“Assalamualaikum.” Aruna masuk langsung menuju dapur hendak meletakkan sekeranjang buah yang tadi dibawakan temannya.Wanita itu melirik jam dinding sekilas. Jam dua belas kurang lima menit, pas tengah hari. Dia memang selalu menyempatkan pulang untuk makan siang bersama Adya dan Wira jika tidak sedang padat kegiatan.“Wah, ada tamu agung nih.” Aruna tersenyum lebar melihat Zahir dan Zafar sudah duduk rapi di meja makan. Di depan mereka terletak gelas berisi jus jeruk dingin yang isinya sudah tinggal setengah.“Ibu ….” Zahir dan Zafar kompak berdiri menyambut Aruna.Aruna tertawa dan mengulurkan tangan pada kedua anaknya. Zahir dan Zafar bergantian mencium tangan Aruna. Mereka tertawa saat Aruna mengacak rambut hingga berantakan.“Tumben pulang sekolah langsung ke sini?” Aruna urung masuk ke kamar. Wanita itu memilih langsung bergabung di meja makan. Biasanya, sesampai di rumah Aruna akan mandi dulu. Setelah segar baru bergabung ke meja makan.“Iya.” Zahir menjawab pertanyaan Aruna ti
"Tinggal di sini bagaimana maksudnya?" Aruna memegang bahu Zahir. Dia ingin memastikan maksud dari ucapan anaknya barusan.Anak laki-laki itu meletakkan ponsel yang sejak tadi dipegangnya. Dia menarik napas panjang seperti menimbang sesuatu. "Ya tinggal dengan Ibu," ucapnya. "Kalau boleh." Zahir menggurat motif permadani dengan ujung jari."Loh ya nanti dulu dong, Ibu sudah terlanjur nyaman seperti ini. Seperti gadis lagi hanya mengurus diri sendiri." Aruna tertawa diikuti oleh Adya dan Wira.Sementara Zahir dan Zafar saling pandang. Dua kakak beradik itu seperti kebingungan dengan jawaban Aruna. Apakah itu artinya mereka ditolak? Atau ibunya hanya sedang bercanda saja?"Memangnya kenapa, Nak? Ayah sudah memperbolehkan?" Aruna akhirnya mengelus kepala kedua jagoannya itu. Dia tidak tega lama-lama menggoda mereka."Ibu tentu senang-senang saja kalau kalian mau di sini, tapi 'kan kalian tahu sendiri Ayah seperti apa." Aruna menjelaskan pelan. "Ibu tidak mau sampai ada keributan lagi.""
Tidak dapat dipungkiri, dia pernah melewati masa-masa bahagia dengan Tibra. Perjuangan membangun usaha dari nol bersama lelaki itu memberikan banyak pelajaran bagi Aruna. Benar kata Tibra, dari mantan suaminya itu dia banyak belajar tentang usaha dan kerja keras. Namun, sayang, lelaki itu tidak dapat belajar darinya tentang kesetiaan dan komitmen.Butuh komitmen yang kuat untuk bisa tetap berdiri tegak di samping lelaki yang dulu dia cintai. Aruna yang biasa hidup berkecukupan, memilih meninggalkan semua itu dan hidup dalam kesusahan agar bisa bersama dengan Tibra.Andai mereka bisa saling belajar dalam masa perjuangan dulu, mungkin saat ini mereka masih menjadi keluarga utuh yang bahagia. Namun, semua tinggal masa lalu. Cerita mereka telah lama berlalu. Sesekali Aruna memang masih sering menengok ke belakang. Bukan karena belum move on, tetapi sebagai pengingat baginya untuk dijadikan pelajaran. Kini, hanya doa tulus yang Aruna panjatkan. Semoga Tibra bisa melewati semua cobaan ya
