Setelah menemui Anton, Aluna menuju ke Perpustakaan. Berusaha mengalihkan suasana hati dengan membaca buku, namun tetap tidak bisa. Tiga jam berada di Perpustakaan, Aluna akhirnya menuju Ruang kuliah.
Sepanjang berlangsungnya matakuliah, Aluna tidak bisa fokus. Ia terus memikirkan ucapan Anton. “Apa aku harus jujur saja, jika aku sudah menikah! Berbohong ke Pak Anton hanya akan menambah masalah. Bagaimana keadaan kuliahku, jika aku punya masalah dengan Dosen? Apa aku masih bisa selesai dengan mulus?” batin Aluna, mata menatap lurus ke depan. Siapa pun yang melihat, akan mengira ia sedang fokus menyimak materi kuliah.
Hingga kuliah usai, pikiran Aluna masih sama. Ia tidak menyadari jika semua rekan kelasnya, satu persatu telah mengosongkan kelas.
“Alunaa!” panggil Fatma.
Tidak ada sahutan, dari pemilik nama.
“Alunaa!” ulang Fatma lagi.
Aluna berbalik. Ruang kelas hanya menyisakan Fatma dan Aluna. Fatma berdiri dari duduknya, menuju temp
Terimaksih banyak-banyak. Jangan lupa vote dan komentar, Jika kalian suka dengan cerita ini.
Lama berdiri di depan pintu, Aluna mengurungkan niat untuk berbicara ke Anton. Ia berbalik, melangkah menuruni tangga yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Berlari kecil menuju parkiran, menghampiri Fatma yang sedang menunggu. Dari jauh Fatma tersenyum padanya. “Gimana tanggapan Pak Anton? Semua baik-baik saja 'kan?” tutur Fatma tersenyum. “Semua baik-baik saja, Fat! Aku sudah katakan ke Pak Anton. Ia menerima semua alasanku. Aku pikir ia akan mengancamku lagi, ternyata dugaanku salah,” ucap Aluna, dengan wajah seolah bahagia, “Yuk Pulang!” lanjutnya. “Yukk!” jawab Fatma. Mereka berjalan beriringan menuju mobil. Setibanya, Fatma masuk di susul Aluna. Dalam perjalanan, Fatma terus mengajak Aluna bercerita, dan di tanggapi seadanya. Aluna masih berpura-pura, seolah tidak terjadi apa-apa. “Ternyata ini keinginan Angel! Apa yang harus aku lakukan sekarang! Aku tidak mungkin menikah dengan Pak Anton, tetapi aku pun tidak tega menyakiti Angel. Kas
*** Tok! Tok! Bi Sarti mengetuk pintu kamar Aluna. “Tunggu sebentar!” tutur Aluna, ia bangun dari tempat tidurnya. Berjalan menuju pintu. “Eh, Bi Sarti. gimana Bi?” tanya Aluna. “Non Aluna, di tunggu Tuan Besar di meja makan,” ucap Bi Sarti dari depan pintu. “Baik, Bi. Aku akan ke sana. Bi Sarti duluan aja!” ucap Aluna. “Iya, Non!” jawab Bi Sarti, menundukan kepala tanda hormat. Aluna menutup pintu, melangkah kembali ke dalam kamar. Mengambil kacamata dan mengepang rambut. Sepulang kuliah Aluna tidak bisa istrahat, ia mengalihkan pikiran dengan belajar. “Selamat malam, Ayah. Maafkan aku, buat Ayah menunggu!” tutur Aluna, saat tiba di meja makan. Menarik kursi untuk duduk. “Tidak apa-apa, Nak. Ayah butuh teman untuk makan,” ucap Marfel. Bi Sarti menyendok makanan ke piring Marfel, ia mengambil piring untuk Aluna, ingin menyendokan makanan untuknya. “Nggak usah, Bi! Biar aku ambil sendiri,” tutur A
*** Aluna telah tiba di Kampus, ia duduk di kursi depan Ruangan Anton, menunggu ke datangannya. Zolan masih berada di Bali, saat Aluna menunggu kabar darinya, Handphone Aluna bergetar. ‘sudah di Kampus, sayang?’ Sebuah pesan tertera di layar handphone. ‘Iya, sayang. Maaf aku tidak izin saat pergi. Tadi aku buru-buru.’ balas Aluna Aluna langsung menurunkan handphone saat melihat Anton menuju ke ruangan, berdiri dari duduknya, ia mengikuti dari belakang. Anton tidak menyadari. Anton telah masuk dan menutup pintu. Setibanya, Aluna berdiri sejenak, mempersiapkan diri untuk bertemu Anton. Tok! Tok! Aluna mengetuk pintu. “Masuk,” terdengar oleh Aluna suara Anton. Membuka pintu, Aluna menutup kembali, mata Anton menatapnya, Aluna mendekat ke arah Anton. “Maaf mengganggu waktu Bapak? Ada yang ingin aku bicarakan!” tutur Aluna penuh kehati-hatian. “Silahkan duduk!” tutur Anton, tegas. Masih dengan berdiri
*** Aluna baru saja pulang dari kampus. Saat ia membuka pintu Rumah, Zolan sudah berada di hadapannya. “Sayang, katanya tidak jadi pulang. Kenapa sudah ada di Rumah?” tanya Aluna dengan senyum lebar. Ia melangkah, memeluk Zolan. Zolan yang sudah lama tidak merasakan pelukan perempuan, terpaku sejenak. Membalas pelukan, “ini kejutan, sayang. Kalau sudah di beritahu, namanya bukan kejutan lagi?” tuturnya, garis wajah bahagia terpancar dari senyumnya, “mau sampai kapan, peluk terus!” lanjutnya, Aluna mendongakan wajah, menatap Zolan, “baru juga bertemu, sudah membuat kesal,” ngambek Aluna. Ia melepas pelukan, dan melangkah menuju kamar. Zolan tertawa dan mengikuti langkah Aluna. Mereka terus bersenda gurau, hingga tiba di kamar Aluna. Zolan pun ikut masuk. “Sayang, apa kamu akan mengangkat semua barang-barangmu ke kamar ini, atau aku yang akan memindahkan barangku ke kamarmu?” tanya Aluna. “Untuk sementara kita tidur di kamar masi
Lama melamun, Aluna tidak menyadari sosok Anton telah berada di hadapannya, ia bersama si kecil Angel. “Bunda kenapa melamun?” tanya Angel kegirangan dan langsung masuk memeluk Aluna. “Angel!” tutur Aluna. “Bunda dari tadi tidak sadar ya, kami sudah berdiri di depan pintu?” Rengek Angel di pelukan Aluna. “Hmmm! Maafkan bunda sayang, bunda sedang memikirkan sesuatu yang menumpuk,” ucap Aluna dengan nada bersalah. “Ayah kenapa hanya berdiri di situ?” tutur Angel. Anton melihat interaksi Angel dan Aluna dari depan pintu. Melangkah masuk, Anton mendakati Aluna dengan wajah datar. “Bunda kenapa menikah dengan Ayah tidak ajak-ajak Angel?” tanya Angel sambil memilin rambutnya. Aluna nampak heran dengan pertanyaan Angel. “Rencana apa lagi yang sudah di buat oleh pak Anton. Katanya pagi ini kami akan menikah, kenapa sekarang Angel menyatakan jika kami sudah menikah. Lama-lama otakku bisa pecah jika begini terus,” batin Aluna. Ia
Sudah seharian Aluna dan Anton menemani Angel bermain, mulai dari ke taman hingga ke Mall. Sekarang mereka sedang makan di Rostoran, tempat pilihan Angel setelah lelah bermain. “Ayah, Bunda, aku ke Toilet dulu ya!” tutur Angel dan berdiri dari duduknya. Aluna dan Anton mengangguk bersamaan. “Hati-hati, jangan lari-lari!” nasehat Aluna. “Iya, Bunda!” jawab Angel, melangkah pergi. “Sekali lagi terimakasih, Pak! Sebenarnya aku melakukan ini bukan karena takut mendapat nilai error di matakuliah Bapak. Aku yakin bapak tidak mungkin melakukan itu. Aku pernah merasakan apa yang di rasa Angel. Menginginkan kasih sayang dari seseorang yang tidak mungkin bisa kita gapai. Dari kecil aku seorang anak yatim,” diam sejenak, “tidak layak dikatakan yatim, karena mungkin saja ayahku masih hidup. Aku tidak tahu di mana keberadaanya. Aku butuh kasih sayangnya, tapi merasakan itu seperti mimpi. Aku tahu perasaan Angel, yang sangat butuh seorang bunda di sampingnya. Aku m
