MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#6
Gegas aku mengeluarkan ATM dari mesin, menggendong Khalila dan membawanya pulang. Tak lupa, aku menarik uang dulu beberapa juta dari kartu ATM pribadiku, karena aku masih takut untuk menggunakan uang simpanan bapak. Aku harus mencari tahu dahulu tentang uang ini dan paman yang bernama Hamsar. Sebab, aku lupa-lupa ingat dengan nama itu, karena kata ibu bapak hanya pernah membawaku sekali ke tanah kelahirannya sewaktu aku berumur lima tahun. Sementara ibu tidak pernah sama sekali ke sana, karena ibu menderita penyakit asma yang tak memungkinkan untuk beperjalanan jauh.
Pun, saat mereka sehabis menikah ibu hanya pernah sekali saja kesana. Karena, setelah beberapa bulan mereka menikah orang tua dari bapak meninggal secara bersamaan saat melakukan umroh di tanah suci Mekkah. Maka dari itulah ibu tidak pernah lagi ke kampung bapak.
Sesampainya di rumah, aku langsung mengemas pakaian kembali. Mumpung masih pagi, sepertinya masih bisa mencari tiket mobil travel menuju ke Riau. Biarlah uangku habis untuk perjalanan, yang penting hati ini puas setelah tahu tentang semua kebenaran.
Kuambil tas berwarna hitam, di dalam situ juga ada uang tunai sekitar 30 jutaan. Aku bingung apakah harus ditinggal atau kubawa saja, namun sebaiknya kumasukkan saja ke dalam ATM simpanan bapak, agar lebih aman.
Kubuka map yang berisi surat kebun, di situ ada alamat kebun yang tertera. Aku yakin, alamat kebun ini tak jauh dari rumah paman. Pun, aku sangat yakin kalau di tempat inilah kampung paman berada.
"Pak, kita pulang ke tanah kelahiran bapak, ya," ucapku pelan pada bapak.
Bapak hanya menggaruk kepalanya sembari planga-plongo. Tak lupa aku memakaikan bapak pempers orang tua terlebih dahulu sebelum kami berangkat.
"Oh, iya. Ibuku pasti sudah menunggu aku pulang." Berbicara dengan bapak memang banyak tidak nyambungnya. Huh! Aku harus lebih ekstra sabar menghadapi bapak, dan tak ingin membuatnya tersinggung.
Hah, sudahlah! Aku bergegas membawa bapak dan Khalila keluar lalu mengunci pintu rumah. Sebelum pergi aku berpesan pada tetangga sebelah rumah tempatku tadi menitipkan bapak, agar jika ada yang datang mencariku bilang saja aku tidak pernah pulang ke sini. Aku juga menitipkan nomor teleponku padanya, dan ia mengangguk.
______________________________
Mungkin hampir satu hari satu malam perjalanan kami menuju ke tanah kelahiran bapak, pada akhirnya kami sampai disebuah kampung yang di mana setiap sisi jalan dipenuhi dengan kebun kelapa. Sungguh menakjubkan! Kampung ini memang sangat banyak pohon kelapa dan buahnya juga lebat serta besar.
"Maaf, Bu. Tau tidak dengan pak Hamsar?" tanyaku pada seseibu yang lewat.
"Pak Hamsar? Oh ... Pak Hamsar tokeh kelapa bukan?" Ia balik bertanya.
Tokeh kelapa? Setauku yang namanya tokeh itu setara dengan bos besar.
"Mungkin saja, iya." Aku bicara asal.
"Lurus saja, dek, terus kalau ada ketemu rumah besar cat tembok warna putih dan ada pagar teralisnya nah, itu rumahnya pak Hamsar." Dengan ragu aku mengangguk.
"Kalau begitu terimakasih ya, Bu." Aku menggiring bapak dan juga menggendong Khalila. Berjalan lurus menjajaki jalan yang lumayan lebar dan sudah beraspal. Kampung ini lumayan juga, sepertinya sudah maju dan ramai dengan penduduk.
"Assalamualaikum." Aku mengetuk rumah besar berwarna putih ini.
"Waalaikumsalam." Terdengar dari dalam bunyi seseorang menyahut.
Daun pintu terbuka, kulihat seorang laki-laki berumur empat puluh tahunan berdiri tepat di depanku.
"Maaf, cari siapa ya, dek?" tanya pria itu fokus menatapku lurus, melihatku dari atas sampai bawah.
