Beberapa detik berdiri, Zolan tersadar, Aluna telah meninggalkannya sendiri di Ruang Tamu. Ia berjalan, menuju kamar.
"Tidak meyangka, jika akan terjadi seperti ini. Aku hanya ingin perhatian ke Aluna. Mengapa justru membawa masalah baru untuk kami? Aku yang salah, tadi berkata kasar padanya!" Batin Zolan. Ia pun bingung dengan sikap Aluna akhir-akhir ini. Biasanya Aluna yang berusaha mendekatinya, tetapi sekarang semua berubah.
“Apakah Aluna menyerah, karena sikapku yang sudah keterlaluan padanya?” Saat ini Zolan telah berada di Balkon kamar. Menatap langit, mengajak diskusi bintang-bintang dan berharap ada solusi untuknya.
"Mengapa tidak dari dulu saja aku berteman dengan Aluna? Mengapa aku harus membuat perjanjian nikah? Perempuan mana yang tidak tersinggung, jika akad nikah baru saja selesai, sudah di suguhi dengan surat perjanjian nikah. Bahkan aku sudah merencanakan, untuk secepatnya menceraikan Aluna," sesal Zolan.
“Maafkan aku, Aluna! Kalau ti
Sudah sejam Aluna menemani Marfel di halaman privasinya. Tempat yang tidak semua orang boleh masuk. Ukurannya sangat luas, terdapat kolam ikan peliharan Marfel di tengah halaman dan beberapa macam bunga hias yang mempercantik halaman. Rumah ini lebih besar dari yang Aluna perkirakan, masih banyak tempat yang belum ia kunjungi. Tawa mereka menggelegar, saat Marfel bercerita hal lucu. Teringat perkataan Fatma saat menelepon Aluna, ia mengajak untuk berlibur ke Bali. Aluna belum menyetujui, meski saat ini ia sangat butuh liburan. Aluna harus meminta izin terlebih dahulu ke Marfel, Seharusnya ia juga meminta izin ke Zolan, tetapi rasanya itu tidak mungkin terjadi, ia masih menjauhi Zolan. Bertubi-tubi masalah yang datang menguji, membuat Aluna sejenak ingin menenangkan hati. Aluna ke kamar Marfel untuk meminta izin, ternyata ia langsung di ajak ke Halaman. Ini pertama kali Aluna datang ke halaman ini. Marfel sangat menyukai ikan hias, hampir di setiap halaman terdapat ko
*** "Zolan!" panggil Marfel, "mau ke kantor?" lanjutnya saat melihat Zolan terburu-buru menuju pintu utama. "Aku akan ke Bali selama lima hari, Ayah!" Zolan melangkah menuju Marfel, "aku pergi dulu!” pamit Zolan, mengambil tangan Marfel dan menciumnya. “Ke Bali?” tanya Marfel. “Iya, Ayah! Ada apa?” tanya Zolan, heran melihat respon Marfel. “Tidak ada apa-apa!” ucap Marfel, “Hati-hati di jalan!” pesannya. Zolan tersenyum dan langsung meninggalkan Marfel yang sedang duduk santai membaca koran. Marfel menatap kepergian Zolan, “Semoga tidak terjadi apa-apa di antara kalian berdua. Sekarang Aluna mungkin sudah tiba di Bali. Untung mereka tidak satu pesawat. Apakah mereka akan bertemu? Sekarang Aluna sedang menjauhi Zolan! Ahh, tidak mungkin! Bali itu luas,” lirih Marfel. Di lain tempat, Aluna dan Fatma baru saja keluar dari Bandara Ngurah Rai. Sedari tadi Aluna hanya terdiam, meskipun Fatma terus saja mengajak bercerita. Ia
Beberapa menit kemudian Aluna dan Fatma tiba di Hotel, mereka di sambut karpet merah sejak turun dari mobil. Acara peresmian hotel sangat mewah. Ada yang berbeda dengan Aluna, saat ini ia lebih percaya diri di banding saat pesta ulang tahun perusahaan. Meski menggunakan high heels, ia bisa berjalan dengan santai. Aluna juga tidak melangkah sambil menunduk. "Mengapa semua orang menatapku seperti itu, tidak berkedip! Mungkin karena gaun yang aku pakai? Tetapi gaun ini tidak seksi seperti perempuan lain,” batin Aluna. Saat melewati cermin besar di dinding hotel, ia berjalan pelan, memastikan jika tidak ada yang salah dengannya, "apa make up di wajahku ketebalan? Sepertinya tidak, banyak perempuan lain yang dandanannya lebih menor dariku,” Aluna terus saja membatin. “Aluna, kamu sadar tidak. Sejak turun dari mobil sampai sekarang, banyak yang memandang kagum kecantikkanmu,” ucap Fatma saat mereka mengambil makanan. Aluna dan Fatma sudah terlalu lapar, hingga saat tiba, y
