Hujan memang tidak turun, tetapi Ara merasakan dingin menusuk sampai ke tulang saat berhadapan dengan Pak Wahyu, bapaknya. Terutama ketika ia menatap sepasang matanya yang mengilat marah.Pria beruban yang usianya sudah tak muda lagi itu mengepal tangan di atas paha. Mati-matian ia menahan emosinya setelah mendengar Ara hamil anak Fery. Giginya berbunyi gemeretuk begitu jelas, memecah keheningan dan keterdiaman yang melanda.“Kenapa kamu tak bicara jujur dari awal, Ra?” Tak seperti ayah Ara, ibunya masih bicara lembut seperti biasa, meski tak bisa dipungkiri ada rasa kecewa berat dalam dada sebab ia bukan orang pertama yang mengetahui kehamilan Ara.Antara terharu dan juga cemas tak terkira, ibunya menangis. Bukan tak bahagia atas kehadiran calon cucunya, tetapi kecemasan di hatinya kini lebih besar dibandingkan dengan kebahagiaan itu sendiri. Banyak pertanyaan berkecamuk hilir mudik sekarang dalam benaknya. Bagaimana dengan nasib Ara? Lalu, anaknya kelak? Apakah Ara akan sanggup mer
“Heh, Rangga. Kamu itu udah pulang enggak kabar-kabar, pas sampai malah ribut pergi lagi malamnya. Kamu habis dari mana, sih? Coba liat jam berapa ini?” Ibu Rangga mengomel habis-habisan.Wanita yang kini hanya tinggal sendiri itu kesal bukan main melihat tingkah anaknya yang tidak seperti biasa.Rangga mengusap tengkuk yang meremang. Ia baru menyadari kesalahannya sekarang.“Maaf, Bu. Tadi buru-buru banget.” Hanya kata maaf singkat yang bisa dia katakan.Namun apa yang terjadi? Kemarahan sang ibu malah semakin menjadi.“Nggak kamu, nggak Erin, sama-sama jahat. Pada lupain ibu gitu aja!” Ia duduk di kursi bulat menghadap televisi yang mati.“Ih, ngomong apa, sih? Mana mungkin kami lupain Ibu. Jangan ngada-ngada, deh. Aku kerja di kota, Bu. Kan, setiap minggu ngabarin. Terus Erin sekarang sudah bersuami, hidupnya sudah beda lagi. Tapi, dia juga sering berkunjung ke sini, kan?” Rangga memelankan suaranya, berharap sang ibu tak marah lagi.Iya, dalam hati Rangga mengaku salah karena pula
Pagi begitu cerah, tapi tidak dengan keadaan hati Ara. Wanita itu murung sejak membuka mata. Di dapur, ia sudah membantu ibunya masak walau sebenarnya terkadang rasa mual itu kembali datang.“Ra, jangan ngelamun,” tegur ibunya.Ara menoleh. Karena stres dan kurang istirahat, matanya mulai menampakkan lingkaran hitam.“Cuma mikirin bapak, Bu. Kayaknya belum pulang, ya?” lirih ia menjawab.“Enggak usah dipikirin. Bapakmu dari dulu kalau lagi marah suka begitu, kan,” hibur sang ibu. Dirinya tak mau sampai Ara terbebani dengan semua itu.“Iya, tapi tetap aja sekarang rasanya beda.” Ara menunduk. Merasakan kembali kesedihan di hatinya.“Enggak apa-apa, nanti ibu akan bujuk bapakmu, ya. Jangan masukkan hati. Bapakmu mengatakan hal kejam itu juga bukan karena tak menginginkan cucunya. Bapakmu cuma terlalu dalam membenci Fery.”“Bapak juga sepertinya benci Ara karena dulu ngeyel dan tak nurut ke bapak,” lanjut Ara di tengah-tengah kegelisahannya.Sang ibu masih mengiris bawang hati-hati. Sese
Ara masih saja merasa tegang walau berulang kali Rangga menenangkan. Bahkan kedua kakinya sedikit gemetar ketika turun dari kendaraan roda dua milik laki-laki itu.“Ra, kamu baik-baik aja, kan?” tanya Rangga memastikan.Tanpa dipinta, Rangga membantu Ara membuka helm dari kepala. Ia juga membenarkan anak-qnak rambut yang menghalangi pipi. Menyelipkannya ke belakang telinga Ara.“Aku baik-baik aja, Mas. Makasih udah bukain helm-nya,” bual Ara. Tak mungkin dirinya mengatakan jika masih gugup seperti sebelumnya.“Syukurlah, kalau gitu ayo masuk,” ajak Rangga usai membuka helm miliknya.Baru saja melangkah hingga anak tangga yang menuju teras, pintu utama terbuka. Ibu Rangga menyambut kedatangan Ara dengan hangat tanpa ketinggalan senyumnya.“Ara, apa kabar, Sayang?” Wanita yang masih segar awet muda itu merentangkan tangan, lalu memeluk serta cipika-cipiki kepada Ara.“Baik, Tante. Makasih sudah ngundang Ara buat sarapan bersama.” Ara mencoba menepis semua kegugupan yang terasa melebar,
