Home / Fiksi Remaja / Luka (Yang) Cantik / Bab 2 Memutus Tapi Meninggalkan Beban

Share

Bab 2 Memutus Tapi Meninggalkan Beban

Author: Ana De
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Bab 2

Selang kepergian lelaki itu—Dion. Suasana kembali senyap tak ada bisik-bisik lagi. Renna yakin beberapa tetangga tadi keluar melihat pertengkaran mereka yang kali ini cukup hebat. Renna memutuskannya bukan karena foto tadi siang—yang ditunjukkan Lea.

Sudah beberapa malam dia tidak bisa tidur karena merasakan sakit di tubuh dan hatinya. Luka di tubuh dapat sembuh tetapi tidak dengan luka di hatinya. Dia mencari jawaban kenapa rasanya sangat sakit. Sesak dan perih, luka semacam ini tak berdarah namun sakitnya bisa sangat lama. Menimbulkan kecemasan yang cukup panjang serta menurunkan kepercayaan diri. Rasa keberhargaan yang kurang. Perasaan yang menggerogoti Renna dalam kurun waktu lama. Dia hanya merasa perlu melakukannya— memutus hubungan setelah terbelenggu cukup lama dalam kecemasan. Mencoba bebas dari perasaan sakitnya.

Dia mengusap matanya yang masih agak basah. Merapikan rambutnya yang berantakan. Meletakkan ransel yang sempat ia peluk ke lantai—ransel berisi perhiasan yang ia bawa kemana-mana karena takut Dion akan mengambilnya.

Renna berjalan untuk menutup pintu kamarnya, menemukan kunci kamar yang dilempar Dion sesaat sebelum keluar. Mengambilnya lalu mengunci kamar. Lelaki itu akan pergi selamanya dan tak kembali. Kunci sudah diserahkan kembali pada Renna—meski dengan cara kasar.

Setelah dia berbalik, Renna menghela nafasnya panjang. Memandang kamarnya yang sangat berantakan. Pakaian di lemari keluar semua. Buku-buku pelajarannya juga tak berbentuk bahkan ada yang seperti lembaran. Kasurnya masih seperti saat ia masuk—terbalik. Rasanya sangat lelah untuk membereskan semuanya sekarang. Tapi jika ditinggal dan tak dibereskan sekarang maka esok hanya tambah berantakan.

Renna mengambil beberapa benda untuk dikembalikan pada posisi semula seperti sandal kamar serta sapu di pojokkan belakang pintu. Dia mulai dari merapikan tempatnya tidur. Mengembalikan kasur dan memasang sprei seperti semula dengan rapi. Dilanjutkan dengan buku-buku yang jatuh, memungut lembaran yang keluar. Buku catatannya sudah amat berantakan bentuknya bahkan beberapa tampak lusuh karena cengkeraman. Dan terakhir lemarinya, dia mulai dari mengembalikan posisi kertas koran untuk alas pakaian. Mengambil seluruh pakaian yang berserakan di lantai ke kasur dan mulai melipat semuanya. Mata perempuan ini sudah amat sendu dan mengantuk. Ia merasa lelah untuk hal yang dialami seharian, pulang dalam keadaan agak basah dan sekarang kamarnya berantakan. Bahkan luka di pundaknya terasa nyeri sesekali.

Semua gara-gara Dion mencari perhiasan miliknya. Entah kapan lelaki itu mengetahuinya, sebab Renna sendiri tak pernah bilang memiliki perhiasan tersebut. Perhiasan yang diberikan ibunya beberapa bulan lalu saat pulang kampung untuk menjenguk ayahnya. Beliau berpesan agar menjadikannya investasi di kota atau menutup kekurangan selama disini.

Memang insting seorang ibu itu baik, beliau mengetahui keadaan putrinya tanpa harus bertanya. Apalagi saat pulang kampung kemarin dia dalam keadaan tak baik—sangat. Sebab pikirannya kacau karena hutang yang terus dikejar untuk dilunasi. Belum lagi Dion yang tak bisa dihubungi setelah bermain judi dengan jaminan ponsel Renna tanpa diketahui olehnya.

Renna mengusap air matanya yang mengalir bebas. Ia sangat merasa bebas sekarang tapi semua kosong. Sakit yang ia lalui membuatnya menangis. Ternyata butuh waktu cukup lama untuk sadar.

"Sial! Brengsek!" umpat Renna merasa dirinya sangat tak pantas. Renna terus mengingat perkataan Dion yang menghinanya tadi.

Apakah merasa suci? Tidak.

Apakah merasa dirinya baik? Tidak.

Mau disentuh? Ya. Tapi kau yang memaksa brengsek.

Banyak dugaan yang tak habis dalam pikirannya . Umpatan-umpatan yang tertunda. Renna mengusap air matanya lagi—rasa panas dan sesak terasa di dada hingga membuatnya sedih namun tak tahu alasannya.

Kosong? Iya. Perasaannya seketika kosong entah harus bersyukur atau sedih. Lepas dari belenggu lelaki itu tetapi ia harus belajar hidup tanpa orang yang menemaninya selama dua tahun.

