Beranda / Fiksi Remaja / Luka (Yang) Cantik / Bab 1 Perempuan Yang Telah Lelah

Share

Bab 1 Perempuan Yang Telah Lelah

Penulis: Ana De
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Renna—panggilannya sewaktu di kampus. Berjalan menyusuri koridor kelas dengan harapan hari ini tak terlambat atau dosen yang terkenal 'killer' akan memarahinya lagi dan paling parah adalah memberi nilai D pada rapor akhir semester. Pagi ini dia bangun kesiangan karena tak ada alarm yang menyala tepat waktu ditambah rasa lelah dan kantuk seusai semalaman 'bermain' dengan Dion.

Setelah lelaki itu—Dion pergi, Renna butuh waktu lama untuk tidur. Ia merasakan perih di pundak yang setelah dicek tadi pagi sewaktu bercermin nyatanya lebam—mungkin akibat dari benturan pundaknya dengan tembok kemarin malam saat lelakinya mendorong.

Renna membuka pintu kelas pelan. Ternyata sang dosen telah disana. Dosen perempuan dengan perawakan pendek serta kacamata yang tebal itu meliriknya tajam.

Ah, hari ini Renna sial lagi!

Dia hanya mematung menunggu dosen tersebut memberi intruksi untuknya. Namun tak ada respon, dosennya masih menatap tajam padanya.

"Kau yang keluar atau aku yang harus berhenti mengajar?" tanya dosen tersebut pada Renna.

Semua mata yang ada di dalam kelas melihat Renna. Menatapnya dengan beragam ekspresi. Ada yang kasihan hingga marah. Dia memang terbiasa dengan situasi semacam ini. Tapi Renna butuh nilai dosen ini agar bisa ke semester selanjutnya.

"Keluar!" teriak dosen tersebut membuat Renna berjingkat kaget. Ia tak menyangka harus dimarahi sepagi ini pada hari Senin. Hari pembuka untuk minggu panjang ini.

Renna melihat tatapan teman sekelasnya tak ada yang peduli. Mereka semua menatapnya dengan tatapan sama. Seolah mengatakan hari ini Renna harus mengalah dan keluar di balik pintu tersebut satu kali lagi.

Renna berbalik dan keluar dari ruangan. Tak ada yang bisa ia harapkan lagi. Kesempatan? Sudah tidak tersedia baginya. Memang seharusnya dia memilih untuk mengulang semester saja. Sebab nilainya banyak yang anjlok. Tetapi bagaimana jika orang tuanya tahu ia tak lulus tepat waktu? Bukankah akan memalukan kedua orang tuanya di kampung. Menjadi bahan pembicaraan satu kampung.

Renna menghela nafasnya lelah. Dia menyusuri kembali koridor tersebut. Melihat beberapa kelas yang terisi dengan dosen mereka. Tak ada yang benasib seperti Renna, harus keluar dari ruangan. Beberapa mahasiswa di kelas lain melihatnya dari balik jendela. Dan Renna yakini bahwa pikiran mereka adalah gadis ini lagi.

Renna sebenarnya sudah lelah dengan realita seperti ini. Dia ke kota untuk mengubah nasib. Tak ingin dibicarakan orang kampungan tak punya pendidikan tapi apa daya malahan dia disini semakin dihina. Tak ada prestasi yang ia cetak malah Renna mencetak rapor merah.

Dirinya menuruni anak tangga menuju ke kantin yang berada di sisi barat fakultasnya. Tempat yang selalu menjadi tujuan disaat seperti ini. Bahkan beberapa orang yang bekerja di kantin mengenalnya.

"Kau telat lagi?" tanya Ibu Kus—salah seorang pengurus kantin. Yang membuka warung bakso dan mie ayam disana.

"Iya, buk." jawab Renna. Ia berjalan ke deretan meja di area bu Kus.

"Mie ayam ya buk 1. Kasih ceker." pesan Renna pada Bu Kus.

"Ngutang apa mau bayar sekalian?" tanya perempuan paruh baya tersebut.

Renna tertegun mengingat jika punya utang disini untuk makan beberapa hari lalu. Dirinya mengintip ke tasnya berharap ada uang lebih. Masih ada uang sebesar seratus ribu sisa uang gajian paruh waktu—Gaji yang diberikan setiap seminggu sekali.

"Saya bayar sama yang kemarin ya, Buk." ujarnya agak santai. Bu Kus sedang menyiapkan mie ayam untuk Renna.

Renna melirik pada ponselnya. Belum ada pesan, masih nihil. Dion belum mengirimi pesan semenjak pergi tadi malam. Bahkan membalas pesannya yang tadi pagi dikirim pun tidak ada hilalnya.

"Masih nungguin cowok kamu itu?" tanya Bu Kus yang mengantar pesanannya. Menurunkan semangkok mie ayam dengan ukuran mangkok cukup besar tak lupa pula tambahan ceker yang menambah nikmat untuk disantap.

"Minum apa?" tanya Bu Kus—biasanya perempuan paruh baya ini akan memberi minuman gratis untuk Renna.

"Air putih aja, Buk."