"Saya cari pak Hamsar," ucapku dengan pelan.
Sejenak ia terdiam, menatap tajam ke arah bapak. Beberapa kali dahinya berkerut dan ia memicingkan mata. Beberapa saat kemudian ia tersentak lalu menangis.
"Bang Hamdar." Pria berumur empat puluh tahun itu tiba-tiba saja langsung memeluk bapak dengan tangisnya yang pecah.
"Ini abangku. Ya, Allah bang, kamu masih hidup. Alhamdulillah." Pelukannya semakin erat, namun bapak berusaha melepaskan.
"Kamu siapa?" tanya bapak melepaskan pelukan paman.
"Ini aku Hamsar adikmu, Bang," ujar paman menunjuk dirinya.
"Maaf paman. Bapakku mengalami penyakit pikun, dan sudah terlalu parah sehingga ia sangat sulit untuk mengingat seseorang. Bahkan, saat dia bangun tidur pun dia bisa lupa denganku. Terkadang ia juga bisa bersikap layaknya seperti anak kecil, mengompol dan buang air besar di celana," ujarku menjelaskan.
"Kamu pasti Rani bukan? Lalu, anak kecil ini siapa?" tanya paman.
"Anakku paman," sahutku.
"Hampir sebelas tahun bapakmu tidak bisa dihubungi, paman kira beliau sudah tiada. Paman mencari kalian kesana-kemari tapi tidak ketemu. Katanya dua belas tahun yang lalu kalian pindah rumah dan bapakmu tidak pernah memberikan alamat rumah baru kalian. Sehingga paman sangat kesulitan untuk mencari keluarga kalian, terlebih semenjak sebelas tahun yang lalu nomor bapakmu tidak pernah aktif lagi. Membuat lutut paman semakin lemas dan meyakini kalau bapakmu sudah tidak ada lagi, namun paman masih rutin mengirim uang hasil dari penjualan buah kelapa bapakmu ke dalam rekeningnya. Karena paman berpikir pasti masih ada kamu yang membutuhkan uang itu," ujar paman.
"Mari duduk, tidak enak berdiri di depan pintu," ajak paman.
"Jadi, uang yang ada di dalam ATM ini paman yang mengirimnya setiap bulan?" tanyaku sembari menyerahkan kartu ATM pada paman.
"Iya. Sebagian juga paman belikan kebun baru dan semuanya sudah atas namamu." Paman bangkit dan masuk ke dalam kamar, lalu dia keluar membawa tiga buah map dengan warna yang berbeda.
"Ini." Paman meletakkannya di atas meja.
"Ini surat-surat kebun kelapa milikmu. Sebelum hilang kontak, bapakmu berpesan agar paman mengembangkan kebunnya supaya menjadi lebih banyak, supaya nanti di masa depan hidupmu terjamin," ujar paman.
"J-jadi, bapak memang mempunyai kebun kelapa? Dan surat kebun ini nyata adanya?" Aku mengeluarkan lagi sebuah map yang kubawa dari rumah.
"Syukurlah kamu masih menyimpan suratnya. Tapi, paman sarankan agar kamu menjual kebun ini. Soalnya, sudah banyak kebun sawit yang masuk di dekat kebunmu ini. Paman takut akan memengaruhi buah dan kesuburan tanah di kebun ini. Kemarin, ada yang ingin membelinya tapi paman enggan menjual karena tak berani," ujar paman.
"Memangnya berapa harganya kalau dijual paman?" tanyaku.
"Lima ratus juta," sahut paman.
Aku terperanjat, lima ratus juta bukanlah uang yang sedikit.
"Memangnya sebanyak apa kebun bapak paman?" tanyaku.
"Lima puluh baris, dan satu barisnya seharga sepuluh juta," ujar paman. Akupun tidak tahu pasti lima puluh baris itu seperti apa. Yang jelas segitulah kebun bapak dengan surat yang aku pegang ini.
"Bagaimana? Apa kamu setuju?" tanya paman.
"A-aku setuju," sahutku.
"Kamu masih mempunyai kebun lain yang jauh lebih bagus. Tapi tak sebanyak kebun yang ingin dibeli oleh orang ini," ujar paman.
"Tidak apa-apa, paman. Aku setuju! Kalau bisa langsung tanda tangan dan uangnya juga ditransfer di depan mataku," ujarku.
