Selesai latihan ballet, Kim langsung pulang ke asramanya. Entahlah perasaannya tiba-tiba tidak enak. Namun Kim tidak berpikir yang aneh-aneh dia pikir ini wajar karena terlalu merindukan orang-orang yang dia sayangi. Ia sudah meraba ponsel-nya tapi diurungkan untuk menelepon, terlalu banyak yang membuatnya takut menelpon Harry. Dia takut merindukan pria itu hingga bisa saja Kim akan terbang sekarang juga setelah mendengar suara Harry.
Kim memutuskan untuk mandi, dia berdiri di bawah kucuran shower. Pikirannya masih tidak tenang akhir-akhir ini. Satu tangannya menulis nama Harry pada kaca yang dipenuhi uap. Dia tidak pernah sedetikpun melupakan Harry. Tapi jika dia menghubungi Harry akan ada yang kecewa padanya. Ibunya, Ayahnya, seluruh manusia pasti berkata jelek jika hubungan Kimberley Parker dan Harry Parker lebih dari kakak beradik.
Selesai mandi Kim menghabiskan waktunya untuk duduk di atas ran
Suara teriakan kuat terdengar hingga ke sudut ruangan, sudah seminggu ini Harry tinggal di atap bengkel tempatnya bekerja. Biasanya dia tidur di kamar yang luas dengan ranjang size king yang membuatnya bebas berguling-guling. Namun sekarang jauh dari kemewahan tempat pria berambut coklat gelap itu tinggal."Harry! Bangun! Cepat!"Juan dari bawah menggedor atap terbuat dari kayu itu, yang biasanya digunakan untuk akses keluar-masuk."Diam kau brengsek!" teriak Harry. Dia menekan kepalanya mencoba mengingat mimpinya yang terputus tadi. Mimpi yang membuatnya bermandikan keringat, sangat menyeramkan. Mimpi itu sepertinya pernah terjadi dalam hidupnya.Harry menarik kaus hitam polosnya di lantai lalu memakainya. Setelah itu menarik gagang kayu kemudian menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu itu, dia berjalan menuju dapur. Terlihat Jimmy sedang membalikkan daging asapnya."Aku memasak
Kim berjalan dalam kegelapan, dengan menutup mata Kim tahu seluk beluk kamar ini. Aroma Emily masih terasa di sini, ya... Kim masih merasakan keberadaan Emily dan Ibunya... Tuhan semua seperti mimpi buruk baginya. Tidak, Kim tidak menangis. Air matanya sudah kering. Dia terduduk di tepi ranjang dengan pikiran yang penuh.Kim menyentuh bingkai foto yang ada di atas meja. Ada Kim, ibunya, ayahnya, dan juga Harry-- Kim menutup matanya dengan bercucuran air mata."Mom, kenapa kau pergi juga dengan Emily? Kenapa kalian meninggalkan aku sendiri." Isak Kim memeluk bingkai foto persegi itu."Ini salahku, Mom. Tolong marahi aku." Kim tersedu-sedu memanggil nama ibunya dan Emily. Berita kematian Emily dan Amber telah tersiar di media. Dugaan stress dan depresi menjadi salah satu penyebab bunuh diri Amber karena kematian Emily. Namun, kematian Emily belum lagi diketahui penyebabnya. Ada yang mengatakan Emily terpeleset di kamar mandi."Emi, kau belum lag
Gadis itu bergerak pelan di atas ranjang yang empuk tangannya mendekap erat seseorang dengan nafas beratur. Segala rasa sedih dan lelah lenyap begitu saja digantikan perasaan nyaman. Ia bermimpi ada yang membelai rambutnya lalu beralih mengelus pipinya dengan lembut, ia tersenyum dengan mata yang tertutup seolah-olah nyata.Beberapa detik kemudian dia merasakan ada yang menyapu bibirnya. Ia ingin membuka kelopak matanya yang berat saat mencium aroma maskulin yang menyegarkan. Tapi Kim masih ingin terlelap seperti ini. Merasakan nyaman dengan aroma yang ia kenali...Harry? Mata Kim terbuka dengan jantung berdebar kuat, ia mengedarkan pandangannya ke sekitar ruang itu."Morning Miss... Tidurmu lelap sekali sampai aku tidak berani membangunkan," orang yang duduk di sofa bersuara. Kim menyipitkan matanya melihat dengan jelas, tidak mungkin..."Aku yakin sekali itu parfum Harry," gumamnya pelan melihat orang