Renna telah usai melipat pakaiannya yang tak banyak. Memasukkan kembali ke dalam lemari. Menatanya hingga rapi. Setelah usai, Renna melihat ke penjuru kamar. Tinggal besok menyapu dan menata piring kotor.

Sudah pukul setengah sebelas malam. Dia belum sempat mandi, ingin rasanya langsung tidur tapi tubuhnya tadi agak basah, bajunya tentu kotor. Renna masuk ke kamar mandi untuk menyalakan kran dan mengisi ember. Bukan mandi, ia hanya membasuh wajah serta menyikat giginya. Mengganti pakaian yang lebih kering dan hangat. Dia tak menangis selama beberapa saat.

Ketika tubuhnya mulai direbahkan dan berselimut. Renna mulai menangis, dia menutup mulutnya yang terisak dengan guling yang ada—membekap agar tak terdengar suara tangisnya. Memeluk guling erat. Rasa sakit menggerogoti hatinya lagi. Semua, kenangan tentang Dion hadir. Kenangan terburuk yang pernah ada melintas. Semua janji yang terucap dan tak akan pernah terpenuhi kembali ia ingat. Pertemuan mereka hingga detik ini.

Lelaki yang mengambil keperawannya itu berubah setelah ia menyerahkan tubuhnya. Tak berperilaku semanis dulu. Renna menutup matanya. Berusaha memblokir ingatan malam itu. Kenangan terburuk kala lelaki itu memaksanya dalam kondisi mabuk. Matanya sudah sembab karena menangis. Air mata sudah mengering hingga tak sanggup lagi keluar dari kedua netra kosongnya. Setelah merasa sangat lelah menangisi semuanya Renna menutup mata untuk tidur. Beristirahat dari panjangnya hari yang menyakitkan.

"Dia brengsek." Ucapnya sebelum matanya benar-benar tertutup. Berharap dunia membiarkan dia beristirahat untuk malam ini. Melupakan rasa sakit yang ia alami dalam jangka panjang.

Tidur meringkuk dengan selimut yang membungkusnya rapat. Bantal dan gulingnya tampak basah karena air mata.

***

Hari ini dia tampak lesu. Matanya sembab dan berkantung, lingkaran hitam tampak jelas di mata perempuan berusia 20 tahun itu. Dia belum bangun dari tempat tidurnya semenjak tadi—sengaja agar tak perlu berangkat kuliah.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Jika memaksa berangkat maka dia akan terlambat seperti kemarin dan menjadi cemoohan lagi. Hanya untuk hari ini, Renna ingin melindungi dirinya. Keadaannya sangat kacau. Ia tak merasakan lapar meski belum makan setelah pulang dari kampus kemarin. Matanya lebih banyak melamun. Menghadap ke arah langit-langit kamar yang lampunya masih menyala.

Renna merasa tak memiliki niat hidup untuk hari ini—merasa kehilangan minat dan semangat. Beberapa kali ia meyakini dirinya baik-baik saja tetapi pikirannya melayang pada perkataan Dion semalam. Lalu setelahnya akan menangis—lagi secara tiba-tiba. Perasaan tak berharga dalam dirinya yang tertanam sejak lama kini tumbuh subur menjadi kecemasan berkepanjangan. Tak ada teman atau kawan yang ingin dihubungi dalam keadaan seperti ini baik Lea ataupun Sasa, dia merasa tak terlalu akrab.

Bagi Renna, teman hanya topeng kepalsuan beberapa orang. Bahkan Sasa dan Lea yang terlihat sering bersamanya. Renna menganggapnya sebagai pelindung dari orang-orang dan formalitas hidup dalam sosial. Mereka memang pernah akrab selama beberapa bulan tapi semua berubah kala Renna mencuri dengar saat kedua orang yang ia anggap akrab membicarakannya. Tepat setelah ia mengatakan menyerahkan keperawanan pada Dion. Mereka menghina dirinya dengan kata bahwa dirinya agak mudah dirayu. Sejak saat itu, Renna membentengi diri untuk tak bercerita banyak.

Bagaimana mereka mengetahui hubungannya tak baik? Dari luka lebam yang terkadang ia dapatkan. Dan kesimpulan mereka adalah Dion bersalah. Tapi tak ada tindakan, kedua orang itu lebih banyak bicara menasihati tanpa tindakan yang dibutuhkan seperti mengajaknya jalan atau memberi bantuan agar lepas dari belenggu tersebut.

Renna mengambil nafasnya. Matanya memerah bersiap untuk menangis lagi. Ingat akan dirinya yang sejatinya kesepian saat berada di keramaian. Tak ada yang benar-benar teman sekarang bahkan orang yang ia pikir akan menemaninya adalah penghancur hidupnya.

Hampir pukul sepuluh dan Renna belum ada pergerakan. Masih ditempat yang sama dan keadaan yang lebih parah. Rambutnya semakin acak-acakan. Beberapa kali terdengar bunyi notifikasi pesan masuk dari ponselnya. Namun tak menarik minat Rennata.