Paman mengangguk, aku akan menggunakan uang ini untuk modal usaha. Akan kubuktikan kalau aku lebih sukses dari mas Mande dan keluarganya. Pastinya, aku akan bersaing dan perlahan membuat mas Mande bangkrut.
Dan disaat yang bersamaan gawaiku berdering. Kulihat di layar ponsel terpampang nama Bu Titin tetangga sebelah rumah bapak.
"Hallo, Bu Titin. Ada apa?" tanyaku.
"Neng Rani, ini ada yang nyariin Neng Rani. Mereka datang sambil marah-marah," ujar Bu Titin dari seberang telepon.
"Siapa memangnya, Bu?" tanyaku lagi.
"Aduh ..! Ibu lupa-lupa ingat, tapi kalau gak salah yang laki-laki itu kayak suamimu, Mande," ujarnya.
"Biarkan saja Bu, Titin. Bilang saja saya nggak pernah pulang kesana. Biar mereka lebih emosi," pintaku pada Bu Titin.
Heh! Sudah kubilang, kalian pasti akan mencariku kesana-sini. Bukankah kalian yang mengusirku? Lalu, kenapa lagi kalian mencariku. Sekarang kalian panik sendiri bukan? Aku tertawa jahat di dalam hati.
"Tunggu pembalasanku!"
_____________________
Mohon bersabar dengan alurnya, ya.
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#7POV Mande."Sudah seharian semalaman Rani mengabaikan pesan dan teleponku, Bu. Sepertinya dia tidak akan kembali," ucapku sesaat kami sedang sarapan di meja."Heh! Istri kamu itu ngelunjak, sudah miskin banyak tingkah lagi. Lebih baik kita susul saja dia ke kampungnya," sahut ibu menggebrak meja, geram."Aku setuju. Aku akan ikut dan Salma jaga rumah, kita hajar saja sekalian. Kalau perlu kita rampas surat-surat penting itu dengan secara paksa, jangan sampai rumah ini digadaikan oleh mbak Rani. Bisa bangkrut kamu, mas," ujar Manisah menimpali."Ide bagus itu Manisah. Dia pikir dia siapa? Cuma wanita kampungan yang cara berpakaian saja masih norak, tapi berani banget mengabaikan kita. Apa dia berpikir kalau kita tidak bisa datang kesana dan mengambil semua yang seharusnya menjadi milik Mande. Kalau perlu kita berangkat hari ini juga," ujar Ibu."Tunggu apa lagi, mas, cepat keluarkan mobil dari garasi. Kami akan bersiap-siap, sekarang juga kita
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#8POV Rani.Aku mencharger ponsel yang sudah habis baterai . Sebab disepanjang perjalanan baterai ponsel tidak mendapat colokkan, sehingga saat baru sampai di kampung ini ponselku lowbate dan baru sempat menchargernya pagi ini."Rani .... " Paman mendekat saat aku duduk di kursi ruang tamu, sembari menatap layar ponsel."Iya, paman," sahutku. Kulirik di depan layar terpampang beberapa kali panggilan tak terjawab dari mas Mande melalui aplikasi hijau. Pun, banyak juga chat yang masuk beruntun dari keluarga itu. Tidak hanya Mas Mande saja, tapi juga Manisah dan ibu mertua.Kuletakkan ponsel ke samping colokkan yang kabelnya bisa ditarik karena panjang."Rani, paman mau ngomong sesuatu," ujar paman."Mau ngomong apa, paman?" tanyaku."Mungkin kamu tidak tau, bapakmu banyak sekali berjasa di dalam hidup paman. Terlebih, saat kedua orang tua kami meninggal. Bapakmu lah yang membuat paman bisa bangkit dan memberi semangat agar paman tidak hancur kare
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#9POV Author."Mande, apa kamu sudah mendapat kabar tentang Rani?" tanya Juleha sembari duduk menyilangkan kakinya."Boro-boro Bu, pesanku saja dibalasnya dengan angkuh. Kayaknya dia sedang nantangin kita," sahut Mande menggenggam kedua tangannya."Heh! Kalau sampai kita menemukannya akan ibu tampar wajahnya. Geram sekali ibu denga wanita itu, sudah miskin tidak sadar diri!" cetus ibu dengan ekspresi jengkel."Kalau gitu aku mau ke toko, dulu," ujar Mande.Mande nekat membawa mobilnya pergi, kendati ia tau kalau BPKB dan STNK sedang tak berada di tangannya. Ia lelah jika harus memesan taksi atau ojek online, langkahnya kurang leluasa jika ia tak menyetir sendiri.Sesampainya di lampu merah Mande dicegat oleh dua polisi, karena sedang ada razia SIM. Beruntungnya SIM Mande ia sisipkan ke dalam dompet sehingga tak terbawa oleh Rani. Akan tetapi tentu saja tak sampai di situ, polisi juga meminta STNK punya Mande.Mande gugup, ia tak bisa memberikan
