Lama melamun, Aluna tidak menyadari sosok Anton telah berada di hadapannya, ia bersama si kecil Angel.
“Bunda kenapa melamun?” tanya Angel kegirangan dan langsung masuk memeluk Aluna.
“Angel!” tutur Aluna.
“Bunda dari tadi tidak sadar ya, kami sudah berdiri di depan pintu?” Rengek Angel di pelukan Aluna.
“Hmmm! Maafkan bunda sayang, bunda sedang memikirkan sesuatu yang menumpuk,” ucap Aluna dengan nada bersalah.
“Ayah kenapa hanya berdiri di situ?” tutur Angel. Anton melihat interaksi Angel dan Aluna dari depan pintu.
Melangkah masuk, Anton mendakati Aluna dengan wajah datar.
“Bunda kenapa menikah dengan Ayah tidak ajak-ajak Angel?” tanya Angel sambil memilin rambutnya.
Aluna nampak heran dengan pertanyaan Angel. “Rencana apa lagi yang sudah di buat oleh pak Anton. Katanya pagi ini kami akan menikah, kenapa sekarang Angel menyatakan jika kami sudah menikah. Lama-lama otakku bisa pecah jika begini terus,” batin Aluna. Ia
Jangan lupa vote ya teman-teman, terimakasih.
Sudah seharian Aluna dan Anton menemani Angel bermain, mulai dari ke taman hingga ke Mall. Sekarang mereka sedang makan di Rostoran, tempat pilihan Angel setelah lelah bermain. “Ayah, Bunda, aku ke Toilet dulu ya!” tutur Angel dan berdiri dari duduknya. Aluna dan Anton mengangguk bersamaan. “Hati-hati, jangan lari-lari!” nasehat Aluna. “Iya, Bunda!” jawab Angel, melangkah pergi. “Sekali lagi terimakasih, Pak! Sebenarnya aku melakukan ini bukan karena takut mendapat nilai error di matakuliah Bapak. Aku yakin bapak tidak mungkin melakukan itu. Aku pernah merasakan apa yang di rasa Angel. Menginginkan kasih sayang dari seseorang yang tidak mungkin bisa kita gapai. Dari kecil aku seorang anak yatim,” diam sejenak, “tidak layak dikatakan yatim, karena mungkin saja ayahku masih hidup. Aku tidak tahu di mana keberadaanya. Aku butuh kasih sayangnya, tapi merasakan itu seperti mimpi. Aku tahu perasaan Angel, yang sangat butuh seorang bunda di sampingnya. Aku m
“Nanti, Angel! Iya, nanti bundamu akan tinggal bersama kita!” Anton berkata, matanya melirik Aluna. “Kenapa tidak di mulai malam ini saja?” tanya Angel, menatap Aluna dan Anton bergantian. Aluna tersenyum, mengusap kepala Angel, “Nanti ya, Sayang!” berucap dengan sangat lembut. “Ya sudah, tapi Bunda janji ya, akan tinggal bersama kami. Ngapain menikah dan jadi bundanya Angel, kalau tidak akan tinggal bersama!” tutur Angel, sambil menyuap bakso yang ada di hadapannya. Aluna tersenyum dan mengangguk. Mereka lanjut makan. Aluna dan Anton berperang dengan pikiran masing-masing, sedangkan Angel terus saja bercerita, yang hanya di balas dengan senyuman oleh Aluna dan Anton. “Bagaimana cara aku meminta izin ke Zolan untuk tinggal beberapa hari di Rumah Pak Anton. Otakku ingin pecah memikirkan semuanya,” batin Aluna. “Ternyata akan serumit ini!” batin Anton, sambil tetap mengunyah makanan di mulutnya. *** “Kemarin kamu dari man
“Kamu terlalu baik, Aluna. Sudah terlalu lama, tidak ada yang mengucapkan. Bahkan aku saja lupa, jika hari ini ulang tahunku,” tutur Zolan. Setelah Aluna menghilang dari pandangannya. Melihat pergelangan tangannya, senyum tipis tercetak di wajah. Menggeleng, “apa aku akan memakai gelang ini selamanya? Maafkan aku Aluna, tidak bisa berjanji gelang ini akan berada di tanganku selamanya. ” Lima menit sudah, Zolan berada di depan kampus Aluna, ia belum juga beranjak. Bunyi dering telepon menyadarkan Zolan, “Hallo!” tutur Zolan. “Hallo, Pak! Mohon maaf, mau mengingatkan bapak ada rapat jam sembilan,” ucap suara dari seberang. “Baik, terimakasih!” tutur Zolan tegas, langsung mematikan telepon. Zolan menyalakan mesin mobil, dengan lambat, ia mulai menjalankan. "Mengapa kamu selalu melakukan sesuatu yang buat aku teringat dengannya." Bayangan Sindy kembali menemani perjalanan, saat ia mengendara. Zolan membuka pintu kamar. “Selamat ulang tahun, sa