Beberapa saat setelahnya suara pintu diketuk dengan keras terdengar. Bahkan suara tetangga berbisik terdengar ribut di telinga. Orang di depan sana sangat ribut memanggil Renna dengan segala macam umpatan. Kamar kos Renna ini sangat biasa dikelasnya, suara tetangga menonton televisi saja terdengar.

"Hei, sialan! Keluar kau!" panggil suara berat nan kasar itu. Renna yakin suara lelaki.

"Keluar kau! Brengsek!" ucap orang itu lagi. Renna masih dalam kebingungan, menerka siapa yang datang.

Hutangpun sudah lunas seminggu lalu dengan uang gajian paruh waktunya dan ia tak memperpanjang lagi hutang tersebut. Renna diam-diam membayar tunggakan terakhir. Supaya Dion tak mengetahui hutang telah lunas sehingga merasa punya kesempatan berhutang ke rentenir lagi.

Renna mengambil sisir lalu menggelung rambutnya. Berjalan ke pintu yang sangat berisik dengan suara ketukan dan makian. Dia membukanya dengan pelan.

Didepan pintunya tampak dua orang bertubuh kekar dengan tato yang berada di lengan. Pakaian mereka kaos oblong hitam lengan pendek dan celana panjang hitam. Tak lupa sepatu boots warna hitam. Lengkap, semuanya serba hitam. Apalagi raut wajah mereka galak, mencoba menunjukkan sisi sangar— bagi beberapa orang mereka menakutkan.

Renna melihatnya dengan tatapan bingung. Dia jelas mengenal dua lelaki ini. Mereka adalah debt collector dari rentenir tempat Dion sering berhutang dengan namanya. Renna berpikir dengan cepat. Menduga jika Dion kembali berhutang dengan namanya.

"Tagihan pertama!" Ucapan pertama yang Renna dengar dari seorang debt collector di hadapannya. Sudah Renna duga memang Dion penyebabnya.

"Aku tidak berhutang." ucap Renna dengan tenang—lebih tepatnya berusaha tenang. Kaki perempuan ini gemetar merasa ketakutan. Tak tahu jumlah hutang Dion kali ini.

"Pacarmu berhutang ke kami lagi!" bentak salah satu dari mereka.

"Aku bukan lagi pacarnya!"

"Jangan bohong. Kau dan pacarmu sering bersama. Cepat bayar tunggakan pertama kalian!"

Bentakan mereka membuat para tetangga sebelahnya saling melirik dan berbisik. Membicarakan Renna yang selalu berurusan dengan rentenir.

"Tapi aku beneran sudah gak sama dia. Tagih aja sama dia." Renna tak mau kalah. Dia merasa tak memakai uang tersebut.

"Jangan ngaco! Pacarmu bilang itu untuk uang kuliahmu!"

"Tapi aku tak menerimanya!"

Renna dan kedua debt collector tersebut saling tatap lalu berdebat. Renna yang merasa tak menggunakan uang hutang tersebut serta dua debt collector yang sedang menjalankan pekerjaannya—meski Renna akui mereka sangat tak bersahabat ke nasabah.

"Kami tidak mau tahu. Tugas kami menagih dan alamat tagihan ke tempatmu. Bayar untuk setoran pertama senilai 700 ribu!"

Renna semakin bingung, mulai mempertanyakan nominal hutang lelaki itu. Biasanya hutang yang bersifat mingguan ini memiliki nominal tak sampai 500 ribu. Tapi kali ini nilainya dibawah satu juta.

"Kalian ngeyel? Saya bilang tak merasa berhutang." Renna masih teguh dengan ucapannya. Meski ketakutan masih merayap dalam dirinya—merasa takut jika dua orang ini memukulnya.

"Kau tahu hutangnya? 20 juta untuk 9 bulan!" Info salah seorang debt collector dengan nada galaknya. Tak mau kalah dari Renna yang menggunakan nada galak sedikit membentak—sebagai bentuk benteng diri.

"Telepon pacarmu itu, biar kita selesaikan semuanya." ucap salah seorang dari mereka. Merasa iba dan percaya pada perkataan Renna yang berulang tentang tak menggunakan uang tersebut.

Renna masuk ke dalam kamarnya dan mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur. Beberapa pesan tampak pada notifikasi tak dipedulikan oleh Renna. Dia membuka aplikasi bertukar pesan. Memanggil nomor lelaki itu namun hasilnya nihil hanya keterangan memanggil yang terus muncul—yang berarti sedang tak aktif.

Renna memanggilnya lagi berharap kali ini hasilnya beda akan tetapi tak ada perbedaan, masih sama. Nomor tersebut tak aktif. Renna membuka profil lelaki tersebut dan mengirim pesan makian. Namun hasilnya tak ada. Tanda baca disana menunjukkan pesan tak terkirim. Profilnya kosong beserta info.