Sial, bapaknya pulang ketika Ara masih ada di rumah Rangga. Mengetahui anaknya kukuh untuk melanjutkan rencananya, ia tak akan tinggal diam.“ARAA! Bapak tahu kamu ada di dalam! Cepat keluar!” teriaknya menggila.“Tan, itu bapak. Ara takut,” ucap Ara gemetar. Ia merangkul lengan calon mertuanya erat.Ibu Rangga kaget dengan semua ini. Namun, dirinya mencoba untuk meredam ketakutan yang terasa. Digenggamnya tangan Ara, ibu Rangga bertanya.“Bapakmu kenapa marah begitu, Ra?”Ara semakin mempererat pegangan tangannya, ketakutan yang ia rasa semakin membesar saja.“Bapak enggak setuju Ara melahirkan anak ini, Tan. Mungkin karena tahu Ara setuju untuk menjalin hubungan sama mas Rangga, bapak tahu Ara akan tetap mempertahankan bayi ini.” Mata Ara mendadak memanas. Mengingat betapa kejam kata-kata bapaknya semalam membuat ia tak tahan lagi, gemetar hebat.“Astagfurullah ... bisa-bisanya bapakmu, Ra.”Ibu Rangga yang merasakan ketakutan Ara mencoba menenangkan. Meyakinkannya agar tenang. Mesk
“Bu, Bu! Turunkan parangnya, ya, bahaya!” Rangga mencoba menenangkan ibu Ara yang kini kelihatan sangat marah dan emosi.Sementara Ara sendiri malah diam tak bisa berkutik. Otaknya dipenuhi dengan ketakutan-ketakutan yang menyerang secara bersamaan.“Bu, kamu apa-apaan, sih?!” Bapak Ara mendekat panik.Namun wanita itu justru mendekatkan parang ke lehernya, membuat suasana semakin riuh dan tegang.“Bapak berani menyingkirkan cucu ibu, lihat saja ibu akan ikut mati bersamanya!” tantang ibu Ara dengan linangan air mata. Sesungguhnya wanita separuh baya ini takut, tetapi ia berani nekad begini karena ingin melindungi Ara dan calon buah hatinya.“Bu, Ara mohon jangan!”“Jangan mendekat!”Tak ada yang berani mendekatinya. Dinasehati pun tak membuat ibu Ara menjatuhkan benda tajam itu.“Ara, lihatlah! Ibumu jadi gila begitu karena kamu!” sentak Pak Wisnu masih tak tahu diri. Padahal semua tahu ia akar dari permasalahan ini.“Apa?” tanya Ara lirih. Sesekali ia melirik antara ibunya dan bapak
Berminggu-minggu telah dilewati dengan sabar oleh Bu Asti dan Vina. Namun tidak dengan Fery sendiri. Lelaki yang hanya bisa berbaring tak berdaya itu sesungguhnya tak pernah berhenti gelisah.Jauh dalam jantung hatinya ia meraung meratapi nasib buruk yang menimpa. Hatinya lebih hancur terutama ketika ia melihat orang-orang yang ia cintai sedih dan kesulitan.‘Tuhan, aku tak mengerti mengapa Engkau memberiku cobaan sebesar ini. Jika memang dosaku sangat besar, akan lebih baik bagiku mati dan masuk neraka. Itu lebih jelas merasa tersiksa sendiri. Tapi kalau begini, keluargaku menjadi ikut tersiksa. Aku tak bisa melihat air mata mereka jatuh lagi dan lagi.’Sejak kecelakaan itu terjadi, tak ada semangat yang tersisa dalah jantung hati Fery. Semua seolah hilang tersapu angin. Meninggalkan jejak-jejak nyeri yang tak berkesudahan. Terutama ketika ia memutuskan untuk menalak cerai Ara. Wanita yang ia cintai satu-satunya.‘Di setiap detik yang kulalui setiap waktu adalah hanya berpikir bagaim
‘Andai waktu yang telah berlalu bisa diulangi lagi, aku ingin sekali meminta maaf kepada Ara dan meyakinkannya jika diri ini tak selingkuh dengan Ria. Mendengar Vina mengatakan kehidupan Ara menderita usai ditalak cerai olehku, rasanya hati ini patah. Menimbulkan nyeri yang menusuk ke ulu hati.’Fery kembali menitikkan air mata, tak tahan dengan kesesakan yang mendera.‘Sial. Bahkan untuk menangis saja aku tak bisa berteriak sesuka hati. Mendengar keluargaku membicarakan banyak harapan dan kepedihan serta kesusahannya membuat aku ingin bangun. Sungguh. Tapi teringat lagi betapa aku sangat menyusahkan dan membuat orang-orang yang kucintai terluka, aku lebih memilih untuk mati. Andai saja aku diberi kesempatan untuk menggerakkan sebelah tangan ini, aku ingin mengambil sebilah pisau, mengiris urat nadi di tangan lainnya.’Fery membatin putus asa.Ini baru mendengar Ara menderita. Kalau dia mendengar Ara memiliki anak darinya, apakah Fery akan berubah pikiran? Andai ia tahu Ara rela mengo