“Aku ingin kita hidup layaknya suami istri, tidak ada jarak seperti ini,” ucap Zolan, menatap lekat Aluna. “Benarkah apa yang baru saja di ucapkan Zolan? Ia akan belajar mencintaiku!” batin Aluna, menengokan wajah melihat Zolan, mencari kebohongan di matanya. Lama menatap, tidak ia temukan apa yang di cari. Zolan terlihat sangat tulus. Mata Aluna berkaca, tidak mampu berkata. "Aku pikir, beberapa hari ini Zolan mendekatiku untuk berkata-kata kasar. Ternyata aku salah," batin Aluna. Melihat Aluna yang belum berucap, Zolan akhirnya mencondongkan badan, memeluk Aluna. Ia terisak dalam pelukan Zolan. “Maafkan aku, Aluna!” ucap Zolan lagi. Beberapa menit menangis terharu, Aluna melepas pelukan. Zolan menghapus sisa air mata di pipi Aluna, dengan lembut, sambil menatap, “Mari memulai kehidupan yang baru!” ucap Zolan. Aluna tersenyum dan mengangguk. Menarik napas, menghapus sisa air mata, “Aku akan panggil Kak Zolan, Abang Zolan, atau Apa? Ti
*** Tok tok tok! Suara pintu mengganggu tidur Aluna. Ia belum ingin beranjak dari tempat tidur. Tok tok tok! Ketukan itu kembali terdengar. Mata Aluna masih mengantuk, dengan gaya malas, ia berdiri dari tempat tidur menuju ke arah pintu. “Alunaa! Buka pintunya!” suara Fatma, dari balik pintu. “Iyaa! Tunggu sebentar!” teriak Aluna, agar di dengar Fatma, "ternyata Fatma, orang yang sudah mengganggu tidurku," tuturnya, pelan. Aluna membuka pintu, Fatma langsung masuk menarik tangan dan duduk di tempat tidur. Ia menatap Aluna serius. “Jujur sama aku, Al! Kamu sudah menikah?” tanya Fatma. Kedua tangannya di letakan pada bahu Aluna. Kaget mendengar pertanyaan Fatma. Mata ngantuk Aluna berubah segar, bingung untuk memulai. "Fatma sudah tahu, mungkin dari kak Fahmi," batin Aluna. Melihat Aluna tidak berkata, Fatma melanjutkan ucapannya, “jadi benar, kamu sudah menikah!” Fatma menarik napas, “maafkan, aku! Belum
"Aku mau siap-siap, sebentar lagi Zolan akan datang menjemputku,” ucap Aluna. “Ya sudah, aku tinggal dulu. Nggak nyangka, aku akan di tinggal sendiri di Villa,” ucap Fatma, memasang wajah sok sedih. “Haha, maafkan aku, sudah menjadi orang yang sangat egois di dunia,” tutur Aluna sambil berdiri menuju kamar mandi. “Aku mau kembali ke kamarku. Kalau terjadi apa apa kabari yaa!” tutur Fatma sambil berdiri, “Ingin aku katakan, kamu begitu tega meninggalkanku sendiri, di sini, sendiri, oh tegaaa,” lanjut Fatma, ia berjalan sambil bersenandung. “Hahaha! Maafkan aku yang tega menyakitimu,” tutur Aluna sambil menirukan nada senandung Fatma. Mereka tertawa bersama. Sampai akhirnya Fatma menutup pintu kamar. "Terimakasih Fatma, sudah menjadi sahabatku," batin Aluna. Bagi Aluna, Fatma bukan sekedar sahabat, ia sudah di anggap seperti saudara sendiri. Aluna percaya, jika Tuhan tidak akan menciptakan seseorang untuk hidup seorang diri, selalu ada manusia b
Anton sedang menunggu di depan kamar bersalin. Tidak lama kemudian keluar seorang perawat sambil tersenyum, menggendong bayi cantik yang baru saja menyapa dunia lewat tangisannya. Istrinya sedang di tangani oleh Raka dan rekan-rekan yang sedang bertugas di Ruang Persalinan. Semua berjalan dengan lancar. Tiga puluh menit kemudian, Anton melihat tiga orang mahasiswa bidan keluar dengan beberapa perawat di belakangnya, mendorong ranjang jenazah yang sudah tertutup kain putih, Anton membeku. Anton berdiri dari duduknya. "Tidak mungkin! Ini tidak mungkin! Apa maksud kalian? JAWAB!" teriak Anton, menggelegar, "Selama ini istriku baik-baik saja! Aku selalu menemani ke dr. Raka setiap bulan! Tidak pernah terjadi apa-apa!" lanjutnya, marah, suara gemetar menahan tangis. Mereka semua terdiam melihat kondisi Anton, tidak satu pun yang berani menjawab. Anton masih bekerja sebagai dokter spesialis paru di Rumah Sakit Nusantara. “Kita bisa bi
*** “Besok kalian balik ke Kendari jam berapa?” tanya Zolan “Pagi pukul delapan, soalnya besok jam satu ada kuliah,” jawab Aluna, “kita mau kemana sekarang?” lanjutnya. “Hari ini sayang di larang banyak bertanya!” ucap Zolan. Sedari tadi mobil berjalan dan belum menunjukan titik terang akan ke mana. Aluna belum terbiasa mendengar Zolan memanggilnya, sayang. Garis wajah berbentuk senyuman, ia berkata, “Baiklah!" Ia tidak ingin berdebat dengan Zolan. Tidak lama kemudian, mobil memasuki sebuah butik, Zolan menyuruh Aluna turun dari mobil, “Mungkin Zolan ingin di temani berbelanja,” batin Aluna. “Yukk!” ajak Zolan, sambil membuka pintu mobil untuk Aluna. Setelah ke dua kaki berpijak di halaman butik, Zolan mengaitkan jari tangan dengan Aluna. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan. “Sayang, pilihlah baju yang kamu suka!” tutur Zolan, saat mereka telah berada di dalam butik. Mata Aluna membola, kaget, “kenapa aku yang di