"Loh? Sejak kapan?" Zahir yang biasanya pendiam mendadak antusias sekali bertanya di sela-sela makan malam."Sudah lama, cuma memang diam-diam, backstreet kalau istilah anak muda zaman sekarang. Ibu kalian, wanita yang dekat dengan Om ini tidak mau hubungan kami diketahui publik." Tyo menjelaskan dengan sabar."Jadi, malam ini Om bermaksud melamar wanita cantik yang sangat kita cintai itu untuk menjadi pendamping Om. Namun sebelumnya, tentu Om harus bertanya apakah kalian bersedia berbagi? Tidak mudah bagi Om harus bersaing dengan kalian untuk mendapatkan cintanya. Oleh karena itu, Om berharap kalian mau berbagi, agar kita bisa menjadi kawan dalam menyayanginya, bukan lawan yang berusaha memperoleh perhatiannya." Ucapan Tyo membuat ruangan itu menjadi hening.Aruna menggigit bibirnya. Dua minggu yang lalu, Tyo sudah menyampaikan niat baik itu padanya. Bukan lamaran romantis seperti pasangan muda dengan cincin dan bunga-bunga. Tyo hanya menatapnya dalam-dalam saat mereka baru saja sel
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Aruna Lakhsita Wira binti Wira dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai karena Allah." Suara Tyo lantang terdengar dalam satu tarikan napas."Bagaimana saksi, sah?" Petugas KUA menoleh pada dua orang saksi."Sah!" Kedua saksi menjawab bersamaan."Alhamdulillahirobbilalamin." Ucapan hamdalah langsung memenuhi ruangan itu.Aruna mengusap air matanya dengan tisu. Dalam balutan gaun nuansa putih, dia tak kuasa menahan air mata saat proses akad nikah dilangsungkan.Hatinya bergetar saat mendengar suara serak penuh haru sang Ayah mengucapkan kalimat ijab dan suara tegas nan mantap sang Pujaan menyambut dengan kalimat qabul.Setelah sekian tahun hidup menjanda, hari ini Aruna akhirnya kembali menemukan penyempurna bahagianya. Perasaannya buncah saat Zahir dan Zafar yang menggunakan setelan jas warna hitam tersenyum membuka pintu tempatnya menunggu selama prosesi akad dilaksanakan. Kedua putranya itu menjemputnya untuk menuju tempat semua orang telah menungg
Susana haru semakin terasa saat proses “sungkeman” dilaksanakan. Air mata Aruna mengalir deras saat Adya dan Wira sepenuh hati mendoakan kelanggengan, kebahagiaan dan keberkahan bagi rumah tangganya. Akhirnya dia dapat melihat Wira tersenyum lega melepasnya untuk mengarungi bahtera rumah tangga.Lelaki itu memeluk lama menantunya. Membisikkan banyak hal tentang Aruna. Menitipkan putri semata wayangnya pada lelaki yang sangat dia percaya mampu menggantikan perannya sebagai seorang yang bertanggung jawab pada anaknya.“In Syaa Allah, Pak. Saya akan jaga Aruna dengan segenap jiwa, bahkan jika itu harus mempertaruhkan nyawa.” Tyo menatap yakin mata Wira.Lelaki itu paham kenapa Wira seperti itu, keluarga ini mempunyai trauma yang sangat dalam pada pernikahan Aruna yang terdahulu. Sehingga, dia harus bisa memberikan keyakinan pada Aruna dan kedua orangtuanya bahwa tidak semua lelaki akan menorehkan luka.Wira mengangguk mendengar ucapan Tyo. Bahu lelaki itu berguncang. Tyo tersenyum dan m
Tibra menarik napas panjang. Dia sudah mendengar berita tentang mantan istrinya itu beberapa hari ini. Namun, sekuat hati dia mengabaikannya. Tak dapat dipungkiri, ada sedikit rasa yang tak biasa tergelitik jauh di relung terdalam perasaan saat mendengar nama Aruna disandingkan dengan nama lelaki lain selain dirinya.Bertahun-tahun setiap ada pemberitaan, nama mereka selalu bersanding. Bahkan, setelah perceraian pun namanya dan Aruna masih sering disangkut pautkan. Kini, saat ada nama ketiga mencuat, ada yang lain di hatinya. Nama ketiga? Ah … sejatinya, itu adalah nama pasangan Aruna, karena mereka sudah bukan siapa-siapa. "Iya dong, mau bulan madu dulu."Suara tawa Aruna terdengar renyah dari televisi, membuat Tibra mau tidak mau menoleh. Lelaki itu menatap foto-foto pernikahan Aruna. Tibra memandangi wajah Aruna lama saat foto mantan istrinya itu terpampang menggunakan gaun putih khas pengantin.Tayangan berikutnya memperlihatkan foto Aruna dan Tyo berdiri di tengah. Di samping ki