*** Sudah pukul tujuh malam, Aluna masih berada di Rumah Anton. “Bunda, tidak suapin aku?” tanya Angel. “Tunggu ya, bunda ngirim pesan dulu!” tutur Aluna. ‘Sayang, malam ini aku telat pulang, ada tugas kelompok yang harus aku selesaikan’ pesan dari Aluna untuk Zolan. Sesudahnya, Aluna menyimpan handphone di atas meja, kembali melihat Angel. “Angel sukanya pelajaran apa di sekolah?” tanya Aluna, sambil menyuapkan makanan ke mulut Angel. “Selain pelajaran Matematika, Bunda? Aku hanya tidak suka pelajaran itu. Sesuai namanya, Matematika itu mematikan otak aku,” tutur Angel. “Hahaha! Tidak akan mematikan jika kamu bisa belajar dengan tekun,” tutur Aluna, lembut. “Kenapa sih, bunda, kita itu harus mempelajari semuanya? Guru saja ngajarnya hanya satu pelajaran!” “Karena antara satu pelajaran dengan pelajaran lain itu berkaitan, sayang. Setingkat sekolah dasar, harus di pelajari semua karena itu materi-materi das
Aluna dan Anton tidak mengetahui sudah tiga jam Fatma berada di depan Rumah Anton. Selama seminggu ia menyuruh orang untuk mencari tahu aktifitas Aluna, sejak Zolan menelponnya, menanyakan keberadaan Aluna. Tidak percaya dengan inormasi dari orang suruhannya, ia akhirnya mencaritahu sendiri, dan di sinilah ia, depan Rumah Anton. Tidak ingin mengikuti mobil mereka, Fatma memilih pulang saat melihat motor Aluna keluar dari gerbang, di susul Anton. “Kamu bohong Aluna! Kamu pembohong! Jadi benar, kamu sudah menikah dengan Pak Dokter, kenapa saat itu kamu tidak jujur. Katanya, Pak Dokter sudah menerima semua alasan bahwa kamu sudah menikah. Kenapa yang aku lihat kamu justru semakin dekat dengannya, kamu juga sudah akrab dengan Angel, anaknya. Ternyata kamu tidak sebaik yang aku kira, Aluna!” lirih Fatma, selama mengendara. Ia melepas topi hitam yang sedari tadi bernaung di kepala, matanya mulai berkaca. “Kamu bukan lagi sahabatku, Aluna! Mulai hari ini, aku akan menjauh.
Lama membiarkan Fatma melangkah sendiri. “Fatma, tunggu! Kamu kenapa?” Aluna mengikuti Fatma. Tidak ada sahutan dari Fatma, ia terus membisu. “Kamu marah sama aku?” tutur Aluna berusaha melihat wajah Fatma yang terus menghindarinya. “Fatma kamu kenapa sih?” lanjutnya, saat Fatma telah berada di tempat duduk. “Fatma, kalau aku ada salah, maaf ‘kan aku! Kenapa kamu tiba-tiba berubah kayak gini?” tutur Aluna, duduk di samping Fatma. Belum ada respon, Fatma mengambil buku dari dalam tas, ia mulai membaca dan tidak menggubris ucapan Aluna. “Aku ke depan ya, Fat! Dosen sudah masuk!” ujar Aluna, ketika melihat dosen masuk menuju tempat duduknya. Hingga matakuliah telah usai, Fatma keluar kelas tanpa menegur Aluna. “Apa aku ada salah? Kenapa Fatma menghindariku?” batin Aluna. Aluna menuju Perpustakaan, saat ingin masuk, ia melihat Fatma sedang membaca buku di Lobby. Aluna menghampiri. Fatma yang menyadari kedatangan Aluna, langsung ber
*** “Non Aluna lagi buat apa?” tanya Bi Sarti. Ia baru saja keluar dari kamar, melihat Aluna sibuk menghaluskan ubi yang sudah di kukus mengunakan garpu. “Aku lagi bikin brownies ubi untuk Zolan, Bi!” tutur Aluna, tangannya sibuk menari di atas piring berisi ubi. “Aku bantu non Aluna, apa?” ucap Bi Sarti, sambil berdiri memperhatikan Aluna. “Nggak usah, Bi! Kue ini nggak ribet kok,” jawab Aluna. Bi Sarti duduk di kursi yang ada di dapur, menunggu perintah jika saja Aluna membutuhkan bantuannya. “Selamat ya, Non! Aku lihat Tuan Muda tidak jutek lagi.” “Iya, Bi! Sekarang Zolan sudah banyak berubah. Aku senang sekali. Sengaja aku buatkan kue untuk Zolan. Sebelum ke Kampus aku akan singgah di Kantor Zolan dulu. Dari luar kota Zolan langsung ke Kantor, katanya ada rapat pagi ini. Takut dia telat makan, makanya aku buatkan kue. Semoga saja Zolan suka!” tutur Aluna. Tangan memasukan dua butir telur, tujuh sendok gula pasir, dan ju
Fahmi keluar dari Ruangan Zolan, tanpa berpamitan dengan Aluna. Meninggalkan berkas yang ia bawa di meja kerja Zolan. Sengaja, ia ingin kembali saat Aluna sudah tidak berada di Ruangan Zolan. Fahmi merasa harus menegur sahabatnya, yang di lakakukan Zolan sudah sangat keterlaluan. “Fahmi!” panggil Laura, saat melihat Fahmi keluar dari ruangan Zolan. Jika tidak ada orang, Laura tidak memanggil Zolan dan Fahmi dengan embel-embel penghormatan. Mereka sudah saling kenal sejak SMA. Sengaja Zolan menjadikan Laura sekretaris, ia ingin mendapatkan banyak informasi tentang Sindy. Meskipun sampai sekarang, belum ada satu pun kabar yang ia dapatkan. Fahmi berhenti melangkah, melihat Laura. “Ada apa?” “Siapa perempuan yang datang denganmu tadi? Kenapa kamu tinggalkan berdua saja dengan Zolan?” “Ohh dia, aku nggak tahu, tanyakan langsung saja ke Zolan!” “Kenapa aku harus tanya ke Zolan? Kayaknya tadi kamu juga sudah kenal dekat?” “Aku buru-buru Laur