“Nanti, Angel! Iya, nanti bundamu akan tinggal bersama kita!” Anton berkata, matanya melirik Aluna. “Kenapa tidak di mulai malam ini saja?” tanya Angel, menatap Aluna dan Anton bergantian. Aluna tersenyum, mengusap kepala Angel, “Nanti ya, Sayang!” berucap dengan sangat lembut. “Ya sudah, tapi Bunda janji ya, akan tinggal bersama kami. Ngapain menikah dan jadi bundanya Angel, kalau tidak akan tinggal bersama!” tutur Angel, sambil menyuap bakso yang ada di hadapannya. Aluna tersenyum dan mengangguk. Mereka lanjut makan. Aluna dan Anton berperang dengan pikiran masing-masing, sedangkan Angel terus saja bercerita, yang hanya di balas dengan senyuman oleh Aluna dan Anton. “Bagaimana cara aku meminta izin ke Zolan untuk tinggal beberapa hari di Rumah Pak Anton. Otakku ingin pecah memikirkan semuanya,” batin Aluna. “Ternyata akan serumit ini!” batin Anton, sambil tetap mengunyah makanan di mulutnya. *** “Kemarin kamu dari man
“Kamu terlalu baik, Aluna. Sudah terlalu lama, tidak ada yang mengucapkan. Bahkan aku saja lupa, jika hari ini ulang tahunku,” tutur Zolan. Setelah Aluna menghilang dari pandangannya. Melihat pergelangan tangannya, senyum tipis tercetak di wajah. Menggeleng, “apa aku akan memakai gelang ini selamanya? Maafkan aku Aluna, tidak bisa berjanji gelang ini akan berada di tanganku selamanya. ” Lima menit sudah, Zolan berada di depan kampus Aluna, ia belum juga beranjak. Bunyi dering telepon menyadarkan Zolan, “Hallo!” tutur Zolan. “Hallo, Pak! Mohon maaf, mau mengingatkan bapak ada rapat jam sembilan,” ucap suara dari seberang. “Baik, terimakasih!” tutur Zolan tegas, langsung mematikan telepon. Zolan menyalakan mesin mobil, dengan lambat, ia mulai menjalankan. "Mengapa kamu selalu melakukan sesuatu yang buat aku teringat dengannya." Bayangan Sindy kembali menemani perjalanan, saat ia mengendara. Zolan membuka pintu kamar. “Selamat ulang tahun, sa
“Itu benaran Aluna. Tanpa bedak tebal saja, dia sudah menjadi perempuan paling cantik hari ini. Apalagi jika Aluna, menggunakan jasa perias,” tutur Lilis pelan pada Fatma. Mereka duduk berdampingan. “Aluna punya trauma, dia tidak ingin berdandan seperti layaknya perempuan lain dan akan di puji cantik. Aluna sangat membenci jika ada yang mengagumi kecantikannya,” ucap Fatma, sambil menatap Aluna yang saat ini sedang berbicara di podium. “Trauma … kenapa bisa?” tanya Lilis, menoleh ke Fatma. “Ceritanya panjang. Nanti saja aku ceritakan. Sekarang aku ingin fokus mendegar Aluna bicara,” ucap Fatma, tanpa melihat wajah penasaran Lilis. Ia mendengar Aluna yang sedang berucap, “atas apa yang dapat di raih hari ini, kita patut berterimakasih pada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu semua proses. Untuk itu perkenankanlah saya mewakili wisudawan untuk menyampaikan banyak terimakasih.” Lilis tidak melanjutkan percakapan mereka. Ia pun ikut fokus meny
*** Aluna sedang bersiap-siap, ia menggunakan kebaya berwarna biru nafi, dipadukan dengan rok batik bermotif kupu-kupu kecil. Kemudian ia menutupi dengan baju toga hitam pemberian kampus untuk wisudawan. Aluna tidak menggunakan jasa perias. Dengan kemampuan pas-pasan, ia menempel tipis bedak di wajah. Tidak lupa, Aluna juga memakai lip cream di bibir agar tidak terlihat kering. Kali ini, Aluna tidak akan mengepang dua rambut. Ia sudah membeli pengikat khusus agar bagian kepala terlihat cantik. Ia lalu memakai anting cantik berukuran kecil di telinga. Aluna hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk selesai. Ia lalu memakai high hells. Bercermin kembali, untuk memastikan jika ia sudah selesai. Aluna mengambil toga yang sudah ia siapkan