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#10POV Rani.“Dasar miskin!” Heh! Aku tersenyum getir saat kata-kata itu terlontar dari mulut mertua. Rasanya sudah kebal dengan hinaan seperti itu.“Aku memang miskin, tapi setidaknya aku masih mempunyai rasa malu dan harga diri. Tidak seperti kalian, yang sudah putus urat malu!” tekanku membalas pandangan mertua dengan tatapan elang.“Heh! Garang juga ternyata kamu, siapa yang akan melindungimu sehingga kamu seberani, ini?!” tanya mertua semakin sangar.“Hukum!” sahutku dengan lantang.Mertua terkesiap, memangnya dia pikir aku mau mengalah seperti dulu. Tidak, akan! Apalagi semua surat aku yang pegang. Untuk apa takut dengan mereka, aku bisa saja mengusir mereka dari rumah itu jika mau. Tapi, aku ingin menyelesaikan misi terlebih dahulu.“Jangan songong!” tunjuknya membulatkan mata.“Siapa yang songong? Sebenarnya aku tidak punya waktu untuk meladeni kalian,” ujarku.“Kamu tidak akan bisa pergi sebelum kamu menyerahkan surat-surat penting itu
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#11POV Author.Mande mencurigai surat kuitansi yang ia tanda tangani, apalagi dia tidak boleh membaca apa isi dari kuitansi tersebut. Jika, itu adalah kuitansi yang harus ia lunasi dan menebus mobilnya dengan uang, lalu kenapa ia tidak membayar sepeserpun dan dibolehkan pulang begitu saja membawa mobilnya.Pikiran Mande menjadi mumet, akan tetapi di sisi lain ia merasa lega karena ia bisa mengambil mobilnya kembali. Pun, setelah ini ia tak bisa membawanya secara leluasa seperti sebelumnya.Mande menghempaskan bokongnya ke atas sofa sesaat sampai di rumah. Ia menghembuskan nafas berat penuh dengan beban pikiran. Juleha yang melihat Mande pulang dengan membawa mobil pun mengambangkan senyumnya.“Kamu berhasil merebut surat-surat penting itu dari tangan Rani?” tanya Juleha antusias duduk di samping Mande. Ia begitu bersemangat.Mande menggeleng. “Tidak Bu, bahkan aku tidak membayar satu rupiah pun saat mengambil mobil ini,” ujar Mande melirik ibun
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#12[Rani, kamu yang telah menjual mobilku?!] tanya Mande penuh emosi.[Yaps ... Benar! Karena aku merasa dalam mobil itu juga ada Hakku dan juga Khalila,] balas Rani sembari mengukir senyum.[Kurang ajar kamu, Rani! Mobil ini bukan atas namamu, kamu bisa kutuntut!] Mande mengancam.[Kamu tidak bisa menuntut, Mas. Kamu sendiri yang bertanda tangan pada surat kuitansi, kalau mobil itu sudah dijual kepadaku, dan aku sudah menjualnya kepada rentiner,] balas Rani membuat Mande terkejut.[Kamu jangan mengarang cerita palsu, perempuan lak-nat!] cerca Mande.Kemudian Rani mengirim sebuah foto, surat kuitansi yang sempat ia jepret sebelum ia menjualnya. Agar menjadi bukti kuat bahwa Mande sudah menanda tanganinya. [Aku punya buktinya, dan kamu menanda tanganinya secara sadar,] balas Rani mengirimkan foto tersebut.[Kurang ajar! Pasti kamu memalsukan tanda tanganku.] Mande emosi, tatkala merasa Rani sedang bermain-main dengannya.[Tanda tanganmu itu asl