Ada dua kemungkinan yang terjadi pertama lelaki itu memang benar-benar tak mengaktifkan ponsel. Yang kedua Renna diblokir agar tak bisa menghubunginya.

"Sial!" umpat Renna kesal. Dia mulai merasa khawatir dan takut.

Renna membawa ponsel dan berjalan ke arah dua debt collector yang berdiri di ambang pintu sambil menatapnya galak. Dengan mengumpulkan sedikit keberanian lebih. Jika dirinya diblokir berarti memang sengaja melakukannya agar Renna yang membayarnya bahkan apabila Dion memiliki nomor ponsel rentenir itu sudah pasti ikut menblokirnya. Memutuskan hubungan tapi meninggalkan beban.

"Dion gak bisa dihubungi. Apa kalian bisa menghubunginya?" tanya Renna ragu.

"Kami ke sini karena dia tak bisa dihubungi sama kami!" bentak salah seorang dari mereka.

"Dia berkata ke boss jika kamu akan membayar hutangnya." lanjutnya.

Renna paham. Ini memang sengaja dilakukan Dion. Memutuskan hubungan dengannya lalu meninggalkan hutang sebesar dua puluh juta. Renna melihat sekeliling, penghuni kos tampaknya semakin tertarik dengan keberadaan kedua orang di hadapannya.

"Baiklah, aku akan berusaha menghubungi Dion Jika bisa datanglah kembali besok."

Dua debt collector saling pandang sesaat. Renna mengharap sedikit keajaiban agar diberi kelonggaran hari ini.

"Baiklah kami akan kembali besok. Siapkan uangnya untuk tagihan pertama."

Renna bersyukur dalam hatinya. Merasa senang sedikit—setidaknya ada kelonggaran meski ia tak tahu akan mendapat uang darimana esok hari. Setelah ucapan tersebut mereka pergi dari hadapannya. Renna segera masuk dan mengunci pintu kamar. Tak ingin jadi pusat perhatian para penghuni gedung tempatnya tinggal.

Dia membuka ponselnya lagi. Menghubungi Dion lagi namun hasilnya masih nihil. Lelaki itu benar-benar memutuskan hubungan.

Renna membuka ponsel, barangkali ada yang sedang baik hati mengiriminya pesan tentang lelaki itu tapi nihil—sama sekali tak ada pesan dari teman Dion ataupun temannya yang mengenal Dion. Hanya ada pesan dari nomor yang tak disimpan awalnya Renna berharap itu adalah Dion namun bukan lelaki itu.

Pesan yang dikirim dari seseorang yang tak di kenalnya.

'Hai aku Dimas.'

'Yang payungnya kamu pinjam.'

'Apakah bisa kita bertemu nanti sore di kafe tempatmu bekerja?'

Pesan yang benar-benar membuatnya tak tertarik. Ternyata lelaki yang semalam meminjaminya payung. Renna melibat ke arah payung di pojok kamar. Mungkin tidak bisa ia kembalikan hari ini, dia sedang tak minat bekerja.

Beberapa saat kemudian masuk sebuah pesan berupa gambar dari Lea. Gambar yang menunjukkan Dion sedang bersama perempuan kemarin di lokasi yang sama. Renna memperbesar foto dan melihat tanggalnya.

Hari ini, 5 menit yang lalu!

"Sialan! Brengsek!" umpat Renna membanting ponselnya ke atas kasur. Seketika tubuhnya luruh. Perlakuan Dion memang sangat menghancurkannya.

Ia tertawa miris dengan bibirnya tapi air matanya mengalir.

Renna mengetik pesan balasan pada Lea.

'Dimana tempatnya?'

Tak butuh waktu lama untuk balasan pesan dari Lea.

'Cafe In The Morning, pusat kuliner. Dekat halte bus jurusan 3C dari tempatmu. Apakah harus aku tunggu?'

Renna menggigit bibirnya. Berpikir untuk membalas perilaku seenaknya Dion.

***

Related chapters

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 3 Siapa Yang Tak Tahu Diri?

    Bab 3 Bip! Suara mesin Tap On Bus di dekat sopir bus trans kota. Renna memandang ke barisan penumpang bus yang tak terlalu banyak untuk jurusan ini—mungkin karena masih jam kerja. Renna berjalan memilih tempatnya duduk. Tak ada yang peduli dengan kehadirannya dan seharusnya memang begitu. Untuk apa tahu siapa yang menumpang dalam bus lengang ini. Selama mereka menikmati perjalanan yang cukup murah untuk sekali jalan dan sampai tujuan dengan selamat—hanya itu tujuan mereka. Penumpang bus itu sama dengan bertemu orang-orang asing yang berusaha asik. Mereka berkenalan dalam bus lalu setelah keluar maka tak saling bertemu sapa lagi—mungkin memang hukum alam seperti itu. Renna memilih duduk di kursi paling belakang pada sisi kiri. Dia menyandarkan bahunya—merasa lelah karena berjalan dari gedung tempatnya tinggal ke halte bus membutuhkan banyak tenaga apalagi saat cuaca sedang terik seperti sekarang. Tak banyak pohon di trotoar yang hanya membuat semakin terasa panas dan Renna sudah b

