“Menurut keterangan Aruna yang dihubungi lewat sambungan telepon, bulan depan mereka akan mengdakan resepsi pernikahan di salah satu hotel milik suaminya. Apakah kalian diundang?” Sekarang beberapa awak media malah berdehem mendengar pertanyaan temannya yang lain.“Ooh suaminya punya usaha perhotelan?” Tibra menoleh pada wartawan yang tadi bertanya. Dia memang belum sempat mencari tahu tentang calon Ayah sambung anak-anaknya itu.beberapa waktu lalu, Zahir dan Zafar memang sempat menyampaikan ada pesan dari Aruna yang mengajak Tibra dan Andhira bertemu. Katanya, Aruna ingin memperkenalkan mereka pada seseorang. Namun, karena dia sedang pusing dengan masalah perusahaan, persidangan Devan dan yang terbaru anaknya ternyata sakit serius, Tibra hanya menjawab nanti. Rencana yang tidak pernah terealisasi sampai pernikahan Aruna akhirnya digelar.“Menurut keterangan dari Google, Danartyo Abhirama merupakan pemilik salah satu hotel berbintang lima dan juga pengusaha pakan ikan. Namanya memang
“Sudah dulu ya, Teman-teman.” Tibra tersenyum lebar saat akan menutup pintu mobil. Sungguh, dia sudah lelah menanggapi setiap pertanyaan yang sejak tadi tak ada habisnya.“Oh iya, kalau boleh tahu apa kepentingan kalian di rumah sakit ini?” Salah satu awak media tersadar. Pertanyaan itu membuat yang lain saling lihat dan mengangguk, mereka menanti jawaban Tibra dan Andhira.“Selamat pagi.” Tibra menutup pintu mobil dan melambaikan tangan tanpa menjawab pertanyaan dari wartawan. Dia belum siap jika berita tentang anaknya diketahui publik.Dia memang sengaja merahasiakan perihal anaknya yang sakit. Sejak Andhira melahirkan dan bayinya butuh perawatan intensif, mereka memutuskan menyewa ruangan VVIP di sana agar anaknya mendapat perawatan yang baik.Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya akan dibanding-bandingkan dengan Aruna. Saat mantan istrinya sedang berada di puncak kesuksesan usaha dan berbahagia dengan pernilakahan, dia sibuk mengurus penyakit anak dan segala masalah
"Kenapa dulu nggak langsung bagi gono-gini saja, Mas? 'Kan jadi jelas harta mana punya siapa." Andhira menoleh pada Tibra yang memejamkan mata. Walau selama ini dia tidak pernah diajak berdiskusi masalah keuangan, tapi dia tahu pasti suaminya itu sedang kesulitan."Sudahlah, Dhir, semua sudah berlalu sekian tahun lalu." Tibra menggenggam tangan Andhira dan meremasnya pelan. "Tenang, aku yakin semua akan baik-baik saja. Dedek akan sembuh, usaha kita akan bangkit lagi."Andhira mengangguk dan menyandarkan kepala pada bahu Tibra. Andai bukan karena Anna sudah merengek ditelepon, Andhira tidak akan mau meninggalkan bayinya sendirian. Namun, dia harus menyempatkan waktu menemui Anna sebentar agar anaknya tidak merasa terabaikan.Sementara, Tibra terhanyut dalam pikirannya sendiri. Dia sempat sakit setelah putusan sidang Devan dibacakan beberapa bulan lalu. Mantan rekan bisnisnya itu memang diputus bersalah, tapi dia tidak mendapat ganti rugi apapun karena semua aset Devan yang dia laporkan
