Share

Part 4

selamat membaca,

Menyendiri, menjauh dari keramaian, menenangkan diri di tempat yang sunyi benar-benar membuat suasana hati Elea pulih perlahan.

Tiga minggu Elea habiskan untuk menyendiri di Ubud Bali, keluarga Elea memiliki satu villa disana tempatnya masih cukup asri terlebih tempatnya benar-benar sepi, tidak ada orang selain Elea dan pekerja disana yang Elea minta datang saat malam hingga pagi untuk menemani Elea di Villa.

Sebentar lagi, tinggal menghitung hari, Ibra akan menikah dengan kekasihnya.

Walau Anggita mengatakan hubungan mereka telah usai, tapi Ibra benar-benar memperjuangkan Anggita.

Savira dan Stefi yang rutin memberi kabar pada Elea tanpa Elea minta, bukannya Elea enggak mau move on, tapi, ini bagian dari proses move on yang Elea jalani.

Di dalam lubuk hati terdalam Elea, dia juga ingin di cintai seperti Anggita.

“Non, makan malamnya telah siap, Bibi kembali ke belakang ya,” Elea mengangguk sebagai jawabannya.

Seminggu ini tidak ada kegiatan yang berarti, makan, tidur, melamun, begitu terus.

“Apa aku tidak layak untuk Ibra? Apa cinta Ibra memang bukan untukku? Apa kedepannya aku bisa di cintai secara ugal-ugalan? Rasanya sangat menyakitkan Tuhan, Aku ingin menyerah namun aku tidak sanggup merelakannya.” Elea bermonolog sembari menatap langit malam tanpa Bintang.

Ponsel Elea berdering. Melihat siapa yang menghubunginya, Elea dengan senang hati mengangkatnya.

“Haiii Mama,” Elea tersenyum ceria, seolah-olah tidak ada yang terjadi dengannya.

“Jangan pasang wajah seperti itu Elea, Mama tidak suka, kalau kamu sedih pasang wajah sedih, kalau kamu bahagia pasang wajah bahagia.” Elea langsung mendapat wejangan dari Mamanya.

“Ma, aku udah baik-baik aja kok, enggak ada gunanya juga berlarut-larut patah hati.” Elea telah memutuskan untuk melepaskan Ibra, pada akhirnya memang Ibra bukan untuknya.

“Okkk,, anggap saja Mama percaya denganmu.” Ivanka akhirnya menyerah, tidak ada gunanya bicara dengan anaknya yang keras kepala itu.

“Kalau kamu udah baik-baik aja kapan pulang ke Jakarta, Mama udah kangen banget sama kamu, udah lama kita enggak shopping bersama, uang Papamu bertambah tiap hari sementara Mama kuwalahan menghabiskannya seorang diri,” Elea tertawa begitu saja setelah mendengar ucapan Mamanya.

Elea jadi merindukan masa-masa Dimana dia dan Mamanya menghabiskan waktu bersama hanya untuk belanja, makan, nonton, sementara Papanya sibuk di ruang sidang.

“Entah, mungkin lusa tau minggu depan, aku bahkan hanya di villa selama tiga minggu ini, ke Pantai aja belum Ma, aku mau selancar dulu, atau mau party dulu di beach club Ma,” Bodohnya Elea, jika di fikir-fikir Elea sudah membuang-buang waktunya selama tiga minggu untuk meratapi patah hatinya.

“Yasudah, terserah kamu, kalau uang habis minta Papamu, jangan minta Mama, Mama aja di kasih Papamu.” Elea mengangguk.

“Mama tutup telfonnya, baik-baik di Bali, awas kalau kenapa-kenapa, Mama tidak akan beri ampun sama kamu.”

“Tidak Ma, Elea akan jaga diri dengan baik, see u Mom.” Video call langsung terputus setelah Elea mengakhiri panggilan video barusan.

****

Pernikahannya dengan Anggita benar-benar di lakukan sesuai kesepakatan di awal, walau Ibra sudah mengatakan jika saat ini Ibra tidak punya pekerjaan dan kemungkinan untuk beberapa tahun kedepan tapi Anggita tidak perduli, dia tetap memilih untuk menikah dengan Ibra.

Ibra melepas tawaran dari Pak Ardhana begitu saja, yang artinya Ibra memilih keluar dari firma hukum  tempatnya bekerja selama ini.

“Aduhhh,, Anggi kenapa bodoh banget ya Pak, nikah kok sama pengangguran,” Ibra menghentikan langkahnya di depan rumah yang di sewa Anggita untuk keluarganya dari kampung, selama ini Anggita hanya kos di jakarta.

Ibra hafal betul itu suara Ibunya Anggita.

“Lahhh mau gimana lagi Buk, itu pilihan Anggita, pas Ibuk mau jodohin Anggi sama anaknya Pak Lurah ajak gimana Anggi nolak dan milih bunuh diri dari pada nikah sama anaknya Pak Lurah.” Ibra terbelalak, kenapa dia enggak tau?.

“Anggi bukannya bodoh Buk, Anggi kira Ibra kaya raya punya banyak uang, kaya pengacara di tv-tv, punya mobil mewah, rumah mewah, ehhh enggak taunya sekarang malah jadi pengangguran.” Ibra juga bisa mendengar Anggita bersuara.

“Bukannya Ibra udah ngelamar kerja? Kemarin kayaknya sibuk banget nyiapin re,, re,, aduhh apa ya Bapak lupa.”

“Resume? Iya sih Ibra udah lamar kerja di beberapa firma hukum, tapi kasus yang kemarin viral itu bikin susah. Lagian Ibra juga sih teledor banget, kaya ginikan jadinya.” Ibra dapat mendengar jika Anggita menggerutu.