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 4 Patah Hati Itu Butuh Energi

    Bab 4 Gelap!Kepalanya terasa pening! Dia membuka mata perlahan, samar-samar melihat lampu berwarna putih terang dengan langit-langit ruangan yang sewarna—cukup menyilaukan. Tercium pula bau obat-obatan. Tangannya terasa kebas. Tak lama setelahnya—ketika dirinya telah sadar sepenuhnya. Dia menyadari sudah tertidur di suatu tempat dengan tirai yang membingkai kanan kiri dan depannya. Tangan kirinya telah terpasang infus. Renna sudah bisa menebak dimana dirinya tanpa bertanya dan diberitahu—rumah sakit. Dia memandang sekitar tempatnya tidur. Tak ada orang yang menunggu. Keadaan diluar tirai begitu ramai orang mengobrol berbanding terbalik dengan tempat yang hanya ada dirinya seorang. Dia mengingat apa yang terjadi hingga berakhir di rumah sakit. Renna hanya ingat bagian ucapan tentang meminta uang 700 ribu pada Dimas dan setelahnya hanya gelap yang diingat. Renna menegok ke bawah selimut yang menutup tubuhnya hingga di bawah dagu. Hoodie yang dipakainya tadi pagi telah terlepas pad

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 5 Test Tingkat Stress

    Bab 5Renna memandangi kertas yang baru saja dirinya ambil dari Kantor Administrasi Akademik. Sebuah form panjang untuk pengajuan cuti kuliah selama dua semester. Setelah berkonsultasi pada Kaprodi tentang kondisi kesehatannya yang menurun beberapa hari—dia berbohong agar diizinkan.Semalam dia sudah memikirkan strategi pengajuan cuti ini. Dirinya ingin mengambil beberapa jeda waktu untuk fokus mengumpulkan uang. Banyak hal yang menjadi bahan perenungan sebelum memilih untuk cuti kuliah termasuk kondisi keuangan orang tua dan dirinya sendiri. Krisis sangat terasa sekarang untuk Renna.Tak ada penghasilan pasti ditambah dengan kiriman uang yang mungkin dikurangi hingga beberapa bulan ke depan.Mungkin ini adalah salah satu bentuk karma atas perbuatannya yang mengkhianati kepercayaan kedua orang tua. Tentang kesanggupan menjaga diri padahal nyatanya tidak. Dia merusak diri baik secara fisik dan mentalnya."Ren!" panggilan dari seseorang yang sedang berjalan ke arah Rennata dengan sedikit

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 6 Bantuan Balas Dendam?

    Bab 6"Dim, tolong ada yang terluka." Dimas menengok pada temannya— pemilik kafe bernama Darian. Dia melihat ke dalam melalui jendela kaca, sudah ada beberapa orang yang berkerumun pada satu titik dekat panggung band. Matanya mulai menelusuri dimana perempuan yang tadi sempat bersama dengannya— namun nihil.Ia lari ke dalam, mencari siapa orang yang terluka. Dirinya sempat mendengar jika ada pecahan botol ketika Renna diminta masuk. Pikirannya berpendar dan menduga mungkinkah Renna melukai dirinya sendiri."Arrrgghhh!!" jeritan seorang pengunjung memekakkan telinga. Dia berada di kerumunan paling depan.Dimas melihatnya. Disana, Renna duduk jongkok dan menunduk. Perempuan itu seakan tuli pada keadaan sekitar. Tangannya mengepal erat. Darah sudah terlihat menetes dari telapak tangan kanannya. Perempuan ini ada apa? Dimas menebak-nebak diamnya Renna seperti orang linglung. Ia segera menghampirinya. Ingin menyadarkan Renna yang mungkin sedang melamun.Seperti kemarin, perempuan itu mel

  • Luka (Yang) Cantik   BAB 7 Kegamangan Dan Kepercayaan

    Bab 7Renna menatap wajah lelaki di depannya dengan seksama. Terpeta setiap keseriusan yang ada. Tangisnya sudah mulai reda. Sesak yang sempat di rasanya tadi berangsur berkurang.Tatapan hangat yang memancarkan keseriusan itu memudarkan kecemasan yang dia rasa. Isaknya hanya terdengar sesekali. Dimas merapikan rambutnya dan berbisik tentang rencana-rencana hebat dalam balas dendam versi lelaki itu."Jadilah perempuan yang lebih baik, hingga dia menyesal karena meninggalkanmu." bisiknya ringan pada telinga Renna.Membawa hawa merinding di sekujur tubuh Renna. Lelaki ini benar-benar membuatnya merasakan nyaman dalam arti yang berbeda. Tatapan yang lembut menyampaikan keseriusan dan ketegasan secara bersamaan.Renna terpaku sesaat pada tatapan tersebut sebelum akhirnya kesadaran membawanya ke dunia nyata sekarang. "Ayo pulang, aku anterin."Dimas menepuk pundaknya dan membantu Renna berdiri. Perempuan itu menunduk karena rasa malu. Merasa jika tindakannya kali ini telah melewati batas.

