"Antar aku pulang sekarang!" Tanpa melihat Zolan.
"Sayang, ada apa? Hmmm!" ucap Zolan sambil memegang ke dua tangan Aluna.
“Nanti saja kita bicarakan! Sekarang, antar aku pulang!” Tutur Aluna lagi. "Mengapa Zolan melakukan semua ini, aku rasa semua orang ingin di cinta dengan apa adanya," batinnya. Tidak ingin Zolan melihat ia menangis. Sejenak, Aluna ingin berpikir jernih.
Tanpa menjawab, Zolan melajukan mobil menuju Villa. Setibanya, Aluna langsung membuka pintu mobil, keluar dan masuk ke dalam Villa. Dari ekor mata, Aluna melihat Zolan bingung dengan apa yang terjadi. .
“Kita tidak pantas untuk hidup bersama, Zolan! Kamu menyukai perempuan yang cantik. Jika harus merubah penampilanku, aku memilih untuk mundur!” lirih Aluna, berlari menuju kamar. Ia melewati Fatma yang sedang menonton televisi.
“Aluna, kamu kenapa?” Fatma memanggil, suaranya keras.
Aluna masuk ke dalam kamar, berbaring di atas kasur, Fatma mengikuti.
Di tempat berbeda, Zolan sedang memikirkan apa yang baru saja terjadi. Saat ini ia berada di Kamar Fahmi. Setelah mengantar Aluna ke Villa, ia tidak ingin pulang ke Hotel. “Aku merasa tidak melakukan sesuatu yang salah. Apa yang membuat Aluna berubah begitu cepat?” batin Zolan. “Fahmi! Tadi kenapa yaa, Aluna marah tidak jelas padaku?” tanya Zolan. Ia mengajak bicara Fahmi, yang sedang sibuk membaca sebuah majalah. “Lahh! Kenapa malah tanya ke aku? Aku saja baru tahu kalau Aluna marah ke kamu!” ungkap Fahmi, "mustahil tidak jelas, pasti kamu melakukan kesalahan. Tadi memangnya kamu ngomong apa saja ke Aluna?” lanjutnya lagi. “Aku rasa, tidak banyak ngomong deh, aku hanya mengajak dia belanja, makan, terus ke salon. Salahnya di mana? Hal yang paling di sukai semua perempuan, belanja dan ke salon, bukankah begitu?” ucap Zolan. “Tidak semua, Zolan! Kita tidak bisa menyamakan selera setiap orang. Mungkin Aluna tersinggung dengan perlakuanmu. Entahl
“Aku ingin punya bunda seperti teman-teman sekolah. Mereka sering bercerita tentang bundanya dan tiap hari di antar jemput,” ujar Angel, menunduk dan memainkan ujung bajunya. “Angel sayang! 'Kan ada ayah yang antar jemput ke Sekolah! Nanti ayah usahakan tidak terlalu sibuk lagi, agar punya waktu yang banyak untuk temani kamu” tutur Anton, merayu. “Tetapi aku maunya bunda yang antar jemput, bunda yang tamani main, bunda yang menyiapkan sarapan. Angel kesepian, Ayah selalu sibuk!” ucap Angel masih dengan gaya yang sama, tidak ingin melihat wajah iba Anton. Hening di antara mereka. Anton tidak berani mengucap sepatah kata pun, "sekarang bukan saatnya membahas itu. Aku mengerti dengan keadaan Angel, menginginkan kasih sayang seorang bunda. Tetapi, tidak mudah bagiku untuk melakukanya. Ayah masih sangat mencintai bundamu, Nak," batin Anton. “Angel, dengar Ayah! Selama ini kita baik-baik saja 'kan, selama tinggal berdua,” tutur Anton, wajahnya menghadap dan
*** Zolan sedang berbaring di atas kasur, lengan di jadikan bantal dan mata menatap langit-langit. Pikirannya tertuju pada sikap Aluna yang terkadang membuatnya teringat sosok Sindy. “Cara kamu ngambek itu mirip dengan Sindy! Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya, jika dekat denganmu, selalu membuatku teringat dia?” lirih Zolan. Jendela kamar di biarkan terbuka, hembusan angin membuat Zolan semakin larut dalam lamunan. “Jika kamu tidak menghilang, kita pasti sudah menikah, Sindy! Mengapa terlalu sulit untuk melupakanmu? Mengapa Tuhan memisahkan kita, tetapi membiarkan perasaan ini bersemayam begitu lama? Aku begitu tersiksa, Sindy! Kembalilah! Aku sangat mencintaimu, aku sangat merindukan kamu. Bahkan, ketika aku berusaha untuk mencintai wanita lain, sosoknya justru membuatku teringat kamu!” lanjut Zolan, dengan lirih. Ingatan Zolan kembali pada masa bersama Sindy. Sindy dan Zolan baru saja keluar kelas. Bel pertanda berakhirnya mata pel
*** “Akhirnya kita tiba dengan selamat! Aku tadi sangat ketakutan saat pesawat turbulensi. Ternyata semengerikan itu guncangannya. Masker oksigen langsung keluar dan kita di suruh segera memakainya. Tanganku masih dingin, Fat, meski pesawat berhasil landing dengan baik. Malu-maulin ya! Soalnya aku belum terbiasa naik pesawat,” tutur Aluna tanpa henti. “Bukan hanya kamu saja yang takut, Al! Semua orang yang naik pesawaat akan takut