“Tibra, sebentar, Tibra!”“Dhir, sedikit, Dhir, tanggapannya!”“Sebentar yuk, sebentar saja.”“Aduh! kameraku!”Tibra merangkul Andhira. Mereka berjalan cepat berusaha menyibak kerumunan awak media yang mengerumuni dan terus mengikuti langkah mereka.Sejak berita pernikahan Aruna yang diselenggarakan di kapal pesiar mewah tersebar luas, perhatian publik langsung tertuju pada mantan suaminya, Tibra. Cabang utama resto hingga perumahan tempat Tibra tinggal tak urung menjadi tempat “tongkrongan” wartawan yang berharap bisa mewawancarainya. Tibra dan Andhira seolah hilang ditelan bumi. Pasangan itu menghilang begitu saja sejak berita Aruna mencuat dan menarik atensi publik.Absennya mereka dari layar kaca menimbulkan banyak tanya. Hal itu dapat dimengerti karena selama ini Tibra selalu terbuka di layar kaca. Baik saat masih bersama Aruna maupun setelah menikah dengan Andhira. Hampir semua kegiatannya menjadi konsumsi publik apalagi jika berhubungan dengan hal yang bisa mengangkat citra
"Ampun! Ampun! Maaf, Mas." Andhira memeluk lutut dan menyembunyikan kepalanya di sana. Rambut wanita itu kusut masai. Di lantai, ceceran rambutnya terserak banyak karena sering dijambak."Tolong! Tolooong … tolooooong … bantu aku, bantu aku." Andhira kembali berteriak kencang sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat. "Jangan bunuh aku, kumohon. Biarkan aku dan anakku hidup dengan tenang. Kumohon." Andhira menghiba dengan wajah basah.Sepuluh menit kemudian, dia tertidur di lantai dalam posisi bersujud. Seperti biasa, setelah mengamuk dan berteriak histeris, Amdhira akan tertidur begitu saja karena kelelahan. Napasnya terdengar teratur. Tidak lagi menderu seperti tadi.Disini, Tibra mengepalkan tangan kencang. Hatinya perih melihat keadaan Andhira. Sejak kejadian pagi itu sebulan yang lalu, Andhira menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak banyak bicara. Dia bahkan semakin menjaga jarak dengan Tibra dan tidak berani membalas tatapannya setiap kali berbicara.Tepat seminggu setela
Tibra meremas selembar foto di tangannya. Lelaki itu menatap nyalang pada foto-foto lain yang berserakan. Disana terlihat foto dua orang yang sangat dia kenal. Andhira dan Devan sedang akad nikah. Keduanya juga tampak tersenyum lebar di pelaminan. Di foto lain, terlihat Devan dan Andhira sedang berfoto di ranjang rumah sakit sambil memeluk bayi mungil dengan papan nama bertuliskan nama Anna. Bukan hanya foto, tapi fotokopi kartu keluarga dan Juga fotokopi buku nikah melengkapi isi amplop coklat yang sampai ke mejanya pagi ini. "Lelucon apa ini?" Tibra tertawa kencang. Kepalanya hampir pecah mengetahui istri dan orang yang telah menghancurkan usahanya ternyata pernah menikah. Lelaki itu benar-benar meraa dipermainkan oleh kehidupan. Tibra langsung membereskan semua foto dan memasukkannya kembali ke dalam amplop besar. Setelah itu dia langsung meninggalkan outlet. Berkali-kali dia memukul kemudi dan membunyikan klakson selama perjalanan. Andai bisa, ingin rasanya dia melajukan kendara