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 8 Terang Bulan

    Bab 8'Jika pulang nanti tunggu aku. Aku akan mengantarmu'Pesan dari Dimas baru saja dia baca. Pesan yang selalu dikirim lelaki itu secara rutin belakangan ini untuknya. Dimas selalu berpesan akan mengantarnya dan lelaki itu memang tak pernah absen mengantar Renna pulang.Telah lewat dua minggu setelah kejadian Dion mengancamnya di dekat halte bus kampus dan setelah kejadian tersebut secara tiba-tiba Dimas menjadi lebih waspada dalam menjaganya. Padahal Renna tak pernah menceritakan kejadian pengancaman itu pada Dimas. Dia terlalu takut jika semakin merepotkan sosok penolongnya. Namun siapa sangka jika ternyata lelaki itu memiliki firasat tersendiri.Setiap mengantarnya pulang maka akan beralasan bahwa jalanan ke tempat tinggal Renna sangat sepi dan gelap. Kejahatan bisa mengintai dimana saja.Renna juga merasa resah setiap malam terutama kala pagi menyambut, saat dirinya akan berangkat bekerja sebagai loper koran pada pagi buta. Keresahan yang ia rasa karena takut jika Dion akan mun

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 9 Cempaka

    Bab 9Suasana kota pagi ini sangatlah lengang. Masih bisa dikatakan cukup gelap untuk pembukaan hari mereka. Dimas mengemudikan mobilnya dengan tenang tanpa terganggu macet. Mengajak Renna membelah jalanan kota menuju tempat tujuannya pagi ini.Hawa dingin merasuk ke kulit mereka. Renna mengencangkan jaketnya— mengharap hangat. Sabuk pengaman telah melekat pada tubuh kurusnya. Dimas memakai sebuah sweater warna hitam yang dipadukan celana jeans warna sepadan. Sedangkan Renna juga mengenakan pakaian warna senada. Hitam, seperti pesan Dimas tadi pagi.'Pakai warna hitam, biar couple.'Dimas juga mengenakan kacamata hitam, bagi Renna masih terlalu gelap memakainya. Renna memeluk tubuhnya sendiri. AC mobil masih dinyalakan lelaki sebelahnya— sangat tidak peka. Suara radio mobil menggema dari dalam. Meninggalkan jejak musik yang keras di dalam mobil.Ingin Renna bersuara tapi musik dari radio cukuplah keras. Ditambah Dimas yang ikut asyik bersenandung."Dingin!" ucap Renna mendekat pada te

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 10 Tragedi

    Bab 10Film telah usai semenjak tadi. Acara nonton mereka cukup lancar sampai akhir, tak ada drama terlambat sampai tempatnya. Bahkan film horor yang diputar tadi tak memecah keheningan mereka yang masih saling membisu.Sudah pernah dikatakan bahwa Renna tak takut pada hantu, dia lebih takut pada pikiran buruknya. Setelah keluar dari bioskop mereka berada disini. Di kafe yang kemarin siang Renna antarkan pesanan belanja.Awalnya Dimas mengajak untuk makan di kafe tempat kerjanya, tapi karena merasa malu Renna menolaknya. Dan oleh sebab itu mereka sampai disini. Kafe ini cukup sepi dibanding kafe milik Darian.Tak ada band kafe seperti kafe Darian yang ada hanya musik dari pengeras suara pada setiap penjuru ruangan untuk mengisi hiburan di tempat ini. Mereka berdua sedang menyantap makan malam sebagai penutup liburan hari ini.Renna menyantap makanannya dengan tenang tanpa tergesa, perutnya tak terlalu lapar karena Dimas terus mengajaknya membeli camilan saat di mall. Sedang lelaki it

Latest chapter

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 16 Obrolan Kopi Dan Kentang Patah Hati

    Bab 16Renna berjalan keluar dari gedung lebih pagi. Keadaannya jauh dari kata baik-baik saja. Meski telah mandi, nyatanya wajah sembab masih terpatri pada wajahnya. Rambutnya terikat rapi. Langkahnya cepat dan berharap sampai ke tempat kerjanya lebih pagi.Tapi sepanjang jalan, keadaannya masih sedikit orang. Di salah satu bawah pohon seorang pria tengah berdiri dengan selebaran di tangannya. Renna melangkah lebih cepat melewati orang itu, tapi pria itu menyodorkan sebuah kertas yang berisi kalimat penyemangatnya.'Konsultasikan traumamu kepada kami'Seperti itulah tulisan di dalamnya, dengan tatapan bingung Renna menghadap pria itu, mereka saling berpandangan satu sama lain. Renna menatapnya bingung."Dari rautmu, kamu pasti sedang bersedih."Ucapan pria itu membuat Renna sedikit terkesima. Perempuan itu terdiam dan menatap cukup lama. "Kamu pasti menangis sepanjang malam. Tak apa untuk tak baik-baik saja."Ucapan selanjutnya kian membuat Renna menitikkan air mata. "Apakah terlihat j