"Kamu itu, mumpung gratis minta yang enak dong. Teh gimana?" tawar perempuan itu lagi dengan nada agak galak—memaksa Renna.

"Ya gapapa." ucap Renna dengan senyuman. Menatap wajah perempuan yang selalu menawarinya makanan bahkan berutang pun boleh.

Renna menarik semangkok mie tadi dan mulai menambahkan beberapa sendok sambal, saos serta kecap manis sedikit. Tak lupa tambahan daun bawang seperti kesukaannya. Mengaduknya dengan telaten. Aroma kuah yang mengental begitu menggoda. Renna mulai menyantap makanannnya dengan tenang. Suasana kantin terbilang sepi untuk hari Senin. Bu Kus datang membawa teh panas gratis dan menaruhnya di dekat Renna.

Setelah selesai menyantapnya ia menyingkirkan mangkok. Memilih membuka aplikasi di ponsel. Di sisi lain dua mahasiswa datang mendekat ke Renna. Mereka adalah kawan Rennata yang terbilang cukup dekat namun tak terlalu akrab—Sasa dan Lea. Dua orang yang tak bosan mendekatinya untuk akrab dari awal masa Renna di kampus.

"Disini rupanya." ucap Sasa—gadis berambut keriting. Suara derit kursi bergeser terdengar mendecit. Beberapa orang di kantin melihat ke arah kursi mereka.

"Oh, sorry." ucap Sasa sambil menggedikkan bahunya. Tak ada respon berarti dari orang yang ada di sana.

"Ada apa? Kamu telat lagi?" tanya Lea—teman Rennata yang berasal dari Solo. Setiap katanya berlogat sangat lembut namun agak 'medok'.

"Ya, seperti yang kau lihat." Rennata tersenyum. Tentunya bukan senyum kebanggaan sebab rekornya adalah terlambat lagi.

Sasa dan Lea saling pandang lalu melempar pandangan pada Renna yang ada di hadapan mereka.

"Karena Dion lagi?" ucap mereka berbarengan.

Renna tersenyum kikuk sebagai jawaban. Memilih diam agar tak ada percakapan dengan topik kekasihnya.

"Ya kan?" tanya Sasa mendesak jawaban Renna tetapi dia tetap diam tak berniat menjawab. Lebih memilih mengaduk teh yang gulanya telah tandas.

"Ren, kenapa lo bodoh banget? Dion itu lagi bodohin lo!" ucap Sasa bertambah kesal. Mengibaskan tangannya menunjukkan rasa kesal hingga membuat panas suasana.

"Ren, sebenernya aku gak mau ngomong begini sama kamu. Tapi beneran kata Sasa. Dion udah toxic ke kamu. Bahkan kamu gak tahu kelakuannya di belakang kamu." Kini giliran Lea yang mengatakan kata-kata yang sama dari hari ke hari.

Mereka selalu mengatakan bahwa Renna tak mengetahui apa yang Dion lakukan di belakangnya. Tapi Renna yakin bahwa Dion adalah orang yang setia dan tak akan meninggalkannya—setidaknya itu untuk sekarang.

Tak mendapat respon dari Renna yang memilih diam agar tak membicarakan topik tentang Dion. Lea mengambil ponsel yang ada dalam ranselnya. Membuka kode kunci dengan cepat ketika sudah terbuka, ia memilih aplikasi foto. Lea menghela nafasnya lalu menunjukkan foto tersebut pada Renna.

"Ini dia yang sering aku bicarain soal kelakuannya di belakang kamu. Kamu bisa lihat sendiri tanggal di foto itu, kapan aku ambilnya? Pagi ini di pusat kuliner deket kos ku."

Renna melihat foto yang ditunjukkan oleh Lea seksama. Benar—itu foto kekasihnya yang sedang memeluk wanita lain. Jika tak melihat tanggal dan waktu sudah pasti ia akan mengatakan editan. Tapi tanggal disana tertera hari ini waktu pagi apalagi bukan hanya satu foto namun ada beberapa foto yang menunjukkan lelaki itu memasuki sebuah kafe pagi.

Renna terdiam tak bergeming. Mencoba mencerna apa yang ada di hadapannya. Itu benar foto lelakinya yang pergi semalam dengan pakaian yang masih sama.

Sasa merebut ponsel Lea dan memekik terkejut. "Apa gue bilang!" teriak Sasa kesal hampir membanting ponsel Lea sebelum pemiliknya merebutnya. Takut jika Sasa mengamuk.

"Ren, kali ini jangan bodoh!" kata Sasa kesal.

"Maafin aku, Ren. Aku harus nunjukinnya agar kamu sadar." sahut Lea.

Rennata hanya diam. Ia masih linglung. Kejadian ini begitu cepat. Dia masih belum paham harus marah bagaimana. Hatinya terasa panas hingga dadanya terasa sesak. Renna tak bisa menangis—entah kenapa. Raut kecewa terpatri jelas disana.

"Brengsek!" umpat Renna kesal. Meski kata brengsek saja tak cukup menggambarkan keadaannya. Sasa dan Lea saling sikut karena untuk pertama kalinya melihat Rennata mengumpat.