Maldives atau yang biasa disebut juga Maladewa memiliki perairan biru kehijauan, pasir putih bersih, matahari terbenam, langit jingga dan tentu saja kemewahan.Aruna menarik napas panjang menikmati angin laut yang berhembus pelan memainkan rambutnya yang terurai. Wanita itu menoleh pada suaminya yang masih mendengkur di kasur.Mereka baru saja tiba di sini empat jam yang lalu. Tepat jam empat subuh, seaplane yang disewa secara khusus tiba dan membawa mereka kemari. Begitu selesai melaksanakan shalat Subuh, mereka langsung merebahkan diri di kasur karena rasa kantuk yang menyerang dan juga lelah perjalanan.Aruna memilih Maldives sebagai tempat bulan madu mereka. Alasannya karena dia belum pernah liburan kesana dan Tyo memang membebaskannya untuk memilih mau liburan kemana.Walau namanya bulan madu, tapi Tyo memboyong serta Zahir dan Zafar yang kebetulan sedang libur sekolah serta mengajak juga kedua orangtua dan mertuanya.Menurut Tyo, acara liburan kali ini bisa menjadi ajang mendeka
Suara ramai di depan bungalow yang mereka tempati mau tidak mau membuat mereka berlepas diri. Tyo masih sempat melabuhkan kecupan kecil di bibir ranum Aruna sebelum berjalan ke depan untuk membuka pintu. Di sini, Aruna terpaku mengingat sikap manis Tyo barusan. Hal kecil yang selama ini tidak pernah dia rasakan saat bersama Tibra.Dulu, dia terlalu sibuk diluar. Aruna menyadari sepanjang pernikahan mereka, kerja keras untuk memajukan usaha adalah visi dan misinya dengan Tibra. Jarang sekali ada waktu mereka menikmati waktu berlibur sekeluarga, bahkan bisa dikatakan hampir tidak pernah.Mereka seolah dikejar sesuatu yang menuntut agar bisa menjadi sukses. Ditentang dan dibuang oleh kedua keluarga membuat dua sejoli itu merasa harus membuktikan pilihan mereka benar dan mereka bisa sukses walau tanpa bantuan yang lainnya.Ah … kenapa dia jadi membandingkan pernikahannya kali ini dengan pernikahannya dulu? Apakah dia belum move on? Tentu saja sudah. Dia membandingkan semua lini agar bisa
Bungalow yang mereka tempati persis di atas laut, ada akses tangga langsung untuk nyemplung ke laut hingga mudah jika ingin snorkeling. Di tengah bungalow ada glass floor, sehingga bisa melihat aliran air dan hewan-hewan laut yang berenang bebas langsung dari dalam bungalow tanpa harus berbasah-basah.Tyo memang ingin memberikan pengalaman terbaik yang bisa dia berikan pada Aruna. Uang bukan masalah baginya. Sebagai pengusaha perhotelan bintang lima yang cabangnya tersebar di seluruh negeri dan juga mempunyai usaha di bidang produksi pakan ikan, lelaki itu memiliki materi yang berlimpah."Cari yang masih muda, Pak Tyo. Walau Bu Aruna memang cantik, tapi kan sudah dua kali turun mesin." Kekehan salah satu rekan bisnisnya beberapa saat sebelum dia melamar Aruna kembali terngiang.Banyak kolega dan teman dekat bahkan beberapa anggota keluarga yang menyayangkan dia saat memutuskan menikahi Aruna. Sebagai duda tanpa anak yang tampan dan mapan, dalam pandangan mereka Tyo bisa mendapatkan ga
Saat Aruna sedang menikmati indahnya bulan madu, di sini, Andhira menjerit kencang ketika alat yang mendeteksi detak jantung anaknya berdenging kencang. Wanita itu berteriak kalap pada Tibra yang sedang terduduk di luar ruangan memikirkan restonya yang semakin terbengkalai. Bahkan laporan dari pekerjanya, beberapa supplier sudah memutuskan kerjasama karena mereka sudah menunggak sekian bulan."Ada apa? Kenapa?" Tibra langsung menghampiri Andhira yang histeris. Tanpa banyak kata, dia langsung mengikuti Andhira yang menarik tangannya."Tunggu disini." Tibra meremas bahu Andhira kencang. Dia berbalik dan meninggalkan istrinya yang menangis kencang.Lelaki itu gelagapan berlari ke ruang dokter saat melihat layar disana hanya menampilkan garis lurus yang menandakan aktivitas jantung anaknya terhenti. Sebelum menutup pintu, matanya masih sempat melirik wajah anaknya yang baru beberapa bulan saja mengenal dunia."Semoga belum terlambat." Tibra mengepalkan tangan saat melihat ruang suster jag