“Devan!”Lelaki yang sedang tiduran di kasur tipis sambil menumpukan kaki kanan di atas lutut kirinya itu mengangkat kepala sedikit saat mendengar petugas menyebut namanya.“Ada tamu,” ucap petugas sambil membuka kunci. Bunyi gemerincing rantai dan kunci beradu dengan sel memenuhi pendengaran, membuat beberapa tahanan menoleh dari balik sel mereka.Devan tersenyum tipis pada wajah-wajah penasaran itu. Jangankan mereka, diapun tidak sabar ingin tahu siapa tamu yang datang ini. Hampir dua tahun dia menjalani hukuman, tidak ada yang datang berkunjung. Itulah sebabnya saat mendengar Devan ada tamu, yang lain langsung antusias.“Siapa ya tamunya?”“Bukannya dia psikopat? Ada juga yang mau mengunjungi ternyata.”“Masa sih?”“Iya, makanya itu dia sendirian di dalam sel!”“Oh jadi itu alasannya dia seperti diistimewakan dengan hanya sendiri saja?”“Iya, katanya dulu awal-awal menjadi tahanan, habis rekan satu selnya. Entah dibagaimanakan, hampir saja teman-teman satu selnya mati perlahan. Unt
“Baiklah, terima kasih pada pembicara kita yang sangat luar biasa. Sesi selanjutnya adalah penyerahan bantuan kepada teman-teman yang usahanya sedang kurang baik. Kepada teman-teman yang namanya disebutkan, harap naik ke atas panggung."Tibra meletakkan gelas minumannya. Sambil merapikan dasi, dia bergegas melangkah ke arah panggung. Beberapa teman yang usahanya juga kurang baik menepuk punggungnya. Mereka berjalan bersama.Hanya Tibra yang tidak didampingi istri. Andhira memilih menemani putri mereka daripada ikut ke sini. Acara itu disiarkan secara live di salah satu televisi swasta. Sehingga, dia bisa ikut mengikuti jalannya acara."Untuk menyerahkan secara simbolis bantuan ini, kami minta dengan hormat kepada Ibu Aruna sebagai sosok yang menginspirasi hari ini untuk memberikan amplop sebagai tanda sahnya teman-teman menerima bantuan. Semoga dengan diberikannya bantuan ini oleh Ibu Aruna, teman-teman sekalian bisa termotivasi untuk berinovasi sehingga usahanya bisa bangkit kembali.
“Ah … maaf!” Tibra yang pikirannya sedang melayang kemana-mana tanpa sengaja menabrak seseorang saat akan mengambil gelas minuman.“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”Tibra menautkan alis saat mendengar suara yang sepertinya dia kenal. Dengan cepat, lelaki itu mengangkat kepala dan menoleh ke sumber suara.“Tibra.” Wira menarik napas panjang saat menyadari yang menabraknya barusan adalah mantan menantunya. Ada yang tercubit di dalam sana saat berjumpa lagi setelah sekian lama. Terakhir mereka bertemu di ruang persidangan perceraian saat dia mendampingi Aruna.Tibra menegakkan badan, dagunya sedikit terangkat dengan sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana. Sejak dulu, dia dan mantan mertuanya itu tidak pernah dekat. Penolakan Wira padanya saat ingin menjadikan Aruna istri dulu masih membekas jelas dalam ingatan Tibra.“Apa kabar, Nak?” Adya tersenyum sambil mengelus tangan Tibra yang memegang gelas minuman. Hubungannya dengan Tibra memang lebih baik dibandingkan suaminya. Sepuluh tahu
“Sesi Sharing di pertemuan tahun ini kita mulai dari yang wajahnya sedang sangat wara-wiri di seluruh media, baik media cetak, radio maupun televisi. Seorang wanita yang sangat menginspirasi baik dari segi bisnis maupun perjalanan cintanya.”Ruangan itu ramai oleh suara tawa. Beberapa bahkan menutup mulut agar tidak tertawa terlalu kencang.“Beliau membangun usaha dari nol, hingga sekarang sudah sangat maju di usia yang masih terbilang muda. Beliau ini juga baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dengan kategori pernikahan termewah tahun ini. Mari kita doakan bersama-sama agar segera dikaruniai keturunan. Aamiin.”“AAMIIN ….” Kompak, hampir semua peserta mengaminkan ucapan pembawa acara. Beberapa bahkan bersuit-suit membuat yang lain tertawa geli.“Untuk menghemat waktu, saya akan segera memanggil seseorang ini. Seseorang yang sangat menginspirasi terutama bagi para wanita. Seseorang yang merupakan gambaran Kartini masa kini. Gigih, mandiri, pekerja keras dan tidak gampang menyera