****

Pukul 10 malam Renna baru pulang dari kafe tempatnya bekerja. Tak jauh, hanya berada di area dekat tempatnya tinggal. Tak perlu adanya biaya tambahan untuk transportasi sebab berjalan kaki adalah pilihan terbaik. Berjarak sekitar 500 meter dari tempat tinggalnya.

Suasana di kota malam ini begitu sunyi, tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Renna menyusuri trotoar yang cukup lengang— hanya ada beberapa pedagang kaki lima dan penjual kopi keliling. Mungkin karena hari Senin tak ada orang yang nongkrong.

Suara gemuruh terdengar diikuti rintikan hujan yang turun. Membasahi jalanan dan orang yang di bawahnya. Para pedagang mulai berteduh mereka ada di halte hingga bawah tangga jembatan penyeberangan. Renna menutup kepala dengan kedua tangan. Ia melihat ke sekitar area gelap—barangkali ada tempat untuk berteduh.

Ya disana, di bawah jembatan penyeberangan hanya ada sedikit orang yang berteduh. Beberapa halte sudah penuh. Jarak ke tempat tinggalnya masih sekitar 200 meter. Jika dipaksa lari, Renna akan basah.

Belum sempat dirinya berlari ke sana sebuah payung menutup kepalanya. Hujan mampu dihalangi sesaat. Semerbak bau harum parfum tercium diindranya. Renna melihat ke arah samping. Seorang lelaki membawakannya payung. Sosok asing yang tak dikenal kini tersenyum hangat padanya.

"Bawalah payung ini. Aku akan naik bus." ucap lelaki itu menyerahkan payung pada Renna.

Jelas Renna tak langsung menerimanya, dia hanya menatap ragu payung tersebut.

"Gak usah." tolaknya halus.

"Bawa saja. Besok bawa ke kafe tempatmu bekerja. Kembalikan disana. Namaku Dimas." ucap lelaki itu—menawarkan kembali payung dengan rayuan senyuman hangatnya.

Renna ragu. Tapi tak ada pilihan, hujan akan semakin deras. Tinggal beberapa meter lagi dirinya sampai tujuan. Dia mengambil alih payung tersebut. Membiarkan pemiliknya— lelaki tersebut berbalik lalu berlarian menuju halte bus. Meninggalkan Renna yang agak basah di bagian kaki serta pundak.

Perempuan itu segera berjalan menjauh dari sana. Pulang lebih baik untuk sekarang. Hujan makin deras. Payung hanya mampu menutupi kepala dan tak membiarkan tubuhnya basah. Tetapi kaki Renna mulai menggigil. Sepatu sneakers-nya telah basah.

Sesampainya dia di salah satu gang sepi. Renna melihat ke sekelilingnya, rasa takut muncul. Bagaimana jika ada kejahatan mengintai disana. Ia segera berjalan cepat. Rasanya jarak 200 meter sangatlah jauh. Setibanya di gedung kosnya, Renna melepas sepatunya. Membiarkan kakinya yang basah menapak lantai dingin.

Dia menentengnya sampai ke lantai atas—tempat tinggalnya. Tak ada yang berarti. Suasana kos sepi karena sudah malam. Sebagian penghuni pastinya sudah tertidur lelap menyambut mimpi. Renna sampai ke tempatnya tinggal. Kamar yang paling ujung dan bila hujan akan ada sedikit air yang menggenang.

"Ah, hari sial yang panjang." umpatnya dengan bisikan halus. Tak ada yang mendengar ataupun curi dengar.

Renna menaruh sepatu dan payung di rak depan. Beberapa sepatunya basah sedikit. Ia masuk ke dalam kamar yang tak terkunci—Dion sudah pulang. Sebab kunci hanya ada pada Renna dan kekasihnya itu.

Suasana kamarnya berantakan—bahkan sangat. Beberapa barang seperti kasur yang terbalik di dipannya. Sprei dan selimut yang berantakan. Suara ribut karena benda berjatuhan terdengar. Renna menuju sumber suara ribut itu.

Ternyata Dion yang menjatuhkan beberapa buku dan pakaian. Lelaki itu seperti mencari sebuah benda dengan serius. Nampak semuanya kacau.

"Apa yang kamu cari?" tanya Renna membuat lelaki itu kaget.

"Aku lagi cari sesuatu yang penting." ucap Dion yang masih sibuk. Bahkan lembaran koran alas pakaian di lemari ia balik.

Semua kacau. Kamarnya tak ubahnya kapal pecah. Renna mengambil nafas panjangnya mencoba menahan emosi. Tapi gagal.

Hari ini begitu melelahkan dan panjang. Dari terlambat hingga saat ini lelakinya—Dion mengobrak-abrik kamar untuk mencari barang yang ia sendiri tak tahu.

"Kamu kan bisa minta bantuanku. Kamar ini jadi berantakan, aku capek." Renna mulai mengeluh berharap kekasihnya ini paham. Tapi yang ia dapat hanya suara geraman kesal Dion.

"Ya besok aku bantuin beresin." ucap Dion yang masih sibuk mencari.

"Kamu cuma bohong. Setiap selesai berantakin tinggal pergi."