“Aku ingin melihat Zafina tumbuh besar, Mas. Aku akan mengepang rambut panjangnya saat dia berangkat ke sekolah. Memilihkan baju yang sama denganku dan Anna. Anna pasti akan sangat menyayangi adik kecilnya. Mas ‘kan tahu sendiri Anna sangat menyukai anak kecil.” Andhira pindah ke samping Tibra. Wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu Tibra yang masih terisak pelan.Ah … Anna. Pikiran Andhira melayang pada gadis kecilnya. Dia sangat bersyukur sekali anak itu tidak rewel. Anna sesekali datang ke rumah sakit jika sedang tidak sekolah. Dia ditemani Riri di rumah, karena Zahir dan Zafar sedang pergi bersama Aruna, Riri fokus mengurus dan menemani Anna.“Butuh biaya yang tidak sedikit, Dhir.” Suara Tibra tercekat.Andhira terisak kencang. Air matanya mengalir membasahi baju Tibra. Dia sangat paham sekali dengan kondisi keuangan mereka. Berbulan-bulan menghuni kamar VVIP dengan fasilitas terbaik sangat menguras kantong. Bahkan kemarin Tibra mengatakan tabungan mereka sudah benar-benar habi
"Ampun! Ampun! Maaf, Mas." Andhira memeluk lutut dan menyembunyikan kepalanya di sana. Rambut wanita itu kusut masai. Di lantai, ceceran rambutnya terserak banyak karena sering dijambak."Tolong! Tolooong … tolooooong … bantu aku, bantu aku." Andhira kembali berteriak kencang sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat. "Jangan bunuh aku, kumohon. Biarkan aku dan anakku hidup dengan tenang. Kumohon." Andhira menghiba dengan wajah basah.Sepuluh menit kemudian, dia tertidur di lantai dalam posisi bersujud. Seperti biasa, setelah mengamuk dan berteriak histeris, Amdhira akan tertidur begitu saja karena kelelahan. Napasnya terdengar teratur. Tidak lagi menderu seperti tadi.Disini, Tibra mengepalkan tangan kencang. Hatinya perih melihat keadaan Andhira. Sejak kejadian pagi itu sebulan yang lalu, Andhira menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak banyak bicara. Dia bahkan semakin menjaga jarak dengan Tibra dan tidak berani membalas tatapannya setiap kali berbicara.Tepat seminggu setela
Tibra meremas selembar foto di tangannya. Lelaki itu menatap nyalang pada foto-foto lain yang berserakan. Disana terlihat foto dua orang yang sangat dia kenal. Andhira dan Devan sedang akad nikah. Keduanya juga tampak tersenyum lebar di pelaminan. Di foto lain, terlihat Devan dan Andhira sedang berfoto di ranjang rumah sakit sambil memeluk bayi mungil dengan papan nama bertuliskan nama Anna. Bukan hanya foto, tapi fotokopi kartu keluarga dan Juga fotokopi buku nikah melengkapi isi amplop coklat yang sampai ke mejanya pagi ini. "Lelucon apa ini?" Tibra tertawa kencang. Kepalanya hampir pecah mengetahui istri dan orang yang telah menghancurkan usahanya ternyata pernah menikah. Lelaki itu benar-benar meraa dipermainkan oleh kehidupan. Tibra langsung membereskan semua foto dan memasukkannya kembali ke dalam amplop besar. Setelah itu dia langsung meninggalkan outlet. Berkali-kali dia memukul kemudi dan membunyikan klakson selama perjalanan. Andai bisa, ingin rasanya dia melajukan kendara