di atas meja belajar. “Kok rasanya, aku malu. Ini pertama kali aku memakai bedak ke kampus,” tutur Aluna, ia memalingkan pandangan pada kacamata. “Sepertinya untuk hari ini, aku tidak memakai kacamata. Hanya untuk hari
Mengikuti kata hati, Sindy akhirnya masuk ke dalam warung untuk memesan makanan yang akan di bawa pulang. Ia bercerita dengan seorang ibu yang juga menunggu pesanan. Lima belas menit keasyika, Sindy menyadari jika lelaki itu sudah tidak ada. Dengan cepat Sindy membayar ketika namanya di panggil. Sambil memperbaiki masker dan topi yang ia pakai, Sindy melangkah lebar menuju rumah kos. Setibanya, sebelum memasuki rumah Sindy menoleh ke kiri dan ke kanan. Ingin memastikan jika tidak ada lagi yang mengikuti. "Sekarang aku harus lebih berhati-hati," Sindy berucap lirih sambil mengusap dada dari balik pintu. Beberapa jam telah berlalu. Waktu menunjukan pukul sepuluh malam, Fahmi masih berada di sebuah kafe menunggu seseorang. Saat ia meneguk kopi, orang yang di tunggu akhirnya datang. “Maaf aku telat, bos,” ucap lelaki yang sedang memakai topi hitam. Ia membuka masker yang ada di wajah dan menarik kursi untuk duduk. “Informasi apa yang sudah kamu dapa
Aluna kembali ke kamar dan memilih berbaring di atas ranjang. Mata menatap langit-langit dan tidak berpindah. “Tidak mengapa Aluna. Sebentar lagi kamu akan koas. Kalian akan jarang bertemu, jadi kamu pasti bisa kuat,” batin Aluna menyemangati diri, "apa aku harus menyerah?" Aluna memiringkan badan ke samping. Menatap tempat Zolan jika tidur di kamarnya. Tangan mengusap bantal yang sering digunakan suaminya, ia berucap lirih, “aku harusnya sadar dari dulu, jika tidak boleh mencintai kamu, Zolan. Ini akibatnya, karena telah lancang berharap dicintai.” Tidak terasa, air mata yang sudah ia tahan sejak berada di kamar Zolan, akhirnya tumpah. “Aku tidak pernah meminta takdir seperti ini. Mengapa harus aku yang merasakan?” Bantal yang digunakan Aluna telah basah. Tangan menutup mulut dan membiarkan air di mata keluar begitu deras.Satu jam lebih ia berbaring di atas kasur, meratapi hati yang di rasa begitu sakit. Aluna akhirnya bangkit menuju meja belajar,
***Hari ini, tepat sepekan Marfel berpulang. Aluna sedang berada di kamar Zolan. Sudah seminggu Zolan tidak keluar rumah, begitupun dengan Aluna.“Aku masih kenyang, Aluna. Kamu saja yang makan,” tutur Zolan, melihat Aluna masih memegang sendok berisi makan, dari tadi Aluna terus memaksa.“Kamu harus makan Zolan! Hari ini kamu belum makan. Tiga sendok saja, terus aku akan keluar dari kamar kamu.” Aluna terus berusaha merayu. Sejak meninggalnya Marfel, Zolan sudah jarang makan. Makanan yang sering di antar ke kamar, selalu di ambil kembali dalam keadaan utuh.Melihat Zolan, yang masih menutup mulut. Aluna berdiri untuk menyimpan piring yang di tangan ke atas meja. Ia lalu kembali duduk di dekat Zolan. “Aku tahu kamu merasa bersalah! Aku tidak tahu sebelumnya apa yang terjadi antara kamu dengan ayah! ... Tetapi, kamu tidak bisa begini terus ... Badan kamu juga punya hak untuk sehat!” Aluna berkata dengan suara sedi
Asisten itu menarik lembut Aluna. Ia langsung memeluk tanpa banyak berkata. Ia tahu bagaimana rapuhnya Aluna. “Ada kami, Non. Non Aluna masih punya kami, tidak sendiri,” ia berbisik pelan di telinga Aluna, berusaha menguatkan.Semua asisten mengetahui hubungan Aluna dan Zolan. Meskipun sudah tidur sekamar, tetapi masih nampak di mata semua asisten, jika Zolan