Dion berbalik dan mengumpat. "Sialan! Aku sedang sibuk!" ucap lelaki sambil memandang Renna dari atas sampai bawah.

Hari ini Renna memang sengaja membawa tas ransel yang cukup besar. Buku-bukunya begitu banyak. Dion melihat ke arah tas ransel Renna.

"Pasti disana. Serahkan perhiasan kamu."

Renna membulatkan matanya. Tak percaya jika yang di cari lelaki itu adalah seperangkat perhiasan miliknya. Perhiasan emas pemberian ibunya untuk berjaga di kota. Renna menggeleng cepat.

"Tidak! Ini penting." ucapnya yang langsung memeluk tas ransel. Duduk jongkok di bawah agar lelaki ini sulit menariknya.

Dion agak melunak. Memandang perempuan di depannya. Kelicikan muncul dalam benaknya. "Serahin aja. Itu buat bisnis. Kita jual dan mulai bisnis. Biar utang cepet lunas."

Renna diam sesaat. Sudah berapa kali ia dirayu semacam ini. Ya, tidak sekali dua kali. Bahkan beberapa hutang ke rentenir juga ia katakan untuk bisnis namun nyatanya untuk gaya hidup seperti baju harga mahal sampai menyewa mobil untuk dipamerkan. Renna menutup matanya. Memblokir setiap rasa marahnya—namun gagal.

Darahnya mendidih. Panas dan sesak terasa di dada. Sudah lama ia selalu seperti ini. Renna tertawa miris cukup lama membuat Dion heran.

"Kamu lelaki terbrengsek dalam hidupku!" ucap Renna pelan. Menbuat keterkejutan Dion. Tak percaya wanita di hadapannya mengucapkan hal itu.

Renna menatap Dion dengan tatapan nyalang. Ia begitu marah saat ini. Dibohongi beberapa kali ia tetap percaya. Dion sudah merampas semua miliknya termasuk mentalnya. Renna lelah sangat lelah.

"Apa maksudmu?" tanya Dion marah.

"Ya, kamu lelaki brengsek. Mengambil semuanya. Hartaku. Harga diriku. Mentalku. Kamu hancurin semua. Dua tahun aku bertahan sama kamu tapi kamu malah semakin hancurin aku! Bisnis katamu? Itu yang selalu kau bilang saat mau minta uang. Tapi apa? Nihil. Kau mau bilang gagal? Tidak. Uang itu kau gunakan untuk menyewa mobil mewah untuk pamer. Lelaki sialan!" bentak Renna dengan tangisannya. Pecah sudah segala emosinya.

Dion mendengus sesekali. Meludah ke samping. "Terus apa maumun sekarang?" tanya lelaki itu sambil menahan kesalnya

"Kita akhiri sekarang!" bentak Renna.

"Kita bisa omongin baik-baik." rayu Dion.

"Tidak, kali ini aku beneran pengen putus. Kamu orang yang toxic!"

"Toxic? Kita jalanin berdua. Kamu pikir gak toxic juga? Orang yang taunya minta duit buat bayar utang. Itu kan utangmu!" bentak Dion dengan nada lebih keras.

"Tapi uangnya buat kamu. Kamu yang ngerayu aku buat hutang. Katamu bisnis? Tidak semua itu untuk pamer. Sialan!" Renna sudah begitu lelah dan hari ini dirinya tak ingin tambah semakin terpojokkan.

"Kamu mau aja dibodohin. Cih." Dion meludah ke arah baju Renna. Harga diri wanita ini begitu hancur.

"Lelaki brengsek!" bentaknya lagi. Ia sudah tak peduli jika beberapa tetangga kos mendengarnya adu mulut seperti ini.

Dion mendengus kesal. "Baik, jika ini maumu! Kau adalah pelacur bagiku. Murahan!"

Ucapan Dion bagai petir di telinga Renna. Tak pernah ia sangka akan ada ucapan seperti ini. "Mau aja nyerahin keperawanan sama harta? Mau aku sentuh setiap hari padahal bukan istriku? Kamu pikir kamu suci dan benar? Kamu juga kotor!" ucapan demi ucapan Dion begitu menyakitkan.

"Pergi!" usir Renna menunjuk pada pintu yang terbuka lebar.

Dion mendengus kesal. Lelaki itu memilih pergi. Menutup pintu dengan suara debuman keras untuk meluapkan amarahnya.

Meninggalkan Renna yang merenung lalu meraung. Dia menangis. Tubuhnya lelah apalagi hatinya.