“Devan!”Lelaki yang sedang tiduran di kasur tipis sambil menumpukan kaki kanan di atas lutut kirinya itu mengangkat kepala sedikit saat mendengar petugas menyebut namanya.“Ada tamu,” ucap petugas sambil membuka kunci. Bunyi gemerincing rantai dan kunci beradu dengan sel memenuhi pendengaran, membuat beberapa tahanan menoleh dari balik sel mereka.Devan tersenyum tipis pada wajah-wajah penasaran itu. Jangankan mereka, diapun tidak sabar ingin tahu siapa tamu yang datang ini. Hampir dua tahun dia menjalani hukuman, tidak ada yang datang berkunjung. Itulah sebabnya saat mendengar Devan ada tamu, yang lain langsung antusias.“Siapa ya tamunya?”“Bukannya dia psikopat? Ada juga yang mau mengunjungi ternyata.”“Masa sih?”“Iya, makanya itu dia sendirian di dalam sel!”“Oh jadi itu alasannya dia seperti diistimewakan dengan hanya sendiri saja?”“Iya, katanya dulu awal-awal menjadi tahanan, habis rekan satu selnya. Entah dibagaimanakan, hampir saja teman-teman satu selnya mati perlahan. Unt
“Baiklah, terima kasih pada pembicara kita yang sangat luar biasa. Sesi selanjutnya adalah penyerahan bantuan kepada teman-teman yang usahanya sedang kurang baik. Kepada teman-teman yang namanya disebutkan, harap naik ke atas panggung."Tibra meletakkan gelas minumannya. Sambil merapikan dasi, dia bergegas melangkah ke arah panggung. Beberapa teman yang usahanya juga kurang baik menepuk punggungnya. Mereka berjalan bersama.Hanya Tibra yang tidak didampingi istri. Andhira memilih menemani putri mereka daripada ikut ke sini. Acara itu disiarkan secara live di salah satu televisi swasta. Sehingga, dia bisa ikut mengikuti jalannya acara."Untuk menyerahkan secara simbolis bantuan ini, kami minta dengan hormat kepada Ibu Aruna sebagai sosok yang menginspirasi hari ini untuk memberikan amplop sebagai tanda sahnya teman-teman menerima bantuan. Semoga dengan diberikannya bantuan ini oleh Ibu Aruna, teman-teman sekalian bisa termotivasi untuk berinovasi sehingga usahanya bisa bangkit kembali.
“Ah … maaf!” Tibra yang pikirannya sedang melayang kemana-mana tanpa sengaja menabrak seseorang saat akan mengambil gelas minuman.“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”Tibra menautkan alis saat mendengar suara yang sepertinya dia kenal. Dengan cepat, lelaki itu mengangkat kepala dan menoleh ke sumber suara.“Tibra.” Wira menarik napas panjang saat menyadari yang menabraknya barusan adalah mantan menantunya. Ada yang tercubit di dalam sana saat berjumpa lagi setelah sekian lama. Terakhir mereka bertemu di ruang persidangan perceraian saat dia mendampingi Aruna.Tibra menegakkan badan, dagunya sedikit terangkat dengan sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana. Sejak dulu, dia dan mantan mertuanya itu tidak pernah dekat. Penolakan Wira padanya saat ingin menjadikan Aruna istri dulu masih membekas jelas dalam ingatan Tibra.“Apa kabar, Nak?” Adya tersenyum sambil mengelus tangan Tibra yang memegang gelas minuman. Hubungannya dengan Tibra memang lebih baik dibandingkan suaminya. Sepuluh tahu
“Sesi Sharing di pertemuan tahun ini kita mulai dari yang wajahnya sedang sangat wara-wiri di seluruh media, baik media cetak, radio maupun televisi. Seorang wanita yang sangat menginspirasi baik dari segi bisnis maupun perjalanan cintanya.”Ruangan itu ramai oleh suara tawa. Beberapa bahkan menutup mulut agar tidak tertawa terlalu kencang.“Beliau membangun usaha dari nol, hingga sekarang sudah sangat maju di usia yang masih terbilang muda. Beliau ini juga baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dengan kategori pernikahan termewah tahun ini. Mari kita doakan bersama-sama agar segera dikaruniai keturunan. Aamiin.”“AAMIIN ….” Kompak, hampir semua peserta mengaminkan ucapan pembawa acara. Beberapa bahkan bersuit-suit membuat yang lain tertawa geli.“Untuk menghemat waktu, saya akan segera memanggil seseorang ini. Seseorang yang sangat menginspirasi terutama bagi para wanita. Seseorang yang merupakan gambaran Kartini masa kini. Gigih, mandiri, pekerja keras dan tidak gampang menyera
