Beberapa menit kemudian Aluna dan Fatma tiba di Hotel, mereka di sambut karpet merah sejak turun dari mobil. Acara peresmian hotel sangat mewah. Ada yang berbeda dengan Aluna, saat ini ia lebih percaya diri di banding saat pesta ulang tahun perusahaan. Meski menggunakan high heels, ia bisa berjalan dengan santai. Aluna juga tidak melangkah sambil menunduk.
"Mengapa semua orang menatapku seperti itu, tidak berkedip! Mungkin karena gaun yang aku pakai? Tetapi gaun ini tidak seksi seperti perempuan lain,” batin Aluna. Saat melewati cermin besar di dinding hotel, ia berjalan pelan, memastikan jika tidak ada yang salah dengannya, "apa make up di wajahku ketebalan? Sepertinya tidak, banyak perempuan lain yang dandanannya lebih menor dariku,” Aluna terus saja membatin.
“Aluna, kamu sadar tidak. Sejak turun dari mobil sampai sekarang, banyak yang memandang kagum kecantikkanmu,” ucap Fatma saat mereka mengambil makanan. Aluna dan Fatma sudah terlalu lapar, hingga saat tiba, y
“Aku ingin kita hidup layaknya suami istri, tidak ada jarak seperti ini,” ucap Zolan, menatap lekat Aluna. “Benarkah apa yang baru saja di ucapkan Zolan? Ia akan belajar mencintaiku!” batin Aluna, menengokan wajah melihat Zolan, mencari kebohongan di matanya. Lama menatap, tidak ia temukan apa yang di cari. Zolan terlihat sangat tulus. Mata Aluna berkaca, tidak mampu berkata. "Aku pikir, beberapa hari ini Zolan mendekatiku untuk berkata-kata kasar. Ternyata aku salah," batin Aluna. Melihat Aluna yang belum berucap, Zolan akhirnya mencondongkan badan, memeluk Aluna. Ia terisak dalam pelukan Zolan. “Maafkan aku, Aluna!” ucap Zolan lagi. Beberapa menit menangis terharu, Aluna melepas pelukan. Zolan menghapus sisa air mata di pipi Aluna, dengan lembut, sambil menatap, “Mari memulai kehidupan yang baru!” ucap Zolan. Aluna tersenyum dan mengangguk. Menarik napas, menghapus sisa air mata, “Aku akan panggil Kak Zolan, Abang Zolan, atau Apa? Ti
*** Tok tok tok! Suara pintu mengganggu tidur Aluna. Ia belum ingin beranjak dari tempat tidur. Tok tok tok! Ketukan itu kembali terdengar. Mata Aluna masih mengantuk, dengan gaya malas, ia berdiri dari tempat tidur menuju ke arah pintu. “Alunaa! Buka pintunya!” suara Fatma, dari balik pintu. “Iyaa! Tunggu sebentar!” teriak Aluna, agar di dengar Fatma, "ternyata Fatma, orang yang sudah mengganggu tidurku," tuturnya, pelan. Aluna membuka pintu, Fatma langsung masuk menarik tangan dan duduk di tempat tidur. Ia menatap Aluna serius. “Jujur sama aku, Al! Kamu sudah menikah?” tanya Fatma. Kedua tangannya di letakan pada bahu Aluna. Kaget mendengar pertanyaan Fatma. Mata ngantuk Aluna berubah segar, bingung untuk memulai. "Fatma sudah tahu, mungkin dari kak Fahmi," batin Aluna. Melihat Aluna tidak berkata, Fatma melanjutkan ucapannya, “jadi benar, kamu sudah menikah!” Fatma menarik napas, “maafkan, aku! Belum
"Aku mau siap-siap, sebentar lagi Zolan akan datang menjemputku,” ucap Aluna. “Ya sudah, aku tinggal dulu. Nggak nyangka, aku akan di tinggal sendiri di Villa,” ucap Fatma, memasang wajah sok sedih. “Haha, maafkan aku, sudah menjadi orang yang sangat egois di dunia,” tutur Aluna sambil berdiri menuju kamar mandi. “Aku mau kembali ke kamarku. Kalau terjadi apa apa kabari yaa!” tutur Fatma sambil berdiri, “Ingin aku katakan, kamu begitu tega meninggalkanku sendiri, di sini, sendiri, oh tegaaa,” lanjut Fatma, ia berjalan sambil bersenandung. “Hahaha! Maafkan aku yang tega menyakitimu,” tutur Aluna sambil menirukan nada senandung Fatma. Mereka tertawa bersama. Sampai akhirnya Fatma menutup pintu kamar. "Terimakasih Fatma, sudah menjadi sahabatku," batin Aluna. Bagi Aluna, Fatma bukan sekedar sahabat, ia sudah di anggap seperti saudara sendiri. Aluna percaya, jika Tuhan tidak akan menciptakan seseorang untuk hidup seorang diri, selalu ada manusia b