***

Bab terkait

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 2 Memutus Tapi Meninggalkan Beban

    Bab 2 Selang kepergian lelaki itu—Dion. Suasana kembali senyap tak ada bisik-bisik lagi. Renna yakin beberapa tetangga tadi keluar melihat pertengkaran mereka yang kali ini cukup hebat. Renna memutuskannya bukan karena foto tadi siang—yang ditunjukkan Lea. Sudah beberapa malam dia tidak bisa tidur karena merasakan sakit di tubuh dan hatinya. Luka di tubuh dapat sembuh tetapi tidak dengan luka di hatinya. Dia mencari jawaban kenapa rasanya sangat sakit. Sesak dan perih, luka semacam ini tak berdarah namun sakitnya bisa sangat lama. Menimbulkan kecemasan yang cukup panjang serta menurunkan kepercayaan diri. Rasa keberhargaan yang kurang. Perasaan yang menggerogoti Renna dalam kurun waktu lama. Dia hanya merasa perlu melakukannya— memutus hubungan setelah terbelenggu cukup lama dalam kecemasan. Mencoba bebas dari perasaan sakitnya. Dia mengusap matanya yang masih agak basah. Merapikan rambutnya yang berantakan. Meletakkan ransel yang sempat ia peluk ke lantai—ransel berisi perhiasan y

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 3 Siapa Yang Tak Tahu Diri?

    Bab 3 Bip! Suara mesin Tap On Bus di dekat sopir bus trans kota. Renna memandang ke barisan penumpang bus yang tak terlalu banyak untuk jurusan ini—mungkin karena masih jam kerja. Renna berjalan memilih tempatnya duduk. Tak ada yang peduli dengan kehadirannya dan seharusnya memang begitu. Untuk apa tahu siapa yang menumpang dalam bus lengang ini. Selama mereka menikmati perjalanan yang cukup murah untuk sekali jalan dan sampai tujuan dengan selamat—hanya itu tujuan mereka. Penumpang bus itu sama dengan bertemu orang-orang asing yang berusaha asik. Mereka berkenalan dalam bus lalu setelah keluar maka tak saling bertemu sapa lagi—mungkin memang hukum alam seperti itu. Renna memilih duduk di kursi paling belakang pada sisi kiri. Dia menyandarkan bahunya—merasa lelah karena berjalan dari gedung tempatnya tinggal ke halte bus membutuhkan banyak tenaga apalagi saat cuaca sedang terik seperti sekarang. Tak banyak pohon di trotoar yang hanya membuat semakin terasa panas dan Renna sudah b

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 4 Patah Hati Itu Butuh Energi

    Bab 4 Gelap!Kepalanya terasa pening! Dia membuka mata perlahan, samar-samar melihat lampu berwarna putih terang dengan langit-langit ruangan yang sewarna—cukup menyilaukan. Tercium pula bau obat-obatan. Tangannya terasa kebas. Tak lama setelahnya—ketika dirinya telah sadar sepenuhnya. Dia menyadari sudah tertidur di suatu tempat dengan tirai yang membingkai kanan kiri dan depannya. Tangan kirinya telah terpasang infus. Renna sudah bisa menebak dimana dirinya tanpa bertanya dan diberitahu—rumah sakit. Dia memandang sekitar tempatnya tidur. Tak ada orang yang menunggu. Keadaan diluar tirai begitu ramai orang mengobrol berbanding terbalik dengan tempat yang hanya ada dirinya seorang. Dia mengingat apa yang terjadi hingga berakhir di rumah sakit. Renna hanya ingat bagian ucapan tentang meminta uang 700 ribu pada Dimas dan setelahnya hanya gelap yang diingat. Renna menegok ke bawah selimut yang menutup tubuhnya hingga di bawah dagu. Hoodie yang dipakainya tadi pagi telah terlepas pad

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 5 Test Tingkat Stress

    Bab 5Renna memandangi kertas yang baru saja dirinya ambil dari Kantor Administrasi Akademik. Sebuah form panjang untuk pengajuan cuti kuliah selama dua semester. Setelah berkonsultasi pada Kaprodi tentang kondisi kesehatannya yang menurun beberapa hari—dia berbohong agar diizinkan.Semalam dia sudah memikirkan strategi pengajuan cuti ini. Dirinya ingin mengambil beberapa jeda waktu untuk fokus mengumpulkan uang. Banyak hal yang menjadi bahan perenungan sebelum memilih untuk cuti kuliah termasuk kondisi keuangan orang tua dan dirinya sendiri. Krisis sangat terasa sekarang untuk Renna.Tak ada penghasilan pasti ditambah dengan kiriman uang yang mungkin dikurangi hingga beberapa bulan ke depan.Mungkin ini adalah salah satu bentuk karma atas perbuatannya yang mengkhianati kepercayaan kedua orang tua. Tentang kesanggupan menjaga diri padahal nyatanya tidak. Dia merusak diri baik secara fisik dan mentalnya."Ren!" panggilan dari seseorang yang sedang berjalan ke arah Rennata dengan sedikit

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 6 Bantuan Balas Dendam?