tidak mencintai Aluna. Bukan hanya itu, asisten yang setiap hari membersihkan rumah mengetahui, jika Zolan masih menyimpan semua baju di kamarnya, tidak memindahkan ke kamar Aluna.Di tempat lain, Zolan masih berada di depan sekolah. Setelah bertengkar hebat dengan Marfel, ia tidak bisa fokus untuk bekerja, sehingga ia pergi meninggalkan kantor dan menuju sekolah yang sudah mempertemukannya dengan Sindy. Zolan juga tidak mengaktifkan handphone, ia sedang tidak ingin di ganggu.Zolan memarkir mobil di seberang sekolah. Dari jauh ia melihat anak-anak sekolah keluar dari gerbang. Ada yang jail, ada
Empat puluh menit mengendara motor, ia sudah memasuki gerbang rumah sakit. Tadi setelah tiba di parkiran kampus Aluna menelepon Bi Sarti, menanyakan rumah sakit tempat Marfel dirawat. Aluna mengendara dengan sangat laju, tiga kali ia mendapatkan lampu merah yang macet. Dengan langkah terburu ia masuk, menuju ruang ICU.Di sana ada enam orang asisten yang menunggu di depan pintu. Aluna mempercepat langkah. Setibanya, dengan napas yang masih terengah-engah, Aluna langsung berucap, “apa yang terjadi? .. Tadi pagi ayah masih baik-baik saja. Kami sarapan pagi bersama dan aku juga meminnta doa karena sidang hari ini. Kenapa ini bisa terjadi?”“Kami tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi. Tadi setelah Non Aluna ke kampus. Tuan besar memanggil tuan muda di dalam kamar. Kami tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Bi Sarti menemukan tuan besar pingsan di lantai dekat ranjang,” ucap asisten yang berada di hadapan Aluna.“Zolan sudah tahu
***Setelah tiga tahun lebih menjalani kuliah, hari ini Aluna sidang akhir. Fatma dan Lilis menunggu di luar ruang sidang. Di tangan mereka ada satu buket bunga yang akan di berikan untuk Aluna. Sedangkan di dalam sana, Aluna masih menghadapi rentetan pertanyaan dari penguji.Satu jam lebih berlalu, Aluna di suruh keluar oleh dosen pembimbingnya. Menunggu di luar ruangan.“Alunaa!” Suara cempreng Fatma terdengar, ketika melihat Aluna membuka pintu. Ia dan Lilis berdiri menghampiri.“Bagaimana, kamu di kasih nilai apa?” tanya Fatma ketika mereka sudah berada di samping Aluna.“Ya, belum di tahu lah, Fatma … dosen ‘kan masih rembuk di dalam. Aku di suruh keluar dulu. Nanti masuk lagi kalau sudah ada perintah untuk masuk,” tutur Aluna, sambil berjalan menuju tempat duduk.“Kamu yang sidang, aku yang degdegan, Aluna. Gimana nanti kalau aku yang ujian yah?” Fatma berucap, ketika mereka
Di tempat berbeda, di sebuah rumah sakit. Anton kaget, ia melihat ada pergerakan di tangan Angel. Meskipun masih menutup mata, jari-jari mungil tangan kanan Angel bergerak. Ia memencet tombol untuk memanggil perawat jaga, yang terletak tidak jauh dari hospital bed. Tidak menunggu lama, tiga orang perawat bersama seorang dokter datang dengan membawa beberapa alat yang mereka butuhkan. “Bagaimana keadaanya?” tanya Anton. ketika dokter menempelkan stetoskop di tubuh Angel. Ada sedikit kebahagian terpancar di wajah Anton. “Dokter Anton, bisa ikut aku ke ruangan?” ujar seorang lelaki yang memakai jas putih. “Apa yang terjadi? Aku tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini,” ucap Anton tegas, sambil menatap Angel. “Ini juga untuk Angel. Ada yang ingin aku beritahu, dan aku tidak bisa mengatakannya di sini.” Kembali membujuk Anton yang terlihat kukuh dengan keinginan. “Nanti dua orang perawat ini, yang akan menggantikan kamu menjaga Angel,” lanjutnya.