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YABG PIKUN#13POV Rani.“Baiklah mas, kamu sudah mentalakku. Akan ku-screnshoot percakapan ini sebelum kamu hapus, dan akan kujadikan bukti kalau kamu sudah sah menjatuhi aku talak satu.” Aku bergumam, sembari membereskan barang-barang. Aku pindah ke kontrakkan baru yang lumayan jauh dari rumah kami, kuharap Mande dan keluarganya tidak menemukan tempat tinggalku yang sekarang.[Pindah kemana lagi, kamu?] Mas Mande bertanya, padaku setelah beberapa jam kuabaikan pesannya. Benar dugaanku, pasti mereka akan kembali. Tindakanku tidak salah memilih pindah dari kontrakkan itu.Bukan aku tidak mampu menyewa hotel yang mewah. Tapi, belum saatnya mereka tercengang mengetahui fakta bahwa sebenarnya aku sudah mempunyai uang yang banyak hasil dari penjualan kebun warisan dan uang tabungan simpanan bapak yang juga ia wariskan padaku.Ah ... Mengingat bapak tiba-tiba saja aku menjadi rindu. Sudah beberapa hari aku tidak menanyai kabarnya.Aku duduk untuk berehat sebent
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#14POv Author.“Ah! Kemana lagi si Rani.” Mande kembali, tak berhasil mengejar kekasihnya ia pun berniat ingin mencari Rani. Tapi sayangnya Rani sudah terlepas.Mande pulang dalam keadaan kesal, kesempatan yang seharusnya bisa ia gunakan kini hilang dalam sekelip mata.“Ada apa Mande? Kenapa kamu terlihat kesal begitu?” tanya Juleha saat Mande sampai di rumah.“Tadi aku bertemu Rani, tapi sayangnya aku melepaskannya begitu saja,” ujar Mande Salma terdongak, yang tadinya ia fokus pada ponsel kini ia beralih menatap Mande.“Aku juga bertemu dengannya tadi siang,” sahut Salma.“Terus, kenapa tidak kalian tangkap. Kalian ini bagaimana, sih!” Juleha berdecak, mendengar cerita dari kedua anaknya.“Dia udah gak seperti dulu, Bu. Sekarang dia berani melawan dan bahkan berani mengatakan kalau mas Mande sebentar lagi akan bangkrut,” ujar Salma.“Dia bilang begitu, padamu? Kurang ajar sekali mulutnya,” rutuk Juleha.“Iya. Dia bilang kita juga hanya menum
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YABG PIKUN#31Rani dengan berat meninggalkan area pemakaman, saat mereka ingin beranjak pergi dokter Ridwan pun datang."Nyonya Rani, saya baru tahu kalau pak Hamdar mening ...." ucapannya terjeda saat melihat mata Rani yang sembab dan merah."Ehm ... Maaf, saya datang di waktu yang tidak tepat," ujar dokter Ridwan."Tidak papa, Dok," sahut Khalila."Tapi, kami sudah mau pulang," lanjutnya."Silahkan, saya akan menyusul nanti." Dokter Ridwan kemudian mendekat pada kuburan pak Hamdar, ia berjongkok sembari menengadahkan kedua tangannya. Memanjatkan doa-doa dan surat-surat Al-Qur'an, terakhir ia membaca surat Yasin dan menabur bunga.Sementara Hamsar menyarankan agar mereka menunggu dokter Ridwan di gerbang utama, tidak enak saja meninggalkan orang yang datang untuk melayat keluarganya. Apalagi, orang tersebut sudah akrap dengan keluarganya."Eh, kalian masih di sini?" tanya dokter Ridwan saat ia keluar dari gerbang pemakaman umum tersebut."Pulangnya baren
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#30Setelah beberapa hari tidur di tempat yang kurang layak, hari ini Mande memutuskan untuk pindah ke hotel yang lebih mewah dan nyaman. Ia juga makan di restoran yang mahal dan tentunya memakan pesanan yang ia pesan hingga tandas tak bersisa.Malam itu Mande dikagetkan dengan kedatangan dua orang polisi ke restoran tersebut, sembari menodongkan senjata api dan menyuruh Mande mengangkat kedua tangannya. Peluh jagung mulai bercucuran dan Mande menjadi tegang."Angkat tangan! anda kami tahan." Salah satu dari polisi tersebut mengancam.Mande pun tak bisa berbuat apa-apa, ia terpaksa manut agar tak di tembak oleh polisi tersebut. Percuma saja ia kabur, yang ada ia akan di dor saat mencoba berlari."Salah saya apa ya, pak?" tanya Mande berpura-pura tidak tahu."Anda kami tangkap atas tindakan pencurian di rumah, nyonya Rani," ujar polisi tersebut dan salah satu dari mereka memborgol tangan Mande."S-saya tidak mencuri, pak," ucap Mande masih mengel