    Bab 6"Dim, tolong ada yang terluka." Dimas menengok pada temannya— pemilik kafe bernama Darian. Dia melihat ke dalam melalui jendela kaca, sudah ada beberapa orang yang berkerumun pada satu titik dekat panggung band. Matanya mulai menelusuri dimana perempuan yang tadi sempat bersama dengannya— namun nihil.Ia lari ke dalam, mencari siapa orang yang terluka. Dirinya sempat mendengar jika ada pecahan botol ketika Renna diminta masuk. Pikirannya berpendar dan menduga mungkinkah Renna melukai dirinya sendiri."Arrrgghhh!!" jeritan seorang pengunjung memekakkan telinga. Dia berada di kerumunan paling depan.Dimas melihatnya. Disana, Renna duduk jongkok dan menunduk. Perempuan itu seakan tuli pada keadaan sekitar. Tangannya mengepal erat. Darah sudah terlihat menetes dari telapak tangan kanannya. Perempuan ini ada apa? Dimas menebak-nebak diamnya Renna seperti orang linglung. Ia segera menghampirinya. Ingin menyadarkan Renna yang mungkin sedang melamun.Seperti kemarin, perempuan itu mel

  • Luka (Yang) Cantik   BAB 7 Kegamangan Dan Kepercayaan

    Bab 7Renna menatap wajah lelaki di depannya dengan seksama. Terpeta setiap keseriusan yang ada. Tangisnya sudah mulai reda. Sesak yang sempat di rasanya tadi berangsur berkurang.Tatapan hangat yang memancarkan keseriusan itu memudarkan kecemasan yang dia rasa. Isaknya hanya terdengar sesekali. Dimas merapikan rambutnya dan berbisik tentang rencana-rencana hebat dalam balas dendam versi lelaki itu."Jadilah perempuan yang lebih baik, hingga dia menyesal karena meninggalkanmu." bisiknya ringan pada telinga Renna.Membawa hawa merinding di sekujur tubuh Renna. Lelaki ini benar-benar membuatnya merasakan nyaman dalam arti yang berbeda. Tatapan yang lembut menyampaikan keseriusan dan ketegasan secara bersamaan.Renna terpaku sesaat pada tatapan tersebut sebelum akhirnya kesadaran membawanya ke dunia nyata sekarang. "Ayo pulang, aku anterin."Dimas menepuk pundaknya dan membantu Renna berdiri. Perempuan itu menunduk karena rasa malu. Merasa jika tindakannya kali ini telah melewati batas.

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 8 Terang Bulan

    Bab 8'Jika pulang nanti tunggu aku. Aku akan mengantarmu'Pesan dari Dimas baru saja dia baca. Pesan yang selalu dikirim lelaki itu secara rutin belakangan ini untuknya. Dimas selalu berpesan akan mengantarnya dan lelaki itu memang tak pernah absen mengantar Renna pulang.Telah lewat dua minggu setelah kejadian Dion mengancamnya di dekat halte bus kampus dan setelah kejadian tersebut secara tiba-tiba Dimas menjadi lebih waspada dalam menjaganya. Padahal Renna tak pernah menceritakan kejadian pengancaman itu pada Dimas. Dia terlalu takut jika semakin merepotkan sosok penolongnya. Namun siapa sangka jika ternyata lelaki itu memiliki firasat tersendiri.Setiap mengantarnya pulang maka akan beralasan bahwa jalanan ke tempat tinggal Renna sangat sepi dan gelap. Kejahatan bisa mengintai dimana saja.Renna juga merasa resah setiap malam terutama kala pagi menyambut, saat dirinya akan berangkat bekerja sebagai loper koran pada pagi buta. Keresahan yang ia rasa karena takut jika Dion akan mun

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 9 Cempaka

    Bab 9Suasana kota pagi ini sangatlah lengang. Masih bisa dikatakan cukup gelap untuk pembukaan hari mereka. Dimas mengemudikan mobilnya dengan tenang tanpa terganggu macet. Mengajak Renna membelah jalanan kota menuju tempat tujuannya pagi ini.Hawa dingin merasuk ke kulit mereka. Renna mengencangkan jaketnya— mengharap hangat. Sabuk pengaman telah melekat pada tubuh kurusnya. Dimas memakai sebuah sweater warna hitam yang dipadukan celana jeans warna sepadan. Sedangkan Renna juga mengenakan pakaian warna senada. Hitam, seperti pesan Dimas tadi pagi.'Pakai warna hitam, biar couple.'Dimas juga mengenakan kacamata hitam, bagi Renna masih terlalu gelap memakainya. Renna memeluk tubuhnya sendiri. AC mobil masih dinyalakan lelaki sebelahnya— sangat tidak peka. Suara radio mobil menggema dari dalam. Meninggalkan jejak musik yang keras di dalam mobil.Ingin Renna bersuara tapi musik dari radio cukuplah keras. Ditambah Dimas yang ikut asyik bersenandung."Dingin!" ucap Renna mendekat pada te

Bab terbaru

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 16 Obrolan Kopi Dan Kentang Patah Hati

    Bab 16Renna berjalan keluar dari gedung lebih pagi. Keadaannya jauh dari kata baik-baik saja. Meski telah mandi, nyatanya wajah sembab masih terpatri pada wajahnya. Rambutnya terikat rapi. Langkahnya cepat dan berharap sampai ke tempat kerjanya lebih pagi.Tapi sepanjang jalan, keadaannya masih sedikit orang. Di salah satu bawah pohon seorang pria tengah berdiri dengan selebaran di tangannya. Renna melangkah lebih cepat melewati orang itu, tapi pria itu menyodorkan sebuah kertas yang berisi kalimat penyemangatnya.'Konsultasikan traumamu kepada kami'Seperti itulah tulisan di dalamnya, dengan tatapan bingung Renna menghadap pria itu, mereka saling berpandangan satu sama lain. Renna menatapnya bingung."Dari rautmu, kamu pasti sedang bersedih."Ucapan pria itu membuat Renna sedikit terkesima. Perempuan itu terdiam dan menatap cukup lama. "Kamu pasti menangis sepanjang malam. Tak apa untuk tak baik-baik saja."Ucapan selanjutnya kian membuat Renna menitikkan air mata. "Apakah terlihat j