Kim keluar dari asrama putri setelah melihat kamarnya, dia belum lagi menyusun barang-barangnya dan berkenalan dengan teman sekamarnya. Kim terburu-buru berjalan ke kampusnya.Seorang wanita berambut pirang menyapa Kim dengan sinis. "Hei kau anak baru... di asrama ada peraturan. Sebelum kau pergi ke kampus kau harus laporan pada ketua asrama agar dia membuatkan daftar housekeeping untuk mu.""Oh, okeh. Nanti aku akan menemuinya. Sekarang aku sudah terlambat."Setelahnya, Kim kembali melanjutkan perjalanannya ke kampus dengan berjalan kaki. Di asrama lamanya di Moscow teman-temannya sangat ramah berbeda sekali dengan di sini. Apalagi wanita tadi bicara dengan nada ketus."Akhirnya sampai juga," ucap Kim di depan gerbang gedung itu.Dia berjalan di sisi kanan bersamaan dengan orang-orang yang juga berjalan kaki memasuki area kampus. Mobil mewah berwarna hitam dengan panjang seperti mob
Kim menghentikan taxi di pinggir jalan setelah lima menit dia menunggu. Ternyata tukang taxi yang tadi dia tumpangi yang dia dapat lagi. Laki-laki tua, kurus, berkumis tersenyum pada Kim pelanggan yang tadi."Kau lagi Nak," sapa pria itu. Kim tersenyum lalu masuk. "Kau sudah bertemu suamimu?" tanyanya. Kim jadi merasa bersalah telah berbohong."Dia sudah punya wanita lain, Pak." Jawab Kim muram.Pria tua itu tertawa. "Zaman sekarang jangan terlalu percaya pria, Nak."Sementara di belakang taxi mobil sport berwarna hitam pekat membawa mobil dengan kecepatan tinggi.Kim duduk di jok belakang memandangi jalanan, tiba-tiba suara klakson dari belakang terus saja berbunyi. Kim menoleh ke belakang dan itu mobil Harry. "Dia tahu aku di sini?" tanyanya pada diri sendiri."Tolong Pak, dia tidak boleh menangkapku."Suara drum mobil belakang semakin merajalela.
Kim termangu menatap amplop putih berisi bayaran dia menari ballet disebuah teater. Untuk pertama kalinya dia mendapatkan uang dari hasil keringatnya, matanya berkaca-kaca dengan senyum tipis membuka isi amplop putih itu.Mom, kau lihat kan aku sekarang bisa menghasilkan uang walaupun tidak seberapa. Kau pasti bangga kan? Anakmu yang manja ini bisa mandiri sekarang. Aku bahkan tinggal di tempat jelek sekarang.Beberapa lembar uang itu kembali di masukan ke amplop lalu di masukkan ke tasnya. Memang uangnya tidak seberapa tapi Kim cukup bahagian mendapatkan uang itu."Kim...?"Suara gedoran dari pintu membuat Kim kaget. Suara itu seperti suara Rachel, teman sekamarnya. Kim berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Wanita berwajah asia itu tersenyum."Kau membuatku kaget saja, Rachel. Apa tidak bisa menggedor pintu dengan lembut?"Rachel terdiam, lalu dia kembali ke de
"Nak, pergilah... jangan pedulikan daddy!""Ayo Harry... cepat! Sebelum mereka melihatmu." Ketika seorang laki-laki mengendong paksa anak laki-laki kecil ini. Tiba-tiba seorang wanita menjerit histeris melihat seseorang berjubah menarik pelatuk senjata di tangannya. Seperdetik peluru itu menghantam dada kiri ayah Harry. Pria itu terhuyung dan terhempas ke lantai bersimbah darah. "No... " Laki-laki yang menarik Harry membekap mulutnya agar tak bersuara. Dia membawa Harry ke arah jendela kamar. Memecahkan kaca lalu memaksa keluar anak laki-laki itu."Harry, kau lari ke arah bastop. Nanti aku akan menyusul."Tidak! Daddy berdarah di sana. Mommy juga masih di dalam."Laki-laki itu membekap mulut Harry kuat. "Jangan bersuara dia akan mendengar suaramu. Kita semua akan mati. Cepat
"Kau yang membunuhnya kan?""Aku tidak ingat apa-apa, untuk apa sekarang membahas itu? Toh, kasusnya sudah diberhentikan karena kurangnya bukti."Cara Dollores mengatakan itu seakan menunjukkan dialah pelakunya. Leon memandang istrinya dengan tajam, tangannya mengepal kuat. Hal itu di didasari karena Dollores ingin Megan diakui oleh Leon sebagai anaknya yang sah."Yang aku aku ingat Amber mengatakan bahwa dia menemukan jam tangan seseorang di lemarimu saat dia mabuk." Dollores tersenyum dingin ke arah suaminya, dia akan membuat tempat Leon menjadi tersudut hingga tidak bisa berbuat apa-apa."Aku punya alasan melakukan itu," jawab Leon tidak membantah jam tangan mantan pacar Amber ada di lemarinya. Juga dia tidak terkejut Amber tahu rahasianya. "Jangan kau pikir bisa mengancamku seperti kemarin kau memaksaku menikahmu." Leon memandang Dollores dari bangkunya, wanita itu berdiri tanpa rasa takut. Pakaiannya terlihat seperti Amber, untungnya Leon