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#29 "Heh! Bercanda lagi." Khalila mengangkat satu bibirnya dan menghembuskan nafas kasar. "Apa udah gak punya cara lain, sehingga harus berpura-pura pingsan. Atau ... Emang sengaja mau cari simpati. Bangun, aku enggak akan luluh dengan sandiwara receh seperti ini." Khalila berbalik dan mengguncang tubuh Mande. Namun Mande tak bergerak, tubuhnya begitu lemas. Selain ia menahan sakit, ia juga tidak sempat makan dari pagi. Apalagi, dia juga kelelahan karena berlari kesana-kemari beberapa hari ini. "Enggak bangun, Bun. Apa dia meninggal?" Khalila melirik pada bundanya. Rani yang mendengar ucapan Khalila tersentak dan takut. "Biar kakek periksa," ujar Hamsar mendekat. "Dia pingsan," ucap Hamsar. "Terus gimana dong, kek?" tanya Khalila. "Kita panggil dokter Ridwan saja," usul Hamsar. Khalila dan Rani mengangguk, Lila pun segera mengambil ponsel dan menekan nomor dokter Ridwan, dokter langganan mereka yang biasa di panggil ke rumah. Sekian pu
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#28Khalila menyuruh beberapa orang untuk menebar brosur, poster Mande pun sudah terpampang di berbagai jalan. Banyak tiang-tiang yang bertempelkan wajah Mande dengan caption yang sama. Sontak, para pejalan kaki dan pengendara roda dua langsung tergiur dengan hadiah yang dicantumkan oleh Khalila. Di jaman yang serba mahal ini, uang lima juta sangat banyak bagi kaum menengah ke bawah.Ya, mulai hari ini hidup Mande diawali dengan ketidak nyamanan. Tadi pagi saja saat ia membeli sarapan di warung terdekat banyak orang menatapnya dengan tatapan sinis dan aneh, ada juga yang mengikuti ia hingga sampai ke depan gang. Untungnya Mande segera berlari sekencang mungkin untuk menghindar, takut saja jika orang-orang tersebut berniat jahat atau mungkin pencuri organ tubuh. Siapa tau, kan?Nafas Mande dibuat ngos-ngosan karena berlari sekuat yang ia bisa. Tenaganya terkuras dan tenggorokan kering sebab kekurangan dahaga. Mande mengambil botol air mineral lal
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#27Badan Mande serasa mau patah gara-gara digempur oleh Khalila dan Rani. Kalau Hamsar sih, tidak seberapa, yang sakit itu pukulan sapu dari Rani. Rasanya pedas dan perih.Dan ternyata membawa Khalila tidak semudah yang ia bayangkan. Ia pikir ia bisa membawa Khalila dengan gampang, sebab hanya Khalila lah penyelamat satu-satunya bagi Mande. Dikarenakan Mande memiliki banyak hutang keliling pinggang pada rentiner sehingga ia kebingungan saat ingin membayarnya. Belum lagi ia dikejar-kejar kesana-kemari bahkan beberapa kalian digebuki karena tidak bisa membayar.Pun, seorang pengusaha kaya-raya yang sudah berumur, dan lebih tepatnya bisa disebut lelaki hidung belang menawarinya uang yang banyak asalkan ia bisa memberikan gadis yang masih perawan untuk dinikahi secara siri. Sementara ia hanya mempunyai satu putri yaitu Khalila."Huh! Kurang ajar! Pukulan Rani kencang juga," decak Mande saat ingin meninggalkan halaman rumah tersebut.Sementara Rani