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 15 Setiap Manusia Itu Ada Lukanya

    Bab 15"Ren, Dimas sudah ada di luar." ujar Darian padanya Renna sedang duduk di kursi kasir sambil melamunkan kejadian tadi siang.Renna mengambil tas ransel hitam miliknya yang berada di bawah meja kasir lalu mencantolkannya pada bahu. Dia melangkah keluar dari kafe yang telah sepenuhnya sepi dan gelap. Kafe telah tutup dari jam 10 malam dan tentunya kini para karyawan telah pulang hanya meninggalkan Renna serta Darian sang pemilik kafe di dalamnya karena menunggu sosok bernama Dimas. Semua penungguan lama ini karena lelaki itu terus mengirimi pesan beruntun penuh ancaman yang menggelikan.'Malam ini aku antar, jika kau pergi duluan nanti aku langsung masuk ke kamarmu'Pesan berurutan yang membuat Renna jengah dan geli sendiri. Lelaki tersebut lebih seperti kekasih yang posesif di suatu waktu dan sisanya bak orang asing yang saling mengenal. Renna membuka pintu kaca kafe. Di sana dia mengedarkan pandangan dan matanya langsung disambut oleh sosok Dimas yang berdiri di depannya sambil

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 14 Gelas Yang Retak

    Bab 14Pukulan Dimas pada Dion telak membuat lelaki yang menjadi lawannya tersungkur jatuh di lantai. Membuat pekikan para tetangga yang melihatnya diiriingi bisikan mereka tentang betapa kacaunya hari ini. Sedang Renna yang bersembunyi di balik badan Dimas mulai merinding. Dia memejamkan matanya, menerka seberapa hebat nanti pertengkaran ini.Dan setelah ucapan Dimas tadi, semua orang terdiam. Tetangga yang bergunjing menjadi diam dengan ancaman Dimas pada Dion yang penuh titah tak terbantahkan, seolah ia adalah raja disana. Semua mata ikut menelisik, dimana perempuan yang membuat masalah ini. Lebih tepatnya, perempuan sumber pertengkaran tersebut.Dion mengusap ujung bibirnya yang berdarah, pukulan Dimas sangat menyakitkan teruntuk dirinya apalagi ia yang belum siap menerimanya. Atau memang tak akan pernah siap, Dion bukan orang yang pandai berkelahi. Beberapa pasang mata melihat mereka berdua— lelaki yang memukul dan di pukul. Kini wajah Dion kian memerah menahan marah serta malu.H

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 13 Pulang

    Bab 13 Tak ada hal yang baik-baik saja setelah mengalami kejadian yang traumatis. Mereka selalu mencoba untuk baik-baik saja dengan harapan akan hilangnya semua ingatan traumatis tersebut atau setidaknya bisa memaafkan.Dan hal itu yang Renna coba selama hampir 10 hari di tempat ini. Dia bak orang yang tengah bersembunyi dari banyaknya manusia di luar sana. Perempuan itu masih terbaring pada ranjang rumah sakit dengan Dimas yang menjaganya sesekali. Lelaki itu memang tak selalu ada untuknya dalam 24 jam tapi akan tetap menjaga dan merawat pada pagi hari serta di malam hari seusai pulang kerja.Luka-luka yang ia dapat dari kejadian itu mengering dan hanya meninggalkan beberapa bekas yang akan sembuh beberapa waktu ke depan, namun hanya luka fisik yang mengering. Tetapi tidak dengan luka pada hati dan memorinya. Semua kenangan itu sesekali seperti kaset rusak yang tiba-tiba hadir dalam lamunannya. Dan ketika kenangan buruk itu muncul, Renna hanya memejamkan matanya dan menahan tangis—

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 12 Penyesalan Dimas

    Bab 12 Dimas terus melangkah melalui gang sempit menuju mobilnya yang terparkir di luar area tersebut. Beberapa saat lalu ia bertemu dengan rentenir yang menjerat Renna hingga perempuan itu mengalami hal memilukan— Yang mungkin menjadi trauma terbesarnya.Berurusan dengan debt collector yang menyiksa dan hampir memperkosa perempuan itu.Dimas berjalan dengan tenang. Tak menghiraukan tatapan beberapa orang yang melihatnya dengan tatapan takjub bahkan meremehkan karena baru saja keluar dari tempat rentenir paling kejam di kota ini. Dari semua tempat yang selalu berurusan dengannya, Dimas tak mengerti kenapa sekarang dirinya terlibat lebih jauh hingga ke area semacam ini. Tempat yang sangat jauh dari kata baik-baik saja. Berada pada area kumuh pinggir kota dekat dengan dermaga.Ia memang bukan orang yang bersih hingga tak pernah berurusan dengan sisi gelap. Tapi setidaknya, itu adalah masa lalunya sebelum menjadi dokter. Masa- masa dimana ia rajin berkelahi dengan orang yang meremehkan d