ketika turbulensi. Meskipun orang itu sudah berkali-kali naik pesawat. Keadaan saat pesawat terguncang, memang sangat menegangkan. Sudah pasti banyak yang berdoa, menangis dan histeris," ucap Fatma, sesekali melihat keluar jendela mobil. “Bagimana tidak takut, jika kecelakaan pesawat jarang ada korban yang selamat,” tutur Fatma lagi. “Iya yaa! Siapa coba, orang yang masih bisa tenang saat situasi seperti tadi,” ujar Aluna, membenarkan. “Aku langsung ke Kampus saja, Fat!” lanjutnya. “Lahh! Kenapa? Kamu tidak ingin gan
Setelah menemui Anton, Aluna menuju ke Perpustakaan. Berusaha mengalihkan suasana hati dengan membaca buku, namun tetap tidak bisa. Tiga jam berada di Perpustakaan, Aluna akhirnya menuju Ruang kuliah. Sepanjang berlangsungnya matakuliah, Aluna tidak bisa fokus. Ia terus memikirkan ucapan Anton. “Apa aku harus jujur saja, jika aku sudah menikah! Berbohong ke Pak Anton hanya akan menambah masalah. Bagaimana keadaan kuliahku, jika aku punya masalah dengan Dosen? Apa aku masih bisa selesai dengan mulus?” batin Aluna, mata menatap lurus ke depan. Siapa pun yang melihat, akan mengira ia sedang fokus menyimak materi kuliah. Hingga kuliah usai, pikiran Aluna masih sama. Ia tidak menyadari jika semua rekan kelasnya, satu persatu telah mengosongkan kelas. “Alunaa!” panggil Fatma. Tidak ada sahutan, dari pemilik nama. “Alunaa!” ulang Fatma lagi. Aluna berbalik. Ruang kelas hanya menyisakan Fatma dan Aluna. Fatma berdiri dari duduknya, menuju temp
Lama berdiri di depan pintu, Aluna mengurungkan niat untuk berbicara ke Anton. Ia berbalik, melangkah menuruni tangga yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Berlari kecil menuju parkiran, menghampiri Fatma yang sedang menunggu. Dari jauh Fatma tersenyum padanya. “Gimana tanggapan Pak Anton? Semua baik-baik saja 'kan?” tutur Fatma tersenyum. “Semua baik-baik saja, Fat! Aku sudah katakan ke Pak Anton. Ia menerima semua alasanku. Aku pikir ia akan mengancamku lagi, ternyata dugaanku salah,” ucap Aluna, dengan wajah seolah bahagia, “Yuk Pulang!” lanjutnya. “Yukk!” jawab Fatma. Mereka berjalan beriringan menuju mobil. Setibanya, Fatma masuk di susul Aluna. Dalam perjalanan, Fatma terus mengajak Aluna bercerita, dan di tanggapi seadanya. Aluna masih berpura-pura, seolah tidak terjadi apa-apa. “Ternyata ini keinginan Angel! Apa yang harus aku lakukan sekarang! Aku tidak mungkin menikah dengan Pak Anton, tetapi aku pun tidak tega menyakiti Angel. Kas
*** Tok! Tok! Bi Sarti mengetuk pintu kamar Aluna. “Tunggu sebentar!” tutur Aluna, ia bangun dari tempat tidurnya. Berjalan menuju pintu. “Eh, Bi Sarti. gimana Bi?” tanya Aluna. “Non Aluna, di tunggu Tuan Besar di meja makan,” ucap Bi Sarti dari depan pintu. “Baik, Bi. Aku akan ke sana. Bi Sarti duluan aja!” ucap Aluna. “Iya, Non!” jawab Bi Sarti, menundukan kepala tanda hormat. Aluna menutup pintu, melangkah kembali ke dalam kamar. Mengambil kacamata dan mengepang rambut. Sepulang kuliah Aluna tidak bisa istrahat, ia mengalihkan pikiran dengan belajar. “Selamat malam, Ayah. Maafkan aku, buat Ayah menunggu!” tutur Aluna, saat tiba di meja makan. Menarik kursi untuk duduk. “Tidak apa-apa, Nak. Ayah butuh teman untuk makan,” ucap Marfel. Bi Sarti menyendok makanan ke piring Marfel, ia mengambil piring untuk Aluna, ingin menyendokan makanan untuknya. “Nggak usah, Bi! Biar aku ambil sendiri,” tutur A
*** Aluna telah tiba di Kampus, ia duduk di kursi depan Ruangan Anton, menunggu ke datangannya. Zolan masih berada di Bali, saat Aluna menunggu kabar darinya, Handphone Aluna bergetar. ‘sudah di Kampus, sayang?’ Sebuah pesan tertera di layar handphone. ‘Iya, sayang. Maaf aku tidak izin saat pergi. Tadi aku buru-buru.’ balas Aluna Aluna langsung menurunkan handphone saat melihat Anton menuju ke ruangan, berdiri dari duduknya, ia mengikuti dari belakang. Anton tidak menyadari. Anton telah masuk dan menutup pintu. Setibanya, Aluna berdiri sejenak, mempersiapkan diri untuk bertemu Anton. Tok! Tok! Aluna mengetuk pintu. “Masuk,” terdengar oleh Aluna suara Anton. Membuka pintu, Aluna menutup kembali, mata Anton menatapnya, Aluna mendekat ke arah Anton. “Maaf mengganggu waktu Bapak? Ada yang ingin aku bicarakan!” tutur Aluna penuh kehati-hatian. “Silahkan duduk!” tutur Anton, tegas. Masih dengan berdiri