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#26"Hai, Rani!" Mande menyapa Rani dengan senyumnya, diangkatnya tangan sembari melambai pada Rani.Saat itu juga Rani seperti menyaksikan kilatan petir yang bersambaran. Ia merosot ke bawah seakan tak percaya kalau hari ini ia bertemu lagi dengan mantan suaminya."Siapa, Bun?" tanya Khalila, airmata Rani seketika jatuh."Bukan siapa-siapa," sahut Rani."Khalila!" Mande malah sengaja memanggil untuk memancing Khalila keluar."Iya." Khalila mendekat, berjalan menuju arah Rani yang kini mulai tersungkur ke bawah."Anda siapa?" tanya Khalila, ia memang sudah lupa bagaimana sosok dan rupa ayahnya. Sebab, saat sang Bunda memutuskan untuk pindah ia masih kecil dan baru berumur tiga tahun saat itu."Aku adalah .... ""Dia hanya salah alamat." Rani memotong ucapan Mande."Kalau begitu silahkan pergi, mungkin anda salah alamat," ujar Rani mengusir Mande."Tunggu dulu! Tapi, dia tau namaku, Bun," sergah Khalila penasaran."Mungkin kamu yang salah dengar,
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#24"Sebentar, Bun. Lila cas dulu," ujar Khalila mengambil charger. Beberapa menit kemudian ia menghidupkan kembali ponselnya."Tadi Bu Manisah ingin ngomong sama Bunda. Please, Bunda izinin Khalila untuk kuliah di Jakarta," pinta Khalila memohon.Kemudian Khalila menelpon Vidio dosen tersebut. Rani dengan gugup mengambil ponsel itu dari Khalila, lalu bertatapan wajah dari layar ponsel dengan Manisah dosen dari universitas tempat Khalila ingin berkuliah.Manisah cantik, mempunyai rambut pirang dengan penampilan modis. Ia seperti terlihat baru berumur dua puluh tujuh tahunan. Huh! Rani mengelus dada lega ternyata Manisah yang menjadi dosen di universitas itu bukanlah Manisah mantan iparnya. Karena jelas terlihat dari perbedaan umur dan bentuk wajah serta rupa yang tak sama. Meskipun sudah lima belas tahun lamanya tidak mungkin Manisah berubah menjadi semakin muda.Mereka berbincang panjang lebar, Manisah meyakinkan kalau ia akan bertanggung jawab
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#24“Sebentar, Bun. Lila cas dulu,” ujar Khalila mengambil charger. Beberapa menit kemudian ia menghidupkan kembali ponselnya.“Tadi Bu Manisah ingin ngomong sama Bunda. Please, Bunda izinin Khalila untuk kuliah di Jakarta,” pinta Khalila memohon.Kemudian Khalila menelpon Vidio dosen tersebut. Rani dengan gugup mengambil ponsel itu dari Khalila, lalu bertatapan wajah dari layar ponsel dengan Manisah dosen dari universitas tempat Khalila ingin berkuliah.Manisah cantik, mempunyai rambut pirang dengan penampilan modis. Ia seperti terlihat baru berumur dua puluh tujuh tahunan. Huh! Rani mengelus dada lega ternyata Manisah yang menjadi dosen di universitas itu bukanlah Manisah mantan iparnya. Karena jelas terlihat dari perbedaan umur dan bentuk wajah serta rupa yang tak sama. Meskipun sudah lima belas tahun lamanya tidak mungkin Manisah berubah menjadi semakin muda.Mereka berbincang panjang lebar, Manisah meyakinkan kalau ia akan bertanggung jawab
MAAF MAS, AKU MEMILIH BAPAKKU YANG PIKUN#23“Ibu! Jangan pergi!” teriak Mande saat melihat Juleha melangkah kesal dengan wajahnya yang memberut dan bibir mengerucut sempurna.Juleha tak mengindahkan teriakkan putra sulungnya itu, ia tidak perduli sekarang apapun yang akan terjadi pada Mande. Sementara ia saja harus tetap memikirkan bagaimana menjalani kehidupan dan mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan.“Heh!” Juleha melempar tasnya ke sembarangan, ia menghempaskan bokongnya pada kursi kayu yang ada di kontrakkan itu. Kesal, karena Mande tidak mau membagi sedikit uangnya untuk mereka.“Dasar anak pelit! Anak durhaka! Semoga saja menderita di dalam sel sana!” Umpat Juleha melontarkan sumpah serapah.“Apa sih, Bu, datang-datang marah-marah gak jelas?” tanya Manisah.“Ibu sekarang pusing! Gimana caranya kita bisa menyambung hidup tanpa pegangan uang. Sementara Mande tidak mau membagi uang tabungannya pada kita,” sungut Juleha sembari memegangi kepalanya yang jenong.“Terus gimana don