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 11 Shocked

    Bab 11 "Dar, tolong jemput Renna dan antar dia. Mobilku di kafe dekat toko roti Wangi. Nanti aku kirim pesan untuk menjemputku dimana." pesan Dimas pada Darian melalui via telepon."Baik bro." jawab dari seberang.Dimas mematikan ponselnya dan menaruhnya ke saku celana. Saat ini ia berada dalam ambulans menuju rumah sakit terdekat. Dirinya mengikuti pasien tersebut untuk memastikan pasien itu selamat.Hanya sekali ini akan meninggalkan Renna untuk pulang sendirian, meski dalam benaknya penuh firasat buruk. Dimas mengambil nafasnya dalam. Ada rasa ketakutan jika terjadi apapun pada Renna. Namun perasaan itu ia tepis dengan berpikir positif, Renna akan pulang bersama Darian dan tentunya itu akan lebih baik daripada pulang sendirian."Ayo, pak. Kita sampai." ucap salah seorang petugas menyadarkan dirinya. Ia segera turun disambut beberapa petugas medis disana.Dimas mengikuti setiap langkah para petugas medis. Terus mengikuti mereka hingga sampai ke ruang gawat darurat. Ia hanya bisa m

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 10 Tragedi

    Bab 10Film telah usai semenjak tadi. Acara nonton mereka cukup lancar sampai akhir, tak ada drama terlambat sampai tempatnya. Bahkan film horor yang diputar tadi tak memecah keheningan mereka yang masih saling membisu.Sudah pernah dikatakan bahwa Renna tak takut pada hantu, dia lebih takut pada pikiran buruknya. Setelah keluar dari bioskop mereka berada disini. Di kafe yang kemarin siang Renna antarkan pesanan belanja.Awalnya Dimas mengajak untuk makan di kafe tempat kerjanya, tapi karena merasa malu Renna menolaknya. Dan oleh sebab itu mereka sampai disini. Kafe ini cukup sepi dibanding kafe milik Darian.Tak ada band kafe seperti kafe Darian yang ada hanya musik dari pengeras suara pada setiap penjuru ruangan untuk mengisi hiburan di tempat ini. Mereka berdua sedang menyantap makan malam sebagai penutup liburan hari ini.Renna menyantap makanannya dengan tenang tanpa tergesa, perutnya tak terlalu lapar karena Dimas terus mengajaknya membeli camilan saat di mall. Sedang lelaki it

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 9 Cempaka

    Bab 9Suasana kota pagi ini sangatlah lengang. Masih bisa dikatakan cukup gelap untuk pembukaan hari mereka. Dimas mengemudikan mobilnya dengan tenang tanpa terganggu macet. Mengajak Renna membelah jalanan kota menuju tempat tujuannya pagi ini.Hawa dingin merasuk ke kulit mereka. Renna mengencangkan jaketnya— mengharap hangat. Sabuk pengaman telah melekat pada tubuh kurusnya. Dimas memakai sebuah sweater warna hitam yang dipadukan celana jeans warna sepadan. Sedangkan Renna juga mengenakan pakaian warna senada. Hitam, seperti pesan Dimas tadi pagi.'Pakai warna hitam, biar couple.'Dimas juga mengenakan kacamata hitam, bagi Renna masih terlalu gelap memakainya. Renna memeluk tubuhnya sendiri. AC mobil masih dinyalakan lelaki sebelahnya— sangat tidak peka. Suara radio mobil menggema dari dalam. Meninggalkan jejak musik yang keras di dalam mobil.Ingin Renna bersuara tapi musik dari radio cukuplah keras. Ditambah Dimas yang ikut asyik bersenandung."Dingin!" ucap Renna mendekat pada te

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 8 Terang Bulan

    Bab 8'Jika pulang nanti tunggu aku. Aku akan mengantarmu'Pesan dari Dimas baru saja dia baca. Pesan yang selalu dikirim lelaki itu secara rutin belakangan ini untuknya. Dimas selalu berpesan akan mengantarnya dan lelaki itu memang tak pernah absen mengantar Renna pulang.Telah lewat dua minggu setelah kejadian Dion mengancamnya di dekat halte bus kampus dan setelah kejadian tersebut secara tiba-tiba Dimas menjadi lebih waspada dalam menjaganya. Padahal Renna tak pernah menceritakan kejadian pengancaman itu pada Dimas. Dia terlalu takut jika semakin merepotkan sosok penolongnya. Namun siapa sangka jika ternyata lelaki itu memiliki firasat tersendiri.Setiap mengantarnya pulang maka akan beralasan bahwa jalanan ke tempat tinggal Renna sangat sepi dan gelap. Kejahatan bisa mengintai dimana saja.Renna juga merasa resah setiap malam terutama kala pagi menyambut, saat dirinya akan berangkat bekerja sebagai loper koran pada pagi buta. Keresahan yang ia rasa karena takut jika Dion akan mun

DMCA.com Protection Status