Dimana Anggita yang lemah lembut?, yang penuh perhatian padanya? Kenapa jadi seperti ini?.

“Makanya nurut apa kata Ibu, mending batalin aja dehhh mumpung belum nikah”. Ibra terdiam, pucat pasi di depan pintu, walau Ibra yakin Anggita tidak akan membatalkan pernikahannya tapi rasanya sangat menyakitkan.

“Ibuk, aku enggak tau alasannya apa, Ibra cukup baik untuk di campakkan, tapi di satu sisi aku juga tidak mau miskin.” Tangan Ibra mengepal, siap untuk memukul apa saja yang ada di hadapannya.

“Bilang aja kamu udah Nerima lamaran anaknya Pak Lurah di kampung.”

“Tapi Buk,, itu kayaknya enggak mungkin, Aku udah cerita sama Ibra kalau aku nolak lamaran anaknya Pak Lurah”.

“Gimana kalau kita kabur aja? Emas dan uang untuk maharkan udah Ibra titipin ke kamu.” Ibra yang mendengar ucapan calon ayah mertuanya sangat-sangat terkejut, bagaimana bisa orang yang selama ini dia hormati, dia jadikan panutan bisa bicara seperti itu.

Tanpa ingin mendengar apapun lagi, Ibra segera berlalu, pergi meninggalkan Anggita dan keluarganya.

Di kecewakan oleh orang yang sangat di cintai ternyata menjadi pukulan telak.

Ibra tidak menyangka rasanya akan sesakit ini, selama ini dia berjuang mati-matian untuk bekerja, selama ini Ibra memberikan apa yang dia miliki pada Anggita, tapi seperti inikah balasannya.

Tiba-tiba Ibra teringat dengan Pak Ardhana, apa mungkin tawaran itu masih ada? Tawaran yang dia tolak mentah-mentah beberapa waktu lalu, kini menjadi satu-satunya harapan Ibra.

Melihat jam di pergelangan tangannya, masih jam tiga sore, kemungkinan Pak Ardhana masih di kantor, sebaiknya Ibra segera pergi ke firma hukum milik Pak Ardhana.

“Jadi, sekarang kamu ingin meminta kesempatan Ibra?” Pertanyaan langsung di lontarkan Pak Ardhana padanya.

“Benar Pak.” Ibra menunduk tak berani menatap Pak Ardhana.

“Kamu ingin mempermainkan anakku Ibra?” Pak Ardhana melempar undangan pernikahan di atas meja, Ibra bisa langsung melihatnya, itu undangan yang Ibra berikan pada Elea, tiga minggu yang lalu.

“Saya salah, saya menyesali Keputusan saya Pak Ardhana”. Ibra masih menunduk, dia benar-benar hancur saat ini.

“Menyesal? Ibra, sebagai orang tua aku juga menyesal, aku menyesal telah membiarkan anakku di hancurkan oleh laki-laki seperti dirimu.”

“Setelah kamu hancurkan anakku sekarang kamu minta kesempatan?” Ibra dapat melihat tatapan penuh cemooh dari Pak Ardhana.

“Kamu bisa pergi Ibra, saya tidak memberikan kesempatan dua kali pada orang sepertimu.” Pada akhirnya Ibra terusir.

Ponsel Ibra berdering beberapa kali namun Ibra enggan untuk mengangkatnya, dulunya nada dering itu jadi nada spesial di ponselnya, namun sekarang tidak.

Ibra memilih menyerah pada Anggi, jika Anggi dan keluarganya memilih untuk membatalkannya Ibra akan mengabulkannya.

Entah keberuntungan atau kesialan yang menimpa Ibra, tapi saat ini Ibra merasa lega.

Patah hati memang sakit, tapi hidup tidak boleh berhenti disini.

Dari pada meratapi nasib, Ibra memfokuskan dirinya memperbaiki resumenya, selagi menunggu panggilan kerja dia bisa mencari freelance atau supir taxi online mungkin, Ibra harus berusaha dia tidak boleh menyerah gitu aja.

***

Mendapat kabar dari sang Ayah tentang Ibra membuat suasana hati Elea lebih membaik, pada akhirnya Ibra juga merasakan sakit.

“Sekarang, saatnya menunjukan pada dunia, siapa Elea sebenarnya,” Elea mulai mengemasi baju-bajunya pulang ke Jakarta menjadi tujuan utamanya.

Kepulangan mendadak Elea malam ini cukup merepotkan, beruntungnya masih ada penerbangan ke Jakarta.

Hampir tengah malam Elea sampai di jakarta, pengawal sudah siap di area penjemputan, sepertinya Papanya tidak akan membiarkan Elea tinggal di apartemen lagi, melihat pengawal dan supir yang menjemputnya.

“Nona Elea, anda mendapat hadiah dari Tuan Ardhana.” Pengawal menyerahkan buket bunga mawar pada Elea.

Elea jelas tau maksud Papanya, jadi dengan senang hati Elea menerima buket bunga yang di sodorkan pengawal.

“Kita pulang ke rumah?.” Elea bertanya pada pengawal sebelum masuk ke dalam mobil.

“Benar Nona, Tuan Ardhana dan Nyonya Ivanka berpesan agar Nona Elea kembali ke rumah terlebih dahulu.” Elea hanya mengangguk.

Setelah ini, tidak ada lagi yang harus di sembunyikan, biarkan semua tau jika Eleanor Ameera Pramudja adalah anak dari Ardhana Pramudja dan Ivanka Pramudja.

 terima kasih sudah membaca,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status