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 15 Setiap Manusia Itu Ada Lukanya

    Bab 15"Ren, Dimas sudah ada di luar." ujar Darian padanya Renna sedang duduk di kursi kasir sambil melamunkan kejadian tadi siang.Renna mengambil tas ransel hitam miliknya yang berada di bawah meja kasir lalu mencantolkannya pada bahu. Dia melangkah keluar dari kafe yang telah sepenuhnya sepi dan gelap. Kafe telah tutup dari jam 10 malam dan tentunya kini para karyawan telah pulang hanya meninggalkan Renna serta Darian sang pemilik kafe di dalamnya karena menunggu sosok bernama Dimas. Semua penungguan lama ini karena lelaki itu terus mengirimi pesan beruntun penuh ancaman yang menggelikan.'Malam ini aku antar, jika kau pergi duluan nanti aku langsung masuk ke kamarmu'Pesan berurutan yang membuat Renna jengah dan geli sendiri. Lelaki tersebut lebih seperti kekasih yang posesif di suatu waktu dan sisanya bak orang asing yang saling mengenal. Renna membuka pintu kaca kafe. Di sana dia mengedarkan pandangan dan matanya langsung disambut oleh sosok Dimas yang berdiri di depannya sambil

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 14 Gelas Yang Retak

    Bab 14Pukulan Dimas pada Dion telak membuat lelaki yang menjadi lawannya tersungkur jatuh di lantai. Membuat pekikan para tetangga yang melihatnya diiriingi bisikan mereka tentang betapa kacaunya hari ini. Sedang Renna yang bersembunyi di balik badan Dimas mulai merinding. Dia memejamkan matanya, menerka seberapa hebat nanti pertengkaran ini.Dan setelah ucapan Dimas tadi, semua orang terdiam. Tetangga yang bergunjing menjadi diam dengan ancaman Dimas pada Dion yang penuh titah tak terbantahkan, seolah ia adalah raja disana. Semua mata ikut menelisik, dimana perempuan yang membuat masalah ini. Lebih tepatnya, perempuan sumber pertengkaran tersebut.Dion mengusap ujung bibirnya yang berdarah, pukulan Dimas sangat menyakitkan teruntuk dirinya apalagi ia yang belum siap menerimanya. Atau memang tak akan pernah siap, Dion bukan orang yang pandai berkelahi. Beberapa pasang mata melihat mereka berdua— lelaki yang memukul dan di pukul. Kini wajah Dion kian memerah menahan marah serta malu.H

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 13 Pulang

    Bab 13 Tak ada hal yang baik-baik saja setelah mengalami kejadian yang traumatis. Mereka selalu mencoba untuk baik-baik saja dengan harapan akan hilangnya semua ingatan traumatis tersebut atau setidaknya bisa memaafkan.Dan hal itu yang Renna coba selama hampir 10 hari di tempat ini. Dia bak orang yang tengah bersembunyi dari banyaknya manusia di luar sana. Perempuan itu masih terbaring pada ranjang rumah sakit dengan Dimas yang menjaganya sesekali. Lelaki itu memang tak selalu ada untuknya dalam 24 jam tapi akan tetap menjaga dan merawat pada pagi hari serta di malam hari seusai pulang kerja.Luka-luka yang ia dapat dari kejadian itu mengering dan hanya meninggalkan beberapa bekas yang akan sembuh beberapa waktu ke depan, namun hanya luka fisik yang mengering. Tetapi tidak dengan luka pada hati dan memorinya. Semua kenangan itu sesekali seperti kaset rusak yang tiba-tiba hadir dalam lamunannya. Dan ketika kenangan buruk itu muncul, Renna hanya memejamkan matanya dan menahan tangis—

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 12 Penyesalan Dimas

    Bab 12 Dimas terus melangkah melalui gang sempit menuju mobilnya yang terparkir di luar area tersebut. Beberapa saat lalu ia bertemu dengan rentenir yang menjerat Renna hingga perempuan itu mengalami hal memilukan— Yang mungkin menjadi trauma terbesarnya.Berurusan dengan debt collector yang menyiksa dan hampir memperkosa perempuan itu.Dimas berjalan dengan tenang. Tak menghiraukan tatapan beberapa orang yang melihatnya dengan tatapan takjub bahkan meremehkan karena baru saja keluar dari tempat rentenir paling kejam di kota ini. Dari semua tempat yang selalu berurusan dengannya, Dimas tak mengerti kenapa sekarang dirinya terlibat lebih jauh hingga ke area semacam ini. Tempat yang sangat jauh dari kata baik-baik saja. Berada pada area kumuh pinggir kota dekat dengan dermaga.Ia memang bukan orang yang bersih hingga tak pernah berurusan dengan sisi gelap. Tapi setidaknya, itu adalah masa lalunya sebelum menjadi dokter. Masa- masa dimana ia rajin berkelahi dengan orang yang meremehkan d

