" Tentu Mas Rendi akan membentakku seperti itu dan aku sudah sangat siap. Kusimpan tas besar milik bayi ini di atas meja. Tanganku mulai terasa kram."Kenapa kamu ini? Kenapa malah membawa anak itu ke rumah?" Begitupun dengan pertanyaan ini. Aku masih berdiri tak jauh dari pintu sambil mendengarkan apa-apa yang akan dikatakan Kakakku.Kutatap saja matanya. "Kenapa, Mas? Apa tidak boleh?" Padahal aku pun sudah sangat tahu apa yang akan dikatakannya."Sudah jelas tadi Mas ngelarang!" katanya masih dengan nada yang memekikkan telingaku."Tapi, Mas--" Pandangan mataku kini beralih pada si bayi. Kutatap nanarnya yang begitu berbinar. Menggoda dan menggelitik hatiku agar melindunginya."Udah, Mas ga mau ngurusin adik kaya kamu. Mas ga mau juga terbebani anak haram itu!” kata Ma