Anton sedang menunggu di depan kamar bersalin. Tidak lama kemudian keluar seorang perawat sambil tersenyum, menggendong bayi cantik yang baru saja menyapa dunia lewat tangisannya. Istrinya sedang di tangani oleh Raka dan rekan-rekan yang sedang bertugas di Ruang Persalinan. Semua berjalan dengan lancar. Tiga puluh menit kemudian, Anton melihat tiga orang mahasiswa bidan keluar dengan beberapa perawat di belakangnya, mendorong ranjang jenazah yang sudah tertutup kain putih, Anton membeku. Anton berdiri dari duduknya. "Tidak mungkin! Ini tidak mungkin! Apa maksud kalian? JAWAB!" teriak Anton, menggelegar, "Selama ini istriku baik-baik saja! Aku selalu menemani ke dr. Raka setiap bulan! Tidak pernah terjadi apa-apa!" lanjutnya, marah, suara gemetar menahan tangis. Mereka semua terdiam melihat kondisi Anton, tidak satu pun yang berani menjawab. Anton masih bekerja sebagai dokter spesialis paru di Rumah Sakit Nusantara. “Kita bisa bi
*** “Besok kalian balik ke Kendari jam berapa?” tanya Zolan “Pagi pukul delapan, soalnya besok jam satu ada kuliah,” jawab Aluna, “kita mau kemana sekarang?” lanjutnya. “Hari ini sayang di larang banyak bertanya!” ucap Zolan. Sedari tadi mobil berjalan dan belum menunjukan titik terang akan ke mana. Aluna belum terbiasa mendengar Zolan memanggilnya, sayang. Garis wajah berbentuk senyuman, ia berkata, “Baiklah!" Ia tidak ingin berdebat dengan Zolan. Tidak lama kemudian, mobil memasuki sebuah butik, Zolan menyuruh Aluna turun dari mobil, “Mungkin Zolan ingin di temani berbelanja,” batin Aluna. “Yukk!” ajak Zolan, sambil membuka pintu mobil untuk Aluna. Setelah ke dua kaki berpijak di halaman butik, Zolan mengaitkan jari tangan dengan Aluna. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan. “Sayang, pilihlah baju yang kamu suka!” tutur Zolan, saat mereka telah berada di dalam butik. Mata Aluna membola, kaget, “kenapa aku yang di
"Antar aku pulang sekarang!" Tanpa melihat Zolan. "Sayang, ada apa? Hmmm!" ucap Zolan sambil memegang ke dua tangan Aluna. “Nanti saja kita bicarakan! Sekarang, antar aku pulang!” Tutur Aluna lagi. "Mengapa Zolan melakukan semua ini, aku rasa semua orang ingin di cinta dengan apa adanya," batinnya. Tidak ingin Zolan melihat ia menangis. Sejenak, Aluna ingin berpikir jernih. Tanpa menjawab, Zolan melajukan mobil menuju Villa. Setibanya, Aluna langsung membuka pintu mobil, keluar dan masuk ke dalam Villa. Dari ekor mata, Aluna melihat Zolan bingung dengan apa yang terjadi. . “Kita tidak pantas untuk hidup bersama, Zolan! Kamu menyukai perempuan yang cantik. Jika harus merubah penampilanku, aku memilih untuk mundur!” lirih Aluna, berlari menuju kamar. Ia melewati Fatma yang sedang menonton televisi. “Aluna, kamu kenapa?” Fatma memanggil, suaranya keras. Aluna masuk ke dalam kamar, berbaring di atas kasur, Fatma mengikuti.
Di tempat berbeda, Zolan sedang memikirkan apa yang baru saja terjadi. Saat ini ia berada di Kamar Fahmi. Setelah mengantar Aluna ke Villa, ia tidak ingin pulang ke Hotel. “Aku merasa tidak melakukan sesuatu yang salah. Apa yang membuat Aluna berubah begitu cepat?” batin Zolan. “Fahmi! Tadi kenapa yaa, Aluna marah tidak jelas padaku?” tanya Zolan. Ia mengajak bicara Fahmi, yang sedang sibuk membaca sebuah majalah. “Lahh! Kenapa malah tanya ke aku? Aku saja baru tahu kalau Aluna marah ke kamu!” ungkap Fahmi, "mustahil tidak jelas, pasti kamu melakukan kesalahan. Tadi memangnya kamu ngomong apa saja ke Aluna?” lanjutnya lagi. “Aku rasa, tidak banyak ngomong deh, aku hanya mengajak dia belanja, makan, terus ke salon. Salahnya di mana? Hal yang paling di sukai semua perempuan, belanja dan ke salon, bukankah begitu?” ucap Zolan. “Tidak semua, Zolan! Kita tidak bisa menyamakan selera setiap orang. Mungkin Aluna tersinggung dengan perlakuanmu. Entahl
“Aku ingin punya bunda seperti teman-teman sekolah. Mereka sering bercerita tentang bundanya dan tiap hari di antar jemput,” ujar Angel, menunduk dan memainkan ujung bajunya. “Angel sayang! 'Kan ada ayah yang antar jemput ke Sekolah! Nanti ayah usahakan tidak terlalu sibuk lagi, agar punya waktu yang banyak untuk temani kamu” tutur Anton, merayu. “Tetapi aku maunya bunda yang antar jemput, bunda yang tamani main, bunda yang menyiapkan sarapan. Angel kesepian, Ayah selalu sibuk!” ucap Angel masih dengan gaya yang sama, tidak ingin melihat wajah iba Anton. Hening di antara mereka. Anton tidak berani mengucap sepatah kata pun, "sekarang bukan saatnya membahas itu. Aku mengerti dengan keadaan Angel, menginginkan kasih sayang seorang bunda. Tetapi, tidak mudah bagiku untuk melakukanya. Ayah masih sangat mencintai bundamu, Nak," batin Anton. “Angel, dengar Ayah! Selama ini kita baik-baik saja 'kan, selama tinggal berdua,” tutur Anton, wajahnya menghadap dan