Sementara di sini, Tibra menghampiri Andhira yang tertidur di ranjang Zafina. Lelaki itu menyentuh rambut Andhira pelan. Wajah yang dulu selalu terlihat cerah dengan riasan tipis, kini nampak kuyu dan lelah.“Mas.” Andhira terbangun merasakan sentuhan suaminya. Dia langsung membenarkan kuncir rambutnya yang hampir terlepas.“Uangnya sudah kubayarkan. Semoga saja semua sesuai perkiraan dokter dan proses operasi minggu depan berjalan lancar.” Tibra bersimpuh di samping Andhira. Lelaki itu merebahkan kepalanya di pangkuan istrinya.“Aamiin.” Andhira mengaminkan pelan. Sejujurnya, dia ingin menanyakan terkait proses pembagian harta tadi. Namun, dia tidak siap mendengar kabar tentang Aruna.Isaknya kembali terdengar saat pandangannya tertuju pada Zafina. Mata itu terlihat sembab dan bawahnya sedikit menghitam. Hilang sudah cahaya mata Andhira yang dulu terlihat tajam dan seksi yang sangat menggoda. Mata itu diselimuti kabut yang sangat pekat."Setidaknya, uang dari penjualan villa di Punca
“Mas.” Seperti biasa, Aruna dan Tyo memang selalu menyempatkan untuk mengobrol apapun sebelum tidur. Tentang pekerjaan, rencana masa depan, kadang juga hanya sekedar omong kosong belaka.“Hmm.” Tyo yang sedang berbaring dan memperhatikan wajah Aruna berdehem.Aruna menoleh pada Tyo, belum sempat dia berbicara lelaki itu sudah menghadiahinya sebuah kecupan yang hangat. Aruna menepuk bahu Tyo pelan saat lelaki itu melepaskannya. Berada di dekat Tyo memang seumpama candu. Lelaki itu selalu menghujaninya dengan madu, hingga Aruna sering mabuk karena manisnya.“Aku ada rencana membangun rumah untuk Zahir dan Zafar. Villa yang rencananya untuk mereka, sudah sah dijual tadi siang.”Tyo diam tak menanggapi omongan Aruna. Dia sengaja tak menyela sampai Aruna menyelesaikan maksud ucapannya.“Nanti di sana, aku mau mereka mulai belajar usaha kecil-kecilan. Ya biar mereka merasa ada tanggung jawab dan agar mereka tahu bagaimana manisnya uang yang didapat dari jerih payah sendiri.”“Apa tidak ter
"Bahkan sampai sejauh ini, hatimu masih sekeras batu, Mas." Aruna mengembuskan napas pelan melihat punggung Tibra semakin menjauh. Mantan suaminya itu bahkan merasa tidak perlu mengucapkan maaf pada Aruna. Satu kata yang sangat ditunggu Aruna, sebagai bentuk penghormatan kalau lelaki itu menghargai hubungan mereka dulu saat pernah berjuang bersama.Aruna masuk ke dalam mobil dan menyandarkan kepala ke kursi. Bertahun tak berkomunikasi membuat mereka kaku saat berjumpa. Memang lebih baik seperti ini. Aruna sengaja menjaga jarak dari Tibra dan Andhira.Baginya, jauh dari mereka merupakan salah satu bentuk untuk healing dan memperbaiki hati. Bukan karena belum move on, toh dia sudah mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik menurut versi dirinya kini. Namun, luka itu tetap membekas. Bagaimanapun, pengkhianatan akan selalu terasa menyakitkan.Memaafkan tapi tidak melupakan agar bisa mengambil pelajaran untuk ke depan, itulah prinsip yang dipegang oleh Aruna. Dia bukan malaikat. Dia manus