Sementara di sini, Tibra menghampiri Andhira yang tertidur di ranjang Zafina. Lelaki itu menyentuh rambut Andhira pelan. Wajah yang dulu selalu terlihat cerah dengan riasan tipis, kini nampak kuyu dan lelah.“Mas.” Andhira terbangun merasakan sentuhan suaminya. Dia langsung membenarkan kuncir rambutnya yang hampir terlepas.“Uangnya sudah kubayarkan. Semoga saja semua sesuai perkiraan dokter dan proses operasi minggu depan berjalan lancar.” Tibra bersimpuh di samping Andhira. Lelaki itu merebahkan kepalanya di pangkuan istrinya.“Aamiin.” Andhira mengaminkan pelan. Sejujurnya, dia ingin menanyakan terkait proses pembagian harta tadi. Namun, dia tidak siap mendengar kabar tentang Aruna.Isaknya kembali terdengar saat pandangannya tertuju pada Zafina. Mata itu terlihat sembab dan bawahnya sedikit menghitam. Hilang sudah cahaya mata Andhira yang dulu terlihat tajam dan seksi yang sangat menggoda. Mata itu diselimuti kabut yang sangat pekat."Setidaknya, uang dari penjualan villa di Punca
“Mas.” Seperti biasa, Aruna dan Tyo memang selalu menyempatkan untuk mengobrol apapun sebelum tidur. Tentang pekerjaan, rencana masa depan, kadang juga hanya sekedar omong kosong belaka.“Hmm.” Tyo yang sedang berbaring dan memperhatikan wajah Aruna berdehem.Aruna menoleh pada Tyo, belum sempat dia berbicara lelaki itu sudah menghadiahinya sebuah kecupan yang hangat. Aruna menepuk bahu Tyo pelan saat lelaki itu melepaskannya. Berada di dekat Tyo memang seumpama candu. Lelaki itu selalu menghujaninya dengan madu, hingga Aruna sering mabuk karena manisnya.“Aku ada rencana membangun rumah untuk Zahir dan Zafar. Villa yang rencananya untuk mereka, sudah sah dijual tadi siang.”Tyo diam tak menanggapi omongan Aruna. Dia sengaja tak menyela sampai Aruna menyelesaikan maksud ucapannya.“Nanti di sana, aku mau mereka mulai belajar usaha kecil-kecilan. Ya biar mereka merasa ada tanggung jawab dan agar mereka tahu bagaimana manisnya uang yang didapat dari jerih payah sendiri.”“Apa tidak ter
"Bahkan sampai sejauh ini, hatimu masih sekeras batu, Mas." Aruna mengembuskan napas pelan melihat punggung Tibra semakin menjauh. Mantan suaminya itu bahkan merasa tidak perlu mengucapkan maaf pada Aruna. Satu kata yang sangat ditunggu Aruna, sebagai bentuk penghormatan kalau lelaki itu menghargai hubungan mereka dulu saat pernah berjuang bersama.Aruna masuk ke dalam mobil dan menyandarkan kepala ke kursi. Bertahun tak berkomunikasi membuat mereka kaku saat berjumpa. Memang lebih baik seperti ini. Aruna sengaja menjaga jarak dari Tibra dan Andhira.Baginya, jauh dari mereka merupakan salah satu bentuk untuk healing dan memperbaiki hati. Bukan karena belum move on, toh dia sudah mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik menurut versi dirinya kini. Namun, luka itu tetap membekas. Bagaimanapun, pengkhianatan akan selalu terasa menyakitkan.Memaafkan tapi tidak melupakan agar bisa mengambil pelajaran untuk ke depan, itulah prinsip yang dipegang oleh Aruna. Dia bukan malaikat. Dia manus