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 11 Shocked

    Bab 11 "Dar, tolong jemput Renna dan antar dia. Mobilku di kafe dekat toko roti Wangi. Nanti aku kirim pesan untuk menjemputku dimana." pesan Dimas pada Darian melalui via telepon."Baik bro." jawab dari seberang.Dimas mematikan ponselnya dan menaruhnya ke saku celana. Saat ini ia berada dalam ambulans menuju rumah sakit terdekat. Dirinya mengikuti pasien tersebut untuk memastikan pasien itu selamat.Hanya sekali ini akan meninggalkan Renna untuk pulang sendirian, meski dalam benaknya penuh firasat buruk. Dimas mengambil nafasnya dalam. Ada rasa ketakutan jika terjadi apapun pada Renna. Namun perasaan itu ia tepis dengan berpikir positif, Renna akan pulang bersama Darian dan tentunya itu akan lebih baik daripada pulang sendirian."Ayo, pak. Kita sampai." ucap salah seorang petugas menyadarkan dirinya. Ia segera turun disambut beberapa petugas medis disana.Dimas mengikuti setiap langkah para petugas medis. Terus mengikuti mereka hingga sampai ke ruang gawat darurat. Ia hanya bisa m

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 10 Tragedi

    Bab 10Film telah usai semenjak tadi. Acara nonton mereka cukup lancar sampai akhir, tak ada drama terlambat sampai tempatnya. Bahkan film horor yang diputar tadi tak memecah keheningan mereka yang masih saling membisu.Sudah pernah dikatakan bahwa Renna tak takut pada hantu, dia lebih takut pada pikiran buruknya. Setelah keluar dari bioskop mereka berada disini. Di kafe yang kemarin siang Renna antarkan pesanan belanja.Awalnya Dimas mengajak untuk makan di kafe tempat kerjanya, tapi karena merasa malu Renna menolaknya. Dan oleh sebab itu mereka sampai disini. Kafe ini cukup sepi dibanding kafe milik Darian.Tak ada band kafe seperti kafe Darian yang ada hanya musik dari pengeras suara pada setiap penjuru ruangan untuk mengisi hiburan di tempat ini. Mereka berdua sedang menyantap makan malam sebagai penutup liburan hari ini.Renna menyantap makanannya dengan tenang tanpa tergesa, perutnya tak terlalu lapar karena Dimas terus mengajaknya membeli camilan saat di mall. Sedang lelaki it

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 9 Cempaka

    Bab 9Suasana kota pagi ini sangatlah lengang. Masih bisa dikatakan cukup gelap untuk pembukaan hari mereka. Dimas mengemudikan mobilnya dengan tenang tanpa terganggu macet. Mengajak Renna membelah jalanan kota menuju tempat tujuannya pagi ini.Hawa dingin merasuk ke kulit mereka. Renna mengencangkan jaketnya— mengharap hangat. Sabuk pengaman telah melekat pada tubuh kurusnya. Dimas memakai sebuah sweater warna hitam yang dipadukan celana jeans warna sepadan. Sedangkan Renna juga mengenakan pakaian warna senada. Hitam, seperti pesan Dimas tadi pagi.'Pakai warna hitam, biar couple.'Dimas juga mengenakan kacamata hitam, bagi Renna masih terlalu gelap memakainya. Renna memeluk tubuhnya sendiri. AC mobil masih dinyalakan lelaki sebelahnya— sangat tidak peka. Suara radio mobil menggema dari dalam. Meninggalkan jejak musik yang keras di dalam mobil.Ingin Renna bersuara tapi musik dari radio cukuplah keras. Ditambah Dimas yang ikut asyik bersenandung."Dingin!" ucap Renna mendekat pada te

  • Luka (Yang) Cantik   Bab 8 Terang Bulan

    Bab 8'Jika pulang nanti tunggu aku. Aku akan mengantarmu'Pesan dari Dimas baru saja dia baca. Pesan yang selalu dikirim lelaki itu secara rutin belakangan ini untuknya. Dimas selalu berpesan akan mengantarnya dan lelaki itu memang tak pernah absen mengantar Renna pulang.Telah lewat dua minggu setelah kejadian Dion mengancamnya di dekat halte bus kampus dan setelah kejadian tersebut secara tiba-tiba Dimas menjadi lebih waspada dalam menjaganya. Padahal Renna tak pernah menceritakan kejadian pengancaman itu pada Dimas. Dia terlalu takut jika semakin merepotkan sosok penolongnya. Namun siapa sangka jika ternyata lelaki itu memiliki firasat tersendiri.Setiap mengantarnya pulang maka akan beralasan bahwa jalanan ke tempat tinggal Renna sangat sepi dan gelap. Kejahatan bisa mengintai dimana saja.Renna juga merasa resah setiap malam terutama kala pagi menyambut, saat dirinya akan berangkat bekerja sebagai loper koran pada pagi buta. Keresahan yang ia rasa karena takut jika Dion akan mun

DMCA.com Protection Status